MENTAL ISTRI DI HANCURKAN!"Izinkan aku untuk ikut kedua orang tuaku pulang sekejap saja ke Kediri. Aku hanya ingin menenangkan diri, Mas," jelas Dinda."Dek! Bukannya Mas tak mengizinkan namun Mas ingin kau di sini dulu! Kita selesaikan semua dengan kepala dingin," jelas Hasan."Termasuk masalah wanita itu dan selingkuhanmu, Mas?" ejek Dinda."Selingkuhan?" tanya Pak Bukhori kaget.Dinda pun memutar suara di HP nya, rekaman pembicaraan Bu Nafis dan Mas Zain. Hasan terkejut Dinda melakukan hal itu. Bukannya apa- apa namun Dinda melakukan itu di hadapan orang tuanya. Tentulah nama baik dan citra Hasan di pertaruhkan dalam hal ini. Dia tak ingin mertuanya salah paham namun dia juga tak kuasa lagi melihat Dinda mengeluarkan bukti yang sangat jelas dan tegas bahkan tak bisa di bantah. "Kenapa kau lakukan itu Hasan? Hah? Kalau memang kau tak suka pada anakku, bukankah lebih baik kau pulangkan saja? Kenapa kau masih mencegahnya pulang jika kau menduakannya? Apa maumu?" tanya Pak Bukhari me
SAAT ISTRI MULAI DIAM!"Aku akan beristiqoroh dulu beberapa hari untuk memutuskan nasib rumah tanggaku ke depannya," batin Dinda dalam hati."Bahtera kapalku yang mulai terombang-ambing di usia pernikahan yang belum genap setahun, haruskah aku pertahankan semua ini atau aku harus menyerah sekarang juga pilihan mana yang bisa ku ambil?"Setelah puas menulis surat itu, Dinda pun segera pergi. Dia mengemasi beberapa pakaian yang sengaja ingin di bawanya. Kemudian dia berpamitan kepada Hasan, bagaimanapun juga dia tak ingin meninggalkan rumah dalam keadaan saling emosi. Karena dia tak menganggap ada pertengkaran dengan Hasan."Dinda pamit dulu, Mas," kata Dinda sambil mengulurkan tangan memintah tangan Hasan untuk di salami dan menciumnya penuh takdzim. "Dek, kau akan kembali kan?" tanya Hasan.Alaih- alih menjawab justru Dinda hanya mampu tersenyum dengan sejuta arti. Hati Dinda sudah lelah. Dia memilih diam dan berpasrah pada Tuhan. Biarlah Tuhan yang membawa mereka ke mana, Dinda juga
MAKNA HIDUP BERUMAH TANGGA!"Maafkan aku, Dek! Maafkan! Kembalilah padaku," pekik Hasan lirih menjerit keras dalam hatinya.Hasan segera mengambil ponselnya untuk merayu Dinda. Tak mungkin dia menelpon Dinda karena sadar saat ini Dinda tentulah masih dalam mobil bersama orang tuanya. Hasan memutuskan untuk mengirim pesan saja pada istrinya itu.Sedangkan di sisi lain Dinda pun juga menjatuhkan air matanya di pipi berkali-kali. Dia mengusapi dengan tangannya. Kedua orang tuanya mengetahui hal itu, tapi membiarkannya memuaskan diri menangis. Memberi sedikit dan ruang bagi putrinya itu. Biarlah luka itu Dinda rasakan sekarang, biarlah dia membawa pergi luka itu rasa kecewa dan semua sakit hatinya, biarlah dia menangis hari ini tetapi besok tak akan pernah lagi ada air mata pikir kedua orang tua Dinda."Sudahlah, Nduk! Kau harus banyak bersyukur diantara pedihnya musibah yang sedang menimpa rumah tanggamu. Eh kok Alhamdulillah Hasan mengizinkanmu pulang ke rumah orang tuamu," jelas Pak Bu
TENTANG OPERASI BARIATRIK!Dinda pun bingung harus menjawab apa pesan dari suaminya. Dia memutuskan untuk sementara diam saja. Dia takut terlalu banyak berharap pada suaminya bukan karena apa-apa dia sudah membuktikan sendiri bagaimana saat suaminya itu emosi dia dengan mudah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan semuanya dan efek jangka panjangnya. Hal itu uang sebenarnya membuat Dinda semakin ragu kepada suaminya sendiri.Mobil itu pun melaju meninggalkan kota Madiun berjalan terus ke Kediri. Sesampainya di rumah orang tua Dinda. Dia pun segera merebahkan badanya di kasur kamar miliknya. Kamar yang telah membersamai nya sejak lama. Dia ingin istirahat malam ini lelah sekali rasanya hatinya merasakan semuanya. Dinda dan Hasan sama-sama saling memandang atap kamar masing-masing mencari jawaban atas segala permasalahan rumah tangganya ini."Ya Allah aku berpasrah semua padamu," batin Dinda dalam hati sambil memejamkan matanya.Keesokan harinya Dinda bangun dengan lebih segar lagi.
