Hari ini Gavin pulang lebih malam dari biasanya, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga larut. Ia sudah memarkir mobilnya di area parkir apartemen dan bergegas menuju kamarnya di lantai tiga.
Usai keluar dari lift, Gavin bergegas berjalan menyusuri lorong di lantai tiga tempat kamarnya berada. Kamar nomor tiga kosong tiga sudah berada di depannya. Gavin mengeluarkan kartu dari sakunya kemudian menempelkan di bagian pintu. Tak lama kemudian pintu sudah terbuka.
Suasana gelap dan sunyi yang terasa begitu Gavin menapakkan kakinya di kamar. Ia sedikit curiga, tidak seperti biasanya suasana kamar apartemennya sesuram ini. Apa telah terjadi sesuatu dengan Yeni hingga dia memadamkan semua lampu dan keadaan kamar juga sama seperti saat ia berangkat tadi.
Gavin bergegas melangkah menuju kamar tidurnya. Sama halnya dengan keadaan di luar tadi, suasana kamar tidurnya juga tampak suram.
“Sayang ... ,” panggil Gavin sambil meringsek masuk ke kamar
Pagi ini suasana meeting di kantor Alya sedikit tegang, entah mengapa mulai dari awal meeting sampai meeting berakhir Alya terus uring-uringan. Ia membuat semua orang yang hadir dalam rapat tampak kesal seakan semua hasil pekerjaan yang dilaporkan hari ini salah di mata Alya. Bahkan Rendi, sahabatnya juga terkena imbas amukan Alya.“Ren, bosmu kenapa sih pagi-pagi udah uring-uringan kayak gitu. Salah makan atau gimana?” cetus Pak Basri salah satu supervisor yang ikut meeting. Mereka berani berbincang tentang Alya, begitu Alya keluar dari ruang meeting.Rendi hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu, Pak. Biasa cewek, lagi PMS mungkin,” seloroh Rendi asal.“Eh iya, betul-betul. Kenapa aku gak kepikiran itu? Lebih baik seharian ini jaga jarak sama Bu Alya, deh,” putus Pak Basri yang diiyakan dengan anggukan Rendi.“Eh, Don. Kok sendirian, bosmu mana?” tanya Rendi begitu melihat Doni,
“Jadi beneran, Al. Yeni hamil?” tanya Bu Aminah sore itu begitu Alya baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu.Alya hanya menghela napas sambil meletakkan tas kerjanya dengan asal.“Tahu dari mana, Ibu?” kata Alya balik tanya.“Tadi barusan kakakmu telepon. Dia bilang kalau Yeni hamil dan tadi pagi baru saja memeriksakannya ke dokter,” terang Bu Aminah.Alya hanya diam kemudian menganggukkan kepala dengan lesu. Dia sudah duduk menghempaskan pantatnya di sofa ruang tamu.“Kalau gitu besok antar ibu ke apartemennya ya, Al? Ibu ingin lihat keadaan Yeni,” imbuh Bu Aminah.“Akh ... Alya pingin tidur seharian besok, Bu. Capek,” tolak Alya.Bu Aminah langsung cemberut dan duduk di samping Alya.“Alah cuman sebentar ini, Al. Ibu seneng banget, Al. Sepertinya keinginan ibu untuk menimang cucu segera terlaksana,” urai Bu Aminah kegirangan.Alya hanya diam
“Vin!!”Gavin terjingkat kaget. Ia buru-buru mundur melepas rengkuhannya pada tubuh Alya dan bergegas berlalu pergi menuju arah suara yang memanggil.Alya hanya diam di tempatnya, menunduk sambil mengulum senyum kemenangan.‘Akh ... sepertinya ada yang merindukan kecupanku. Kenapa gak bilang saja sih, Mas? Aku pasti dengan senang hati memberikannya,’ batin Alya masih dengan kuluman senyum.“Iya, Bu!” sahut Gavin sambil memunculkan wajahnya ke kamar.“Tadi ibu beli jeruk banyak, coba kamu buatkan Yeni jeruk peras hangat biar gak mual terus,” pinta Bu Aminah sambil sibuk memijat Yeni yang tampak lesu.Gavin mengangguk dan sudah bersiap balik kembali ke dapur. Namun, baru beberapa langkah Bu Aminah memanggilnya lagi.“Vin, suruh Alya membantumu biar gerak dikit anak itu dari tadi ingin tidur saja,” imbuh Bu Aminah.Gavin hanya mengangguk sambil berlalu pergi.
Alya keluar dari lift dengan senyum mengembang dan langkah ringan setengah meloncat kegirangan. Ia sibuk memainkan kunci yang sudah berada di tangannya.“Sudah ketemu, Al?” tanya Bu Aminah begitu Alya mendekat.“Iya, sudah, Bu,” jawab Alya sambil berjalan menuju mobil.“Makanya kamu jangan teledor naruhnya. Memang di mana tadi ketemunya?”“Hmm ... di rak TV,” kata Alya asal menjawab. Padahal sedari tadi kunci mobilnya ada di saku celana Alya. Dia memang sengaja mencari alasan untuk kembali lagi ke apartemen Gavin tanpa ibunya.“Yuk, Bu. Kita pulang, aku mau tidur dan mimpi indah,” seloroh Alya masih dengan senyum mengembang di raut manisnya.Bu Aminah hanya menggelengkan kepala melihat ulah Alya ini.Sementara itu, Gavin masih terdiam di balik pintu apartemennya usai Alya pulang tadi. Entah ini kesalahannya yang keberapa kali harus berciuman kembali dengan Alya.&ldquo
Sudah hampir satu bulan ini, Yeni sudah bisa beraktivitas normal lagi. Dia juga sudah tidak muntah sesering dulu bahkan napsu makannya mulai bertambah. Yang membuat Gavin repot lagi, Yeni selalu bangun tengah malam dan minta dibelikan makanan yang aneh-aneh.Seperti malam ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Gavin baru saja tertidur satu jam yang lalu. Dia memang sengaja membawa kerjaannya ke rumah untuk menghindari lembur. Dia tidak tega harus meninggalkan Yeni terlalu lama sendirian.Yeni yang sudah tidur sejak sore tadi membuka matanya perlahan, ia meregangkan tangan sambil melirik ke arah samping tempat suaminya terlelap.Yeni mengulum senyum sambil berulang menjentik hidung suaminya yang tampak runcing tinggi menjulang.“Hmm ... ganteng banget sih suami aku. Semoga saja si dedek kalau cowok nurun kegantengan papanya,” gumam Yeni sambil berulang mengelus perutnya.Ia masih sibuk menyusur wajah Gavin yang tampak ti
“Alya mana, Rin?” tanya Gavin siang itu kepada Rini, asisten Alya.“Ada di dalam, Pak. Tadi saya lihat lagi telponan,” jawab Rini dengan sopan.Gavin manggut-manggut sambil melirik jam di tangannya.“Kamu gak makan siang?” lagi Gavin bertanya.“Iya, ini saya mau keluar makan. Tadi sudah izin Bu Alya juga,” urai Rini.“Ya sudah kalau gitu. Aku masuk ke dalam dulu,” pamit Gavin sambil berjalan menuju ruangan Alya. Sedangkan Rini hanya menganggukkan kepala sembari bersiap keluar makan siang.Gavin mengetuk beberapa kali lalu membuka pintu ruang kerja Alya perlahan. Ia melihat Alya sedang berbicara di telepon sambil berdiri di dekat jendela. Alya sempat tersenyum dan mengangguk seakan menyuruh Gavin masuk ke ruangannya.Gavin langsung duduk di kursi depan meja kerja Alya. Ia hanya diam memperhatikan Alya yang sedang berbicara serius di telepon.“Iya baik, Pak. Saya a
Gavin buru-buru memarkir mobilnya dan tergesa turun begitu sampai di tempat tujuan. Sebuah pub sedikit jauh dari apartemennya, beda dengan pub yang kemarin malam. Gavin masuk ke dalam pub itu dengan celingukan hingga tiba-tiba seorang gadis berambut pendek menepuk bahunya.“Kakaknya Alya?” tanya gadis itu sambil tersenyum ramah.“Iya. Mana Alya?” kata Gavin balik bertanya.“Itu, Kak. Di sana!” tunjuk gadis itu ke sebuah sofa.Gavin menggelengkan kepala saat melihat Alya sudah tertidur di sofa tersebut. Padahal selama ini Gavin tidak pernah melihatnya mabuk seperti ini. Mengapa akhir-akhir ini Alya semakin sering hang out ke pub dan parahnya pakai acara mabuk lagi.“Memangnya kalian ke sini untuk mabuk-mabukan?” sergah Gavin sedikit marah.Gadis berambut pendek itu terdiam dan menggeleng.“Sebenarnya kami gak pernah mabuk-mabukan kok, Kak. Hanya tadi Alya tampak suntuk katanya banya
