Akshita menatap heran pada Jagat, lelaki ini seakan bisa membaca dan melihat sesuatu yang belum tampak. Namun, dia juga tidak berani untuk membantah setiap kata yang terucap dari Jagat. Akshita pun gegas menghabiskan sisa makanannya lalu melipat rapi daun jati pembungkus nasi dan lauknya. "Sudah, Tuan.""Sebaiknya selama penyerang itu datang jangan pernah kau tinggalkan batang ini. Paham?"Akshita mengangguk mengerti. Lalu dia mulai mencari batang yang sedikit lebih besar untuk mampu menopang tubuhnya. Setelah menemukan tempat ternyaman, Akshita meletakkan barang bawaannya dan menyelonjorkan kedua tungkai. Wanita yang masih tertutup misteri itu pun perlahan bersandar pada pohon utama sambil menatap wajah Jagat. Pria yang mampu menawan hatinya sejak usia dini itu kini telah nyata ada di depannya. Namun, secara jiwa dan hati masih belum mampu dia raih dan reguk madu manis lendir perjaka Jagat. "Apalagi yang harus aku lakukan, Dyang?" batin Akshita mengutarakan pertanyaan pada penguas
Mendengar bentakan Darso membuat keempat pria yang mengepung Jagat seketika langsung bergerak maju mulai menyerang Jagat dari empat arah. Tendangan dan tinju datang silih berganti dari keempatnya. Namun, dengan santai dan cepat Jagat bisa menghindar meskipun sesekali dia bisa membalas gerakan mereka. Hingga mencapai jurus ke 25 mereka masih menggunakan tangan kosong, sementara senjata mereka biarkan tergantung di pinggang masing-masing. Bagitu pun Jagat. Pemuda itu melayani semua serangan mereka dengan tangan kosong. SreetSuara kain sobek terdengar nyata membuat salah satu penyerang berhenti untuk memastikan. Kedua bola mata Rebo membeliak tidak percaya, bagaimana bisa kain atasnya robek saat tinjunya berhasil menyentuh dada Jagat. "Sialan, apa yang kau lakukan pada pakaianku?" tanya Rebo dengan lantang. Jagat mengulum senyum, lalu mengangkat dagunya seakan menunjuk pada gerakan kawan Rebo yang berakibat senjata temannya itu berhasil merobek kain atasnya. "Kau ...!" geram Rebo.
Darso tidak mengindahkan apa yang sudah disarankan oleh Jagat, dia ngotot menyerang lawannya hanya untuk mendapatkan tubuh Akshita yang sudah membuatnya malu dan berhasrat. Darso langsung merapal mantra khusus, kedua lengannya manekuk ke dalam dan mulai berputar searah mata angin. Lama kelamaan lengan itu terlihat patah dan terbang melesat menuju ke tubuh Jagat. Melihat hal yang tidak biasa membuat langkah Jagat mundur beberapa langkah. Dia tidak mengerti dengan jenis ilmu yang digunakan oleh Darso. Namun, dia berusaha untuk meredam rasa bimbangnya dan bertekad untuk menaklukkan. Sementara di atas pohon lebih tepatnya batang pohon tempat Akshita istirahat mulai bergetar. Getaran tersebut membuat wanita cantik tersadar lalu segera menyelaraskan pandangannya dengan sekitar. "Oo, rupanya aku masih di sini. Aneh, rasanya aku tidak hanya tidur. Mungkinkah?" gumam Akshita berbicara sendiri. Kemudian batang itu mulai bergetar lagi seakan ada angin yang membuatnya goyah. Akshita pun mul
Jagat terdiam, dia tidak ingin melakukan hal diluar janjinya. Baginya Darso sudah sekarat, maka tidak pantas baginya untuk menghilangkan nyawa. Lagi pula pria senja itu tidak sepenuhnya bersalah. Akshita sendiri pun belum sempat terjamah ataupun dilecehkan jadi dia berpendapat bahwa Darso bukanlah penjahat. Perlahan Jagat melangkah mendekati Darso yang duduk sila sambil sesekali memuntahkan darah kental. "Bagaimana jika kita barter, Juragan?""Cuih, aku tidak sudi. Bagiku siapa pun yang menghalangi niatku, maka dia adalah musuhku. Aku tidak peduli," ungkap Darso. "Lukamu cukup parah, Juragan. Mari kita bertukar obat, bagaimana?"Darso tidak meluluskan apa yang diinginkan oleh Jagat, dia justru meludahi wajah pemuda ayu tersebut. Dengan pelan Jagat mengusap wajahnya yang terlempar ludah bacin. Namun, semua itu tidak membuat pemuda itu naik darah. "Suamiku menawarkan hal baik padamu, Darso. Tetapi apa tanggapanmu! Kau adalah manusia nista, tidak ingatkah kamu akan nasih anak istri
