Sudah hampir satu bulan ini, Yeni sudah bisa beraktivitas normal lagi. Dia juga sudah tidak muntah sesering dulu bahkan napsu makannya mulai bertambah. Yang membuat Gavin repot lagi, Yeni selalu bangun tengah malam dan minta dibelikan makanan yang aneh-aneh.
Seperti malam ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Gavin baru saja tertidur satu jam yang lalu. Dia memang sengaja membawa kerjaannya ke rumah untuk menghindari lembur. Dia tidak tega harus meninggalkan Yeni terlalu lama sendirian.
Yeni yang sudah tidur sejak sore tadi membuka matanya perlahan, ia meregangkan tangan sambil melirik ke arah samping tempat suaminya terlelap.
Yeni mengulum senyum sambil berulang menjentik hidung suaminya yang tampak runcing tinggi menjulang.
“Hmm ... ganteng banget sih suami aku. Semoga saja si dedek kalau cowok nurun kegantengan papanya,” gumam Yeni sambil berulang mengelus perutnya.
Ia masih sibuk menyusur wajah Gavin yang tampak ti
“Alya mana, Rin?” tanya Gavin siang itu kepada Rini, asisten Alya.“Ada di dalam, Pak. Tadi saya lihat lagi telponan,” jawab Rini dengan sopan.Gavin manggut-manggut sambil melirik jam di tangannya.“Kamu gak makan siang?” lagi Gavin bertanya.“Iya, ini saya mau keluar makan. Tadi sudah izin Bu Alya juga,” urai Rini.“Ya sudah kalau gitu. Aku masuk ke dalam dulu,” pamit Gavin sambil berjalan menuju ruangan Alya. Sedangkan Rini hanya menganggukkan kepala sembari bersiap keluar makan siang.Gavin mengetuk beberapa kali lalu membuka pintu ruang kerja Alya perlahan. Ia melihat Alya sedang berbicara di telepon sambil berdiri di dekat jendela. Alya sempat tersenyum dan mengangguk seakan menyuruh Gavin masuk ke ruangannya.Gavin langsung duduk di kursi depan meja kerja Alya. Ia hanya diam memperhatikan Alya yang sedang berbicara serius di telepon.“Iya baik, Pak. Saya a
Gavin buru-buru memarkir mobilnya dan tergesa turun begitu sampai di tempat tujuan. Sebuah pub sedikit jauh dari apartemennya, beda dengan pub yang kemarin malam. Gavin masuk ke dalam pub itu dengan celingukan hingga tiba-tiba seorang gadis berambut pendek menepuk bahunya.“Kakaknya Alya?” tanya gadis itu sambil tersenyum ramah.“Iya. Mana Alya?” kata Gavin balik bertanya.“Itu, Kak. Di sana!” tunjuk gadis itu ke sebuah sofa.Gavin menggelengkan kepala saat melihat Alya sudah tertidur di sofa tersebut. Padahal selama ini Gavin tidak pernah melihatnya mabuk seperti ini. Mengapa akhir-akhir ini Alya semakin sering hang out ke pub dan parahnya pakai acara mabuk lagi.“Memangnya kalian ke sini untuk mabuk-mabukan?” sergah Gavin sedikit marah.Gadis berambut pendek itu terdiam dan menggeleng.“Sebenarnya kami gak pernah mabuk-mabukan kok, Kak. Hanya tadi Alya tampak suntuk katanya banya
Sesuai janji Gavin, pagi sekali dia sudah berangkat kerja dan mampir ke apartemen Alya. Alya yang baru saja bangun dan usai mandi tergopoh membukakan pintu kabin apartemennya.“Mas Gavin!!” seru Alya.Gavin hanya diam mematung di depan pintu. Dia terkejut melihat Alya yang hanya mengenakan bathrobe dengan handuk yang melilit rambutnya.“Kamu baru bangun?” tanya Gavin.“Iya. Kepalaku pusing banget semalem,” jawab Alya dengan cengengesan.Gavin hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala lalu sudah menyerbu masuk ke dalam apartemennya. Alya hanya tersenyum dan mengikuti langkah kakaknya itu.“Aku belikan sarapan tadi. Kamu suka bubur ayam, ‘kan?” ucap Gavin sambil meletakkan bubur ayam di atas meja makan seraya menyiapkan alat makannya.Alya hanya mengangguk sambil tersenyum.“Makasih ya, Mas. Aku ganti baju dulu terus kita sarapan bareng,” kata Alya sambil be
