IDE MENIKAH SIRI!"Reputasimu sudah hancur, Mas!" batin Dinda dalam hati"Ya sudah terserahmu saja, Mas! Atur lah," sahut Dinda."San! Hasan!" teriak Bu Nafis."Ibumu sudah memanggilmu, Mas," ucap Dinda."Iya Dek, teleponnya aku matikan dulu ya," kata Hasan."Iya Mas," sahut Dinda. Hasan pun langsung mematikan teleponnya."Kasihan sekali kamu Mas, selalu mendulukan Ibumu dan menjadi korban dari hubungan keluarga yang toxic kau sudah tidak lagi masuk generasi sandwich tapi emang keluargamu yang benar-benar toxic," gumam Dinda.Dinda pun menyudahi percakapan itu dan mulai mengemasi pakaiannya. Dia menarik nafas panjang, menyiapkan amunisi untuk menghadapi Bu Nafis mertuanya. Dia akan mencoba untuk lebih bisa santai dan mengatur tensi darahnya agar bisa berdamai dengan mertuanya itu. Tak akan memerlukan waktu lama lagi sampai Hasan pindah ke Kediri. Jadi dia mencoba untuk bersabar sejenak dan mengalah kepada mertuanya. Siapa tahu ini bisa menjadi jalan yang terbaik bagi mereka semua."A
KISAH PILU BU NAFIS"Bukannya begitu, San," kata Bu Nafis sambil menghela nafas panjang."Asal kau tahu, Ibu memiliki kenangan yang buruk tentang pernikahan dengan almarhum Abahmu..." sambungnya menggantung."Kenapa, Bu? Apa yang membuat Ibu mengatakan demikian? Selama ini Hasan lihat Ibu dan Abah bahagia-bahagia saja."Ya, memang benar. Namun apa yang kau lihat tak seperti apa yang Ibu rasakan selama ini, Le. Almarhum Abahmu sangat baik sekali, benar memang. Ibu tak munafik Abahmu itu suami sholeh, dia sangat membimbing Ibu dan menjadikan Ibu istri solehah, tetapi kau juga harus ingat, Ibu menikah di usia yang masih sangat muda," jelas Bu Nafis memandang ke arah depan dengan tatapn kosong."Kadang Ibu iri dengan teman-teman Ibu yang masih asik bermain dengan teman-temannya, tapi Ibu sudah harus dibebankan pada anak dan mengurus rumah. Ibu harus mengasuh anak sejak Ibu masih muda. Bahkan Ibu tak sempat mengenal lelaki lain selain Abahmu karena dijodohkan oleh ora
ANAK YANG MENGALAH!"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" teriak seseorang dari luar. Hasan menengok, jam sudah menunjukkan malam meski belum larut."Waalaikumsalam," sahut Hasan dan Bu Nafis secara bersamaan."Seperti suara Andri itu," ujar Bu Nafis."Coba kau bukakan sana, San!" perintahnya lagi. Hasan pun menganggukkan kepalanya, dia segera membuka pintu ruang tamu. Hasan bisa melihat Mbak Alif datang bersama Mas Andri, suaminya. Mereka pun masuk menyalami Hasan."Mana Ibu?" tanya Mbak Alif."Noh ada di belakang. Kenapa Mbak memangnya?" tanya Hasan melihat mata kakaknya memerah. Mbak Alif tak menjawab, dia hanya menyelonong masuk ke dalam rumah."Kenapa Mbak Alif itu, Mas? Sepertinya dia baru menangis ya? Wong matanya sembab dan merah, kalian bertengkara ya?" selidik Hasan."Bertengkar gundulmu! Ini itu gara-gara kalian. Kenapa kalian tega sekali tak menceritakan semua kepada kami tentang semua kejadian itu?" seloroh Mas Andri. Hasan langs
AKHIRNYA MENIKAH! Mbak Alif hanya terdiam, Mas Andri menghela napas panjang. "Bukankah aku tadi sudah bilang dari rumah? Ikhlaskan saja," tegas Mas Andri."Tapi Mas, mengapa Ibumu bisa tidak menikah tapi Ibuku justru ingin menikah lagi. Sudah tua loh, Mas. Ibu itu kan juga sudah punya cucu, apa tidak malu dengan cucunya, jika dia menikah lagi?" tanya Mbak Alif masih tidak terima."Sekarang aku tanya padamu, apakah kau tidak malu jika suatu saat Ibumu ketahuan lagi bersama Pak Hendi dan akan diarak warga lagi? Menurutku itu akan lebih memalukan kan? Apalagi anak-anakmu sekarang juga sudah besar, sudah mengerti anak yang paling besar saja sekarang di pondok. Begitu pun dengan Maulida, begitupun dengan Hasan," tegur Mas Andri."Kau enak tinggal bersama aku jauh dari tatapan orang-orang, hujatan warga, dan ghibahannya. Namun warga sini? Bagaimana nasib adikmu? Lihatlah juga adik-adikmu, dialah yang harus menghadapi orang-orang sini, menghadapi tatapan tajam mereka, menghadapi sindiran w