Sesuai janji Gavin, pagi sekali dia sudah berangkat kerja dan mampir ke apartemen Alya. Alya yang baru saja bangun dan usai mandi tergopoh membukakan pintu kabin apartemennya.“Mas Gavin!!” seru Alya.Gavin hanya diam mematung di depan pintu. Dia terkejut melihat Alya yang hanya mengenakan bathrobe dengan handuk yang melilit rambutnya.“Kamu baru bangun?” tanya Gavin.“Iya. Kepalaku pusing banget semalem,” jawab Alya dengan cengengesan.Gavin hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala lalu sudah menyerbu masuk ke dalam apartemennya. Alya hanya tersenyum dan mengikuti langkah kakaknya itu.“Aku belikan sarapan tadi. Kamu suka bubur ayam, ‘kan?” ucap Gavin sambil meletakkan bubur ayam di atas meja makan seraya menyiapkan alat makannya.Alya hanya mengangguk sambil tersenyum.“Makasih ya, Mas. Aku ganti baju dulu terus kita sarapan bareng,” kata Alya sambil be
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.Alya tersen
Sudah hampir sepekan sejak peristiwa heboh pertengkaran Alya dan Yeni di kantor, sejak hari itu juga gosip dan rumor aneh-aneh semakin berkembang cepat dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya selalu menyalahkan pihak ketiga alias sang pelakor yang notabene dalam hal ini adalah Alya. Setiap kesempatan di kantor, Alya selalu dikucilkan. Para karyawan dari bawahan hingga setaraf manager sibuk menggunjingkan dirinya. Bahkan Alya sekarang tidak pernah melakukan meeting pagi.Dia memang masih berangkat ngantor namun hanya diam di dalam ruangannya sibuk mengerjakan tugasnya. Datang lebih awal dan pulang paling terakhir. Alya tidak tahan dengan gunjingan dan rumor yang terus menjelekkan namanya, jadi dia lebih memilih berdiam di ruangan saja. Hal yang sama lebih parah menimpa Gavin, dia malah tidak masuk kerja hingga beberapa hari.Gavin benar-benar depresi, belum habis dukanya akan kehilangan Putri dan penyesalan mendalam ditambah kini keadaan kantor yang semakin tidak nyaman. Se
Sudah hampir dua hari berselang dan Gavin selalu melalui hari yang sama, berangkat kerja, parkir di tempat biasa lalu naik lift harus bersamaan dengan para karyawan yang terus sibuk membicarakannya. Seperti pagi ini, padahal Gavin sudah berniat berangkat pagi agar tidak satu lift dengan para karyawan tukang ghibah itu. Namun, ternyata dia salah. Gavin kembali bertemu dengan karyawan tukang ghibah tadi.“Selamat pagi, Pak!” sapa salah satu dari karyawan yang suka ghibah itu. Gavin hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi di hari yang beda dia bertemu dengan orang yang menyebalkan.Hanya lima orang karyawan yang pangkatnya supervisor dan asisten manager sudah berada bersama Gavin di dalam lift tersebut. Kembali lima orang itu sudah kasak kusuk sambil sesekali melirik Gavin.“Pak ... kok sekarang jarang bareng sama Bu Alya. Emang sudah gak sama Bu Alya lagi?” tanya salah satu dari mereka. Gavin hanya diam menghela napas panjang.
