DIANTARA DUA PILIHAN. MENTAL ATAU PERASAAN?"Kau kenapa, Nduk? Papa melihatmu sedari kasih kau hanya diam saja Apakah ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Pak Bukhari.Dinda menoleh ke arah Papanya. Sudah sehari ini, bahkan hampir dua hari dia mendiamkan suaminya. Bukan tanpa alasan sebenarnya Dinda mendiamkan Hasan sebenarnya, karena dia ingin tahu bagaimanakah reaksi Hasan sebenarnya dan alhamdulillahnya semua tidak seperti pikiran buruk Dinda. Hasan masih mencarinya.Dia beberapa kali bahkan mengirimkan pesan sejak semalam, namun Dinda sama sekali belum membalasnya. Dia takut akan mudah lagi luluh oleh bujuk rayu sang suami dan endingnya akan termakan oleh ekspektasinya sendiri. Karena sang suami akan kembali berulah lagi. Dia takut suaminya tak akan memperlakukannya selayaknya seorang istri dan masih tetap akan mendahulukan ibunya diatas segalanya. Meskipun dalam pesan itu Hasan sudah mengatakan kepada Dinda bahwa bu Nafis mertuanya akan menikah dengan pak Hendi, nam
KEPULANGAN DINDA DAN SURAT PINDAH UNTUK HASAN"Sekarang kegalauan itulah yang membuat Dinda berpikir ulang, langkah apa yang sebaiknya Dinda ambil, Pa?" tanya Dinda."Jika boleh jujur Papa pun berpikir mungkin lebih baik untuk sementara waktu Papa memberikan surat tugas saja kepada Hasan agar bekerja di kota ini. Bagaimana menurutmu?" tanya Pak Bukhori."Toh, kau bisa memakai rumah sebelah untukmu dan suamimu. Bukankah itu artinya kau juga sudah bisa rumah sendiri juga. Kami tak akan merecokimu juga, tapi apakah Hasan mau ya, Nduk? Justru Papa khawatir jika Hasan menolak dan keluar dari perusahaan," sambungnya.Mendengar ucapan Papanya, Dinda terdiam sejenak. Ini semua pernah dia diskusikan dengan kakak ipar perempuannya. Dia pernah berbicara ini kepada Mbak Eva dan Mbak Eva pun juga berkata juga Hasan tak akan mungkin mudah keluar dari perusahaan mengingat usianya yang sudah tak lagi muda akan sulit untuknya mencari pekerjaan baru juga."Rasanya tidak, Pa. Mas Hasan tentu mempertimb
BERITA GEMBIRA"Waalaikumsalam! Maafkan Mas ya, Mas terlalu bersemangat mengangkat teleponmu sampai lupa mengucapkan salam," ujar Dinda."Bagaimana, Dek? Apakah kau masih marah dengan Mas?" tanya Hasan."Untuk apa aku marah, Mas? Aku selama ini diam karena aku ingin menata hatiku dulu," jawab Dinda."Apakah sekarang hatimu sudah tertata?" tanya Hasan mencoba bergurau."Lumayan. Bagaimana keadaanmu, Dik? Apakah kau jauh lebih baik sekarang?" tanya Hasan lagi."Ya jauh lebih baik sekarang rasanya, Dek. Aku ada berita gembira untukmu, Dek. Pak Hendi dan Ibu akan segera menikah," jelas Hasan."Apakah mereka sudah sepakat dan setuju, Mas? Tidak tanpa pasaan kan?" tanya Dinda mencoba memastikan."Iya kemarin Pak Hendi sudah dari sini dan sudah sepakat akan menikah dengan Ibu, Dek. Malah kalau tidak maka Pak Hendi bisa saja menuntut Ibu, karena kan kau tahu sendiri Pak Hendi juga sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk si Zain itu," terang Hasan.Mendengar ucapan itu, Dinda langsung
IDE MENIKAH SIRI!"Reputasimu sudah hancur, Mas!" batin Dinda dalam hati"Ya sudah terserahmu saja, Mas! Atur lah," sahut Dinda."San! Hasan!" teriak Bu Nafis."Ibumu sudah memanggilmu, Mas," ucap Dinda."Iya Dek, teleponnya aku matikan dulu ya," kata Hasan."Iya Mas," sahut Dinda. Hasan pun langsung mematikan teleponnya."Kasihan sekali kamu Mas, selalu mendulukan Ibumu dan menjadi korban dari hubungan keluarga yang toxic kau sudah tidak lagi masuk generasi sandwich tapi emang keluargamu yang benar-benar toxic," gumam Dinda.Dinda pun menyudahi percakapan itu dan mulai mengemasi pakaiannya. Dia menarik nafas panjang, menyiapkan amunisi untuk menghadapi Bu Nafis mertuanya. Dia akan mencoba untuk lebih bisa santai dan mengatur tensi darahnya agar bisa berdamai dengan mertuanya itu. Tak akan memerlukan waktu lama lagi sampai Hasan pindah ke Kediri. Jadi dia mencoba untuk bersabar sejenak dan mengalah kepada mertuanya. Siapa tahu ini bisa menjadi jalan yang terbaik bagi mereka semua."A
