Aku dapat pekerjaan, ini seperti kembali' ke masa dulu, padahal sudah lama aku menikmati hidup tanpa memikirkan pekerjaan. Kali ini aku harus turun tangan, menteri sosial mau datang, Aku tentunya tak ingin sambutan untuknya kurang meriah.Kebetulan Butet dan Ucok masih di rumah, kami bekerja bersama, Bang Parlin mengurusi tenda dan panggung. Butet melatih anak-anak menyambut pejabat. Aku mengurus konsumsi. Saleh jadi andalan membuat kue. Sedangkan Ucok mengurus menghias desa.Dana penyambutan ternyata cukup banyak juga, cukup untuk segala keperluan, para pemuda dan pemudi desa dilibatkan. Sapi bantuan juga sudah mulai datang, penyerahan secara simbolis akan dilakukan oleh menteri sosial. Desa kami jadi ramai, sampai malam jam sepuluh sudah selesai semua. Saat pekerjaan sudah selesai datang serombongan pria berbaju loreng khas ormas. "Kami siap membantu keamanan, akan kami jaga panggung ini malam ini," kata seorang di antaranya. Bukan lagi Gulmat. Mungkin ini dari kota kabupaten."
Kulihat Bu menteri sampai bertepuk tangan menyaksikan Bang Parlin menjinakkan sapi. Bupati ikut bertepuk tangan. Para hadirin pun bertepuk tangan semua.Acara lanjut lagi, pemberian tali asih kepada keluarga korban yang meninggal. Aku tak sanggup melihat seorang pria yang istri dan dua anaknya tewas. Dia menangis, setelah menerima amplop dari Bu Menteri, Pria itu justru menghambur memeluk Bang Parlin yang berdiri di belakang Bu Menteri."Bang, Parlinn," katanya sambil terisak-isak.Bu menteri sampai ikut meneteskan air mata, Bang Parlin menepuk-nepuk pundak pria tersebut."Andaikan aku menuruti kata-kata Bang Parlin, ya, Allah," kata pria itu sambil sesunggukan."Sudah, sudah, semuanya sudah takdir Allah, kamu tidak salah, kamu benar, berjuang menyelamatkan keluarga, tapi apa boleh buat, Allah berkehendak lain, percayalah, kita dinilai Allah dari niatnya, kamu sudah berniat menyelematkan keluarga," Kata Bang Parlin seraya menepuk-nepuk punggung pria tersebut.Pria itu lalu dituntun Ba
Benar juga prediksi Bang Parlin, setelah banjir besar, ikan di sungai kembali normal. Kami makan siang di pinggir sungai. Ini acara tak terduga, semua karyawan kebun ikut. Bermula dari panen mulai pagi, siangnya sudah melangsir sawit. Saat mau makan siang, para supir truk dan kernetnya ternyata mau ikut makan, tentu saja lauknya kurang. Jadilah Bang Parlin dapat ide, makan di pinggir sungai kali ini. Setelah tidak ada kegiatan Bang Parlin memang sering merawat sungai itu. Ada bubuh dipasang Bang Parlin. Bubuh adalah perangkat ikan yang terbuat dari bambu. Dikasih umpan dan diletakkan di dasar sungai. Ini seperti pesta saja, ada sekitar dua puluh orang, memang rejekinya mereka, bubuh pun dapat banyak ikan. Cara masaknya sederhana saja, ikan dibersihkan lalu dipanggang di pinggir sungai. Bumbunya pun sederhana saja, hanya cabe, garam dan kecap. Akan tetapi terasa nikmat sekali. Para Bapak-bapak supir ambil petai china untuk lalapan."Buat restoran aja sini, Bu, menunya ikan sungai
Lama kutunggu jawaban Bang Parllin, akan tetapi dia tetap diam, matanya lurus melihat ke langit-langit kamar. Keningnya berkerut, seperti ada yang dia pikirkan."Manopause itu apa, Dek?" tanyanya kemudian."Ya, ampun, sampai satu menit aku tunggu jawaban Abang, justru gak tau apa yang dibahas," kataku sedikit kesal."Abang lagi berpikir apa itu manopause, seperti pernah dengar tapi lupa apa artinya,""Abang dengar dari mana?""Itulah yang Abang lupa itu, Dek," "Manopause itu, Bang, di mana seorang wanita tidak lagi datang bulan, tidak lagi bisa hamil, tidak lagi... basah," kataku kemudian."Oh, gitu,""Iya, Bang, mulai saat ini Aku tak bisa layani Abang lagi, gak ada lagi naik jabatan, hak ada lagi mendaki gunung, gak ada lagi garap sawah," kataku."Waduh!""Itulah, Bang, sekarang aku tidur dulu," kataku sambil berbalik.Entah kenapa aku jadi mudah tersinggung, kurang menikmati hubungan dengan suami. Ini mungkin gejala-gejala manopause. Entah bagaimana dengan suamiku selanjutnya, sem
