Saat Papa Bukhari turun tangan! Bu Nafis terheran-heran!"Apa Hasan tak mau mengantarkanmu?" tanya papa Dinda."Mas Hasan....." Apa yang harus di katakan Dinda. Dinda takut papanya tambah marah saat tahu prilaku Hasan. Tapi jika tidak begitu alasan apa yang bisa Dinda katakan pada papanya. Papa Dinda menyadari sesuatu hal yang tak beres sedang terjadi."Jujur, katakanlah pada Papa apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kau tiba-tiba tidak diantar Hasan dan memilih naik travel?" tanya papa Dinda dengan setengah mendesak Dinda untuk jujur."Sebenarnya kemarin sudah berencana untuk ke Kediri dengan mengendarai mobil Abah, Pah! Tapi entah mengapa tiba-tiba Mas Hasan hari ini mengirim Dinda pesan agar bersiap, karena dijemput oleh travel nanti siang karena Mas Hasan sibul! Padahal Dinda sudah menyiapkan semuanya dalam koper," ujar Dinda sambil terisak menangis."Tak usah Kau berangkat! Batalkan saja travelnya, kalau memang sudah terlanjur maka bisa kau uruh berangkat sendiri! Paling hanya k
Kesalahan fatal!Bu Nafis langsung masuk ke dalam rumahnya. Dia segera mengambil handphone yang ada di atas meja rias kamar Ifah. Ifah sendiri kebetulan masih pergi ke rumah Laras temannya yang berada di samping rumah.[San sepertinya Dinda tadi tak jadi naik travel pulang ke Kediri tapi dia dijemput seorang pria tampan mengendarai mobil Alphard mahal]Send pesan terkirim pada Hasan. Ibu Nafis langsung duduk diranjang milik Ifah, dia masih takjub dan tak percaya melihat pemandangan yang beberapa saat lalu disaksikannya. Tak mungkin jika Dinda tak memiliki hubungan apa-apa dengan pria naik Alphard tadi. Terlihat jelas pria tadi sangat menghormati Dinda. Bahkan dia membukakan pintu untuknya melayani Dinda seperti layaknya bos atau juragan saja. Pakaian yang dikenakan pria itu juga rapi menggunakan setelan jas seperti yang ada di TV. Yang menjadi pertanyaan bu Nafis adalah siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Dinda. Mengapa mendadak menantunya itu bisa menjadi kaya raya. Seketika B
BOOMERANG!Hasan tertegun mendapati pesan dari istrinya Dinda. Dia tak menyangka dan tak mengira Dinda bisa mengirim pesan seperti itu. Selama ini Dinda adalah istri yang sangat menurut bukan tipikal istri yang mendominasi. Tetapi sepertinya akhir-akhir ini berbeda, dia telah berubah menjadi istri pembangkang dan tak bisa diatur. Bahkan mengarah ke arah semaunya sendiri."Apa dan siapa yang membuatmu seperti ini, Dek?" batin Hasan dalam hati.Hasan memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Karena dia sadar jika pesan itu di lanjutkan lagi, mungkin akan ada setan di antara mereka yang memanas-manasi dan membuat mereka emosi satu sama lain. Lebih baik ini di biarkan mereda terlebih dahulu, baru mereka akan membicarakannya lagi. Hasan segera menyelesaikan pekerjaannya di kantor sebelumnya dia sudah menghubungi satu tukang untuk membenahi jendela sang ibu.Sedangkan di rumah Bu Nafis berpindah kamar dengan memanfaatkan kamar Hasan untuk tempat tinggalnya sementara. Karena Dinda juga bera
Darah yang berceceran"Bayangkan kalau itu terjadi pada anakmu, dia menyukai lelaki dan anak kita wanita! jika kita tak merestuinya lalu dia bertemu diam- diam dengan lelaki itu di belakang, bagaimana?" tanya bu Nafis."Ibu hanya takut Ifah terjerumus hubungan yang tidak benar. Lebih baik mereka jujur pada ibu bahwa benar ada hubungan. Suatu saat jika ada apa-apa ibu tahu pada siapa harus mencari dan siapa lelaki yang bertanggung jawab atas dirinya," jelas bu Nafis seolah-olah membijakkan dirinya di hadapan anak-anaknya.Padahal Bu Nafis tidak berniat seperti itu. Memang benar dia merestui hubungan Arif dengan Ifah karena Arif sudah PNS. Itu dirasa lebih aman daripada kehidupan anak-anaknya sekarang.Sekarang Mbak Alif terdiam mendengar penjelasan ibunya yang memang masuk akal. Mungkin dia akan berlaku seperti itu juga jika anaknya menemukan lelaki yang mapan. Tapi jujur saja hati Mbak Alif masih saja tak terima takut jika terjadi apa-apa dengan Ifah."Sudah, sudah tak usah di bahas l
