KISAH PILU BU NAFIS
"Bukannya begitu, San," kata Bu Nafis sambil menghela nafas panjang."Asal kau tahu, Ibu memiliki kenangan yang buruk tentang pernikahan dengan almarhum Abahmu..." sambungnya menggantung."Kenapa, Bu? Apa yang membuat Ibu mengatakan demikian? Selama ini Hasan lihat Ibu dan Abah bahagia-bahagia saja."Ya, memang benar. Namun apa yang kau lihat tak seperti apa yang Ibu rasakan selama ini, Le. Almarhum Abahmu sangat baik sekali, benar memang. Ibu tak munafik Abahmu itu suami sholeh, dia sangat membimbing Ibu dan menjadikan Ibu istri solehah, tetapi kau juga harus ingat, Ibu menikah di usia yang masih sangat muda," jelas Bu Nafis memandang ke arah depan dengan tatapn kosong."Kadang Ibu iri dengan teman-teman Ibu yang masih asik bermain dengan teman-temannya, tapi Ibu sudah harus dibebankan pada anak dan mengurus rumah. Ibu harus mengasuh anak sejak Ibu masih muda. Bahkan Ibu tak sempat mengenal lelaki lain selain Abahmu karena dijodohkan oleh oraANAK YANG MENGALAH!"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" teriak seseorang dari luar. Hasan menengok, jam sudah menunjukkan malam meski belum larut."Waalaikumsalam," sahut Hasan dan Bu Nafis secara bersamaan."Seperti suara Andri itu," ujar Bu Nafis."Coba kau bukakan sana, San!" perintahnya lagi. Hasan pun menganggukkan kepalanya, dia segera membuka pintu ruang tamu. Hasan bisa melihat Mbak Alif datang bersama Mas Andri, suaminya. Mereka pun masuk menyalami Hasan."Mana Ibu?" tanya Mbak Alif."Noh ada di belakang. Kenapa Mbak memangnya?" tanya Hasan melihat mata kakaknya memerah. Mbak Alif tak menjawab, dia hanya menyelonong masuk ke dalam rumah."Kenapa Mbak Alif itu, Mas? Sepertinya dia baru menangis ya? Wong matanya sembab dan merah, kalian bertengkara ya?" selidik Hasan."Bertengkar gundulmu! Ini itu gara-gara kalian. Kenapa kalian tega sekali tak menceritakan semua kepada kami tentang semua kejadian itu?" seloroh Mas Andri. Hasan langs
AKHIRNYA MENIKAH! Mbak Alif hanya terdiam, Mas Andri menghela napas panjang. "Bukankah aku tadi sudah bilang dari rumah? Ikhlaskan saja," tegas Mas Andri."Tapi Mas, mengapa Ibumu bisa tidak menikah tapi Ibuku justru ingin menikah lagi. Sudah tua loh, Mas. Ibu itu kan juga sudah punya cucu, apa tidak malu dengan cucunya, jika dia menikah lagi?" tanya Mbak Alif masih tidak terima."Sekarang aku tanya padamu, apakah kau tidak malu jika suatu saat Ibumu ketahuan lagi bersama Pak Hendi dan akan diarak warga lagi? Menurutku itu akan lebih memalukan kan? Apalagi anak-anakmu sekarang juga sudah besar, sudah mengerti anak yang paling besar saja sekarang di pondok. Begitu pun dengan Maulida, begitupun dengan Hasan," tegur Mas Andri."Kau enak tinggal bersama aku jauh dari tatapan orang-orang, hujatan warga, dan ghibahannya. Namun warga sini? Bagaimana nasib adikmu? Lihatlah juga adik-adikmu, dialah yang harus menghadapi orang-orang sini, menghadapi tatapan tajam mereka, menghadapi sindiran w
DUA KELUARGA"Bagaimana, Bu? Apakah itu setuju juga?" tanya Hasan."Terserahlah kalian atur saja bagaimana baiknya," jawab Bu Nafis pasrah."Baiklah kalau begitu, acaranya kan bisa sekalian diadakan sebelum puasa. Jadi bisa acara syukuran makan-makan lagi," ucap Zain."Benar itu. Kalau begitu Kau segera jemput Dinda saja. Karena puasa tinggal dua hari lagi dan sebelum puasa Ibu sudah harus menikah tp, lalu untuk dokumennya nanti bagaimana? Apakah bisa diurus secepat itu?" tanya Bu Nafis."Bisa kok, Bu. Nanti Andri akan bantu," tegas Mas Andri."Baiklah kalau begitu, semua sepakat ya. Pernikahan akan dilakukan sesegera mungkin, biar tidak ada fitnahan lagi. Aku harap ketika Dinda pulang ke sini nanti, semua akan beres," ujar Hasan. Semua menggangguk.Beberapa hari kemudian, suasana tenang. Tak ada kejadian yang membuat heboh juga, semua berjalan sebagaimana mstinya. Bahkan Bu Nafis tampak lebih tenang dan tak mengungkit masalah pernikahan dengan pak Hendi, begitupun dengan Maulida dia
