Akshita masih berusaha dengan semua tenaga hingga menghabiskan banyak sumber daya yang dimilikinya. Dia terus berusaha menaklukan semua permata yang keluar dari lubangnya. Setelah berusaha beberapa waktu akhirnya permata itu berhasil disatukan oleh Akshita menjadi satu permata berwarna merah darah. Wanita itu memutar permata dengan menggunakan ajian khusus. "Bantu aku, Ki! Aku tahu kamu sejak tadi berdiri di sana," kata Akshita. "Buat apa aku bantu kamu jika sesungguhnya kemampuanmu lebih dariku, Nyai. Harusnya tidak perlu kau sembunyi di dalam tubuh perempuan itu," jawab Ki Cadek. "Hanya ini takdirku, Ki. Aku harus apa?"Ki Cadek tertawa sumbang, lelaki berjenggot putih itu sebenarnya tahu identitas Akshita bukan hal yang biasa. Wanita itu memiliki sesuatu yang begitu murni hingga sulit diraih oleh makhluk berjenis apapun. Permata yang awalnya berjumlah sembila telah melebur menjadi satu dan hanya sebesar satu kepalan orang dewasa dan berwarna merah. Permata itu kini berbentuk b
Suasana Kotaraja Bumi Seloka terlihat begitu padat bahkan hampir seluruh rakyat jelata berkumpul di alon-alon. Mereka tampak antusias dengan kabar kepulangan pangeran yang digadang akan menggantikan raja mereka yang terkenal bengis dan kejam. Selama ini mereka mendengar selentingan kabar pangeran yang hilang akan segera kembali. Dari kabar tersebut ada sekelompok yang menyamar menunggu sosok yang sedang ditunggu. "Apakah kabar burung itu benar, Kang?""Iya, hanya kita harus menunggu lebih sabar lagi."Kedua pria dengan pakaian compang samping berdiri berdesakan di antara rakyat jelata. Alon-alon yang biasanya sepi kini terlihat ramai dan dipenuhi oleh lautan manusia yang menginginkan tontonan gratis. Berbagai pendekar dari pelosok negeri telah datang untuk mengikuti perekrutan punggawa kerajaan yang saat ini kosong. Kerajaan Bumi Seloka begitu minim punggawa yang mumpuni sejak sepuluh tahun terakhir. Seorang wanita tiba-tiba melesat ditengah arena pertempuran. Dia mengedarkan pand
Jagat hanya memberi anggukan kepala, tetapi bibirnya bungkam. Lelaki itu masih memindai siapa sejatinya pendekar wanita yang telah berani menantang pendekar pria. Walau bagaimanapun saktinya seorang pendekar wanita masih kalah sakti dan tenaga bila dibanding dengan pria. Setelah merasa yakin akan penglihatannya, Jagat menatap Akshita sambil geleng kepala tanda bahwa apa yang diperkirakan oleh wanita tersebut adalah salah. "Jadi jika bukan wanita rubah itu siapa lho, Tuanku?" tanya Akshita. "Bisa jadi dia adalah murid Nyai Wedari, Aks," jawab Jagat singkat. Sementara di antara kerumunan penonton dua orang yang berpakaian compang camping seperti seorang pengemis masih saling tatap. Keduanya tidak mau terlihat mencolok akan identitas perguruannya. Namun, ada salah satu centeng juragan Darso mengenali sosok mereka. Joko yang sudah mengenali salah satu dari dua orang berpakaian pengemis itu akhirnya memilih mendekati keduanya. Lalu membungkuk memberi hormat. "Salam, Ki Bajanglawu. Ap
"Selamat datang di Kerajaan Bumi Seloka, Ki Bledek. Apa kabar, maaf jika tidak ada sambutan yang berarti dari pihak kerajaan!" sapa panglima dengan nada sopan. "Saya tidak butuh sambutan dari manusia picik seperti Kalian. Cukup berbuatlah adil seperti sedia kala, Banyubiru!" tegas Ki Bledek. Panglima Banyubiru seketika bungkam dan salah tingkah. Dia tidak menyangka jika pria tua itu akan berucap setajam itu padanya. Selama ini dia bungkam dengan semua hal yang terjadi di lingkup kerajaan bahkan kekacauan apapun dia seolah menutup telinga dan kedua mata asal hidupnya dan keluarga terjamin. Dan memang benar yang terjadi sesuai dengan janji sang raja baru bahwa hidupnya dan keluarga terjamin. Mereka tidak kekurangan suatu apapun berbeda dengan rakyat jelata yang selalu diperas dengan biaya upeti tiap tahun selalu mengalami kenaikan tinggi. "Baik, kita lupakan pertempuran dua pendekar tangguh tadi. Wahai rakyat Bumi Seloka, mari kita buka bersama ajang pencarian bakat musim ini. Ketah