“Mas ... jangan lupa nanti pulang agak sore, ya? Hari ini aku waktunya kontrol,” ucap Yeni mengingatkan saat Gavin hendak berangkat kerja pagi itu.“Iya, Sayang. Aku ingat, kok. Terus kamu masih ada keluhan, gak?” kata Gavin balik bertanya.Yeni menggeleng sambil tersenyum.“Sepertinya sudah gak, Mas. Lagian ini sudah mau bulan ketiga, aku rasa si dedek udah pinter gak bikin mamanya mual terus.”Gavin tersenyum, sambil mengecup lembut kening Yeni.“Ya sudah, kalau gitu aku berangkat dulu, ya?” pamit Gavin kemudian.Yeni sudah menganggukkan kepala sambil mengantar Gavin hingga ke depan pintu. Begitu Gavin sudah berlalu pergi, Yeni kembali meneruskan aktivitas lagi. Ia memang sudah tidak seperti awal-awal hamil dulu sehingga bisa melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara Gavin sudah melajukan mobilnya menuju kantor, tak sampai setengah jam dia sudah tiba di sana. Gavin baru saja memarkir
Lagi-lagi Yeni melihat Gavin berulang menundukkan kepala sambil menarik napas panjang seakan baru saja mengambil keputusan sulit dalam hidupnya. Entah sejak menelepon Alya tadi, Gavin tampak semakin gelisah dan Yeni melihat keanehan suaminya itu.“Mas ... ,” panggil Yeni.Gavin tampak tersentak kaget dan menoleh ke arah Yeni. Mereka sudah di dalam mobil perjalanan pulang.“Kamu kenapa sih, Mas? Kok dari tadi terlihat gelisah terus?” lanjut Yeni bertanya.“Eng ... gak papa kok, Sayang. Gak ada apa-apa,” bohong Gavin.Yeni menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.“Jangan bohong deh, Mas. Aku itu tahu kamu sedang ada masalah, kenapa gak terus terang saja, sih,” urai Yeni sedikit jengkel.Gavin terdiam kemudian melirik ke arah Yeni dengan cemas. Ia sudah menghela napas lagi kemudian menganggukkan kepala.“Sebenarnya hari ini aku ada undangan ke acara pernikahan p
“Alya, om kira kamu tidak akan datang,” ucap Pak Wira begitu Alya maju ke atas pelaminan untuk bersalaman dengan Pak Wira dan putrinya yang berbahagia.“Iya maaf, Pak. Tadi harus menyelesaikan pekerjaan dulu,” jawab Alya dengan sopan.Pak Wira hanya manggut-manggut kemudian sudah menyalami Gavin yang berdiri di belakang Alya.“Terima kasih sudah mau datang ke sini, Vin. Gimana kabar istrimu? Sudah isi, belum?” kini giliran Pak Wira beramah tamah ke Gavin.“Alhamdulillah, Pak. Sudah jalan tiga bulan. Minta doanya biar lancar sampai lahiran,” ucap Gavin menjawab tak kalah sopannya.“Akh, syukurlah. Baskoro pasti senang kalau masih hidup. Beruntung sekali mempunyai putra dan putri seperti kalian,” puji Pak Wira.Gavin dan Alya hanya mengangguk kemudian sudah undur diri menuju area meja prasmanan. Mereka kemudian sudah tampak asyik menikmati makanan yang tersaji di sana.“A
Gavin terdiam, tetap bergeming di belakang kemudinya. Sudah hampir setengah jam lalu, Gavin sudah tiba di apartemennya namun, dia belum juga turun dari mobil. Dia masih terpaku di belakang kemudi sambil perlahan menyentuh bibirnya berulang.“Astaga!! Kenapa dengan diriku ini? Kenapa aku diam saja saat Alya menciumku? Kenapa aku tidak bisa menolaknya, sih. Aghrrr ... ,” maki Gavin penuh kekesalan.Sekali lagi untuk keberapa kali dia kembali berciuman dengan Alya dan kali ini dia malah menarik Alya untuk mendekat ke arahnya.“Tahu, tahu Alya melakukannya itu untuk mengelabui Ryan. Tapi gak begitu juga caranya. Duh!”Gavin masih teringat usai Alya menciumnya tadi. Alya langsung spontan membuat dagu Gavin untuk menengok ke arah pintu apartemen di belakangnya. Di sana sudah berdiri Ryan yang terdiam mengawasi mereka. Jadi karena alasan itu, Alya menciumnya tadi.“Aku janji ini yang terakhir kali. Sumpah. Aku gak akan mau me
