NASEHAT IPAR!
"Rasanya itu tak sebanding kan, Mas?" sambung Dinda. Hasan langsung terdiam mendengarkan semua penjelasan Dinda. Dia tahu sang suami sebenarnya hanya merasa harga dirinya sedang di rendahkan. Apalagi sang istrinya sangat tahu suaminya itu sangat gengsian sekali. Dia tak ingin terlihat lemah bahkan di hadapan istrinya padahal Dinda pun juga tak pernah keberatan jika sang suami terkadang mengeluh kepadanya. Hanya saja perasaan Hasan untuk mengeluh itu sangat tertutupi oleh gengsi yang dimiliki."Benarkah begitu, Dek?" tanya Hasan."Apakah kau tak percaya padaku, Mas?" sahut Dinda."Terima kasih ya," kata Hasan. Dinda pun menganggukkan kepalanya."Oh iya, Mas. Rasanya kita tak perlu pindah sekarang," ujar Dinda."Tak perlu pindah? Apakah kau yakin? Bukankah kau yang dari tadi ingin pindah rumah, Dek? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?" tanya Hasan sambil mengernyitkan keningnya dengan heran. Dinda hanya menyengir dan tersenyum."Kan kauPOKOKNYA SEMUA KUDU MENYUMBANG!!!!"Ck! Bukannya apa-apa, Din. BUkannya Mbak Eva juga melarangmu, tidak begitu. Hanya saja Mbak Eva takut jika kau nanti akan dimanfaatkan oleh keluarga suami kita. Apalagi jika suami dan mertua tau siapa sejatinya dirimu," jelas Eva khawatir. Dinda tersenyum senang melihat kakak iparnya yang begitu tulus dengannya. Diantara seribu cobaan yang menerpa kehidupan rumah tangganya, dia sangat bersyukur karena memiliki ipar yang begitu perhatian dengannya. Dinda memeluk erat Eva dari samping dan mengelusnya."Terima kasih ya, Mbak. Mbak Eva sangat perhatian sekali denganku. Tapi sekarang Dinda yang ini bukanlah Dinda yang dulu. Jadi Mbak Eva tenang saja, Dinda tahu kok mana cara terbaik untuk mengakali semua permintaan Ibu. Mbak Eva tak usah takut aku akan dimanfaatkan oleh ibu," kata Dinda berbisik."Iya Dek, kau jangan terlalu baik pokoknya dengan Ibu. Sekalinya kau baik padanya, sekalinya kau perhatian dengannya maka Ibu langsung akan m
KEDATANGAN LARAS"Bu, sudahlah. Apalagi sih yang ingin Ibu tuntut sekarang, Bu? Kan kesepakatannya pernikahan Ini sederhana. Mengapa sekarang merembet sekali? Sudahlah Dinda menuruti semua keinginan Ibu untuk memakai MUA mahal, memakai ini dan itu, jangan menuntun anak-anak Ibu lainnya, Bu. Berikan kesempatan Mas Zain juga untuk berubah," keluh Hasan. Mbak Alif, Mas Zain hanya bisa menganggukkan kepalanya setuju semua usul Hsan. Apalagi dengan konsep pernikahan sederhana yang dibayangkan oleh mereka, ternyata tidak sesederhana apa yang diinginkan Bu Nafis. Mbak Alif pun hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia sudah mengeluarkan uang tak kurang dari lima juta juga untuk konsumsi."Kan konsumsinya sudah Mbak Alif juga, Bu. Bahkan semuanya sudah clear rasanya, dekor, Mua, makanan, lalu apalagi yang kurang sih, Bu?" tanya Hasan."Ya pokonya tetap kurang karena Mas mu belum menyumbang apapun. Jika Zain sudah menyumbang apapun. Aku pasti tak akan protes," sanggah Bu Nafis
PATAH HATI ANAK PEREMPUANNYA!"Dek, kau kenapa? Kau menangis? Kau dari mana tadi?" tanya Dinda."Dari makam Ibu, Mbak," ucap Laras. Mendengar jawaban Laras, Dinda langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Laras menyeka air matanya, dia menatap Dinda dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca tanda masih menyisakan tangisnya."Mbak, entah kenapa tadi Laras tiba-tiba merasa bersalah dengan Ibu," gumam Laras."Kenapa kau berpikir seperti itu, Dek? Jangan menyalahkan dirimu sendiri," ucap Dinda."Karena Laras menyetujui pernikahan Papa dan Bu Nafis, Mbak Dinda. Bahkan rasanya Laras seperti berkhianat kepada Ibu, Mbak," jawab Laras."Hust!!! Jangan begitu, Dek. Jangan pernah berkata seperti itu, Dek. Tidak ada yang mengkhianati Ibumu, sungguh. Memang terkadang di dunia ini tak semua berjalan sesuai apa yang kau inginkan dan semua ekspektasimu. Karena memang ada takdir terbaik yang sudah di tulis gusti Allah dan berjalan tidak sesuai keinginan kita, De
BU NAFIS CALON IBU TIRI YANG LEMAH LEMBUT!"Iya Mbak, tapi kemungkinan memang aku dan Laras tak akan datang, Mbak. Kami masih berusaha untuk menerima semua ini dan butuh waktu," terang Laras."Iya, Dek. Mbak Dinda mengerti dan menurut Mbak Dinda itu juga bukan suatu perbuatan yang berdosa. Memang paling sulit itu adalah berdamai dengan keadaan kita sendiri, Mba Dinda paham itu, jadi tenanglah. Mbak Dinda tidak akan memarahimu, tak akan mengkritikmu, ataupun menyalahkanmu. Mbak Dinda akan mencoba untuk mengerti dan jika memang kau tak keberatan maka kau bisa bercerita kepada Mbak Dinda, apapun yang sedang kau rasakan. Jadi jangan kau pendam semuanya sendiri ya," kata Dinda."Dek, terlalu berat untukmu beban ini. Jadi bagilah kepada Mbak Dinda," sambungnya. Laras pun langsung memeluk Dinda. Dia sungguh terharu dengan semua ucapan Dinda. Tak menyangka jika akan mendapatkan kakak meskipun tak sekandung, tak sedarah, dan tak serahim, namun memiliki kebaikan hati seperti
