TETAP SAJA SEMUA DEMI IBUMU, MAS!"Kau sedang membuat apa, Dek?" Hasan tanya pada istrinya itu."Tahu garam kesukaanmu, Mas! Menggunakan tahu taqwa kuning," jawab Dinda sambil terus memasak."Rupanya kau masih ingat makanan kesukaanku jika berada di Kediri. Apakah itu artinya kau mau kembali padaku lagi, Dek?" tanya Hasan"Hhahaha, kok cupet sekali pikiranmu, Mas! Mosok hanya dengan memasakkan makanan favorit mu sajakau menilai aku mau kembali padamu?" sahut Dinda.Hasan hanya diam saja mendengar ucapan Dinda. Dengan telaten Dinda melayani Hasan untuk makan, dia tak makan justru berada di depannya dan mengamati. Baru saja beberapa hari Dinda meninggalkan Hasan namun penampilan suaminya itu sudah acakadut.Brengos dan jambang nya sudah memenuhi wajah. Tak hanya itu, wajahnya nampak kusam dan berminyak pun dengan baju Hasan yang nampak lecek. Padahal sosok Hasan jika dandan dengan baik memiliki pesona sendiri bagi Dinda."Ah, kenapa kau berpenampilan lecek seperti ini, Mas?" tanya Dinda
SEPOTONG CERITA TAHU POO KEDIRI"Kalau memang Mas mau, aku akan mengekos saja di Madiun. Mas bisa menjenguk juga kapan pun Mas mau. Intinya aku tak ingin berada satu atap dengan mertuakau," sambung Dinda.Hasan menelan saliva nya dengan kasar. Pilihan yang di berikan Dinda sangat tak ada yang bisa di pilihnya. Namun dia juga sadar bahwa malam ini mereka harus memiliki kesepakatan. Tak bisa di tunda lagi."Dek, apa kau tak memikirkan jangka panjang jika memiliki keputusan seperti itu? Bagaimana dengan kata orang nanti jika melihatmu dan Ibu yang berada dalam satu kota tapi kalian tinggal di beda rumah? Kalian hidup sendiri- sendiri, satu mengekost dan yang satu lagi berada di rumah. Apa tidak akan malah membuat orang berpikir dan berprasangka negatif, Dek?" tanya Hasan."Untuk apa peduli dengan omongan dan pembicaraan orang, Mas? Orang itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga kita karena yang menjalani adalah aku. Tak hanya itu, yang merasakan juga aku, yang tahu mana
SEPENGGAL KISAH SEPIRING PECEL TUMPANGPagi harinya Dinda segera bersiap pulang ke rumah Madiun. Mereka akan bersiap kembali ke rumah mertuanya. Dinda sudah mengatakan hal ini kepada orang tuanya lewat pesan wa sejak semalam. Setidaknya orang tuanya harus tahu tentang rencana kembalinya dia ke Madiun dan alhamdulillahnya papanya Itu sangat mengerti. Memang bagaimanapun juga, anak perempuan setelah menikah harus berbakti kepada suami daripada orang tuanya.Pak Bukhari orang yang sangat tahu tentang agama, meskipun hatinya tak rela jika anaknya kembali ke Madiun namun sebagai orang tua dia tak bisa memiliki pilihan lain. Apalagi yang meminta itu adalah suami dari anaknya sendiri. Pagi ini sengaja tak Bukhari menyuruh pembantunya untuk memasak pecel tumpang yang istimewa sebagai tanda pelepasan putrinya kembali ke rumah mertua yang penuh dengan derita dan duka."Mari makan! Ini Simbok sudah menyiapkan makanan yang istimewa sebelum kalian berdua kembali ke Madiun," ucap simbok sambil meny
SEATAP DENGAN MERTUA LAGI? NO WAY!"Iya aku paham tetapi maksudku begini lho mengapa kau tak mampir dulu ke rumah ibu, untuk memberitahukan bahwa kita ini sudah pulang dan membagi sedikit oleh-oleh ini. Setelah itu kita bisa kembali ke Kosmu," jelas Hasan."Dari pada seperti itu akan membuang banyak waktu dan membuat kau terlambat lebih baik pulang bekerja nanti kita baru ke rumah ibu untuk membagi oleh-oleh ini. Bukankah itu tujuanmu? Hanya dengan begitu Kau lebih aman, akan terlambat pergi ke kantor dan tak akan mengecewakan ibu," usul Dinda.Hasan menganggukkan kepalanya setuju dengan usul Dinda yang menarik itu. Mereka pun berangkat ke Madiun dengan membawa oleh- oleh untuk teman- temannya. Sesampainya di stasiun Madiun, Hasan segera memesan grab. "Ini kita kemana dulu?" tanya Hasan."Ke Kosku dulu, Mas! Kau bisa ke kantor menggunakan mobilku, jadi biar irit. Bagaimana?" tanya Dinda.Dinda mengangguk setuju dengan usul istrinya. Karena usul itu di rasa terbaik dari pada dia harus
