LAGI ULAH BU NAFIS,
"Ya Allah lindungilah suamiku, lancarkan operasinya! Kembalikan nyawanya dalam raganya, aku belum siap menjadi janda, ternyata aku sangat takut kehilangan suamiku," kata Dinda dalam hati.Dinda menunggu dengan hati yang berdebar-debar dan cemas. Dia berharap semoga keluarga Madiun segera menelpon padanya. Detik demi detik dia menunggu, rasanya jam berjalan sangat lambat. Akhirnya penantian itu sampai, suara nyaring bunyi panggilan call masuk di HP papanya."Pah, Papah bangun! Pah itu Mas Hasan sedang menelpon mungkin! Tolong angkat Pah," perintah Dinda berusaha membangunkan papanya yang baru saja terlelap.Dinta sebenarnya juga tak ingin membangunkan papanya. Tetapi bagaimana lagi, hanya itu yang bisa dilakukan sekarang. Dengan mengucek matanya dan mengumpulkan kesadaran Pak Bukhari bangun. Kepalanya sekarang terasa agak pusing dan berat. Mengingat dia baru tidur sekejap dan dibangunkan. Pak Bukhari mengambil hp-nya yang berada di atas nakas.BU NAFIS OH BU NAFIS"Dan Ibu tahu kan, gara-gara itu juga Mas Hasan juga harus menjalani operasi sampai patah tulang tangan seperti ini," lanjut Dinda."Eh Dinda semprul dengarkan aku ya! Siapa yang mau meminta musibah seperti ini? Tak ada yang mau dan tak ada yang ingin menjalani musibah! KAu tak tahu agama? Yang namanya musibah itu tidak bisa dipinta dan kita tidak tahu tanggal apesnya karena tak ada di kalender," hardik bu Nafi."Kau itu asal ngomong saja! Menuduh Ibu dan menyalahkan orang tua! Mbok ya di maklumi, yang namanya orang tua itu tempat salah dan mudah lupa, tapi Ibu tak berarti membuatmu dan Hasan cekcok juga! Tak ada niatan sedikitpun begitu! Kau harusnya intropeksi diri, mengapa hanya menyalahkan Ibu? Itu sih salah kamu yang tak bisa menjaga kandungan sampai gugur, kau emosi dan melampiaskannya padaku? Hah?" bentak bu Nafis terpancing emosi dengan perkataan Dinda."Kalau orang yang becus mah bisa menjaga kandungannya! Lagian ku kan malad sekali
BERDAMAI DENGAN EGO MASING-MASING "Balaslah perlakuan mertuamu itu! Sampai kapan kau mau dijajah dan ditindas seperti ini?""Tapi Dinda masih ingin kembali dengan Mas Hasan, Pah! Rasanya Dinda tak sanggup menjadi janda di usia ini, Pah," ujar Dinda lirih."Papa kan tidak menyuruhmu untuk berpisah dengan Hasan! Papa juga sudah menimbang omongan Mamamu semalam, Papa akan bersalah jika ikut campur urusan rumah tangga kalian. Papa hanya berkata kau harus bangkit dan kau harus bisa membalas semua perlakuan mertua itu," jelas papa Dinda."Bagaimana caranya, Pa? Sedangkan untuk bekerja saja di luar rumah Dinda tidak diizinkan oleh Mas Hasan," Kata Dinda lirih."Mengapa kau tak berpikir sampai sejauh itu? Kau bisa beralasan kerja di rumah kok, bisa berdandan dan zoom meeting dengan orang-orang di kantor, kau bisa pilih salah satu perusahaan Bapak yang ada di Kalimantan! Itu kan memerlukan zoom meeting hampir setiap hari, dan pekerjaannya bisa santai sambil ke cafe atau jalan-jalan. Kau hanya
JANGAN ADA IBUMU DIANTARA KITA, MAS!"Memang Ibu mengatakan apa saja padamu, Mas?" tanya Dinda memancing Hasan."Ibu kemarin mengadu padaku jika kau dijemput oleh seorang lelaki memakai jas dan naik mobil Alphard, Dek! Kita kan baru saja baikan, Mas tak akan marah padamu! Jika kau jujur andaikata itu adalah rental atau kau menyewa mobil tak masalah bagi, Mas," kata Dinda."Itu kan uangmu juga, tak ada Mas melarang-larang! Malah Mas justru merasa lebih lega jika itu terjadi daripada kau pergi dengan lelaki lain," kata Hasan."Mas, bisakah jangan ada ibumu diantara kita?" tanya Dinda."Apa maksudmu, Dek?" kata Hasan tak mengerti."Jadi kemarin papa menyuruh sopir menjemput Dinda, karena Papa khawatir jika naik travel sopirnya tidak safety atau ugal-ugalan. Aku menggunakan sopir Papa bukan sopir sembarangan," jawab Dinda."Sopir Papa?" tanya Hasan heran."Mas lupa bahwa Papa, itu juga bekerja di sebuah perusahaan besar tentulah dia punya kendaraan p
TEKAD DINDA!"Kalau itu, Ibu hanya bisa menyarankan bagaimana jika meminta uang penjualan mobil Dinda?" sahut bu Nafis."Bu, jangan berkata yang aneh-aneh begitu! Tak mungkin aku meminta uang itu pada Dinda sekarang ini. Uang penjualan mobil murni adalah hak Dinda, jika boleh jujur saja sekarang aku malu sekali, Bu,""Malu kenapa?" tanya bu Nafis. "Bagaimana Hasan tidak malu, Hasan kepikiran bagaimana Dinda membayar biaya semua nya di sana? Bukankah kuretase itu juga memerlukan biaya mahal, Bu? Dan yang seperti Ibu tahu saat ini, aku sama sekali tak memiliki uang untuk membiayainya," jawab Hasan.Bu Nafis langsung terdiam mendengar pernyataan itu dari putranya. Dia juga tak ingat kalau di sana Dinda sedang menjalankan operasi kuretase. Tetapi setidaknya di sana Dinda memiliki cadangan uang yang lumayan banyak hasil penjualan mobil. Jadi tak usahlah sebenarnya Hasan memikirkannya itu dalam-dalam, yang penting dia bisa keluar dari rumah sakit ini dengan biaya
