Desa kelahiran Bang Parlin jadi ramai, di desa ini ada kemalangan pun biasanya potong lembu. Ini sudah seperti tradisi tak tertulis. Konon dahulu rumah makan tidak ada di desa, pelayat datang dari segala arah. Dipotong lah lembu untuk konsumsi pelayat yang datang, sekalian untuk konsumsi tukang gali kubur dan sebagainya.Apakah keluarga yang kemalangan tidak keberatan memberi makan orang banyak. Jawabannya tidak, karena yang kerjakan bukan keluarga inti, akan tetapi masyarakat desa dan tetangga. Biayanya diambil dari iuran tetangga. Ada STM (Serikat tolong menolong) biasanya jika ada yang kemalangan seluruh warga desa akan mengumpulkan uang .Sedangkan berasnya berasal dari orang yang takziah, jika seorang ibu-ibu pergi melayat, dia bawa satu baskom kecil beras. Biasanya akan terkumpul beras yang cukup untuk makan orang sekampung selama tiga hari. Ditambah lagi biasanya hampir setiap keluarga punya ternak lembu di desa ini. Rumah peninggalan orang tua Bang Parlin jadi tempat disemay
Bang Parlin sepertinya hanya demam biasa, akan tetapi karena jarang sakit itu dia sepertinya manja dan cengeng. Sedikit-sedikit ngomongin mati. "Dek, Abang ingin buat wasiat," kata Bang Parlin, saat itu aku lagi memberikan obat-obatan yang dapat dari bidan desa."Wasiat apa, Bang,""Gini, Dek, begitu Abang meninggal, warisan harus dibagi,""Aduh, aku gak mau dengar, Bang," kataku."Ini serius, Dek,""Gimana mau bagi warisan, si Cantik masih tiga tahun," kataku kesal."Itulah, gimana ya, tapi menurut hukum agama, begitu seseorang itu meninggal, harta warisannya harus dibagi," kata Bang Parlin lagi."Gak Bang, aku gak mau dengar," jawabku."Biarpun gak mau dengar Abang tetap katakan, seluruh harta dibagi, seperdelapan untuk kamu, lebihnya untuk anak-anak, anak laki-laki dapat dua bagian, perempuan satu bagian, jadi misalnya harta semua delapan juta, satu jutu untuk kamu, tujuh juta lagi untuk anak-anak, mereka bagi lagi, dua bagian untuk Ucok, satu bagian untuk Butet dan Cantik, gitu a
Perjalanan kami lanjut lagi mencari orang sakit yang benar-benar butuh bantuan. Keliling kota kecil ini tak butuh waktu lama, kami sudah putari semua, akan tetapi belum bertemu juga, sampai akhirnya kami lelah sendiri. Entah kenapa Bang Parlin maunya seperti itu, harus diberikan kepada orang yang betul-betul sakit' dan tidak mampu membiayai pengobatan. Padahal biasanya jika kami memberikan Zakat itu kepada orang yang mau buka usaha."Bang, seperti biasa saja kenapa, orang yang butuh modal banyak, sampai banyak yang terjebak rentenir," kataku kemudian."Kali ini khusus orang yang sakit, Dek," jawab Bang Parlin.Kami akhirnya kembali ke hotel untuk istirahat, Butet membawa Cantik pulang ke tempat kostnya. Kami berduaan lagi dengan Bang Parlin."Susah kali mengemban amanah, Dek?" kata Bang Parlin, saat itu kami sudah berada di kamar hotel."Iya, Bang, karena itu aku mundur dari jabatan wakil bupati," kataku kemudian."Untuk cari orang sakit yang gak mampu pun berat sekali,' kata Bang
PoV UcokBelakangan ini ada saja kejadian di kampung yang membuat aku harus pulang kampung. Mulai dari banjir besar, konon banjir terbesar dalam sejarah terjadi di desa. Ayah dan mamak sudah merasa bersalah karena tak mampu mencegah orang pergi. Aku harus pulang, saat kembali' aku bawa teman. Udin mamanya. Teman yang istimewa.Aku suka Udin ini, dia selalu mengikuti ke mana kupergi, jika aku kuliah, dia jaga mobilku di parkiran, jika aku ke mesjid, dia ikut salat dan selalu di belakangku. Aku membelikan dia pakaian yang layak. HP juga kubelikan. Dari luar dia tidak seperti orang yang keterbelakangan mental. Baru ketahuan setelah dia bicara. Pernah suatu hari dia pukuli orang yang coba ambil kaca spion mobilku. Saat itu aku parkir di depan mini market, dia tidak ikut masuk karena kusuruh jaga mobil. Saat ada pencuri kaca spion mobil, dia dengan cepat menangkap dan memukuli pencuri, dia tak membiarkan pencuri itu lari. Ada musibah lagi, Uwak Nyatan meninggal dunia, aku harus pulang,
