Hampir dua bulan berselang sejak kejadian Alya menghilang. Sejak saat itu Alya sedikit mengatur emosi dan perasaannya, ia tidak ingin membuat kakaknya salah sangka seperti waktu itu sehingga membuat jarak dalam hubungan mereka.
Pagi ini Alya sudah bersiap akan berangkat ke kantor saat ponselnya terus berdering. Ada nama Gavin di layar utamanya.
“Ada apa, Mas?” tanya Alya kemudian memulai panggilannya.
[“Al, aku datang sedikit terlambat kali ini. Ini jadwal kontrol Yeni dan kebetulan dia mendaftar yang pagi. Tidak masalah ‘kan kalau aku datang terlambat?”] ucap Gavin di seberang sana.
Alya hanya diam. Sebenarnya dia paling benci setiap Gavin menelepon dan memberitahu mengantar Yeni kontrol untuk alasan keterlambatannya. Alya lebih suka Gavin datang terlambat karena ban mobilnya bocor atau apa saja asal jangan Yeni. Entah mengapa Alya tidak suka kalau Gavin lebih memprioritaskan Yeni. Tetapi bagaimana lagi mereka suami istri da
“Kamu belum pulang, Al?” tanya Gavin sore itu di ruangan Alya.Seharian tadi usai Gavin menemani Yeni kontrol ke rumah sakit, dia langsung datang ke kantor. Meski sedikit terlambat, Gavin sebisa mungkin menyelesaikan pekerjaannya sehingga on time saat jam pulang kantor.Alya mengangkat kepala dan menatap kakak gantengnya itu dengan tersenyum.“Bentar lagi, Mas. Mas, mau pulang?” jawab Alya balik bertanya.Gavin hanya mengangguk kemudian sudah duduk di kursi depan Alya. Dia menghela napas panjang sambil mengamati Alya yang masih sibuk menatap laptopnya.“Aku tadi ketemu Ryan, Al. Ryan temanmu itu,” cetus Gavin kemudian.Alya terkejut dan langsung mengangkat kepalanya lagi menatap Gavin.“Terus ... ,” ucap Alya.“Ya, udah. Kami kenalan lagi, dia bahkan asyik mengajak Yeni ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku sedang mengantri obat saat itu, tahu-tahu pas kembali sudah
Gavin tergopoh turun dari mobil dan bergegas berlari menuju kabin apartemennya. Dia bahkan tidak melihat kalau ada Alya yang mengejarnya.BRAK!!Gavin bergegas membuka pintu dan berlari masuk menuju kamar. Ia melihat istrinya sedang terbaring di atas kasur sambil menggeliat kesakitan. Ia melihat ada bercak darah yang mengotori spreinya sekarang.“Sayang ... apa yang terjadi?” tanya Gavin panik.“Eng ... gak tahu, Mas. Aku tadi habis dari kamar mandi, terpeleset dan kemudian seperti ini. Perutku sakit banget, Mas,” rintih Yeni dengan kesakitan.Gavin sudah duduk di tepi kasur dan membantu Yeni untuk bangkit dari tidurnya.“Mas!!” Tiba-tiba Alya berhambur masuk ke kamar Yeni.Ia melihat Yeni sedang menggeliat di atas kasur seakan sedang menahan sakit. Gavin yang melihat kedatangan Alya tampak kesenangan.“Kebetulan kamu ke sini, Al. Ayo, bantu aku bopong Yeni ke mobil,” pinta Gavin
Gavin keluar dari ruang operasi menghampiri Alya yang menunggunya sedari tadi. Wajah Gavin terus tertunduk seakan sedang menyembunyikan pilu. Alya yang mengamati Gavin sejak keluar dari ruangan tadi hanya terdiam. Ia yakin telah terjadi sesuatu yang membuat Gavin seperti itu.“Mas ... apa semuanya berjalan lancar?” tanya Alya begitu Gavin sudah duduk di sampingnya.Gavin mengangguk lesu sambil menatap Alya.“Ada apa, Mas? Apa si Kecil sehat?” lagi Alya bertanya.Tidak ada jawaban hanya helaan napas panjang yang keluar dari mulut Gavin. Alya tahu sepertinya ada sesuatu yang menimpa buah hati Gavin.“Mas ... .” Alya menyenggol lengan Gavin membuat pria bermata sipit itu melirik ke arahnya. Lagi-lagi dada Gavin bergerak naik turun seakan mencoba mengolah udara yang keluar masuk di paru-parunya.“Putriku mengalami kelainan jantung, Al. Dokter sedang memeriksanya sekarang,” jelas Gavin kemudian.
Gavin baru saja keluar dari kamar tempat Yeni dirawat inap. Dia tampak berantakan, rambutnya kusut, matanya juga tampak merah. Jelas sekali terlihat kalau Gavin baru saja melalui malam yang melelahkan sepanjang hidupnya.Semalaman Yeni tidak bisa tidur, ia terus menangis histeris. Dia bahkan tidak mau memompa ASI-nya dan terpaksa Gavin mengizinkan suster memberi susu formula terlebih dulu untuk putrinya.Ini semua tidak seindah yang dibayangkannya. Padahal saat hamil kemarin, Yeni begitu menantikan kehadiran buah hatinya namun, begitu lahir dia malah menyia-nyiakan. Meskipun ini bukan kesalahan Yeni, tetapi Gavin sedikit menyesalkannya.“Vin,” sebuah seruan lembut menyapa telinga Gavin.Gavin menoleh dan melihat Bu Aminah sedang berjalan mendekat bersama Alya.“Ibu ... ,” sapa Gavin langsung berhambur memeluknya. Bu Aminah membalas pelukan Gavin dan mengelus punggungnya berulang.“Kamu pasti lelah semalaman menj
Bu Aminah dan Alya baru saja berpamitan pulang saat malam semakin larut. Yeni juga masih terlelap dalam tidurnya. Gavin menghela napas panjang sambil menatap sosok istrinya yang sedang terbaring pulas. Ia berharap malam ini Yeni sedikit tenang tidak seperti kemarin malam.Sekilas Gavin melirik ke alat pompa ASI yang baru saja diberikan suster untuk Yeni. Lagi-lagi Yeni menolak untuk memompa ASI dan memberikan ke si Kecil. Dia terus berkata kalau bayi tersebut bukan putrinya. Entah apa yang membuat Yeni berpikir seperti itu padahal jelas-jelas makhluk mungil yang tak bersalah itu keluar dari rahimnya.‘Apa memang seperti ini yang terjadi pada ibu yang mengalami baby blues?’ batin Gavin.Sebuah helaan napas panjang lolos keluar dari bibir tipis Gavin. Pria bermata sipit itu sudah menyandarkan kepala ke bantalan sofa dan mulai memejamkan mata seakan sedang melepas kepenatannya. Ia hanya berharap semua yang dialami Yeni cepat berlalu dan si Keci
Sudah lima hari Yeni dirawat di rumah sakit dan kini saatnya ia diperbolehkan pulang. Saat melihat kejadian canggung antara Gavin dan Alya kapan hari, Yeni sama sekali tidak mempermasalahkannya. Yeni beranggapan kalau hubungan antara Gavin dan Alya memang sudah sangat dekat layaknya adik dan kakak. Seperti saat ini, Yeni melihat Alya ikut sibuk membantunya saat akan pulang.Gavin sedang sibuk mengurus administrasi di rumah sakit dan Alya yang menemani Yeni di mobil. Alya tampak kesenangan saat menggendong putri Gavin dan Yeni. Alya terus tersenyum sambil menatap makhluk kecil yang sedang meringkuk dalam gendongannya.“Dia lucu banget, sih,” gumam Alya. Ia sudah berulang kali mengucapkan kata itu dan tentu saja membuat Yeni tersenyum mendengarnya.“Makanya, Al. Buruan nikah, terus bikin sendiri,” seloroh Yeni.Alya hanya meringis dan mengunci tatapan ke makhluk mungil dalam pelukannya.‘Kira-kira si Dedek mengizinka
Yeni tampak terkejut sekaligus kebingungan saat melihat mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan sebuah rumah yang tidak ia kenal.“Ini rumah siapa, Mas? Mengapa juga mobilnya berhenti di sini, tidak di apartemen?” tanya Yeni.Gavin tersenyum kemudian sudah melepas seat belt. Dia masih belum menjawab pertanyaan Yeni malah sibuk membantunya keluar dari mobil.“Mas ... kok gak dijawab sih pertanyaanku?” protes Yeni saat melihat Gavin yang masih diam tidak menjawab.Gavin tersenyum kemudian menghentikan aktivitasnya. Ia sudah menatap istrinya yang sedang menggendong putri mereka berdiri di depan mobil.“Ini rumah kita, rumah baru kita hadiah dari Alya untuk si Kecil,” jawab Gavin kemudian.Sontak Yeni membelalakkan matanya terkejut dengan jawaban Gavin.“Alya memberinya untuk kita? Tapi ... ini ‘kan salah satu perumahan elit dengan harga fantastis di kota ini. Apa Alya tidak merug