Sabtu pagi rumah Bu Aminah sudah sangat sibuk, beberapa tamu sudah berdatangan ditambah dengan meriahnya hiasan di setiap sudut rumah. Hari ini adalah pesta acara tujuh bulanan Yeni. Memang Bu Aminah meminta acaranya diadakan di rumah, selain kalau diadakan di apartemen tidak memungkinkan. Bu Aminah juga sudah lama menginginkan kehadiran seorang cucu, makanya beliau sangat antusias saat tahu Gavin akan mengadakan acara tujuh bulanan tersebut.Yeni dari pagi sudah didadani layaknya seorang pengantin. Wajahnya yang cantik semakin bersinar dan memperlihatkan sosok keibuan. Bu Aminah sangat bahagia melihatnya, berulang kali dia mengecup mesra menantu kesayangannya itu.Gavin juga tidak kalah gantengnya hari ini, ia juga ikut berdandan layaknya seorang pengantin. Sementara Alya seperti biasa selalu dituntut ibunya untuk mengikuti setiap acara dengan runtut padahal dia ingin sekali menghindar dan pergi dari sana. Ini mengingatkannya saat acara pernikahan Gavin dulu.&
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.Alya tersen
Sudah hampir sepekan sejak peristiwa heboh pertengkaran Alya dan Yeni di kantor, sejak hari itu juga gosip dan rumor aneh-aneh semakin berkembang cepat dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya selalu menyalahkan pihak ketiga alias sang pelakor yang notabene dalam hal ini adalah Alya. Setiap kesempatan di kantor, Alya selalu dikucilkan. Para karyawan dari bawahan hingga setaraf manager sibuk menggunjingkan dirinya. Bahkan Alya sekarang tidak pernah melakukan meeting pagi.Dia memang masih berangkat ngantor namun hanya diam di dalam ruangannya sibuk mengerjakan tugasnya. Datang lebih awal dan pulang paling terakhir. Alya tidak tahan dengan gunjingan dan rumor yang terus menjelekkan namanya, jadi dia lebih memilih berdiam di ruangan saja. Hal yang sama lebih parah menimpa Gavin, dia malah tidak masuk kerja hingga beberapa hari.Gavin benar-benar depresi, belum habis dukanya akan kehilangan Putri dan penyesalan mendalam ditambah kini keadaan kantor yang semakin tidak nyaman. Se
Sudah hampir dua hari berselang dan Gavin selalu melalui hari yang sama, berangkat kerja, parkir di tempat biasa lalu naik lift harus bersamaan dengan para karyawan yang terus sibuk membicarakannya. Seperti pagi ini, padahal Gavin sudah berniat berangkat pagi agar tidak satu lift dengan para karyawan tukang ghibah itu. Namun, ternyata dia salah. Gavin kembali bertemu dengan karyawan tukang ghibah tadi.“Selamat pagi, Pak!” sapa salah satu dari karyawan yang suka ghibah itu. Gavin hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi di hari yang beda dia bertemu dengan orang yang menyebalkan.Hanya lima orang karyawan yang pangkatnya supervisor dan asisten manager sudah berada bersama Gavin di dalam lift tersebut. Kembali lima orang itu sudah kasak kusuk sambil sesekali melirik Gavin.“Pak ... kok sekarang jarang bareng sama Bu Alya. Emang sudah gak sama Bu Alya lagi?” tanya salah satu dari mereka. Gavin hanya diam menghela napas panjang.