"Kami ke kota dulu, Bang," Aku permisi pada Bang Parlin pagi itu."Ngapain?""Urusan ibu-ibu,""Oh, paling belanja, yuk kuantar," kata Bang Parlin lagi."Gak usah, Bang, kami pergi sendiri,""Lo, mau ngapain, dicurigai ini," Bang Parta ikut bicara."Pokoknya urusan emak-emak, bapak-bapak di rumah dulu," kata Rina."Ah, gak beres nih emak-emak setengah abat," Kata Bang Parta sambil tertawa."Udah, aku yang antar," kata Bang Parta lagi."*Gak usah, aku bisa nyetir sendiri kok," Kak Sofie ikut bicara."Lo, makin mencurigakan ini, selama ini kan kita selalu pergi berdua?" kata Bang Parta kemudian.Aduh, bagaimana lagi harus kubilang biar para Siregar ini percaya. Akhirnya aku tarik Bang Parlin menjauh."Bang, kami ke kota mau bawa kakak berobat, ini penyakit perempuan, bapak-bapak gak usah ikut dulu," kataku."Ah, kamu pun Dek, ikut-ikutan aneh, jika seorang istri sakit, tentu suaminya yang paling tahu, dia yang bawa berobat, bukan adik iparnya," kata Bang Parlin."Aduh, gimana ya bila
Di dalam kamar, aku ganti baju, pakaian aneh yang baru kami belanjakan tadi kupakai. Ini saran Kak Sofie, aku jadi merasa lucu sendiri membayangkan istrinya Bang Nyatan memakai baju itu, Kak Shofie juga beli satu untuknya."Ada gempa kah?" tanya Bang Parlin."Kok gempa?""mungkin kepalamu terbentur, Dek, tumben pake baju gitu?" kata Bang Parlin lagi."Abang ini gak menghargai usahaku ya?" aku jadi kesal sendiri. "Usaha apa ya, Dek, biar Abang naik lalu dihempas gitu?""Udah, diam saja dulu," kataku sambil memulai. Biarpun katanya meminta sama suami itu berpahala, akan tetapi itu sesuatu yang sangatlah jarang kulakukan. Bisa dikatakan tak pernah, kali akan kulakukan, sesuai saran dokter dan Kak Sofie. Akhirnya malam itu tuntas juga, Bang Parlin tersenyum, aku juga tersenyum, ternyata manopause bukan berarti berhenti berhubungan, masih ada gai--rah biarpun tak seperti dulu.Pagi harinya saat aku keluar hotel, Aku melihat istrinya Bang Nyatan rambutnya sepertinya habis keramas. Lucuny
Desa kelahiran Bang Parlin jadi ramai, di desa ini ada kemalangan pun biasanya potong lembu. Ini sudah seperti tradisi tak tertulis. Konon dahulu rumah makan tidak ada di desa, pelayat datang dari segala arah. Dipotong lah lembu untuk konsumsi pelayat yang datang, sekalian untuk konsumsi tukang gali kubur dan sebagainya.Apakah keluarga yang kemalangan tidak keberatan memberi makan orang banyak. Jawabannya tidak, karena yang kerjakan bukan keluarga inti, akan tetapi masyarakat desa dan tetangga. Biayanya diambil dari iuran tetangga. Ada STM (Serikat tolong menolong) biasanya jika ada yang kemalangan seluruh warga desa akan mengumpulkan uang .Sedangkan berasnya berasal dari orang yang takziah, jika seorang ibu-ibu pergi melayat, dia bawa satu baskom kecil beras. Biasanya akan terkumpul beras yang cukup untuk makan orang sekampung selama tiga hari. Ditambah lagi biasanya hampir setiap keluarga punya ternak lembu di desa ini. Rumah peninggalan orang tua Bang Parlin jadi tempat disemay
Bang Parlin sepertinya hanya demam biasa, akan tetapi karena jarang sakit itu dia sepertinya manja dan cengeng. Sedikit-sedikit ngomongin mati. "Dek, Abang ingin buat wasiat," kata Bang Parlin, saat itu aku lagi memberikan obat-obatan yang dapat dari bidan desa."Wasiat apa, Bang,""Gini, Dek, begitu Abang meninggal, warisan harus dibagi,""Aduh, aku gak mau dengar, Bang," kataku."Ini serius, Dek,""Gimana mau bagi warisan, si Cantik masih tiga tahun," kataku kesal."Itulah, gimana ya, tapi menurut hukum agama, begitu seseorang itu meninggal, harta warisannya harus dibagi," kata Bang Parlin lagi."Gak Bang, aku gak mau dengar," jawabku."Biarpun gak mau dengar Abang tetap katakan, seluruh harta dibagi, seperdelapan untuk kamu, lebihnya untuk anak-anak, anak laki-laki dapat dua bagian, perempuan satu bagian, jadi misalnya harta semua delapan juta, satu jutu untuk kamu, tujuh juta lagi untuk anak-anak, mereka bagi lagi, dua bagian untuk Ucok, satu bagian untuk Butet dan Cantik, gitu a
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j