PoV NiaBang Parlin tampak bahagia sekali saat tahu Tania hamil, dia sudah mempersiapkan nama dan ulos adat untuk diberikan nanti. "Dek, kadang ada rasa senang, sedih punya mantu ini," kata Bang Parllin di suatu hari. Saat itu kami lagi duduk-duduk di teras rumah."Senangnya dulu, Bang, apa?" "Kita akan jadi opung, Dek, gelar kita bertambah, hehehehe, kalau laki-laki cucu kita, namanya Parmonangan Siregar, kalau perempuan Rumondang Bulan Siregar," kata Bang Parllin."Mana mau Ucok nama anaknya gitu, Bang?" kataku."Mau, harus mau, Parmonangan itu nama buyut kita, aku nanti dapat gelar, Oppung Monang," kata Bang Parlin."Hahaha, jangan-jangan namanya dibuat Ucok si Viktor, jadi gelar Abang Oppung Viktor, hahaha," kataku sambil tertawa lepas."Mana boleh,""Hmmm, terus sedihnya apa, Bang?""Kita punya mantu, Dek, tapi mantu kita bahkan belum pernah kurasakan masakannya, bahkan tidak pernah menginjak kan kakinya di rumah kita, sedih Abang, Dek," "Iya, Bang, nanti setelah Ucok selesai
Tak sanggup rasanya melihat Ucok di tahanan polisi, aku tak habis pikir bagaimana polisi bisa menahannya, padahal dia juga korban. Kata polisi ditangkap karena pengaduan masyarakat. Karena Ucok yang jadi perantara, Ucok yang bertemu dengan perwakilan masyarakat. Kami berkumpul di rumah Ucok, membicarakan langkah yang akan diambil. Untuk minta bantuan saudara rasanya malu."Emangnya gak bisa Abang bikin sakit perut itu pelakunya?" Kataku kemudian. masih tak terima anakku di tahanan polisi."Gak bisa, Dek,""Kenapa?""Karena bukan milik kita yang dilarikannya," kata Bang Parlin."Bukan pula milik Ucok," sambung Bang Parlin lagi."Ada milik Bang Ucok," kata Tania tiba-tiba."Kok bisa ada?" tanyaku kemudian."Kata Bang Ucok fee dua persen belum dikasih," kata Tania lagi."Ooo," kulihat Bang Parlin, minta persetujuan lewati pandangan mata."Baiklah, Abang juga sedih Ucok ditahan polisi," kata Bang Parlin kemudian.Keesokan harinya kami temui Ucok lagi. "Ucok, kali ini Ayah dukung kau gu
"Apalah arti uang, Dek, kalau anak kita begini, mau terusir dari tempat tinggalnya," kata Bang Parlin lagi."Iya lah, terserah Abang, aku manut saja, kek mantu kita itu, nurut suami," kataku."Ish, Adek ini,""Kenapa, Bang?""Gak iklhas kali nampak," "Iklas lo, Bang," Akhirnya disepakati kami akan membeli rumah yang ditempati Ucok. Ini kusetujui karena sudah melakukan investigasi kecil-kecilan. Kutanya beberapa tetangga Ucok, melihat-lihat di g***e, memang harga rumah ini di bawah harga pasaran. Mereka jual murah mungkin biar cepat laku karena mau pindah ke luar negeri. Bersama Tania, kami akhirnya pergi ke rumah pemilik rumah tersebut. Kami mau membicarakan harga dan surat-surat. Sampai di sana langsung disambut sepasang suami istri paruh baya. "Kami sengaja tawarkan ke Ucok duluan, kami sengaja berikan harga miring, Karena aku suka Ucok, dia sangat sopan dan aktif di mesjid, aku ingin rumahku itu ada di tangan yang tepat," begitu kata pemilik rumah tersebut.Akhirnya disepa
Apakah kali ini Ucok akan berubah? Entahlah, akan tetapi melihat istrinya yang baik dan soleha, aku jadi yakin Ucok berada di tempat yang tepat."Kita pulang, Bang," kataku pada Bang Parlin. Saat itu sudah tiga hari kami di rumah Ucok."Lo, mana bisa pulang, Dek, urusan belum selesai, itu surat rumah nanti kan atas namamu," kata Bang Parlin."Masih lama lo, Bang?" kataku kemudian."Kan kata mereka lima belas hari, kita tunggu saja, pulang pun gak ada kegiatan di desa," kata Bang Parlin.Lima belas hari lagi di rumah Ucok kok rasanya tidak enak juga. Begini ternyata rasanya jika anak sudah menikah. Tinggal di rumahnya pun terasa menumpang. Pak Ali Akhir benar-benar bisa diandalkan, penipu itu akhirnya bisa ditangkap polisi, Ucok yang tadinya tahanan rumah kini sudah bebas murni. Entah bagaimana cara penyelesaian dengan warga karena uangnya ternyata sudah dia habiskan foya-foya di luar negeri."Dek, Abang pergi kuliah dulu ya," terdengar suara Ucok pagi itu, saat itu kami duduk-dudu