KURETASE?Dinda segera naik ke dalam mobil di ikuti dengan kedua orang tuanya. Mereka langsung pergi ke salah satu rumah sakit swasta terkenal di kotanya . Semua yang ada di dalam mobil ikut panik namun Dinda tak merasakan apapun dia juga tak merasakan sakit yang ada hanyalah rasa ketakutan luar biasa di hatinya. Dia takut jika sesuatu terjadi dalam kandungannya, sekitar lima belas menit. Mereka sampai di rumah sakit tujuan. Papa Dinda langsung turun dan berteriak di IGD meminta bantuan karena panik."Tolong, Dok! Tolong anak saya sudah pendarahan! Dia sedang hamil empat bulan," ujar Papa Dinda sambil menggeret lengan seorang suster yang di dekatnya."Baik, Pak! Sebentar, sebentar mana anaknya? Apakah bisa berjalan?" tanya suster UGD lagi."Bawakan kursi roda saja, Sus!" teriak seorang perawat lelaki di belakangnya.Tanpa banyak bicara lagi suster perempuan itu mengambil sebuah kursi roda dan berjalan di belakang Papa Dinda. Mereka menuju sebuah mobil, Dinda langsung di suruh duduk di
Keputusan tanpa Hasan."Apa itu artinya anak kami keguguran, Dok?" sahut Mama Dinda yang mulai paham ke mana arah pembicaraan dokter.Dengan berat hati dokter hanya menganggukkan kepalanya. Seketika tubuh Papa Dinda lurus menyender ke kursi. Mama Dinda langsung menghampiri Dinda. Berbeda dengan respon yang diduga Dinda justru tersenyum menguatkan."Sudah tak papa kok, Pah! Mama tak usah sedih juga, Mungkin memang belum rezeki, Dinda," ujar Dinda.Tanpa semua orang tahu sebenarnya Dinda memiliki pemikiran yang berbeda. Sedikit banyak dia mulai mengerti mengapa Tuhan memberikan jalan ini kepadanya. Mungkin memang ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga mereka saat ini. Indah justru kasihan jika bayi ini lahir di dunia.Dinda merasa sebagai wanita psikisnya belum siap menjadi seorang ibu. Apalagi Hasan yang masih suka bertindak semaunya tidak mencerminkan sosok sedikitpun sebagai seorang ayah yang baik. Walaupun hati Dinda sakit setidaknya dia bersyukur jika memang kemungkinan terburuk
KABAR MENGEJUTKAN!'Tring'Satu pesan masuk di HP Hasan. Hasan mengeroko HP di sakunya dia melihat pesan dari siapa yang masuk ternyata satu pesan dari mertuanya. Segera dia membuka pesan itu sambil meminum kopi yang telah dibuatkan Pak Heru tadi.[Dinda harus menjalani operasi kuretase. Bayi kalian meninggal, ini dinda masuk ruang operasi]'prang' Cangkir yang berisi kopi dipegangnya tadi langsung luruh. Terjatuh di meja kerjanya dan pecah berkeping-keping. Air kopi itu membasahi semua file dokumen Hasan dan kertas yang ada di meja kerjanya. Pesan sampai berkali-kali mengerjakan matanya berharap dia salah membaca."Astaghfirullahaladzim innalillahi wa inna ilaihi rojiun," pekik Hasan tertahan.Dia duduk di kursinya sambil terbengong. Dia tak bisa berkata-kata lagi saat ini. Pikirannya kosong mencoba mencerna semua yang telah terjadi. Membaca pesan itu sekali lagi berharap dia salah. Tapi nyatanya pesan itu tak berubah dan masih sama.Hasan sege
MURKANYA HASAN!"Fah, mana kuncinya?" bentak Hasan bukan karena panik, tetapi Hasan begitu terkejut melihat Ifah.Ifah sontak terkejut, dia tersentak kaget mendapati Kakak lelakinya masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Padahal posisinya dia sekarang sedang melakukan video call dengan arif. Hasan sekelipat melihat seragam polisi tertera di layar Ifah dia langsung merebut HP Ifah dengan kasar."Kenapa kau masih mengganggu keluargaku dan adikku? Tak cukup kau merusaknya semua dengan mendatangkan istrimu yang meneror keluarga kami?" hardik Hasan."Bangsat kau!" umpat Hasan melampiaskan rasa emosi yang meluap karena keterkejutannya mendapatkan kabar bahwa Dinda keguguran.Ifah sontak langsung merebut hp-nya kembali dari genggaman tangan kakaknya itu. Dia berusaha menggapai HPnya. Tetapi tidak bisa, Hasan justru menepis tangannya dan mendorong tubuhnya ke belakang hingga Ifah jatuh terduduk di sebelah ranjang miliknya. Hasan kemudian membanting HP
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."