“CABUT UCAPANMU ITU, YENI!!!” sentak Gavin penuh amarah. Yeni hanya diam dan berdiri menantang Gavin seakan siap kalau Gavin hendak memukulnya.“Jangan pernah sekalipun menyumpahi anak yang sedang dikandung Alya. Aku memang lebih mencintai Alya daripada kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu yang membuatku seperti itu. Kamu sendiri yang menjauh saat aku ingin dekat. Kamu yang membuka lebar pintu untuk aku menikah lagi. Aku harap kamu bisa belajar menelaah kini,” pungkas Gavin.Dia sudah membalikkan badan dan bergegas pergi meninggalkan Yeni. Sontak Yeni panik, dia ikut membalikkan badan dan mengejar Gavin.“Mas!! Kamu mau ke mana? Apa kamu mau ke Alya dan minta jatah pelayanannya lagi? MAS!!!” teriak Yeni penuh amarah. Gavin tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian sudah pergi meninggalkan rumahnya.Yeni semakin kacau, ia menyesal melepas tawaran Irwan saat itu. Hanya karena ingin memperbaiki rumah tangganya,
Gavin terdiam sambil menatap jasad yang sudah ditutupi kain berwarna putih. Usai menerima telepon dari Bu Aminah tadi, Gavin sangat shock. Dengan bergegas dia melarikan mobilnya ke rumah sakit dan kini dia sudah berdiri mematung di hadapan jasad buah hati kesayangannya.Gavin menyesal tidak berada di sampingnya saat Putri merenggang nyawa, Gavin menyesal tidak melihat Putri untuk terakhir kali. Dia sudah egois, mementingkan kebutuhan biologisnya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.Hanya terdiam mematung tanpa bicara dan tanpa tangisan airmata yang dilakukan Gavin kini. Dia tidak bisa protes kepada siapa pun tentang hal ini. Dia juga tidak bisa bertanya bagaimana kondisi terakhir putrinya itu sesaat sebelum meninggal. Ini adalah penyesalan Gavin terbesar dan untuk pertama kali dia merasa gagal. Ia gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami dan juga gagal sebagai lelaki. Tiga predikat itu telah melekat di namanya kini.Yeni berjalan menghampiri Gavin yang m
Sinar mentari pagi sudah menerobos masuk tanpa sopan menembus tirai kamar tempat Gavin terpulas. Matanya langsung mengerjap begitu sinar mentari yang hangat ini menyentuh tubuhnya. Dilihat ke samping kasur, sudah tidak ada Alya di sana. Gavin mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Gavin menyimpulkan kalau istri keduanya itu pasti sedang mandi.Gavin mengulum senyum sambil menyibak selimut dan memakai boxernya dengan sembarang. Gavin berjalan berjingkat menuju kamar mandi. Dia ingin meminta bonus tambahan kali ini ke sang Istri. Gavin selalu kecanduan jika sudah melakukan dengan Alya. Tubuh dan pesona Alya seakan terus menghipnotis dirinya dan tak bisa lepas begitu saja.CEKLEKTepat dugaan Gavin, Alya tidak mengunci pintu kamar mandi. Gavin mengulum senyum saat melihat siluet tubuh istrinya sedang berdiri di bawah shower tertutup tirai mandi. Seketika onderdil penting miliknya langsung berdiri menjulang siap menerjang kembali. Pelan Gavin berjalan mendeka
Alya tersenyum sambil menatap pria tampan di sampingnya yang sekarang sibuk mengendarai kendaraan mengurai kemacetan sore ini. Mobil Gavin sudah melaju cepat, tetapi sama sekali tidak mengarah ke rumah Bu Aminah ataupun apartemen mereka berdua. Gavin sudah mengarahkannya ke rumah mereka di tepi pantai yang terletak di luar kota.“Kita ke rumah pantai lagi, Mas?” Alya bertanya. Gavin mengangguk sambil tersenyum.“Iya, aku tidak ingin kamu cemas, Al. Lebih baik kamu beristirahat beberapa hari di sana sampai keadaan di kantor kondusif. Lagipula kerjaan di kantor bisa dihandle Rini dan Rendy,” urai Gavin kemudian. Alya hanya tersenyum sambil manggut-manggut.“Terus Mas Gavin sendiri ke mana? Aku akan ditinggal sendiri di sana? Sama juga bohong dong, Mas,” dumel Alya sambil memajukan seluruh bibirnya ke depan. Gavin tersenyum. Gemas memperhatikan ulah istri mudanya itu.“Jangan khawatir, Babe. Aku temani, kok. Aku akan
Gavin sibuk memainkan kakinya. Dia gelisah karena operasi Putri belum juga usai. Sudah hampir pukul dua siang dan belum ada tanda-tanda operasi itu selesai. Sesekali Gavin menoleh ke arah Yeni yang tampak duduk terdiam sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Gavin tahu kalau Yeni juga sama gelisahnya dengan dia kali ini.Gavin berdiri hendak mendekat ke arah Yeni kemudian tiba-tiba lampu di atas pintu padam dan tak lama pintu terbuka. Gavin menghela napas lega saat melihat beberapa suster sudah mendorong ranjang tidur rumah sakit tersebut. Gavin dan Yeni bergegas mengikuti.“Bagaimana keadaannya, Sus? Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Gavin penasaran. Suster hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar Gavin tenang.“Kita tunggu ya, Pak. Nanti setelah diobservasi baru tahu keadaan adek,” jawab suster itu diplomatis. Gavin mengangguk kemudian dia tiba-tiba menghentikan langkah tidak mengikuti dua suster dan Yeni yang mengiringi Putri tadi. Ponselnya sudah berdering nyaring dan Gavin te