Saat Ucok pulang sore harinya, Bang Parlin malah ajak aku nguping pembicaraan Ucok dan Tania, rasanya kini terbalik, rasa kepo membuat kami jadi nguping."Bang, tadi Amanda datang,' kata Tania. Mereka sedang bicara' di dalam kamar. Aku dan Bang Parlin duduk dekat pintu."Oh, ngapain?""Abang diundang ke rumahnya, sama ibu juga, bapak juga," kata Tania lagi."Ngapain kira-kira ya?""Entahlah, Bang, terus apa Abang blokir nomornya?" tanya Tania lagi."Iya, Dek, Abang ingin lepas dari masa lalu, Abang tak ingin seperti ayah yang terjebak masa lalunya sampai sekarang," kata Ucok.Kulihat Bang Parllin, wajahnya seperti merah padam."Oh, makasih, Bang," "Oh, ya, kapan undangannya?' "Gak tau, Bang, lagian aku gak diundang," kata Tania."Lo, kok bisa gitu, masa suaminya diundang istrinya nggak, gak ngerti dia suami istri itu setubuh," kata Ucok."Abang genit," "Kok genit sih,""Masak bicara' setubuh, masih sore lo,"Bang Parlin lalu menarikku untuk menjauh dari pintu tersebut, dengan jalan
"Gitu Abang ya, tadi yang ngajak Abang, giliran kutanya, gak diajak, pake nenek-nenek segala," kataku kesal. "Itu pujian lo, Dek, jadi seorang nenek itu sebuah kebanggaan, gak semua orang bisa, makanya ada doa gini, semoga lenggang sampai kakek nenek, gitu," kata Bang Parlin lagi."Dahlah, capek," kataku kemudian."Cie, cie, marah ni ye," Bang Parlin malah menggoda.Hari Sabtu pagi, Tania masak nasi goreng, nasi goreng yang sederhana, bahkan menurutku terlalu sederhana, bagaimana tidak, nasi gorengnya bahkan tidak pakai minyak. Akan tetapi pakai kelapa parut. Nasi digonseng campur kelapa, lalu ditaburi garam dan bawang mentah yang sudah diiris Hanya begitu, baru kali ini lihat nasi goreng seperti ini.Tak sabar rasanya ingin mencicipi nasi goreng ala Tania ini."Wah, indan caok, warisan nenek moyang, dulu ini makanan favorit," kata Bang Parlin saat sudah dihidangkan. Bang Parlin malah memuji."Iya, Pak, saat mondok dulu sering makan seperti ini, gak ada lauk, hanya kelapa yang ada,"
PoV ButetBiasanya Sabtu Minggu aku pulang ke desa, akan tetapi kali ini tidak bisa pulang karena Mamak dan Ayah ke Jakarta, Bang Ucok ditangkap polisi karena terduga menipu tiga millar.Aku sudah lelah menghadapi ulah Bang Ucok, selalu saja cari masalah, dibilangin marah. Sudah sejak dia menikah kami tak bicara, bicara sekali justru marah-marah lagi padahal Kak Tania-istrinya hanya minta pendapat padaku."Tet, aku bingung, bagaimana menghadapi Bang Ucok, kamu kan tahu, kami dijodohkan," begitu Tania bicara lewat telepon."Oh, dia itu sebenarnya baik, Kak, cuma ada sedikit kelemahannya, satu dia tidak bisa menolak jika ada yang minta tolong," kataku kemudian."Lo, yang begitu kan bukan kelemahan?" kata Kak Tania."Eh, lupa, belum lengkap, dia tidak bisa menolak jika ada cewek cantik minta tolong," kataku memperjelas."Oh, harus cewek pula ya," "Iya, Kak, satu lagi kelemahannya, dia selalu ingin jadi nomor satu," kataku."Oh, itu ciri pejuang," "Iya, Kak, tapi dia kadang tidak ma
Ingin rasanya hari Minggu ini cepat berlalu saja, bosan sendiri di kos-kosan. Aku baru sadar, tiap Sabtu Minggu aku pulang ke desa, Sersan Hasan masih selalu datang, tentu saja Wulan yang terima. Apakah Wulan menikungku? Rasanya tidak, aku gak pacaran sama Sersan Hasan, apanya yang mau ditikung?Ataukah sudah saatnya aku harus membuka diri, akan tetapi pacaran tetap tidak akan kulakukan. Itu sudah komitmen yang kutanamkan dalam diri sejak beberapa tahun lalu. Sampai umur menjelang dua puluh tahun aku masih bisa tetap konsisten, biarpun jauh dari keluarga, biarpun semuanya teman pada pacaran.Aneh memang, ada temanku cerita, dia sudah pacaran sejak masih SD kelas enam, sampai umur dua puluh tahun, pacarnya sudah dua belas, saat kubilang aku tidak pacaran, dia sama sekali tidak percaya, katanya anak pesantren saja pacaran, Masa aku tidak.Kulihat jam masih pukul sebelas, masih lama lagi biar hari Senin, ingin cepat saja hari berganti. HP -ku berdering lagi, aku malas untuk melihat, past
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j