Akshita tidak memedulikan ketiga pendekar lawan dari Jagat. Dia hanya peduli pada tubuh lelaki tersebut yang tergeletak diam. Jemari lentik membelai dada Jagat dengan lembut. Sesekali terdengar desah napas panjang. Akshita masih sibuk membelai dada pria yang mulai menggetarkan jantungnya, dia pun juga tidak mengerti mengapa dengan pria itu jantungnya lebih cepat jarak detaknya sedangkan dengan yang lain terasa dingin. Akshita juga tersenyum kala memindai keseluruhan tubuh pemuda ayu tersebut. Secara usia, Jagat jauh lebih muda darinya meskipun darahnya masih perawan. Akshita sendiri merasa heran, pergolakan darahnya selalu membuncah setiap menatap paras ayu milik Jagat. "Siapa sebenarnya jati dirimu hingga para lelembut merubah diri untuk dapatkan cintamu, Tuan? Begitu pula denganku, cukup lama aku bertahan hingga detik ini melindungi mahkota rohku hanya untukmu," papar Akshita. Dengan sedikit bersusah payah akhirnya tubuh Jagat bisa ditarik Akshita ke bawah pohon yang cukup besa
"Bagaimana efek dalam tubuhmu, Tuan?" Akshita tidak menjawab tanya Jagat, dia justru melontarkan pertanyaan. Jagat menghela napas panjang, dia kembali diam untuk melanjutkan makan. Lelaki itu tidak ingin bertanya lagi dan membuka suara. Sikap Jagat ini makin membuat Akshita serba salah. Menurut ilmu yang dia pelajari selama ini harusnya daun yang dihidangkan bisa membawa dampak positif. "Apakah daun tersebut sudah hilang kasiat atau aku yang salah petiknya? Kok jadi aneh wajah dan kulit Jagat," batin Akshita sambil memindai keseluruhan tubuh pemuda di depannya. Jagat terdiam, nyawanya melayang masuk ke alam bawah sadar untuk menemui Ki Cadek. Pria tua itu terlihat sedang duduk sila di lempengan batu hitam. Kedua matanya terpejam, tetapi tangannya bergerak seirama gending jawa. Samar terdengar oleh Jagat suara gamelan mendayu lambat laun mulai rancak hingga melengking dan gubrak. Seperti ada sesuatu yang terjatuh dari ketinggian tertentu. Suaranya saja mampu membuat tubuh Jagat ber
Jagat masih terdiam menatap ayu wajah Akshita. Dari jarak dekat semua pesona wanita itu menguar memanjakan hasrat. Namun, hal itu belum mampu merobohkan dinding tinggi yang sudah dibangunnya sejak lama. "Tuan!" Akshita kembali memanggil Jagat dengan suara merdunya. Pemuda itu seketika memundurkan wajahnya dan memggeser duduknya menjauh dari Akshita. Sikap Jagat menyebabkan dengus kecewa yang nyata lolos dari mulut wanuta muda. Namun, pemuda itu sudah tidak memedulikan lagi akan sikap Akshita. Jagat kembali dalam mode diam dan dingin. Mengetahui perubahan sikap yang drastis membuat Akshita segera memberesi semua sisa dan alat makan. Wanita itu terlihat sedih tetapi dia tidak kuasa untuk membangkang. Ini adalah keputusannya. Meskipun Jagat selalu menghindar darinya, dia tetap bertahan untuk sesuatu yang nikmat. Berharap secercah sinar cinta ada di sudut hati lelaki itu. Sementara di belahan desa yang lain, terlihat tiga pemuda menunggang kuda. Saat berada di pertigaan jalan pemuda
Cukup lama Abimana dan yang lainnya menikmati hidangan kedai tersebut. Tidak hanya makan dan minum yang mereka nikmati melainkan adanya gadis muda nan cantik lengkap dengan hidangan arak. Abimana terlihat masih sanggup menenggak arak hingga beberapa gelas begitu juga dengan Jantaka. Hanya Kurubumi yang terlihat kalem, pria itu hanya duduk diam di sudut ruang yang hanya bersekat anyaman bambu. Kurubumi sesekali menghela napas panjang, sepertinya pria itu sudah tidak nyaman dengan udara dalam ruangan. "Aku keluar dulu, sudah terasa pengap saja di sini!" Kurubumi bangkit dan melangkah meninggalkan kedua teman karibnya. Namun, baru saja tangannya menggenggam gagang pintu terdengar Abimana menyebut namanya. Tubuh pemuda itu langsung berbalik dan menghadap Abimana dengan pandangan penuh tanya. Bibir pemuda itu terbuka lebar kala dilihatnya permainan Jantaka yang mulai menggoda indera penglihatannya. "Apa yang ingin kau sampaikan, Pangeran?" tanya Kurubumi ketika dia sudah mampu menetral
