SEPENGGAL KISAH SEPIRING PECEL TUMPANGPagi harinya Dinda segera bersiap pulang ke rumah Madiun. Mereka akan bersiap kembali ke rumah mertuanya. Dinda sudah mengatakan hal ini kepada orang tuanya lewat pesan wa sejak semalam. Setidaknya orang tuanya harus tahu tentang rencana kembalinya dia ke Madiun dan alhamdulillahnya papanya Itu sangat mengerti. Memang bagaimanapun juga, anak perempuan setelah menikah harus berbakti kepada suami daripada orang tuanya.Pak Bukhari orang yang sangat tahu tentang agama, meskipun hatinya tak rela jika anaknya kembali ke Madiun namun sebagai orang tua dia tak bisa memiliki pilihan lain. Apalagi yang meminta itu adalah suami dari anaknya sendiri. Pagi ini sengaja tak Bukhari menyuruh pembantunya untuk memasak pecel tumpang yang istimewa sebagai tanda pelepasan putrinya kembali ke rumah mertua yang penuh dengan derita dan duka."Mari makan! Ini Simbok sudah menyiapkan makanan yang istimewa sebelum kalian berdua kembali ke Madiun," ucap simbok sambil meny
SEATAP DENGAN MERTUA LAGI? NO WAY!"Iya aku paham tetapi maksudku begini lho mengapa kau tak mampir dulu ke rumah ibu, untuk memberitahukan bahwa kita ini sudah pulang dan membagi sedikit oleh-oleh ini. Setelah itu kita bisa kembali ke Kosmu," jelas Hasan."Dari pada seperti itu akan membuang banyak waktu dan membuat kau terlambat lebih baik pulang bekerja nanti kita baru ke rumah ibu untuk membagi oleh-oleh ini. Bukankah itu tujuanmu? Hanya dengan begitu Kau lebih aman, akan terlambat pergi ke kantor dan tak akan mengecewakan ibu," usul Dinda.Hasan menganggukkan kepalanya setuju dengan usul Dinda yang menarik itu. Mereka pun berangkat ke Madiun dengan membawa oleh- oleh untuk teman- temannya. Sesampainya di stasiun Madiun, Hasan segera memesan grab. "Ini kita kemana dulu?" tanya Hasan."Ke Kosku dulu, Mas! Kau bisa ke kantor menggunakan mobilku, jadi biar irit. Bagaimana?" tanya Dinda.Dinda mengangguk setuju dengan usul istrinya. Karena usul itu di rasa terbaik dari pada dia harus
BERBOHONG DEMI KEBAIKAN"Toh jika memang Dinda mengekost, Hasan kan masih tinggal di sini kok, Bu!" ucap Hasan."Jadi kamu tetap di sini toh? Lalu kalau malam masak kau meninggalkan Dinda di kosnya sana?" tanya Bu Nafis."Apakah kau tega meninggalkan ibu dan adikmu di rumah ini sendiri? Padahal kami hanya di rumah berdua," sambung Bu Nafis."Iya, Bu! Dinda pun tak masalah jika Hasan setiap malam pulang ke rumah. Apalagi kondisi teror di kos ini juga belum menemui ujung dan masalah dengan warga pun juga belum selesai. Biar lah Hasan yang tidur di sini malam hari dan pagi ke rumah kos milik Dinda serta saat istirahat kantor," sahut Hasan."Toh jadwal ke rumah kos Dinda dengan kantor Hasan rasa cukup dekat, karena Dinda sendiri yang meminta hal ini," ujar Hasan.Ibu Nafis tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia mengelus pundak Hasan sedikit ada rasa bangga karena dia lebih di pentingkan dari pada Dinda. Ada rasa bangga pada anaknya itu, tak apa jika Dinda memilih untuk menge kos yang
KECURIGAAN PAK BUKHORI!"Kenapa Pah, Pah? Apa ada sesuatu yang penting?" Tanya Dinda."Papa curiga suamimu melakukan kesalahan entah disengaja atau tidak. Yang jelas kesalahan ini berasal dari suamimu sebagai tim lapangan, Papa tak bisa mentoleransi lagi," ujar Pak Bukhori."Ada apa sebenarnya, Pah? Dinda benar- benar tak paham maksud Papa, bukankah selama ini kinerja Mas Hasan sangat baik?" tanya Dinda kebingungan."Setahu Dinda, Mas Hasan adalah salah satu karyawan berprestasi yang produktivitasnya tinggi dan loyal adalah harapan semua pimpinan perusahaan," ucap Dinda mencoba membela suaminya."Ah itu dulu, Nduk! Belakang ini, suamimu menunjukkan ciri-ciri karyawan yang bermasalah, dan itu akan memiliki dampak yang bisa di akibatkan oleh karyawan bermasalah seperti Hasan, seperti berkurangnya produktivitas, menurunkan tingkat kepercayaan dan motivasi sesama rekan kerja. Tentu hal ini bukan masalah yang sepele," jawab Pak Bukhori."Ciri- ciri karyawan bermasalah apa yang Mas Hasan tu
SENJATA MAKAN TUAN!"Kau telpon siapa, Dek? Apa itu Papamu? Perusahaan? Apa maksud semua ini?" tanya Hasan yang sedari tadi sudah ada di dekat pintu mendengarkan istrinya telpon dengan seseorang.Dinda terkejut melihat sang suami yang tiba- tiba sudah ada di depan pintu, tentu lah dia sedikit banyak telah mendengarkan percakapan dia dengan Papanya. Jantung Dinda berdetak keras, dia gugup."Eh Mas, sudah pulang? Sejak kapan?" tanya Dinda."Apa maksudmu, Dek? Jelaskan semua sekarang," ujar Hasan."Hah? Apa, Mas? Apa?" tanya Dinda dengan tergagap dia tak tahu sekarang harus mengatakan apa lagi.Tak mungkin dia terus berbohong dengan suaminya karena bagaimanapun hukum berbohong tetap saja berdosa. Namun untuk mengatakan sumua kenyataannya kepada Hasan pun rasanya masih sangat sulit. Dinda pun menghela napasnya panjang. Hasan lalu masuk ke dalam kamar, dia duduk di samping Dinda yang duduk di kasur."Dek? Kenapa kau terdiam?" tanya Hasan menatap tajam ke arah wajah Dinda. Dinda terdiam sam
KEJUJURAN DINDA ON LOADING!"Dek!" tegur Hasan."Katakanlah!" perintah Hasan mulai meninggikan suaranya agar terlihat tegas. Dinda tak bisa di toleransi lagi karena penjelasannya akan memicu konflik baru untuk rumah tangganya."Baiklah, Mas! Dinda akan mengakui semuanya dan berharap Mas tidak akan marah," ucap Dinda dengan menatap suaminya. Hasan hanya menganggukkan kepalanya."Semua ini tidak berniatan untuk membohongi sebenarnya! Jujur saja, karena Dinda tidak memiliki niatan apapun dan tak pernah berpikir jelek," sambung Dinda."Memangnya kenapa sih, Dek?" tanya Hasan makin penasaran.Namun dia masih berusaha melunak dan tak langsung memojokkan Dinda. Setelah tadi sempat meninggikan suaranya."Ini masalah pekerjaan, Mas," ucap Dinda."Maksudmu apa itu, Dek? Memang aku aku tadi mendengar bahwa kau mengatakan perusahaan. Sebenarnya kau itu tadi telpon dengan siapa?" tanya Hasan yang masih tak mengerti."Tadi Dinda menelpon Papa, Mas," jawab Dinda."Papamu?" sahut Hasan makin bingung.
AKU IBUNYA DAN KAU HANYA ISTRINYA!Hasan pun merasa selama ini dia benar- benar tidak mengenal sepenuhnya siapa sejati istrinya itu sebenarnya. Mengapa begitu banyak teka-teki yang tidak dimengetahui Hasan, sedangkan Dinda mengetahui semua tentang hidupnya."Ya begitu kejujuran yang bisa aku katakan saat ini, Mas. Intinya Dinda akan mengatakan kejujuran itu dan memang kejujurannya adanya seperti itu, Dinda bekerja di perusahaan Papa Dinda sendiri dan maaf jika selama ini kalau Mas merasa terbohongi oleh Dinda," kata Dinda menahan tangisnya."Mengapa kau melakukan ini, Dek?" tanya Hasan."Aku tak ada niatan apa- apa, Mas! Toh selama ini kan Mas Hasan sendiri tak pernah mennayakan details pekerjaanku. Jadi aku pun tak menceritakan semua pada, Mas," jawab Dinda."Aku begitu karena aku amat sangat percaya padamu, Dek," ucap Hasan.Mendengar penjelasan Hasan itu pun Dinda sontak merasa bersalah dan berdosa karena membohongi suaminya. Dia mencium tangan Hasan. Tak terasa air matanya jatuh.
DUA GARIS YANG KEDUA!"Bu, AKU INI MENANTUMU! BUKAN SAINGANMU!" kata Dinda lagi.Dia sudah tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Dia menangis tak sanggup menahan sesak di dadanya. Bagaimana mungkin mertua nya menganggap dirinya bukan menantu tapi saingan. Entahlah bagaimana besok saat Bu Nafis mengetahui semuanya.Dia segera mengambil air wudhu dan salat malam untuk menenangkan hatinya. Tak bisa lagi dia berkata- kata saat di tengah sujudnya. Dia baru menyadari satu hal bahwa belum mendapatkan menstruasi selama satu bulan ini. Hal itu tentu membuat salat Dinda tak khusyuk. Setelah salam, dia segera membuka kalender di hp-nya. Benar saja dia belum menstruasi sudah telat dua minggu tanpa Dinda sadari."Ya Allah! Apakah ini artinya aku hamil?" batin Dinda di dalam hati sambil mengelus perutnya yang masih buncit karena memang dia gendut.Dinda pun segera mengambil hp nya, dia mulai mensecroll tiktok dan mencari Apotek yang masih buka dua puluh empat jam. Dinda pun segera memesan tespek
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."