Akshita yang berdiri di sisi Jagat melihat arah pandang lelaki itu. Kedua matanya menyipit seperti mengenal kedua pendekar tersebut. Namun, dia lupa kapan terakhir bertemu. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Jagat. "Apakah Tuan mengenal dua pendekar di atas arena itu?" tanya Akshita. "Keduanya memiliki jurus yang sekilas hampir sama, mungkin mereka berasal dari satu perguruan, Aks." Akshita mengangguk setuju, tetapi anehnya lagi kedua pendekar itu tidak terlihat bangkit. Maka panglima memberi putusan pertempuran kali ini tidak ada pemenang. Arena kembali dihadirkan dua pendekar tangguh lainnya. Kali ini seperti dari golongan putih. Terlihat dari cara berkelahi memamerkan ilmu kanuragannya. Jagat memerhatikan setiap gerakan kedua pendekar. "Seperti murid dari Pandan Alas, Tuanku," kata Akshita. "Iya kamu benar, apakah mereka mengirim utusan untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan?" ucap Jagat lirih. "Mungkin saja, Tuanku.""Untuk apa coba, apakah masih kurang kekua
Kedua mata Akshita menyorot dalam pada jantung Jagat membuat lelaki itu terdiam untuk sesaat lamanya hanya ingin lebih lama memindai kecantikan Aksita. Tanpa sadar tangan yang lain bergerak meraih pinggang wanita tersebut dan merapatkan tubuhnya. Seiring gerakan itu melintas kasar beberapa pria gempal yang tinggi. Akshita menghela napas lega dan berucap terima kasih pada Jagat. Namun, pria itu tetap bergeming memindai wajah wanitanya. Bibir yang tipis berwarna merah dengan hidung mancung, alis tertata rapi membingkai wajah ayu membuat Jagat sulit berpaling. "Jelaskan tanpa terbuang, Aks!" bisik Jagat. Bulu kuduk Akshita seketika berdiri membuat tubuhnya bergetar hebat. Bisikan dan hembusan napas Jagat telah berhasil membangkitkan hasrat yang terpendam ratusan tahun silam. "Tuan, tidak bisakah Anda lepaskan pinggang saya?" tanya Akshita dengan nada ragu. Mendengar kalimat Akshita dengan pelan Jagat mengurai pelukannya tetapi bukan berarti terlepas sepenuhnya. "Maaf jika kamu tidak
Jagat melesat meninggalkan keramaian yang belum selesai menyusul Akshita. Larinya terhenti manakala tidak lagi dirasa pergerakan cakra wanitanya. Saat ini Jagat berdiri tepat di depan sebuah penginapan yang cukup ramai. Perlahan langkahnya memasuki gerbang yang terbuat dari bambu kuning. Hal itu sudah lumrah, apalagi penginapan tersebut terletak di ujung jalan dan berdekatan dengan makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar. "Permisi, Bu, apakah tadi ada wanita yang bergaun biru muda datang ke sini untuk sewa kamar?" tanya Jagat. Perempuan berkebaya hitam itu segera memeriksa lembar daun lontar yang ada di depannya. Satu per satu nama yang tertera di daun itu akhirnya disebutkan. Dan saat bibirnya menyebut nama Jagat Akshita barulah berhenti. "Masuk saja, Kisanak. Perempuan yang Anda maksud ada di kamar 25!"Jagat mengangguk lalu berlalu meninggalkan perempuan pencatat tamu yang hadir. Setelah menyusuri lorong, akhirnya Jagat menemukan kamat sesuai informasi. Tangan Jagat terang
Akshita bergeming sambil bersandar pada dinding bambu. Wanita itu terlihat cemberut tanpa melihat wajah Jagat, baginya hari ini begitu tidak bersahabat. Sedangkan Jagat merasa tidak memahami apa yang dia inginkan. "Sungguh ini begitu menyiksa. Dingin dan datar menyatu dalam ragamu, aku tersiksa, Tuanku," batin Akshita. Jagat langsung memandang wajah wanitanya dari samping, karena merasa kurang pas jadi lelaki itu berpindah menghadap langsung pada Akshita. Sikap Jagat membuat wanitanya menjadi salah tingkah. "Jangan membatin seperti itu, Aks!" ucap Jagat dengan nada rendah. Akshita tersenyum lalu mengangguk, lalu dia beranjak bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja. Tangannya mulai menuangkan air ke dalam gelas bambu, setelahnya kembali duduk di samping Jagat. "Minum dulu, Tuanku!" pinta Akshita dengan nada rendah. "Heem."Dengan sekali teguk air dalam gelas langsung habis. Setelahnya, dia menatap Akshita dalam, "Bagaimana caranya ilmu welas asih itu, Aks?"Akshita membalas ta
Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den
Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun
Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu