SIAPA KELUARGA MERTUAKU SEBENARNYA? SEBERAPA KAYA DIA?
"Dek apakah kau marah dan tak percaya lagi kepada Mas Hasan?""Kenapa Mas seperti itu? Aku tidak pernah loh punya pikiran seperti itu kepadamu, Mas," ucap Dinda."Tapi kau terkesan seperti itu, Dek. Kau terkesan tidak ingin lagi mempercayaiku lagi," sanggah Hasan."Tidaklah, Mas. Itu hanya perasaanmu saja, mari kita segera ke bawah sarapan dan seegra ke stasiun," ajak Dinda. Hasan pun terdiam, dia tahu memang mengembalikan kepercayaan itu sangat sulit sekali. Teramat sulit bahkan."Ayo sarapan dulu!" ajak Pak Bukhari. Hasan pun dengan susah payah menelan semua makanan itu ada perasaannya tak bisa dilukiskan. Sekarang antara perasaan malu takut kecewa kepada mertuanya, tetapi dia juga bingung apa yang harus dikecewakan."Jadinya bagaimana, Nduk?" tanya Pak Bukhari."Seperti rencana awal," tegas Dinda."Rencana awal? Rencana apa, Dek?" tanya Hasan berbisik."Bukan apa-apa kok, Mas," jawabMENGALAH LAGI?"Belum, Dek. Aku belum sempat mencarinya. Kenapa memangnya?" jawab Hasan dengan entengnya."Astagfirulloh!" geram Dinda. Dinda mencoba menahan semua amarahnya. Dia menghela nafasnya panjang. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia menatap suaminya yang memasang wajah polos tak berdaya nya itu, dia menemukan ide yang tiba-tiba datang menghampi di detik-detik terakhirnya berputus ada."Bagaimana kalau kita tinggal di bekas kos-kosan yang pernah aku tinggali, Mas? Di sana kan aku sudah pernah tinggal dan telah mencoba dan rasanya lumayan nyaman juga kok. Apalagi di sana bisa ditinggalin untuk pasangan suami istri," usul Dinda."Tapi di sana terlalu mahal, Dek," jawab Hasan."Tenanglah, aku bisa membiayainya kok, Mas. Penting kita harus segera istirahat di sana," ucap Dinda."Tapi Dek...""Mas asal keuangan itu untuk rumah tangga kita dan menyelamatkan hubungan rumah tangga kita maka demi Allah aku ikhlas-ikhlas saja. Tak masalah bagiku," ucap Dinda."Tapi apa kau tak ing
MERTUA YANG MENIKAH MENANTU YANG REPOT!"Dek!" panggil Hasan."Iya Mas," sahut Dinda mulai mengerjapkan matanya."Sudah selesai?" sambungnya, Hasan menganggukkan kepalanya."Ibu ingin bicara kepadamu, Dek," jawab Hasan."Hah? Bicara? Memang bicara apalagi sih, Mas?" cerca Dinda sambil bangun dari tidurnya."Entahlah, Dek. Temui saja dulu, Mas Hasan tak salat," ujar Hsan. Dinda pun menganggukkan kepalanya. Dia segera keluar menemui mertuanya yang duduk sambil memainkan HP nya dan senyum-senyum sendiri. Dinda pun menghampiri mertuanya."Ada apa, Bu? Katanya Ibu memanggil Dinda. Apakah iya?" tanya Dinda."Iya, duduk sini!" perintah Bu Nafis. Dinda pun duduk di dekat mertuanya."Kata Hasan kau ingin mengekost lagi ya?" tanya Bu Nafis. Dinda menganggukkan kepalanya."Jangan dulu!" tegas Bu Nafis."Kenapa, Bu?" tanya Dinda."Ck! KAu itu bagaimana sih, Din. Kau tahu kan mertuamu ini mau menikah. Jadi Ibu harap kau di sini dulu, bantu-ba
MENIKAH ALA INDIA BU NAFIS!"Ck! Dari tadi tak peka. Dasar menantu tak perhatian! Harusnya tanpa Ibu bicara pun kau mau membayar Ibu," ujar Bu Nafis."Baiklah kalau begitu," jawab Dinda pasrah."Bener Din? Bener kamu mau bayarin?" tanya Bu Nafis dengan wajah berbinar gembira."Iya tapi ada syaratnya, Bu," pinta Dinda."Ck! Kamu itu mau bayarin mertua sendiri kok pakai syarat-syarat segala. Ikhlas tidak sih?" protes Bu Nafis."Ya kan biar adil, Bu. Jadi sama-sama enaknya, toh syaratnya ini gampang sekali. Mau tidak?" tanya Dinda."Syarat apa toh? Kenapa harus seperti pakai syarat segala. Itungan dengan sekali kamu itu," keluh Bu Nafis. "Semua mah tergantung dengan Ibu, mau tidak? Kalau Ibu mau dia juga harus mengikuti syarat Dinda," jelas Dinda. Akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang, akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang. Daripada dia tidak mendapatkan Mua dan pernikahan impiannya seperti di negeri dongeng akan batal, apalagi rencan
NASEHAT IPAR!"Rasanya itu tak sebanding kan, Mas?" sambung Dinda. Hasan langsung terdiam mendengarkan semua penjelasan Dinda. Dia tahu sang suami sebenarnya hanya merasa harga dirinya sedang di rendahkan. Apalagi sang istrinya sangat tahu suaminya itu sangat gengsian sekali. Dia tak ingin terlihat lemah bahkan di hadapan istrinya padahal Dinda pun juga tak pernah keberatan jika sang suami terkadang mengeluh kepadanya. Hanya saja perasaan Hasan untuk mengeluh itu sangat tertutupi oleh gengsi yang dimiliki."Benarkah begitu, Dek?" tanya Hasan."Apakah kau tak percaya padaku, Mas?" sahut Dinda."Terima kasih ya," kata Hasan. Dinda pun menganggukkan kepalanya."Oh iya, Mas. Rasanya kita tak perlu pindah sekarang," ujar Dinda."Tak perlu pindah? Apakah kau yakin? Bukankah kau yang dari tadi ingin pindah rumah, Dek? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?" tanya Hasan sambil mengernyitkan keningnya dengan heran. Dinda hanya menyengir dan tersenyum."Kan kau