NASEHAT DINDA UNTUK MERTUANYA!"Apakah papamu tidak mengatakannya padamu?" tanya Dinda dengan tanda tanya yang besar."Tidak Mbak. Papa tidak pernah mengatakannya kepadaku. Kata Papa kami tidak perlu tahu karena semuanya akan diurus Papa, kami hanya tinggal terima beresnya, sangking tinggal terima beresnya sampai kami tidak tahu apa yang sebenarnya Papa rencanakan dan bagaimana pernikahan mereka nanti. Papa hanya memberikan kami baju, mengajak kami shopping dan mengatakan ini akan dipakai untuk pernikahannya tanpa berkata apapun," terang Bu Nafis. Dinda hanya menghela napas panjang dan membelai rambut Laras. Mungkin ini juga yang menyebabkan Laras jauh dari Papanya. Karena pak Hendi tetaplah sama seperti lelaki di luaran sana yang tak mengerti jika wanita itu lebih memiliki perasaan yang mendominasi. Dia tak mau mendekatkan diri kepada anak-anaknya karena terlalu kaku, mungkin karena Pak Hendi yang memang terbiasa bekerja di luar kota."Iya Dek. Acaranya memang pagi
ANAK BU NAFIS MULAI SETRES MELIHAT KELAKUAN AJAIB IBUNYA!"Kasihan sekali loh mereka nanti jika Ibu mempermasalahkan masalah sepele begitu. Jika masalah kecil di besar-besarkan maka kapan dekatnya juga? Bukankah Ibu juga ingin dekat dengan anak-anak sambung Ibu? Ibu tak ingin juga di benci Safira dan Laras kan?" tanya Dinda. Bu Nafis langsung diam mendengar semua ucapan Dinda. Ya sebenarnya kalau di pikir lagi, siapa yang tak ingin sih mendapatkan restu dari anak Pak Hendi itu. Apalagi kalau memang di pikir-pikir ya tidak begitu penting restu atau pun kehadiran anak sambungnya, apalagi jika dengan kehadiran anak sambungnya justru akan memperkeruh hubungan kekeluargaan mereka."Sebenarnya memang kehadiran mereka penting tak penting. Tanpa mereka pun pernikhan ini juga akan tetap berjalan sesuai dengan planning dan rencana kita sebelumnya. Tetapi kan pantasnya saja, lebih baik untuk bisa mendapat restu anak-anaknya," kata Bu Nafis dengan entengnya."Astaghfirullahalad
BERDANDAN RATU DAN ROMBONGAN DANYANGNYA! Ternyata mereka baru pulang dari pasar sejak subuh untuk mengambil bahan-bahan yang akan dimasak. Sedangkan di dapur orang-orang sudah bersiap untuk membuat masakan karena ijab kabul akan dilakukan pukul sembilan pagi."Waalaikumsalam!" sahut mereka semua. Mbak Alif berjalan ke belakang menemui Dinda."Kok sudah banyak sekali yang datang di depan,Dek? tapi di dapur ini-ini saja? Kemana mereka semua?" tanya Mbak Alif heran dengan jumlah sandal yang ada di ruang tamu."Lihatlah Mbak kelakuan ibumu," bisik Dinda."Di mana ibu?" tanya Mbak Alif."Tuh di kamar. Kau akan terkejut dan membaca istighfar berkali-kali, Mbak," ucap Dinda."Memang ada apa sih, Din?" tanya Mbak Alif penasaran dan langsung menaruh belanjaan secara serampangan."Ada apa, Din?" bisik Mbak Eva tak kalah penasarannya."Lihat saja di dalam sendiri, Mbak. Ibu berbuat ulah apa. Tak asik dong kalau spoiler di depan," kata Dinda."Astaghfiru
SAHHH!!!"Mereka jangan boleh masuk ke dalam! Jika tidak acaranya akan buyar," tegas Hasan."Benar itu," sahut Mas Zain."Wis kau ke dalam saja, San. Biar yang di luar Mas yang handle," perintah Mas Zain."Benar itu setidaknya ada satu orang yang di luar. Zain ini kan acara pernikahan Ibumu lebih baik kau yang masuk. Biarkan Mas Andri saja yang berjaga di luar," ujar Mas Andri."Tidak Mas, sampeyan saja. Sampeyan yang lebih tahu cara mengurus semua secara administrasi sedangkan aku dan Hasan tidak begitu mengerti. Justru jika kau ikut keluar akan repot nanti kita semua di dalam," usul Mas Zain."Benar itu Mas. Ayok, temani aku ke dalam yo. Biar Mas Zain saja yang di luar," usul Hasan. Akhirnya Mas Andri pun mengangguk."Kau yakin tidak apa-apa tak menyaksikan acara ijab kabul Ibumu?" tanya Mas Andri."Tak masalah, Mas. Tak apa-apa, aku akan berjaga di luar agar acara ini berlangsung dengan hikmat tak mengurangi kesakralannya. Daripada acara ini harus diganggu dengan tingkah laku merek
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."