Kini rombongan Jagat sudah berada di sebuah rumah bambu milik salah satu anak buah Darso. Joko yang sejak tadi hanya diam kini mempersilakan Jagat untuk duduk di tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Setelah semua duduk berjajar di ruang tamu yang terlihat kosong tanpa perkakas berarti barulah Joko beranjak meninggalkan mereka. Kini menyisakan Jagat, Akshita dan tiga pria lainnya. Jagat terlihat memindai seluruh ruangan tersebut. "Apakah semua kondisi rumah kalian sama seperti ini?" tanya Jagat. "Begitulah, Pendekar. Kami hanya hidup berkeliaran di sekitar rumah juragan jadi tidak pernah menetap dan istirahat di rumah," jawab Rebo. Akshita melihat sekeliling dan matanya berhenti di satu sudut yang sedikit berbeda. Kedua matanya menatap tajam, lalu mengerjab berulang seakan ingin memastikan apa yang sedang dilihatnya. Merasa kurang jelas, maka Akshita pun bangkit dan berjalan mendekati sudut tersebut. Tangannya terulur hendak mengambil benda yang sejak tadi membuatnya penas
"Pangeran?" tanya keempat pria yang ada di sana. Akshita segera membekap mulutnya, dia kelepasan membuka identitas lelakinya. Saat itu juga dia pun merubah kalimatnya agar mereka tidak curiga. "Apa maksud dari kata pangeran yang terucap dari mulutmu itu, Nisanak?" tanya Rebo. Akshita tidak menjawab pertanyaan pria tersebut, dia lebih memilih mencoba membangunkan Jagat. Beberapa titik penting tubuh lelakinya belum mampu membuat Jagat tersadar. Tapak tangan Akshita menyentuh dahi Jagat. Saat menyentuhnya seketika dahi Akshita berkerut. Dahi Jagat terasa begitu dingin bagai es. Lalu dengan sedikit sisa sumber daya yang ada, Akshita mencoba menyalurkan hawa panas tubuhnya ke tubuh Jagat. Berbeda dengan Jagat, raga yang begitu dingin sejatinya telah ditinggalkan oleh roh. Raga itu kosong, hal inilah yang tidak diketahui oleh Akshita. Roh Jagat sedang berkelana di alam bawah sadarnya. Dia mencari pemilik tongkat yang menancap di sudut ruang bilik Joko. "Jangan kau paksa roh kamu, Pang
Akshita masih berusaha dengan semua tenaga hingga menghabiskan banyak sumber daya yang dimilikinya. Dia terus berusaha menaklukan semua permata yang keluar dari lubangnya. Setelah berusaha beberapa waktu akhirnya permata itu berhasil disatukan oleh Akshita menjadi satu permata berwarna merah darah. Wanita itu memutar permata dengan menggunakan ajian khusus. "Bantu aku, Ki! Aku tahu kamu sejak tadi berdiri di sana," kata Akshita. "Buat apa aku bantu kamu jika sesungguhnya kemampuanmu lebih dariku, Nyai. Harusnya tidak perlu kau sembunyi di dalam tubuh perempuan itu," jawab Ki Cadek. "Hanya ini takdirku, Ki. Aku harus apa?"Ki Cadek tertawa sumbang, lelaki berjenggot putih itu sebenarnya tahu identitas Akshita bukan hal yang biasa. Wanita itu memiliki sesuatu yang begitu murni hingga sulit diraih oleh makhluk berjenis apapun. Permata yang awalnya berjumlah sembila telah melebur menjadi satu dan hanya sebesar satu kepalan orang dewasa dan berwarna merah. Permata itu kini berbentuk b
Suasana Kotaraja Bumi Seloka terlihat begitu padat bahkan hampir seluruh rakyat jelata berkumpul di alon-alon. Mereka tampak antusias dengan kabar kepulangan pangeran yang digadang akan menggantikan raja mereka yang terkenal bengis dan kejam. Selama ini mereka mendengar selentingan kabar pangeran yang hilang akan segera kembali. Dari kabar tersebut ada sekelompok yang menyamar menunggu sosok yang sedang ditunggu. "Apakah kabar burung itu benar, Kang?""Iya, hanya kita harus menunggu lebih sabar lagi."Kedua pria dengan pakaian compang samping berdiri berdesakan di antara rakyat jelata. Alon-alon yang biasanya sepi kini terlihat ramai dan dipenuhi oleh lautan manusia yang menginginkan tontonan gratis. Berbagai pendekar dari pelosok negeri telah datang untuk mengikuti perekrutan punggawa kerajaan yang saat ini kosong. Kerajaan Bumi Seloka begitu minim punggawa yang mumpuni sejak sepuluh tahun terakhir. Seorang wanita tiba-tiba melesat ditengah arena pertempuran. Dia mengedarkan pand
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan