BU NAFIS MENIKAH LAGI?"Nah itu benar. Begitu maksudku," jelas Bu Nafis."Bagaimana keputusan, Pak Hendi?" tanya Hasan."Baiklah jika itu maumu. Aku juga tak keberatan. Pak Hendi, hanya ingin tahu bagaimana kau menghadapi suatu masalah, jika kau sudah memiliki kebijakan seperti itu maka Pak Hendi juga setuju. Nanti kita bantu selesaikan bersama-sama ya masalah ini," jawab Pak Hendi."Alhamdulillah kalau begitu, berarti sudah clear ya," sambung Pak Hendi.Semua pun menganggukkan kepalanya setuju. Lega rasanya sekarang hati Hasan. Paling tidak satu masalahnya selesai tinggalmeyakinkan istrinya agar mau kembali ke Madiun."Siap, Pak," jawab Hasan dengan senyum mengembang."Oh iya ngomong-ngomong di manasi Zain. Aku tidak melihat keberadaan putra pertama mu," tanya Pak Hendi pada Zain."Entah tadi terapi, entah terapi apa itu. Aku minta sendiri tak paham tapi lama-lama aku muak sekaligus benci dengan dia," jawab Hasan."Istighfar. Kau jangan seperti itu, bagaimanapun juga dia adalah kaka
KERAS KEPALA NYA BU NAFIS!"Walaupun statusmu adalah sebagai Ibu tiri, namun dengan menjalin jaringan yang baik, tentunya bisa membuatmu menjadi Ibu tiri yang lebih baik. Menjadi seorang Ibu memang pekerjaan paling sulit bagi sebagian besar kaum wanita, tak terkecuali dirimu, Nafis. Apalagi kau yang berstatus sebagai Ibu tiri. Dibutuhkan usaha yang keras dan konsisten untuk mewujudkannya," ucap Pak Hendi."Iya, iya," sahut Bu Nafis malas mendnegarkan perdebatan ini."Lalu bagaimana masalah Dinda, Pak?" tanya Hasan yang masih belum menemukan solusinya."Kenapa lagi?" sahut Bu Nfis."Ya masalah jika Ibu dan Bapak Hendi menikah. Lalu Hasan lebih baik mengontrak atau Ibu yang pindah ke Pak Hendi. Kan belum ada kejelasan, Bu," kata Hasan."Ck! Sudah lah tak usah di bahas lagi. Tak aa yang pindah!" tegas Bu Nafis."Jika memang demikian maka aku putuskan untuk Hasan dan Dinda biar memiliki rumah sendiri saja," langsung Pak Hendi memutuskan. "Loh, bagaimana sih kau itu, Mas. Aku kan bilang t
DIANTARA DUA PILIHAN. MENTAL ATAU PERASAAN?"Kau kenapa, Nduk? Papa melihatmu sedari kasih kau hanya diam saja Apakah ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Pak Bukhari.Dinda menoleh ke arah Papanya. Sudah sehari ini, bahkan hampir dua hari dia mendiamkan suaminya. Bukan tanpa alasan sebenarnya Dinda mendiamkan Hasan sebenarnya, karena dia ingin tahu bagaimanakah reaksi Hasan sebenarnya dan alhamdulillahnya semua tidak seperti pikiran buruk Dinda. Hasan masih mencarinya.Dia beberapa kali bahkan mengirimkan pesan sejak semalam, namun Dinda sama sekali belum membalasnya. Dia takut akan mudah lagi luluh oleh bujuk rayu sang suami dan endingnya akan termakan oleh ekspektasinya sendiri. Karena sang suami akan kembali berulah lagi. Dia takut suaminya tak akan memperlakukannya selayaknya seorang istri dan masih tetap akan mendahulukan ibunya diatas segalanya. Meskipun dalam pesan itu Hasan sudah mengatakan kepada Dinda bahwa bu Nafis mertuanya akan menikah dengan pak Hendi, nam
KEPULANGAN DINDA DAN SURAT PINDAH UNTUK HASAN"Sekarang kegalauan itulah yang membuat Dinda berpikir ulang, langkah apa yang sebaiknya Dinda ambil, Pa?" tanya Dinda."Jika boleh jujur Papa pun berpikir mungkin lebih baik untuk sementara waktu Papa memberikan surat tugas saja kepada Hasan agar bekerja di kota ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Pak Bukhori."Toh, kau bisa memakai rumah sebelah untukmu dan suamimu. Bukankah itu artinya kau juga sudah bisa rumah sendiri juga. Kami tak akan merecokimu juga, tapi apakah Hasan mau ya, Nduk? Justru Papa khawatir jika Hasan menolak dan keluar dari perusahaan," sambungnya.Mendengar ucapan Papanya, Dinda terdiam sejenak. Ini semua pernah dia diskusikan dengan kakak ipar perempuannya. Dia pernah berbicara ini kepada Mbak Eva dan Mbak Eva pun juga berkata juga Hasan tak akan mungkin mudah keluar dari perusahaan mengingat usianya yang sudah tak lagi muda akan sulit untuknya mencari pekerjaan baru juga."Rasanya tidak, Pa. Mas Hasan tentu mempertimb
BERITA GEMBIRA"Waalaikumsalam! Maafkan Mas ya, Mas terlalu bersemangat mengangkat teleponmu sampai lupa mengucapkan salam," ujar Dinda."Bagaimana, Dek? Apakah kau masih marah dengan Mas?" tanya Hasan."Untuk apa aku marah, Mas? Aku selama ini diam karena aku ingin menata hatiku dulu," jawab Dinda."Apakah sekarang hatimu sudah tertata?" tanya Hasan mencoba bergurau."Lumayan. Bagaimana keadaanmu, Dik? Apakah kau jauh lebih baik sekarang?" tanya Hasan lagi."Ya jauh lebih baik sekarang rasanya, Dek. Aku ada berita gembira untukmu, Dek. Pak Hendi dan Ibu akan segera menikah," jelas Hasan."Apakah mereka sudah sepakat dan setuju, Mas? Tidak tanpa pasaan kan?" tanya Dinda mencoba memastikan."Iya kemarin Pak Hendi sudah dari sini dan sudah sepakat akan menikah dengan Ibu, Dek. Malah kalau tidak maka Pak Hendi bisa saja menuntut Ibu, karena kan kau tahu sendiri Pak Hendi juga sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk si Zain itu," terang Hasan.Mendengar ucapan itu, Dinda langsung
IDE MENIKAH SIRI!"Reputasimu sudah hancur, Mas!" batin Dinda dalam hati"Ya sudah terserahmu saja, Mas! Atur lah," sahut Dinda."San! Hasan!" teriak Bu Nafis."Ibumu sudah memanggilmu, Mas," ucap Dinda."Iya Dek, teleponnya aku matikan dulu ya," kata Hasan."Iya Mas," sahut Dinda. Hasan pun langsung mematikan teleponnya."Kasihan sekali kamu Mas, selalu mendulukan Ibumu dan menjadi korban dari hubungan keluarga yang toxic kau sudah tidak lagi masuk generasi sandwich tapi emang keluargamu yang benar-benar toxic," gumam Dinda.Dinda pun menyudahi percakapan itu dan mulai mengemasi pakaiannya. Dia menarik nafas panjang, menyiapkan amunisi untuk menghadapi Bu Nafis mertuanya. Dia akan mencoba untuk lebih bisa santai dan mengatur tensi darahnya agar bisa berdamai dengan mertuanya itu. Tak akan memerlukan waktu lama lagi sampai Hasan pindah ke Kediri. Jadi dia mencoba untuk bersabar sejenak dan mengalah kepada mertuanya. Siapa tahu ini bisa menjadi jalan yang terbaik bagi mereka semua."A
KISAH PILU BU NAFIS"Bukannya begitu, San," kata Bu Nafis sambil menghela nafas panjang."Asal kau tahu, Ibu memiliki kenangan yang buruk tentang pernikahan dengan almarhum Abahmu..." sambungnya menggantung."Kenapa, Bu? Apa yang membuat Ibu mengatakan demikian? Selama ini Hasan lihat Ibu dan Abah bahagia-bahagia saja."Ya, memang benar. Namun apa yang kau lihat tak seperti apa yang Ibu rasakan selama ini, Le. Almarhum Abahmu sangat baik sekali, benar memang. Ibu tak munafik Abahmu itu suami sholeh, dia sangat membimbing Ibu dan menjadikan Ibu istri solehah, tetapi kau juga harus ingat, Ibu menikah di usia yang masih sangat muda," jelas Bu Nafis memandang ke arah depan dengan tatapn kosong."Kadang Ibu iri dengan teman-teman Ibu yang masih asik bermain dengan teman-temannya, tapi Ibu sudah harus dibebankan pada anak dan mengurus rumah. Ibu harus mengasuh anak sejak Ibu masih muda. Bahkan Ibu tak sempat mengenal lelaki lain selain Abahmu karena dijodohkan oleh ora
ANAK YANG MENGALAH!"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" teriak seseorang dari luar. Hasan menengok, jam sudah menunjukkan malam meski belum larut."Waalaikumsalam," sahut Hasan dan Bu Nafis secara bersamaan."Seperti suara Andri itu," ujar Bu Nafis."Coba kau bukakan sana, San!" perintahnya lagi. Hasan pun menganggukkan kepalanya, dia segera membuka pintu ruang tamu. Hasan bisa melihat Mbak Alif datang bersama Mas Andri, suaminya. Mereka pun masuk menyalami Hasan."Mana Ibu?" tanya Mbak Alif."Noh ada di belakang. Kenapa Mbak memangnya?" tanya Hasan melihat mata kakaknya memerah. Mbak Alif tak menjawab, dia hanya menyelonong masuk ke dalam rumah."Kenapa Mbak Alif itu, Mas? Sepertinya dia baru menangis ya? Wong matanya sembab dan merah, kalian bertengkara ya?" selidik Hasan."Bertengkar gundulmu! Ini itu gara-gara kalian. Kenapa kalian tega sekali tak menceritakan semua kepada kami tentang semua kejadian itu?" seloroh Mas Andri. Hasan langs