MENIKAH TAK SEINDAH ITU!"Dinda," panggil Devi."Ya?" tanya Dinda."Kenapa kau tak bersyukur seperti ini? Apa yang membuatmu berubah padahal pernikahamu belum ada setahun. Ada apa Dinda?" tanya Devi."Menikah ternyata tak seindah itu, Dev," kata Dinda dengan nada sura bergetar. Devi menghela nafasnya panjang. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. Devi pun pernah mengalami kegagalan dalam rumah tangga karena satu atap dengan mertua dan sisi egosinya masih sangat tinggi.Dia pernah berpikir bahwa setelah bercerai dengan suaminya akan merasa bahagia, nyatanya tidak. Entah apa yang di pikirkannya dulu, alih- alih memperbaiki rumah tangga justru Devi memilih loncat dari dari bahtera itu. Dia pikir setelah loncat hidupnya bebas, karena kebetulan juga belum memiliki anak. Tapi kenyataan status janda itu tak mudah di sorotnya."Din, percaya atau tidak? Setelah menikah itu pasti akan menemukan satu titik, kehidupan yang rasanya ingin lari dari pernikahan itu. Hati sedih, susah, ge
TENTANG STATUS JANDA"Kenapa Bibi menanyakan itu padaku?" tanya Dinda heran. Apakah sejelas itu raut wajahnya sehingga orang pun bisa menebak jika dia sedang dalam masalah."Bibi itu bekerja di sini sudah dari Non kecil! Tentu tahu bagaimana sikap dan sifat, Non Dinda! Bahkan hanya melihat wajah Non saja, Bibi sudah tahu jika Non ada dalam masalah. Memang Non sedang dalam masalah apa toh? Bisa bercerita dengan Bibi?" tanya Bik Sumi lagi."Tidak kok, Bi! Dinda tak ada masalah, Bibi jangan khawatir," ujar Dinda mencoba untuk menutup aib dalam rumah tangganya. Meskipun Bik Sumi sudah bekerja padanya lama, dia tak ingin masalah pribadi nya terekspos juga."Menjadi janda itu tak enak, Non! Percayalah pada Bibi," ujar Bik Sumi yang memang telah menjanda selama tiga puluh tahun lebih."Semua orang tentu menghadapi masalah dalam hidupnya, termasuk juga pasangan suami istri. Masalah dalam rumah tangga memang tidak semuanya sama, namun masalah tersebut terkadang membuat kedua belah pihak merasa
KEGUNDAHAN HASANPagi ini setelah sarapan, Hasan berangkat bekerja. Ada yang asing di pagi ini, biasanya Dinda yang mengantar minuman kopi pahit untuknya. Pagi ini tak ada kopi. Dia biasanya berangkat di antar Dinda sampai depan pintu, sekarang tak ada lagi yang mengntarnya. Bahkan dia harus naik motor pergi ke kantornya karena tak ada mobil."Bu, aku berangkat dulu, ya!" pamit Hasan padabu Nafis yang kualahan di dapur memasak dan menyiapkan barang dagangn sendiri."Cepatlah, San! Kau suruh Dinda pulang. Ibu lelah mengurus semua sendiri, tak ada Dinda," keluh Bu Nafis.Hasan tersenyum kecut karena tak hanya dirinya yang merasa kehilangan Dinda. Nyatanya sang Ibu juga kehilangan meskipun bukan kehilangan menantu tapi pembantu. Karena memang selama ini Dinda lah yang membantu Bu Nafis mempersiapkan jualan atau membersihkan rumah."Assalamualaikum," teriak Hasan bersiap pergi kerja.Sesampainya di kantor, Hasan masih saja mung. Hal itu di sadari oleh Pak Agus. Atasan atau kepala devisiny
TENTANG MASA IDDAH!"Kenapa Ibu, Fah? Sakit?" tanya Hasan ikut panik. Dia takut Ibunya kenapa- kenapa karena rumah ramai dan Ifah panik."Ibu, Mas! Ibu ketahuan sedang berduaan dengan lelaki bukan muhrimnya!" ujar Ifah."Siapa?" tanya Hasan."Lelaki itu adalah Pak Hendi!" ujar Ifah."Sebentar, sebentar! Apa maksudmu?" tanya Hasan.Hasan sedang mencoba mencerna semua ucapan adiknya yang begitu mendadak. Ibunya sedang berduaan dengan bukan muhrim, dan lelaki itu adalah Pak Hendi tetangga mereka. Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa?"Ibu?" gumam Hasan."Iya, Mas! Ibu tadi di sidang oleh warga karena ketahuan sedang berduaan dengan Pak Hendi di taman belakang komplek! Anak Pak Hendi yang memergoki mereka berduaan," jelas Ifah."Berduaan yang bagaimana maksudmu, Fah?" tanya Hasan."Ya, begitu Mas! Berduaan begitu, Mas! Bermesraan layaknya pacaran begitu," ujar Ifah lagi."Aku belum paham maksudmu, Fah! Tapi aku akan segera pulang. Kau tunggu di rumah jangan kemana -mana!" ujar Hasan ya di