PERUBAHAN RENCANA? SIAGA SATU!"Ternyata ada banyak hal yang tidak Mas tahu tentang Ibu," ucapnya."Maksudnya, Mas?""Iya tentang masa lalu Ibu. Tentang mengapa Ibu bisa menjadi begini, Ibu berkata beliau bisa begini karena dulu dia menikah terlalu muda. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk bisa menghabiskan masa mudanya, saat teman-temannya muda dia justru harus repot mengurus kami anak-anaknya yang masih kecil sehingga mungkin itulah yang menyebabkan Ibu bersikap demikian, Dek," terang Hasan. Dinda pun menghela napasnya panjang, dia mulai malas Ketika sang suami membahas hal ini. Pasti dia akan membela ibunya sehingga dia pun melihat ke arah Hasan."Apapun alasannya itu tapi sikap Ibumu itu tidak dibenarkan, Mas. Sebagai orang tua bukankah hendaknya Ibumu juga bijak? Dia bisa merasakan bagaimana pernah menjadi anak menantu juga jadi tak seharusnya menurutku dia bersikap begitu. Apalagi Ibu memiliki anak perempuan juga, Jadi jangan dibuat itu sebagai suatu pembenaran," protes Dinda
SIAPA KELUARGA MERTUAKU SEBENARNYA? SEBERAPA KAYA DIA?"Dek apakah kau marah dan tak percaya lagi kepada Mas Hasan?" "Kenapa Mas seperti itu? Aku tidak pernah loh punya pikiran seperti itu kepadamu, Mas," ucap Dinda."Tapi kau terkesan seperti itu, Dek. Kau terkesan tidak ingin lagi mempercayaiku lagi," sanggah Hasan."Tidaklah, Mas. Itu hanya perasaanmu saja, mari kita segera ke bawah sarapan dan seegra ke stasiun," ajak Dinda. Hasan pun terdiam, dia tahu memang mengembalikan kepercayaan itu sangat sulit sekali. Teramat sulit bahkan."Ayo sarapan dulu!" ajak Pak Bukhari. Hasan pun dengan susah payah menelan semua makanan itu ada perasaannya tak bisa dilukiskan. Sekarang antara perasaan malu takut kecewa kepada mertuanya, tetapi dia juga bingung apa yang harus dikecewakan."Jadinya bagaimana, Nduk?" tanya Pak Bukhari."Seperti rencana awal," tegas Dinda."Rencana awal? Rencana apa, Dek?" tanya Hasan berbisik."Bukan apa-apa kok, Mas," jawab
MENGALAH LAGI?"Belum, Dek. Aku belum sempat mencarinya. Kenapa memangnya?" jawab Hasan dengan entengnya."Astagfirulloh!" geram Dinda. Dinda mencoba menahan semua amarahnya. Dia menghela nafasnya panjang. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia menatap suaminya yang memasang wajah polos tak berdaya nya itu, dia menemukan ide yang tiba-tiba datang menghampi di detik-detik terakhirnya berputus ada."Bagaimana kalau kita tinggal di bekas kos-kosan yang pernah aku tinggali, Mas? Di sana kan aku sudah pernah tinggal dan telah mencoba dan rasanya lumayan nyaman juga kok. Apalagi di sana bisa ditinggalin untuk pasangan suami istri," usul Dinda."Tapi di sana terlalu mahal, Dek," jawab Hasan."Tenanglah, aku bisa membiayainya kok, Mas. Penting kita harus segera istirahat di sana," ucap Dinda."Tapi Dek...""Mas asal keuangan itu untuk rumah tangga kita dan menyelamatkan hubungan rumah tangga kita maka demi Allah aku ikhlas-ikhlas saja. Tak masalah bagiku," ucap Dinda."Tapi apa kau tak ing
MERTUA YANG MENIKAH MENANTU YANG REPOT!"Dek!" panggil Hasan."Iya Mas," sahut Dinda mulai mengerjapkan matanya."Sudah selesai?" sambungnya, Hasan menganggukkan kepalanya."Ibu ingin bicara kepadamu, Dek," jawab Hasan."Hah? Bicara? Memang bicara apalagi sih, Mas?" cerca Dinda sambil bangun dari tidurnya."Entahlah, Dek. Temui saja dulu, Mas Hasan tak salat," ujar Hsan. Dinda pun menganggukkan kepalanya. Dia segera keluar menemui mertuanya yang duduk sambil memainkan HP nya dan senyum-senyum sendiri. Dinda pun menghampiri mertuanya."Ada apa, Bu? Katanya Ibu memanggil Dinda. Apakah iya?" tanya Dinda."Iya, duduk sini!" perintah Bu Nafis. Dinda pun duduk di dekat mertuanya."Kata Hasan kau ingin mengekost lagi ya?" tanya Bu Nafis. Dinda menganggukkan kepalanya."Jangan dulu!" tegas Bu Nafis."Kenapa, Bu?" tanya Dinda."Ck! KAu itu bagaimana sih, Din. Kau tahu kan mertuamu ini mau menikah. Jadi Ibu harap kau di sini dulu, bantu-ba
MENIKAH ALA INDIA BU NAFIS!"Ck! Dari tadi tak peka. Dasar menantu tak perhatian! Harusnya tanpa Ibu bicara pun kau mau membayar Ibu," ujar Bu Nafis."Baiklah kalau begitu," jawab Dinda pasrah."Bener Din? Bener kamu mau bayarin?" tanya Bu Nafis dengan wajah berbinar gembira."Iya tapi ada syaratnya, Bu," pinta Dinda."Ck! Kamu itu mau bayarin mertua sendiri kok pakai syarat-syarat segala. Ikhlas tidak sih?" protes Bu Nafis."Ya kan biar adil, Bu. Jadi sama-sama enaknya, toh syaratnya ini gampang sekali. Mau tidak?" tanya Dinda."Syarat apa toh? Kenapa harus seperti pakai syarat segala. Itungan dengan sekali kamu itu," keluh Bu Nafis. "Semua mah tergantung dengan Ibu, mau tidak? Kalau Ibu mau dia juga harus mengikuti syarat Dinda," jelas Dinda. Akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang, akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang. Daripada dia tidak mendapatkan Mua dan pernikahan impiannya seperti di negeri dongeng akan batal, apalagi rencan