POKOKNYA SEMUA KUDU MENYUMBANG!!!!"Ck! Bukannya apa-apa, Din. BUkannya Mbak Eva juga melarangmu, tidak begitu. Hanya saja Mbak Eva takut jika kau nanti akan dimanfaatkan oleh keluarga suami kita. Apalagi jika suami dan mertua tau siapa sejatinya dirimu," jelas Eva khawatir. Dinda tersenyum senang melihat kakak iparnya yang begitu tulus dengannya. Diantara seribu cobaan yang menerpa kehidupan rumah tangganya, dia sangat bersyukur karena memiliki ipar yang begitu perhatian dengannya. Dinda memeluk erat Eva dari samping dan mengelusnya."Terima kasih ya, Mbak. Mbak Eva sangat perhatian sekali denganku. Tapi sekarang Dinda yang ini bukanlah Dinda yang dulu. Jadi Mbak Eva tenang saja, Dinda tahu kok mana cara terbaik untuk mengakali semua permintaan Ibu. Mbak Eva tak usah takut aku akan dimanfaatkan oleh ibu," kata Dinda berbisik."Iya Dek, kau jangan terlalu baik pokoknya dengan Ibu. Sekalinya kau baik padanya, sekalinya kau perhatian dengannya maka Ibu langsung akan m
KEDATANGAN LARAS"Bu, sudahlah. Apalagi sih yang ingin Ibu tuntut sekarang, Bu? Kan kesepakatannya pernikahan Ini sederhana. Mengapa sekarang merembet sekali? Sudahlah Dinda menuruti semua keinginan Ibu untuk memakai MUA mahal, memakai ini dan itu, jangan menuntun anak-anak Ibu lainnya, Bu. Berikan kesempatan Mas Zain juga untuk berubah," keluh Hasan. Mbak Alif, Mas Zain hanya bisa menganggukkan kepalanya setuju semua usul Hsan. Apalagi dengan konsep pernikahan sederhana yang dibayangkan oleh mereka, ternyata tidak sesederhana apa yang diinginkan Bu Nafis. Mbak Alif pun hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia sudah mengeluarkan uang tak kurang dari lima juta juga untuk konsumsi."Kan konsumsinya sudah Mbak Alif juga, Bu. Bahkan semuanya sudah clear rasanya, dekor, Mua, makanan, lalu apalagi yang kurang sih, Bu?" tanya Hasan."Ya pokonya tetap kurang karena Mas mu belum menyumbang apapun. Jika Zain sudah menyumbang apapun. Aku pasti tak akan protes," sanggah Bu Nafis
PATAH HATI ANAK PEREMPUANNYA!"Dek, kau kenapa? Kau menangis? Kau dari mana tadi?" tanya Dinda."Dari makam Ibu, Mbak," ucap Laras. Mendengar jawaban Laras, Dinda langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Laras menyeka air matanya, dia menatap Dinda dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca tanda masih menyisakan tangisnya."Mbak, entah kenapa tadi Laras tiba-tiba merasa bersalah dengan Ibu," gumam Laras."Kenapa kau berpikir seperti itu, Dek? Jangan menyalahkan dirimu sendiri," ucap Dinda."Karena Laras menyetujui pernikahan Papa dan Bu Nafis, Mbak Dinda. Bahkan rasanya Laras seperti berkhianat kepada Ibu, Mbak," jawab Laras."Hust!!! Jangan begitu, Dek. Jangan pernah berkata seperti itu, Dek. Tidak ada yang mengkhianati Ibumu, sungguh. Memang terkadang di dunia ini tak semua berjalan sesuai apa yang kau inginkan dan semua ekspektasimu. Karena memang ada takdir terbaik yang sudah di tulis gusti Allah dan berjalan tidak sesuai keinginan kita, De
BU NAFIS CALON IBU TIRI YANG LEMAH LEMBUT!"Iya Mbak, tapi kemungkinan memang aku dan Laras tak akan datang, Mbak. Kami masih berusaha untuk menerima semua ini dan butuh waktu," terang Laras."Iya, Dek. Mbak Dinda mengerti dan menurut Mbak Dinda itu juga bukan suatu perbuatan yang berdosa. Memang paling sulit itu adalah berdamai dengan keadaan kita sendiri, Mba Dinda paham itu, jadi tenanglah. Mbak Dinda tidak akan memarahimu, tak akan mengkritikmu, ataupun menyalahkanmu. Mbak Dinda akan mencoba untuk mengerti dan jika memang kau tak keberatan maka kau bisa bercerita kepada Mbak Dinda, apapun yang sedang kau rasakan. Jadi jangan kau pendam semuanya sendiri ya," kata Dinda."Dek, terlalu berat untukmu beban ini. Jadi bagilah kepada Mbak Dinda," sambungnya. Laras pun langsung memeluk Dinda. Dia sungguh terharu dengan semua ucapan Dinda. Tak menyangka jika akan mendapatkan kakak meskipun tak sekandung, tak sedarah, dan tak serahim, namun memiliki kebaikan hati seperti