Gavin mengerjapkan mata berulang kemudian membukanya perlahan saat mendengar isakan tangis Yeni. Ini hampir tengah malam dan Gavin baru saja memejamkan mata namun kini dia harus kembali terjaga. Acara tasyakuran dan selamatan si Kecil seharian tadi membuat Gavin sangat kelelahan. Gavin menggeliatkan tubuh kemudian melihat istrinya sedang duduk di atas kasur sambil menggendong si Kecil dan terus menangis.Sontak Gavin bangun, menyibak selimut dan mendekat ke Yeni.“Ada apa, Sayang?” tanya Gavin dengan suara seraknya khas bangun tidur.Yeni tidak menjawab namun terus menangis. Gavin makin kebingungan melihatnya kemudian dia melirik ke arah si Kecil yang terdiam di pangkuan Yeni. Gavin makin terkejut saat melihat bayi kecil itu sudah membiru badannya.“Sayang, apa yang terjadi?” tanya Gavin sambil menyambar putri kecilnya.Yeni terus menggeleng dan masih dengan isakan tangis tanpa menjawab pertanyaan Gavin. Gavin panik, ia suda
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.Alya tersen
Sudah hampir sepekan sejak peristiwa heboh pertengkaran Alya dan Yeni di kantor, sejak hari itu juga gosip dan rumor aneh-aneh semakin berkembang cepat dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya selalu menyalahkan pihak ketiga alias sang pelakor yang notabene dalam hal ini adalah Alya. Setiap kesempatan di kantor, Alya selalu dikucilkan. Para karyawan dari bawahan hingga setaraf manager sibuk menggunjingkan dirinya. Bahkan Alya sekarang tidak pernah melakukan meeting pagi.Dia memang masih berangkat ngantor namun hanya diam di dalam ruangannya sibuk mengerjakan tugasnya. Datang lebih awal dan pulang paling terakhir. Alya tidak tahan dengan gunjingan dan rumor yang terus menjelekkan namanya, jadi dia lebih memilih berdiam di ruangan saja. Hal yang sama lebih parah menimpa Gavin, dia malah tidak masuk kerja hingga beberapa hari.Gavin benar-benar depresi, belum habis dukanya akan kehilangan Putri dan penyesalan mendalam ditambah kini keadaan kantor yang semakin tidak nyaman. Se
Sudah hampir dua hari berselang dan Gavin selalu melalui hari yang sama, berangkat kerja, parkir di tempat biasa lalu naik lift harus bersamaan dengan para karyawan yang terus sibuk membicarakannya. Seperti pagi ini, padahal Gavin sudah berniat berangkat pagi agar tidak satu lift dengan para karyawan tukang ghibah itu. Namun, ternyata dia salah. Gavin kembali bertemu dengan karyawan tukang ghibah tadi.“Selamat pagi, Pak!” sapa salah satu dari karyawan yang suka ghibah itu. Gavin hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi di hari yang beda dia bertemu dengan orang yang menyebalkan.Hanya lima orang karyawan yang pangkatnya supervisor dan asisten manager sudah berada bersama Gavin di dalam lift tersebut. Kembali lima orang itu sudah kasak kusuk sambil sesekali melirik Gavin.“Pak ... kok sekarang jarang bareng sama Bu Alya. Emang sudah gak sama Bu Alya lagi?” tanya salah satu dari mereka. Gavin hanya diam menghela napas panjang.