KEDATANGAN ARIF DI RUMAH SAKIT"Assalamualaikum," teriak seseorang dari luar ruangan tempat Hasan dirawat."Waalaikumsalam," sahut bu Nafis sambil membukakan pintu.Ternyata itu adalah Arif dan beberapa anggota kepolisian lainnya. Mereka datang dengan pakaian rapi untuk mewawancarai Hasan. Hasan pun datang dengan membawa buah tangan untuk Hasan.Melihat kedatangan Arif sebenarnya hati Hasan memburu karena marah. Tetapi dia ingat, Arif saat itu memang bagian laka lantas tentulah dia akan banyak bertanya mengenai kejadian tabrakan yang dialaminya kemarin. Arif juga datang bersama beberapa temannya, tak mungkin juga sekarang dia marah dan meluapkan emosinya berkaitan dengan urusan pribadi. Dengan berjalan santai Arif menghampiri ranjang Hasan."Bagaimana, Mas Hasam keadaannya?" tanya Arif sambil menepuk bahu Hasan."Seperti yang kau lihat," sahut Hasan sambil tersenyum sinis.Ifah kebetulan keluar dari kamar mandi juga melihat kedatangan kekasih hatinya
TEROR DM IG[Akhirnya aku bisa keluar dengan Mas Arif dengan persetujuan Mas Hasan, Mbak]Send Ifah mengirimkan gambar. Kemudian Ifah juga mengupload status itu di sosial medianya dengan menutupi wajah Arif. Tanpa disangka itulah awal musibah bagi Ifah terjadi. Seharian ini Ifah bersama Arif. Kali ini hatinya tenang, karena tak dapat teror lagi dari kakak lelaki dan keluarganya. Dia mengurusi semua keperluan jasa Raharja kakaknya bersama Arif. Bahkan mereka menyempatkan diri untuk makan siang bersama. Tampak mereka sangat serasi sebagai pasangan bapak dan anak sebenarnya. Wajah Ifah terlalu baby face untuk usia Arif."Mas, maafkan perlakuan kakakku tadi ya," ujar Ifah di sela-sela makan mereka."Tak masalah, Mas lebih tahu bagaimana menghadapi orang-orang seperti Mas mu itu, masak mau meragukan Mas?" goda Arif.Ifah tersenyum simpul. Dia bahagia memiliki pasangan yang lebih dewasa. Karena begitu mengerti mengayomi dan melindunginya. Ifah seperti menemuk
KEDATANGAN KELUARGA KEDIRIIfah menatap mata Hasan. Haruskah sekarang dia mengatakan pada kakaknya tapi bagaimana reaksi kakaknya jika malah memarahinya. Saat ini dia tak memiliki pilihan lain, apalagi wanita itu mengancam memviralkannya. Ifah juga sudah langsung menghapus video dan fotonya saat bersama Arif tadi. Dia sangat ketakutan sekali saat ini apa yang harus Dia perbuat."Tidak Mas, Ifah tidak apa- apa kok," kata Ifah mencoba menutupi semua yang terjadi.Dia tak ingin Hasan saat ini tahu dan menjadi beban pikiran baginya. Ifah langsung berusaha memblokir Instagram milik mantan istri Arif tersebut. Tak lupa dia juga menscreenshot, semua ancaman nya. Dia tak lupa mengirimkan pada Arif. Tak lama HP Dinda berdering, satu telepon masuk dari Dinda kakak iparnya. Dia langsung pamit keluar dengan menunjukkan layar HP pada keluarganya."Mas aku keluar dulu ya, tak enak mengangkat telepon di dalam kamar ini, sinyalnya begitu jelek! Kartuku kan tak seperti Mas Hasan," pamit Ifah.Hasan me
Kejutan dari keluarga Kediri"Apakah keluarga mereka itu sekarang menjadi keluarga kaya mendadak?" kata bu Nafis dalam hati."Oh ya Hasan, kau pulang jam berapa nanti?" tanya Papa Dinda."Ini sebenarnya sudah boleh pulang, Pah! Tinggal menunggu dokter nanti siang untuk check satu kali lagi," jawab Hasan."Oke kalau begitu, nanti menggunakan mobil milik Dinda saja," perintah Papa Dinda.Hasan langsung salah tingkah mendengar sindiran mertuanya seperti itu. Apakah Dinda belum mengatakan pada papanya jika mobil itu sudah laku di jual, tapi bukankah Pak Bukhari kemarin sudah mengatakan jika uang tiga puluh juta itu di gunakan untuk membayar kuliah Ifah."Eh itu besan, anu mobilnya Dinda kan sudah di gunakan untuk membayar Ifah kuliah tiga puluh juta, bukankah Besan semalam sudah saya kasih tahu? Jangan pura- pura lupa deh Besan," ledek bu Nafis yang kasihan pada Hasan di sindir mertuanya."Tenang saja, aku membelikan anakku mobil baru! Agar dia tak di re
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."