Ketiga pemuda terlihat saling memacu kudanya di antara lebatnya hutan heterogen pegunungan wilis. Dari jauh terlihat gapura yang cukup tinggi dan megah bertuliskan huruf jawa kuno. Samar tulisan tersebut bisa dibaca oleh ketiganya "Selamat Datang"Abimana mulai memelankan lari kuda jantannya, begitu juga dengan lainnya. Hingga saat tepat di depan gapura perbatasan masuk wilayah kotaraja, Abimana menarik tali kekang kudanya agar bisa berhenti. "Kita sudah sampai. Bagaimana dengan kalian?" "Aku langsung ke barak prajurit saja, Pangeran. Badan sudah terasa penat dan letih," jawab Jantaka. Kurubumi menatap ke belakang pada hewan hasil buruan yang dia ikat di samping kuda, "Aku langsung ke keputren, menemui ibunda, Pangeran."Abimana tersenyum, lalu di pacunya kembali kuda jantan miliknya dan membawanya langsung ke arah istana ratu. Beberapa prajurit seketika membungkuk kala melihat Abimana lewat. "Pangeran sudah tiba, ini akan lebih ketat lagi," kata salah satu prajurit yang dilewati
Abimana masih terus bercerita pada ibundanya mengenai kehidupan di Padepokan Pandan Alas. Dia juga menceritakan sosok pria ayu yang sering dibully olehnya dan kawanannya. Apa yang diceritakan oleh putranya mengenai sosok pria tersebut membuat dahi Arsinta berkerut. "Pria Ayu, siapa dia, Abimana?" tanya Arsinta. "Namanya Jagat Kelana, Ibunda Ratu. Dia memiliki ilmu dan senjata aneh yang hampir tidak ada yang tahu cara dia mendapatkan keduanya," jelas Abimana. Arsinta menatap penuh tanya pada suaminya dan Albara pun juga demikian. Kedua nya saling tatap dan mengangguk bersama. "Mengapa kalian saling tatap? Apa Kalian mengenal pria itu?" cerca Abimana. Albara menggeleng, dia memberi kode pada istrinya agar bungkam. Sang ratu pun tersenyum, lalu menatap putranya. Abimana masih terlihat belum luas akan reaksi kedua orang tua, dia pun mencerca berbagai pertanyaan. Namun, kedua penguasa kerajaan hanya mengulas senyum. "Iya sudah jika kalian tidak ingin berbagi denganku, maka jika suatu
Jagat terlihat sudah siap untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kotaraja. Sesuai instingnya di sana dia akan menemukan jati diri yang selama ini masih terlihat abu-abu. Sementara Akshita masih sibuk mengemasi barang dan menata kembali apa saja yang perlu dibawanya. "Jangan terlalu bawa barang banyak, Aks. Pilih seperlunya sesuai kebutuhan kita!""Baik, Jagat.""Nah, bagus. Mulailah memanggilku dengan nama, karena kamu bukan budakku, Aks," kata Jagat datar. Akshita mengulum senyum, dia paham akan maksud kalimat pria di depannya. Memang dirinya bukanlah budak, melainkan wanita yang selalu ada buat temani perjalanannya. Akshita sangat telaten menyediakan apa saja yang dibutuhkan Jagat meskipun tak terbalas. Setelah di rasa cukup, maka Akshita mengajak Jagat untuk segera berangkat. Dengan menggunakan kuda, keduanya pun mulai menghentak tali kekangnya. Kedua kuda jantan berwarna hitam dan putih melaju dengan kecepatan teratur. Akshita yang menaiki kuda jantan putih tidak mau tertin
Jagat terhenyak kaget saat sosok wanita yang baru saja memijakkan kakinya pada tanah berumput menyebut nama pria berjenggot adalah Sasapati. Dalam ingatannya, pria itu sudah menemui ajal, entah mengapa bisa hadir lagi di depannya. Akshita sendiri juga ikut bingung akan hadirnya Ki Sasapati yang berhasil dibunuhnya pada masa silam. "Aneh!"Kekehan renyah menyapa telinga Akshita, tawa yang begitu nyata dan membawa aura hitam. Sasapati menatap penuh hasrat pada Akshita yang dulu gagal dimilikinya. Kini dia sudah berdiri dengan kesaktian yang berbeda dengan mengorbankan sebagian sumber daya. "Rupanya kau juga inginkan perjaka pria ayu itu, Rubah wanita?" bisik Sasapati. "Sudah lama aku mencari keberadaannya, Sasapati. Cakranya ternyata meningkat drastis hingga sulit kubaca," ujar Wedari. "Siluman Rubah, apa kabarmu?" tanya Akshita. Wedari tersenyum menatap wanita yang berdiri di samping Jagat. Kemudian dia berjalan mengikis jaraknya sedikit lebih dekat dengan pria incarannya. Ketika
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan