"Bagaimana efek dalam tubuhmu, Tuan?" Akshita tidak menjawab tanya Jagat, dia justru melontarkan pertanyaan. Jagat menghela napas panjang, dia kembali diam untuk melanjutkan makan. Lelaki itu tidak ingin bertanya lagi dan membuka suara. Sikap Jagat ini makin membuat Akshita serba salah. Menurut ilmu yang dia pelajari selama ini harusnya daun yang dihidangkan bisa membawa dampak positif. "Apakah daun tersebut sudah hilang kasiat atau aku yang salah petiknya? Kok jadi aneh wajah dan kulit Jagat," batin Akshita sambil memindai keseluruhan tubuh pemuda di depannya. Jagat terdiam, nyawanya melayang masuk ke alam bawah sadar untuk menemui Ki Cadek. Pria tua itu terlihat sedang duduk sila di lempengan batu hitam. Kedua matanya terpejam, tetapi tangannya bergerak seirama gending jawa. Samar terdengar oleh Jagat suara gamelan mendayu lambat laun mulai rancak hingga melengking dan gubrak. Seperti ada sesuatu yang terjatuh dari ketinggian tertentu. Suaranya saja mampu membuat tubuh Jagat ber
Jagat masih terdiam menatap ayu wajah Akshita. Dari jarak dekat semua pesona wanita itu menguar memanjakan hasrat. Namun, hal itu belum mampu merobohkan dinding tinggi yang sudah dibangunnya sejak lama. "Tuan!" Akshita kembali memanggil Jagat dengan suara merdunya. Pemuda itu seketika memundurkan wajahnya dan memggeser duduknya menjauh dari Akshita. Sikap Jagat menyebabkan dengus kecewa yang nyata lolos dari mulut wanuta muda. Namun, pemuda itu sudah tidak memedulikan lagi akan sikap Akshita. Jagat kembali dalam mode diam dan dingin. Mengetahui perubahan sikap yang drastis membuat Akshita segera memberesi semua sisa dan alat makan. Wanita itu terlihat sedih tetapi dia tidak kuasa untuk membangkang. Ini adalah keputusannya. Meskipun Jagat selalu menghindar darinya, dia tetap bertahan untuk sesuatu yang nikmat. Berharap secercah sinar cinta ada di sudut hati lelaki itu. Sementara di belahan desa yang lain, terlihat tiga pemuda menunggang kuda. Saat berada di pertigaan jalan pemuda
Cukup lama Abimana dan yang lainnya menikmati hidangan kedai tersebut. Tidak hanya makan dan minum yang mereka nikmati melainkan adanya gadis muda nan cantik lengkap dengan hidangan arak. Abimana terlihat masih sanggup menenggak arak hingga beberapa gelas begitu juga dengan Jantaka. Hanya Kurubumi yang terlihat kalem, pria itu hanya duduk diam di sudut ruang yang hanya bersekat anyaman bambu. Kurubumi sesekali menghela napas panjang, sepertinya pria itu sudah tidak nyaman dengan udara dalam ruangan. "Aku keluar dulu, sudah terasa pengap saja di sini!" Kurubumi bangkit dan melangkah meninggalkan kedua teman karibnya. Namun, baru saja tangannya menggenggam gagang pintu terdengar Abimana menyebut namanya. Tubuh pemuda itu langsung berbalik dan menghadap Abimana dengan pandangan penuh tanya. Bibir pemuda itu terbuka lebar kala dilihatnya permainan Jantaka yang mulai menggoda indera penglihatannya. "Apa yang ingin kau sampaikan, Pangeran?" tanya Kurubumi ketika dia sudah mampu menetral
Ketiga pemuda terlihat saling memacu kudanya di antara lebatnya hutan heterogen pegunungan wilis. Dari jauh terlihat gapura yang cukup tinggi dan megah bertuliskan huruf jawa kuno. Samar tulisan tersebut bisa dibaca oleh ketiganya "Selamat Datang"Abimana mulai memelankan lari kuda jantannya, begitu juga dengan lainnya. Hingga saat tepat di depan gapura perbatasan masuk wilayah kotaraja, Abimana menarik tali kekang kudanya agar bisa berhenti. "Kita sudah sampai. Bagaimana dengan kalian?" "Aku langsung ke barak prajurit saja, Pangeran. Badan sudah terasa penat dan letih," jawab Jantaka. Kurubumi menatap ke belakang pada hewan hasil buruan yang dia ikat di samping kuda, "Aku langsung ke keputren, menemui ibunda, Pangeran."Abimana tersenyum, lalu di pacunya kembali kuda jantan miliknya dan membawanya langsung ke arah istana ratu. Beberapa prajurit seketika membungkuk kala melihat Abimana lewat. "Pangeran sudah tiba, ini akan lebih ketat lagi," kata salah satu prajurit yang dilewati