Untuk sesaat hening, tidak ada jawaban dari Amanda, ataukah dia sudah menikah? "Kita kopi darat saja," kata Amanda."Ok, kapan dan di mana?" tanyaku kemudian.Amanda kemudian menyebutkan tempat ngopi, sepertinya kafe mahal, akan tetapi kuiyakan juga, waktunya juga sudah ditetapkan. Hari Sabtu jam empat sore.Kembali' teringat kenangan bersama Amanda, gadis pertama yang aku sukai, dulu kami sering nonton film India di rumahnya. Amanda lebih tua dariku satu tahun, saat ini umurnya pasti sudah dua puluh dua. Teringat juga dulu dia titipkan kucing, akan tetapi aku tidak mau menerima. Ah, terlalu banyak kenangan pada gadis cantik tersebut. Akan tetapi terakhir aku kecewa padanya karena konon dia kuliah di Australia dan satu rumah bersama Lindung. Oh ya, bagaimana kira-kira kabar Lindung sekarang, dia saudaraku, akan tetapi lain ayah dan lain ibu. "Cok, mamak dan ayah sudah dapat yang cocok, " kata mamak lewat telepon malam itu, saat itu malam Sabtu, keesokan harinya ada janji berte
Aku terkejut mendengar perkataan Om Hermansyah, Childfree? Pernah kami bahas di kampus masalah itu, konon penganut child free sudah mulai banyak di Indonesia. Paham yang dibawa oleh orang yang kuliah di luar negeri, tak kusangka Amanda ikut berpaham seperti itu. Ini sungguh di luar prediksi, padahal aku mau nikah untuk memberikan cucu pada ayah, sementara calonnya ternyata tak mau punya anak? "Cok, kok malah melamun?" tanya Om Hermansyah."Iya, Om,""Aku yakin kamu bisa mengubahnya, aku tersiksa, sudah istri tak ada, anak tak mau punya anak, bagaimana hari tuaku nanti, aku juga ingin momong cucu, ada anakku satu lagi, itu pun tak mau punya anak, menyesal aku menyekolahkan mereka di Australia," kata Om Hermansyah."Sejak kapan dia berpaham seperti itu, Om?" tanyaku kemudian."Tiga tahun belakangan, dia bahkan ikuti komunitasnya, mereka ngeri," "Wah?""Tapi saya yakin kamu bisa, ini ladang dakwah untukmu, jika bisa membuat Amanda punya anak, Saya akan sangat berterima kasih sekali,
Di satu sisi Om Hermansyah benar, ini tantangan dakwah, jika aku bisa membuat Amanda sadar, ini prestasi yang bisa dibanggakan. Apapun alasan mereka menurutku perilaku seperti itu manyalahi kodrat manusia. Pilihan mereka benar-benar salah.Mamak kembali menelepon menanyakan perkembangan, aku tidak tahu harus bilang apa, sudah empat yang ditunjukkan mamak, tak ada yang cocok kurasa. Entah kenapa aku punya kriteria tinggi memilih teman, apalagi ini untuk memilih pendamping hidup. "Bagaimana, Cok?" tanya mamak."Masih pendekatan Mak,""Kau sudah kenal dia dari kecil, pendekatan lagi?" tanya mamak."Ya, gitulah, Mak," "Udah minta nomornya Om Hernyet?" tanya mamak lagi."Aduh, lupa, Mak, udah, tenang saja mamak, aku yang urus semua, cari calonnya, cari maharnya, aku semua, mamak sama ayah tinggal terima beres," kataku. Tentu aku jadi khawatir Om Hermansyah bicara' sama mamak. Nanti mamak tahu bagaimana Amanda, aku akan dapat ceramah panjang lebar.Makin ke sini, aku jadi makin merasa, ce
Aku terhenyak mendengar perkataan Amanda, aku sudah meninggalkan salat ashar, padahal biasanya sepenting apa pun urusan salatku tak pernah tinggal. Apakah aku terlena.Udin? Ya, Allah, aku sudah menyuruhnya pulang duluan, kebahagiaan Udin hanya jika bisa mengikuti orang, kini kusuruh dia pulang sendiri. Rasanya aku lah yang dipengaruhi Amanda, bukan Amanda yang bisa kupengaruhi.Kupacu motor dengan cepat, ingin segera pulang ke rumah, tunaikan Salat isya dan bertemu Udin. "Pelan-pelan saja," kata Amanda saat motor tua itu kukebut."Aku harus cepat," kataku kemudian.Karena rumahku yang lebih dulu dapat baru rumah Amanda, aku langsung ke rumah, Amanda juga ikut. "Udin!" teriakku begitu sampai rumah.Tak ada sahutan, biasanya dia duduk di kursi kayu teras rumah. Aku berlari melihat' kamarnya, kosong. Ya, Allah. Kemanakah Udin.Coba bertanya ke penghuni kos-kosan, kata mereka Udin pergi dengan jalan kaki.Kuambil HP, coba telepon Udin, percuma, dia tak pernah tahu menggunakan HP, dia