BERBOHONG DEMI KEBAIKAN"Toh jika memang Dinda mengekost, Hasan kan masih tinggal di sini kok, Bu!" ucap Hasan."Jadi kamu tetap di sini toh? Lalu kalau malam masak kau meninggalkan Dinda di kosnya sana?" tanya Bu Nafis."Apakah kau tega meninggalkan ibu dan adikmu di rumah ini sendiri? Padahal kami hanya di rumah berdua," sambung Bu Nafis."Iya, Bu! Dinda pun tak masalah jika Hasan setiap malam pulang ke rumah. Apalagi kondisi teror di kos ini juga belum menemui ujung dan masalah dengan warga pun juga belum selesai. Biar lah Hasan yang tidur di sini malam hari dan pagi ke rumah kos milik Dinda serta saat istirahat kantor," sahut Hasan."Toh jadwal ke rumah kos Dinda dengan kantor Hasan rasa cukup dekat, karena Dinda sendiri yang meminta hal ini," ujar Hasan.Ibu Nafis tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia mengelus pundak Hasan sedikit ada rasa bangga karena dia lebih di pentingkan dari pada Dinda. Ada rasa bangga pada anaknya itu, tak apa jika Dinda memilih untuk menge kos yang
KECURIGAAN PAK BUKHORI!"Kenapa Pah, Pah? Apa ada sesuatu yang penting?" Tanya Dinda."Papa curiga suamimu melakukan kesalahan entah disengaja atau tidak. Yang jelas kesalahan ini berasal dari suamimu sebagai tim lapangan, Papa tak bisa mentoleransi lagi," ujar Pak Bukhori."Ada apa sebenarnya, Pah? Dinda benar- benar tak paham maksud Papa, bukankah selama ini kinerja Mas Hasan sangat baik?" tanya Dinda kebingungan."Setahu Dinda, Mas Hasan adalah salah satu karyawan berprestasi yang produktivitasnya tinggi dan loyal adalah harapan semua pimpinan perusahaan," ucap Dinda mencoba membela suaminya."Ah itu dulu, Nduk! Belakang ini, suamimu menunjukkan ciri-ciri karyawan yang bermasalah, dan itu akan memiliki dampak yang bisa di akibatkan oleh karyawan bermasalah seperti Hasan, seperti berkurangnya produktivitas, menurunkan tingkat kepercayaan dan motivasi sesama rekan kerja. Tentu hal ini bukan masalah yang sepele," jawab Pak Bukhori."Ciri- ciri karyawan bermasalah apa yang Mas Hasan tu
SENJATA MAKAN TUAN!"Kau telpon siapa, Dek? Apa itu Papamu? Perusahaan? Apa maksud semua ini?" tanya Hasan yang sedari tadi sudah ada di dekat pintu mendengarkan istrinya telpon dengan seseorang.Dinda terkejut melihat sang suami yang tiba- tiba sudah ada di depan pintu, tentu lah dia sedikit banyak telah mendengarkan percakapan dia dengan Papanya. Jantung Dinda berdetak keras, dia gugup."Eh Mas, sudah pulang? Sejak kapan?" tanya Dinda."Apa maksudmu, Dek? Jelaskan semua sekarang," ujar Hasan."Hah? Apa, Mas? Apa?" tanya Dinda dengan tergagap dia tak tahu sekarang harus mengatakan apa lagi.Tak mungkin dia terus berbohong dengan suaminya karena bagaimanapun hukum berbohong tetap saja berdosa. Namun untuk mengatakan sumua kenyataannya kepada Hasan pun rasanya masih sangat sulit. Dinda pun menghela napasnya panjang. Hasan lalu masuk ke dalam kamar, dia duduk di samping Dinda yang duduk di kasur."Dek? Kenapa kau terdiam?" tanya Hasan menatap tajam ke arah wajah Dinda. Dinda terdiam sam
KEJUJURAN DINDA ON LOADING!"Dek!" tegur Hasan."Katakanlah!" perintah Hasan mulai meninggikan suaranya agar terlihat tegas. Dinda tak bisa di toleransi lagi karena penjelasannya akan memicu konflik baru untuk rumah tangganya."Baiklah, Mas! Dinda akan mengakui semuanya dan berharap Mas tidak akan marah," ucap Dinda dengan menatap suaminya. Hasan hanya menganggukkan kepalanya."Semua ini tidak berniatan untuk membohongi sebenarnya! Jujur saja, karena Dinda tidak memiliki niatan apapun dan tak pernah berpikir jelek," sambung Dinda."Memangnya kenapa sih, Dek?" tanya Hasan makin penasaran.Namun dia masih berusaha melunak dan tak langsung memojokkan Dinda. Setelah tadi sempat meninggikan suaranya."Ini masalah pekerjaan, Mas," ucap Dinda."Maksudmu apa itu, Dek? Memang aku aku tadi mendengar bahwa kau mengatakan perusahaan. Sebenarnya kau itu tadi telpon dengan siapa?" tanya Hasan yang masih tak mengerti."Tadi Dinda menelpon Papa, Mas," jawab Dinda."Papamu?" sahut Hasan makin bingung.