Jagat terdiam, dia tidak ingin melakukan hal diluar janjinya. Baginya Darso sudah sekarat, maka tidak pantas baginya untuk menghilangkan nyawa. Lagi pula pria senja itu tidak sepenuhnya bersalah. Akshita sendiri pun belum sempat terjamah ataupun dilecehkan jadi dia berpendapat bahwa Darso bukanlah penjahat. Perlahan Jagat melangkah mendekati Darso yang duduk sila sambil sesekali memuntahkan darah kental. "Bagaimana jika kita barter, Juragan?""Cuih, aku tidak sudi. Bagiku siapa pun yang menghalangi niatku, maka dia adalah musuhku. Aku tidak peduli," ungkap Darso. "Lukamu cukup parah, Juragan. Mari kita bertukar obat, bagaimana?"Darso tidak meluluskan apa yang diinginkan oleh Jagat, dia justru meludahi wajah pemuda ayu tersebut. Dengan pelan Jagat mengusap wajahnya yang terlempar ludah bacin. Namun, semua itu tidak membuat pemuda itu naik darah. "Suamiku menawarkan hal baik padamu, Darso. Tetapi apa tanggapanmu! Kau adalah manusia nista, tidak ingatkah kamu akan nasih anak istri
Kini rombongan Jagat sudah berada di sebuah rumah bambu milik salah satu anak buah Darso. Joko yang sejak tadi hanya diam kini mempersilakan Jagat untuk duduk di tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Setelah semua duduk berjajar di ruang tamu yang terlihat kosong tanpa perkakas berarti barulah Joko beranjak meninggalkan mereka. Kini menyisakan Jagat, Akshita dan tiga pria lainnya. Jagat terlihat memindai seluruh ruangan tersebut. "Apakah semua kondisi rumah kalian sama seperti ini?" tanya Jagat. "Begitulah, Pendekar. Kami hanya hidup berkeliaran di sekitar rumah juragan jadi tidak pernah menetap dan istirahat di rumah," jawab Rebo. Akshita melihat sekeliling dan matanya berhenti di satu sudut yang sedikit berbeda. Kedua matanya menatap tajam, lalu mengerjab berulang seakan ingin memastikan apa yang sedang dilihatnya. Merasa kurang jelas, maka Akshita pun bangkit dan berjalan mendekati sudut tersebut. Tangannya terulur hendak mengambil benda yang sejak tadi membuatnya penas
"Pangeran?" tanya keempat pria yang ada di sana. Akshita segera membekap mulutnya, dia kelepasan membuka identitas lelakinya. Saat itu juga dia pun merubah kalimatnya agar mereka tidak curiga. "Apa maksud dari kata pangeran yang terucap dari mulutmu itu, Nisanak?" tanya Rebo. Akshita tidak menjawab pertanyaan pria tersebut, dia lebih memilih mencoba membangunkan Jagat. Beberapa titik penting tubuh lelakinya belum mampu membuat Jagat tersadar. Tapak tangan Akshita menyentuh dahi Jagat. Saat menyentuhnya seketika dahi Akshita berkerut. Dahi Jagat terasa begitu dingin bagai es. Lalu dengan sedikit sisa sumber daya yang ada, Akshita mencoba menyalurkan hawa panas tubuhnya ke tubuh Jagat. Berbeda dengan Jagat, raga yang begitu dingin sejatinya telah ditinggalkan oleh roh. Raga itu kosong, hal inilah yang tidak diketahui oleh Akshita. Roh Jagat sedang berkelana di alam bawah sadarnya. Dia mencari pemilik tongkat yang menancap di sudut ruang bilik Joko. "Jangan kau paksa roh kamu, Pang
Akshita masih berusaha dengan semua tenaga hingga menghabiskan banyak sumber daya yang dimilikinya. Dia terus berusaha menaklukan semua permata yang keluar dari lubangnya. Setelah berusaha beberapa waktu akhirnya permata itu berhasil disatukan oleh Akshita menjadi satu permata berwarna merah darah. Wanita itu memutar permata dengan menggunakan ajian khusus. "Bantu aku, Ki! Aku tahu kamu sejak tadi berdiri di sana," kata Akshita. "Buat apa aku bantu kamu jika sesungguhnya kemampuanmu lebih dariku, Nyai. Harusnya tidak perlu kau sembunyi di dalam tubuh perempuan itu," jawab Ki Cadek. "Hanya ini takdirku, Ki. Aku harus apa?"Ki Cadek tertawa sumbang, lelaki berjenggot putih itu sebenarnya tahu identitas Akshita bukan hal yang biasa. Wanita itu memiliki sesuatu yang begitu murni hingga sulit diraih oleh makhluk berjenis apapun. Permata yang awalnya berjumlah sembila telah melebur menjadi satu dan hanya sebesar satu kepalan orang dewasa dan berwarna merah. Permata itu kini berbentuk b