DUA KELUARGA"Bagaimana, Bu? Apakah itu setuju juga?" tanya Hasan."Terserahlah kalian atur saja bagaimana baiknya," jawab Bu Nafis pasrah."Baiklah kalau begitu, acaranya kan bisa sekalian diadakan sebelum puasa. Jadi bisa acara syukuran makan-makan lagi," ucap Zain."Benar itu. Kalau begitu Kau segera jemput Dinda saja. Karena puasa tinggal dua hari lagi dan sebelum puasa Ibu sudah harus menikah tp, lalu untuk dokumennya nanti bagaimana? Apakah bisa diurus secepat itu?" tanya Bu Nafis."Bisa kok, Bu. Nanti Andri akan bantu," tegas Mas Andri."Baiklah kalau begitu, semua sepakat ya. Pernikahan akan dilakukan sesegera mungkin, biar tidak ada fitnahan lagi. Aku harap ketika Dinda pulang ke sini nanti, semua akan beres," ujar Hasan. Semua menggangguk.Beberapa hari kemudian, suasana tenang. Tak ada kejadian yang membuat heboh juga, semua berjalan sebagaimana mstinya. Bahkan Bu Nafis tampak lebih tenang dan tak mengungkit masalah pernikahan dengan pak Hendi, begitupun dengan Maulida dia
PERUBAHAN RENCANA? SIAGA SATU!"Ternyata ada banyak hal yang tidak Mas tahu tentang Ibu," ucapnya."Maksudnya, Mas?""Iya tentang masa lalu Ibu. Tentang mengapa Ibu bisa menjadi begini, Ibu berkata beliau bisa begini karena dulu dia menikah terlalu muda. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk bisa menghabiskan masa mudanya, saat teman-temannya muda dia justru harus repot mengurus kami anak-anaknya yang masih kecil sehingga mungkin itulah yang menyebabkan Ibu bersikap demikian, Dek," terang Hasan. Dinda pun menghela napasnya panjang, dia mulai malas Ketika sang suami membahas hal ini. Pasti dia akan membela ibunya sehingga dia pun melihat ke arah Hasan."Apapun alasannya itu tapi sikap Ibumu itu tidak dibenarkan, Mas. Sebagai orang tua bukankah hendaknya Ibumu juga bijak? Dia bisa merasakan bagaimana pernah menjadi anak menantu juga jadi tak seharusnya menurutku dia bersikap begitu. Apalagi Ibu memiliki anak perempuan juga, Jadi jangan dibuat itu sebagai suatu pembenaran," protes Dinda
SIAPA KELUARGA MERTUAKU SEBENARNYA? SEBERAPA KAYA DIA?"Dek apakah kau marah dan tak percaya lagi kepada Mas Hasan?" "Kenapa Mas seperti itu? Aku tidak pernah loh punya pikiran seperti itu kepadamu, Mas," ucap Dinda."Tapi kau terkesan seperti itu, Dek. Kau terkesan tidak ingin lagi mempercayaiku lagi," sanggah Hasan."Tidaklah, Mas. Itu hanya perasaanmu saja, mari kita segera ke bawah sarapan dan seegra ke stasiun," ajak Dinda. Hasan pun terdiam, dia tahu memang mengembalikan kepercayaan itu sangat sulit sekali. Teramat sulit bahkan."Ayo sarapan dulu!" ajak Pak Bukhari. Hasan pun dengan susah payah menelan semua makanan itu ada perasaannya tak bisa dilukiskan. Sekarang antara perasaan malu takut kecewa kepada mertuanya, tetapi dia juga bingung apa yang harus dikecewakan."Jadinya bagaimana, Nduk?" tanya Pak Bukhari."Seperti rencana awal," tegas Dinda."Rencana awal? Rencana apa, Dek?" tanya Hasan berbisik."Bukan apa-apa kok, Mas," jawab
MENGALAH LAGI?"Belum, Dek. Aku belum sempat mencarinya. Kenapa memangnya?" jawab Hasan dengan entengnya."Astagfirulloh!" geram Dinda. Dinda mencoba menahan semua amarahnya. Dia menghela nafasnya panjang. Mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia menatap suaminya yang memasang wajah polos tak berdaya nya itu, dia menemukan ide yang tiba-tiba datang menghampi di detik-detik terakhirnya berputus ada."Bagaimana kalau kita tinggal di bekas kos-kosan yang pernah aku tinggali, Mas? Di sana kan aku sudah pernah tinggal dan telah mencoba dan rasanya lumayan nyaman juga kok. Apalagi di sana bisa ditinggalin untuk pasangan suami istri," usul Dinda."Tapi di sana terlalu mahal, Dek," jawab Hasan."Tenanglah, aku bisa membiayainya kok, Mas. Penting kita harus segera istirahat di sana," ucap Dinda."Tapi Dek...""Mas asal keuangan itu untuk rumah tangga kita dan menyelamatkan hubungan rumah tangga kita maka demi Allah aku ikhlas-ikhlas saja. Tak masalah bagiku," ucap Dinda."Tapi apa kau tak ing
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."