“CABUT UCAPANMU ITU, YENI!!!” sentak Gavin penuh amarah. Yeni hanya diam dan berdiri menantang Gavin seakan siap kalau Gavin hendak memukulnya.“Jangan pernah sekalipun menyumpahi anak yang sedang dikandung Alya. Aku memang lebih mencintai Alya daripada kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu yang membuatku seperti itu. Kamu sendiri yang menjauh saat aku ingin dekat. Kamu yang membuka lebar pintu untuk aku menikah lagi. Aku harap kamu bisa belajar menelaah kini,” pungkas Gavin.Dia sudah membalikkan badan dan bergegas pergi meninggalkan Yeni. Sontak Yeni panik, dia ikut membalikkan badan dan mengejar Gavin.“Mas!! Kamu mau ke mana? Apa kamu mau ke Alya dan minta jatah pelayanannya lagi? MAS!!!” teriak Yeni penuh amarah. Gavin tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian sudah pergi meninggalkan rumahnya.Yeni semakin kacau, ia menyesal melepas tawaran Irwan saat itu. Hanya karena ingin memperbaiki rumah tangganya,
Gavin terdiam sambil menatap jasad yang sudah ditutupi kain berwarna putih. Usai menerima telepon dari Bu Aminah tadi, Gavin sangat shock. Dengan bergegas dia melarikan mobilnya ke rumah sakit dan kini dia sudah berdiri mematung di hadapan jasad buah hati kesayangannya.Gavin menyesal tidak berada di sampingnya saat Putri merenggang nyawa, Gavin menyesal tidak melihat Putri untuk terakhir kali. Dia sudah egois, mementingkan kebutuhan biologisnya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.Hanya terdiam mematung tanpa bicara dan tanpa tangisan airmata yang dilakukan Gavin kini. Dia tidak bisa protes kepada siapa pun tentang hal ini. Dia juga tidak bisa bertanya bagaimana kondisi terakhir putrinya itu sesaat sebelum meninggal. Ini adalah penyesalan Gavin terbesar dan untuk pertama kali dia merasa gagal. Ia gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami dan juga gagal sebagai lelaki. Tiga predikat itu telah melekat di namanya kini.Yeni berjalan menghampiri Gavin yang m
Sinar mentari pagi sudah menerobos masuk tanpa sopan menembus tirai kamar tempat Gavin terpulas. Matanya langsung mengerjap begitu sinar mentari yang hangat ini menyentuh tubuhnya. Dilihat ke samping kasur, sudah tidak ada Alya di sana. Gavin mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Gavin menyimpulkan kalau istri keduanya itu pasti sedang mandi.Gavin mengulum senyum sambil menyibak selimut dan memakai boxernya dengan sembarang. Gavin berjalan berjingkat menuju kamar mandi. Dia ingin meminta bonus tambahan kali ini ke sang Istri. Gavin selalu kecanduan jika sudah melakukan dengan Alya. Tubuh dan pesona Alya seakan terus menghipnotis dirinya dan tak bisa lepas begitu saja.CEKLEKTepat dugaan Gavin, Alya tidak mengunci pintu kamar mandi. Gavin mengulum senyum saat melihat siluet tubuh istrinya sedang berdiri di bawah shower tertutup tirai mandi. Seketika onderdil penting miliknya langsung berdiri menjulang siap menerjang kembali. Pelan Gavin berjalan mendeka
Alya tersenyum sambil menatap pria tampan di sampingnya yang sekarang sibuk mengendarai kendaraan mengurai kemacetan sore ini. Mobil Gavin sudah melaju cepat, tetapi sama sekali tidak mengarah ke rumah Bu Aminah ataupun apartemen mereka berdua. Gavin sudah mengarahkannya ke rumah mereka di tepi pantai yang terletak di luar kota.“Kita ke rumah pantai lagi, Mas?” Alya bertanya. Gavin mengangguk sambil tersenyum.“Iya, aku tidak ingin kamu cemas, Al. Lebih baik kamu beristirahat beberapa hari di sana sampai keadaan di kantor kondusif. Lagipula kerjaan di kantor bisa dihandle Rini dan Rendy,” urai Gavin kemudian. Alya hanya tersenyum sambil manggut-manggut.“Terus Mas Gavin sendiri ke mana? Aku akan ditinggal sendiri di sana? Sama juga bohong dong, Mas,” dumel Alya sambil memajukan seluruh bibirnya ke depan. Gavin tersenyum. Gemas memperhatikan ulah istri mudanya itu.“Jangan khawatir, Babe. Aku temani, kok. Aku akan
Gavin sibuk memainkan kakinya. Dia gelisah karena operasi Putri belum juga usai. Sudah hampir pukul dua siang dan belum ada tanda-tanda operasi itu selesai. Sesekali Gavin menoleh ke arah Yeni yang tampak duduk terdiam sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Gavin tahu kalau Yeni juga sama gelisahnya dengan dia kali ini.Gavin berdiri hendak mendekat ke arah Yeni kemudian tiba-tiba lampu di atas pintu padam dan tak lama pintu terbuka. Gavin menghela napas lega saat melihat beberapa suster sudah mendorong ranjang tidur rumah sakit tersebut. Gavin dan Yeni bergegas mengikuti.“Bagaimana keadaannya, Sus? Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Gavin penasaran. Suster hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar Gavin tenang.“Kita tunggu ya, Pak. Nanti setelah diobservasi baru tahu keadaan adek,” jawab suster itu diplomatis. Gavin mengangguk kemudian dia tiba-tiba menghentikan langkah tidak mengikuti dua suster dan Yeni yang mengiringi Putri tadi. Ponselnya sudah berdering nyaring dan Gavin te