Suasana Kotaraja Bumi Seloka terlihat begitu padat bahkan hampir seluruh rakyat jelata berkumpul di alon-alon. Mereka tampak antusias dengan kabar kepulangan pangeran yang digadang akan menggantikan raja mereka yang terkenal bengis dan kejam. Selama ini mereka mendengar selentingan kabar pangeran yang hilang akan segera kembali. Dari kabar tersebut ada sekelompok yang menyamar menunggu sosok yang sedang ditunggu. "Apakah kabar burung itu benar, Kang?""Iya, hanya kita harus menunggu lebih sabar lagi."Kedua pria dengan pakaian compang samping berdiri berdesakan di antara rakyat jelata. Alon-alon yang biasanya sepi kini terlihat ramai dan dipenuhi oleh lautan manusia yang menginginkan tontonan gratis. Berbagai pendekar dari pelosok negeri telah datang untuk mengikuti perekrutan punggawa kerajaan yang saat ini kosong. Kerajaan Bumi Seloka begitu minim punggawa yang mumpuni sejak sepuluh tahun terakhir. Seorang wanita tiba-tiba melesat ditengah arena pertempuran. Dia mengedarkan pand
Jagat hanya memberi anggukan kepala, tetapi bibirnya bungkam. Lelaki itu masih memindai siapa sejatinya pendekar wanita yang telah berani menantang pendekar pria. Walau bagaimanapun saktinya seorang pendekar wanita masih kalah sakti dan tenaga bila dibanding dengan pria. Setelah merasa yakin akan penglihatannya, Jagat menatap Akshita sambil geleng kepala tanda bahwa apa yang diperkirakan oleh wanita tersebut adalah salah. "Jadi jika bukan wanita rubah itu siapa lho, Tuanku?" tanya Akshita. "Bisa jadi dia adalah murid Nyai Wedari, Aks," jawab Jagat singkat. Sementara di antara kerumunan penonton dua orang yang berpakaian compang camping seperti seorang pengemis masih saling tatap. Keduanya tidak mau terlihat mencolok akan identitas perguruannya. Namun, ada salah satu centeng juragan Darso mengenali sosok mereka. Joko yang sudah mengenali salah satu dari dua orang berpakaian pengemis itu akhirnya memilih mendekati keduanya. Lalu membungkuk memberi hormat. "Salam, Ki Bajanglawu. Ap
"Selamat datang di Kerajaan Bumi Seloka, Ki Bledek. Apa kabar, maaf jika tidak ada sambutan yang berarti dari pihak kerajaan!" sapa panglima dengan nada sopan. "Saya tidak butuh sambutan dari manusia picik seperti Kalian. Cukup berbuatlah adil seperti sedia kala, Banyubiru!" tegas Ki Bledek. Panglima Banyubiru seketika bungkam dan salah tingkah. Dia tidak menyangka jika pria tua itu akan berucap setajam itu padanya. Selama ini dia bungkam dengan semua hal yang terjadi di lingkup kerajaan bahkan kekacauan apapun dia seolah menutup telinga dan kedua mata asal hidupnya dan keluarga terjamin. Dan memang benar yang terjadi sesuai dengan janji sang raja baru bahwa hidupnya dan keluarga terjamin. Mereka tidak kekurangan suatu apapun berbeda dengan rakyat jelata yang selalu diperas dengan biaya upeti tiap tahun selalu mengalami kenaikan tinggi. "Baik, kita lupakan pertempuran dua pendekar tangguh tadi. Wahai rakyat Bumi Seloka, mari kita buka bersama ajang pencarian bakat musim ini. Ketah
Akshita yang berdiri di sisi Jagat melihat arah pandang lelaki itu. Kedua matanya menyipit seperti mengenal kedua pendekar tersebut. Namun, dia lupa kapan terakhir bertemu. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Jagat. "Apakah Tuan mengenal dua pendekar di atas arena itu?" tanya Akshita. "Keduanya memiliki jurus yang sekilas hampir sama, mungkin mereka berasal dari satu perguruan, Aks." Akshita mengangguk setuju, tetapi anehnya lagi kedua pendekar itu tidak terlihat bangkit. Maka panglima memberi putusan pertempuran kali ini tidak ada pemenang. Arena kembali dihadirkan dua pendekar tangguh lainnya. Kali ini seperti dari golongan putih. Terlihat dari cara berkelahi memamerkan ilmu kanuragannya. Jagat memerhatikan setiap gerakan kedua pendekar. "Seperti murid dari Pandan Alas, Tuanku," kata Akshita. "Iya kamu benar, apakah mereka mengirim utusan untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan?" ucap Jagat lirih. "Mungkin saja, Tuanku.""Untuk apa coba, apakah masih kurang kekua