“CABUT UCAPANMU ITU, YENI!!!” sentak Gavin penuh amarah. Yeni hanya diam dan berdiri menantang Gavin seakan siap kalau Gavin hendak memukulnya.“Jangan pernah sekalipun menyumpahi anak yang sedang dikandung Alya. Aku memang lebih mencintai Alya daripada kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu yang membuatku seperti itu. Kamu sendiri yang menjauh saat aku ingin dekat. Kamu yang membuka lebar pintu untuk aku menikah lagi. Aku harap kamu bisa belajar menelaah kini,” pungkas Gavin.Dia sudah membalikkan badan dan bergegas pergi meninggalkan Yeni. Sontak Yeni panik, dia ikut membalikkan badan dan mengejar Gavin.“Mas!! Kamu mau ke mana? Apa kamu mau ke Alya dan minta jatah pelayanannya lagi? MAS!!!” teriak Yeni penuh amarah. Gavin tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian sudah pergi meninggalkan rumahnya.Yeni semakin kacau, ia menyesal melepas tawaran Irwan saat itu. Hanya karena ingin memperbaiki rumah tangganya,
Gavin terdiam sambil menatap jasad yang sudah ditutupi kain berwarna putih. Usai menerima telepon dari Bu Aminah tadi, Gavin sangat shock. Dengan bergegas dia melarikan mobilnya ke rumah sakit dan kini dia sudah berdiri mematung di hadapan jasad buah hati kesayangannya.Gavin menyesal tidak berada di sampingnya saat Putri merenggang nyawa, Gavin menyesal tidak melihat Putri untuk terakhir kali. Dia sudah egois, mementingkan kebutuhan biologisnya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.Hanya terdiam mematung tanpa bicara dan tanpa tangisan airmata yang dilakukan Gavin kini. Dia tidak bisa protes kepada siapa pun tentang hal ini. Dia juga tidak bisa bertanya bagaimana kondisi terakhir putrinya itu sesaat sebelum meninggal. Ini adalah penyesalan Gavin terbesar dan untuk pertama kali dia merasa gagal. Ia gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami dan juga gagal sebagai lelaki. Tiga predikat itu telah melekat di namanya kini.Yeni berjalan menghampiri Gavin yang m
Sinar mentari pagi sudah menerobos masuk tanpa sopan menembus tirai kamar tempat Gavin terpulas. Matanya langsung mengerjap begitu sinar mentari yang hangat ini menyentuh tubuhnya. Dilihat ke samping kasur, sudah tidak ada Alya di sana. Gavin mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Gavin menyimpulkan kalau istri keduanya itu pasti sedang mandi.Gavin mengulum senyum sambil menyibak selimut dan memakai boxernya dengan sembarang. Gavin berjalan berjingkat menuju kamar mandi. Dia ingin meminta bonus tambahan kali ini ke sang Istri. Gavin selalu kecanduan jika sudah melakukan dengan Alya. Tubuh dan pesona Alya seakan terus menghipnotis dirinya dan tak bisa lepas begitu saja.CEKLEKTepat dugaan Gavin, Alya tidak mengunci pintu kamar mandi. Gavin mengulum senyum saat melihat siluet tubuh istrinya sedang berdiri di bawah shower tertutup tirai mandi. Seketika onderdil penting miliknya langsung berdiri menjulang siap menerjang kembali. Pelan Gavin berjalan mendeka
Alya tersenyum sambil menatap pria tampan di sampingnya yang sekarang sibuk mengendarai kendaraan mengurai kemacetan sore ini. Mobil Gavin sudah melaju cepat, tetapi sama sekali tidak mengarah ke rumah Bu Aminah ataupun apartemen mereka berdua. Gavin sudah mengarahkannya ke rumah mereka di tepi pantai yang terletak di luar kota.“Kita ke rumah pantai lagi, Mas?” Alya bertanya. Gavin mengangguk sambil tersenyum.“Iya, aku tidak ingin kamu cemas, Al. Lebih baik kamu beristirahat beberapa hari di sana sampai keadaan di kantor kondusif. Lagipula kerjaan di kantor bisa dihandle Rini dan Rendy,” urai Gavin kemudian. Alya hanya tersenyum sambil manggut-manggut.“Terus Mas Gavin sendiri ke mana? Aku akan ditinggal sendiri di sana? Sama juga bohong dong, Mas,” dumel Alya sambil memajukan seluruh bibirnya ke depan. Gavin tersenyum. Gemas memperhatikan ulah istri mudanya itu.“Jangan khawatir, Babe. Aku temani, kok. Aku akan
Gavin sibuk memainkan kakinya. Dia gelisah karena operasi Putri belum juga usai. Sudah hampir pukul dua siang dan belum ada tanda-tanda operasi itu selesai. Sesekali Gavin menoleh ke arah Yeni yang tampak duduk terdiam sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Gavin tahu kalau Yeni juga sama gelisahnya dengan dia kali ini.Gavin berdiri hendak mendekat ke arah Yeni kemudian tiba-tiba lampu di atas pintu padam dan tak lama pintu terbuka. Gavin menghela napas lega saat melihat beberapa suster sudah mendorong ranjang tidur rumah sakit tersebut. Gavin dan Yeni bergegas mengikuti.“Bagaimana keadaannya, Sus? Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Gavin penasaran. Suster hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar Gavin tenang.“Kita tunggu ya, Pak. Nanti setelah diobservasi baru tahu keadaan adek,” jawab suster itu diplomatis. Gavin mengangguk kemudian dia tiba-tiba menghentikan langkah tidak mengikuti dua suster dan Yeni yang mengiringi Putri tadi. Ponselnya sudah berdering nyaring dan Gavin te