KISAH PILU BU NAFIS"Bukannya begitu, San," kata Bu Nafis sambil menghela nafas panjang."Asal kau tahu, Ibu memiliki kenangan yang buruk tentang pernikahan dengan almarhum Abahmu..." sambungnya menggantung."Kenapa, Bu? Apa yang membuat Ibu mengatakan demikian? Selama ini Hasan lihat Ibu dan Abah bahagia-bahagia saja."Ya, memang benar. Namun apa yang kau lihat tak seperti apa yang Ibu rasakan selama ini, Le. Almarhum Abahmu sangat baik sekali, benar memang. Ibu tak munafik Abahmu itu suami sholeh, dia sangat membimbing Ibu dan menjadikan Ibu istri solehah, tetapi kau juga harus ingat, Ibu menikah di usia yang masih sangat muda," jelas Bu Nafis memandang ke arah depan dengan tatapn kosong."Kadang Ibu iri dengan teman-teman Ibu yang masih asik bermain dengan teman-temannya, tapi Ibu sudah harus dibebankan pada anak dan mengurus rumah. Ibu harus mengasuh anak sejak Ibu masih muda. Bahkan Ibu tak sempat mengenal lelaki lain selain Abahmu karena dijodohkan oleh ora
ANAK YANG MENGALAH!"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" teriak seseorang dari luar. Hasan menengok, jam sudah menunjukkan malam meski belum larut."Waalaikumsalam," sahut Hasan dan Bu Nafis secara bersamaan."Seperti suara Andri itu," ujar Bu Nafis."Coba kau bukakan sana, San!" perintahnya lagi. Hasan pun menganggukkan kepalanya, dia segera membuka pintu ruang tamu. Hasan bisa melihat Mbak Alif datang bersama Mas Andri, suaminya. Mereka pun masuk menyalami Hasan."Mana Ibu?" tanya Mbak Alif."Noh ada di belakang. Kenapa Mbak memangnya?" tanya Hasan melihat mata kakaknya memerah. Mbak Alif tak menjawab, dia hanya menyelonong masuk ke dalam rumah."Kenapa Mbak Alif itu, Mas? Sepertinya dia baru menangis ya? Wong matanya sembab dan merah, kalian bertengkara ya?" selidik Hasan."Bertengkar gundulmu! Ini itu gara-gara kalian. Kenapa kalian tega sekali tak menceritakan semua kepada kami tentang semua kejadian itu?" seloroh Mas Andri. Hasan langs
AKHIRNYA MENIKAH! Mbak Alif hanya terdiam, Mas Andri menghela napas panjang. "Bukankah aku tadi sudah bilang dari rumah? Ikhlaskan saja," tegas Mas Andri."Tapi Mas, mengapa Ibumu bisa tidak menikah tapi Ibuku justru ingin menikah lagi. Sudah tua loh, Mas. Ibu itu kan juga sudah punya cucu, apa tidak malu dengan cucunya, jika dia menikah lagi?" tanya Mbak Alif masih tidak terima."Sekarang aku tanya padamu, apakah kau tidak malu jika suatu saat Ibumu ketahuan lagi bersama Pak Hendi dan akan diarak warga lagi? Menurutku itu akan lebih memalukan kan? Apalagi anak-anakmu sekarang juga sudah besar, sudah mengerti anak yang paling besar saja sekarang di pondok. Begitu pun dengan Maulida, begitupun dengan Hasan," tegur Mas Andri."Kau enak tinggal bersama aku jauh dari tatapan orang-orang, hujatan warga, dan ghibahannya. Namun warga sini? Bagaimana nasib adikmu? Lihatlah juga adik-adikmu, dialah yang harus menghadapi orang-orang sini, menghadapi tatapan tajam mereka, menghadapi sindiran w
DUA KELUARGA"Bagaimana, Bu? Apakah itu setuju juga?" tanya Hasan."Terserahlah kalian atur saja bagaimana baiknya," jawab Bu Nafis pasrah."Baiklah kalau begitu, acaranya kan bisa sekalian diadakan sebelum puasa. Jadi bisa acara syukuran makan-makan lagi," ucap Zain."Benar itu. Kalau begitu Kau segera jemput Dinda saja. Karena puasa tinggal dua hari lagi dan sebelum puasa Ibu sudah harus menikah tp, lalu untuk dokumennya nanti bagaimana? Apakah bisa diurus secepat itu?" tanya Bu Nafis."Bisa kok, Bu. Nanti Andri akan bantu," tegas Mas Andri."Baiklah kalau begitu, semua sepakat ya. Pernikahan akan dilakukan sesegera mungkin, biar tidak ada fitnahan lagi. Aku harap ketika Dinda pulang ke sini nanti, semua akan beres," ujar Hasan. Semua menggangguk.Beberapa hari kemudian, suasana tenang. Tak ada kejadian yang membuat heboh juga, semua berjalan sebagaimana mstinya. Bahkan Bu Nafis tampak lebih tenang dan tak mengungkit masalah pernikahan dengan pak Hendi, begitupun dengan Maulida dia