Abimana masih terus bercerita pada ibundanya mengenai kehidupan di Padepokan Pandan Alas. Dia juga menceritakan sosok pria ayu yang sering dibully olehnya dan kawanannya. Apa yang diceritakan oleh putranya mengenai sosok pria tersebut membuat dahi Arsinta berkerut. "Pria Ayu, siapa dia, Abimana?" tanya Arsinta. "Namanya Jagat Kelana, Ibunda Ratu. Dia memiliki ilmu dan senjata aneh yang hampir tidak ada yang tahu cara dia mendapatkan keduanya," jelas Abimana. Arsinta menatap penuh tanya pada suaminya dan Albara pun juga demikian. Kedua nya saling tatap dan mengangguk bersama. "Mengapa kalian saling tatap? Apa Kalian mengenal pria itu?" cerca Abimana. Albara menggeleng, dia memberi kode pada istrinya agar bungkam. Sang ratu pun tersenyum, lalu menatap putranya. Abimana masih terlihat belum luas akan reaksi kedua orang tua, dia pun mencerca berbagai pertanyaan. Namun, kedua penguasa kerajaan hanya mengulas senyum. "Iya sudah jika kalian tidak ingin berbagi denganku, maka jika suatu
Jagat terlihat sudah siap untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kotaraja. Sesuai instingnya di sana dia akan menemukan jati diri yang selama ini masih terlihat abu-abu. Sementara Akshita masih sibuk mengemasi barang dan menata kembali apa saja yang perlu dibawanya. "Jangan terlalu bawa barang banyak, Aks. Pilih seperlunya sesuai kebutuhan kita!""Baik, Jagat.""Nah, bagus. Mulailah memanggilku dengan nama, karena kamu bukan budakku, Aks," kata Jagat datar. Akshita mengulum senyum, dia paham akan maksud kalimat pria di depannya. Memang dirinya bukanlah budak, melainkan wanita yang selalu ada buat temani perjalanannya. Akshita sangat telaten menyediakan apa saja yang dibutuhkan Jagat meskipun tak terbalas. Setelah di rasa cukup, maka Akshita mengajak Jagat untuk segera berangkat. Dengan menggunakan kuda, keduanya pun mulai menghentak tali kekangnya. Kedua kuda jantan berwarna hitam dan putih melaju dengan kecepatan teratur. Akshita yang menaiki kuda jantan putih tidak mau tertin
Jagat terhenyak kaget saat sosok wanita yang baru saja memijakkan kakinya pada tanah berumput menyebut nama pria berjenggot adalah Sasapati. Dalam ingatannya, pria itu sudah menemui ajal, entah mengapa bisa hadir lagi di depannya. Akshita sendiri juga ikut bingung akan hadirnya Ki Sasapati yang berhasil dibunuhnya pada masa silam. "Aneh!"Kekehan renyah menyapa telinga Akshita, tawa yang begitu nyata dan membawa aura hitam. Sasapati menatap penuh hasrat pada Akshita yang dulu gagal dimilikinya. Kini dia sudah berdiri dengan kesaktian yang berbeda dengan mengorbankan sebagian sumber daya. "Rupanya kau juga inginkan perjaka pria ayu itu, Rubah wanita?" bisik Sasapati. "Sudah lama aku mencari keberadaannya, Sasapati. Cakranya ternyata meningkat drastis hingga sulit kubaca," ujar Wedari. "Siluman Rubah, apa kabarmu?" tanya Akshita. Wedari tersenyum menatap wanita yang berdiri di samping Jagat. Kemudian dia berjalan mengikis jaraknya sedikit lebih dekat dengan pria incarannya. Ketika
Wedari terbang melayang mengitari lokasi terakhir perkelahian Jagat dan Sasapati. Pandangannya menyapu seluruh lokasi yang masih diselimuti asap dan debu hasil pertemuan dua jurus tingkat tinggi. Tatapan Wedari menajam kala terlihat pergerakan yang tidak biasa di antara tebalnya rumput gajah. Tubuh Wedari melesat ke arah rumput tersebut. Dengan pelan disibak tumbuhan liar, saat matanya menangkap ujung jari kaki mulut perempuan itu memekik lirih. "Ibu jari kaki, milik siapa ini?" kata Wedari sambil menenteng ibu jari itu. Dengan sabar dan langkah pelan, pendekar wanita itu melangkah maju. Kemudian kedua matanya melotot saat melihat tubuh Sasapati hancur tak berbentuk. "Beh, jurus yang sangat menakutkan."Setelah berhasil mengenali sosok tubuh yang hancur itu, Wedari menyentak kaki kanan agar dia bisa melompat dan kembali terbang. Kedua lengan wanita itu terentang, gaun tipisnya melambai dibawa angin. Berulang kali Wedari terbang berputar mencari jasad Jagat. Setelah asap dan debu