MAKNA HIDUP BERUMAH TANGGA!"Maafkan aku, Dek! Maafkan! Kembalilah padaku," pekik Hasan lirih menjerit keras dalam hatinya.Hasan segera mengambil ponselnya untuk merayu Dinda. Tak mungkin dia menelpon Dinda karena sadar saat ini Dinda tentulah masih dalam mobil bersama orang tuanya. Hasan memutuskan untuk mengirim pesan saja pada istrinya itu.Sedangkan di sisi lain Dinda pun juga menjatuhkan air matanya di pipi berkali-kali. Dia mengusapi dengan tangannya. Kedua orang tuanya mengetahui hal itu, tapi membiarkannya memuaskan diri menangis. Memberi sedikit dan ruang bagi putrinya itu. Biarlah luka itu Dinda rasakan sekarang, biarlah dia membawa pergi luka itu rasa kecewa dan semua sakit hatinya, biarlah dia menangis hari ini tetapi besok tak akan pernah lagi ada air mata pikir kedua orang tua Dinda."Sudahlah, Nduk! Kau harus banyak bersyukur diantara pedihnya musibah yang sedang menimpa rumah tanggamu. Eh kok Alhamdulillah Hasan mengizinkanmu pulang ke rumah orang tuamu," jelas Pak Bu
TENTANG OPERASI BARIATRIK!Dinda pun bingung harus menjawab apa pesan dari suaminya. Dia memutuskan untuk sementara diam saja. Dia takut terlalu banyak berharap pada suaminya bukan karena apa-apa dia sudah membuktikan sendiri bagaimana saat suaminya itu emosi dia dengan mudah mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan semuanya dan efek jangka panjangnya. Hal itu uang sebenarnya membuat Dinda semakin ragu kepada suaminya sendiri.Mobil itu pun melaju meninggalkan kota Madiun berjalan terus ke Kediri. Sesampainya di rumah orang tua Dinda. Dia pun segera merebahkan badanya di kasur kamar miliknya. Kamar yang telah membersamai nya sejak lama. Dia ingin istirahat malam ini lelah sekali rasanya hatinya merasakan semuanya. Dinda dan Hasan sama-sama saling memandang atap kamar masing-masing mencari jawaban atas segala permasalahan rumah tangganya ini."Ya Allah aku berpasrah semua padamu," batin Dinda dalam hati sambil memejamkan matanya.Keesokan harinya Dinda bangun dengan lebih segar lagi.
MENIKAH TAK SEINDAH ITU!"Dinda," panggil Devi."Ya?" tanya Dinda."Kenapa kau tak bersyukur seperti ini? Apa yang membuatmu berubah padahal pernikahamu belum ada setahun. Ada apa Dinda?" tanya Devi."Menikah ternyata tak seindah itu, Dev," kata Dinda dengan nada sura bergetar. Devi menghela nafasnya panjang. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya itu. Devi pun pernah mengalami kegagalan dalam rumah tangga karena satu atap dengan mertua dan sisi egosinya masih sangat tinggi.Dia pernah berpikir bahwa setelah bercerai dengan suaminya akan merasa bahagia, nyatanya tidak. Entah apa yang di pikirkannya dulu, alih- alih memperbaiki rumah tangga justru Devi memilih loncat dari dari bahtera itu. Dia pikir setelah loncat hidupnya bebas, karena kebetulan juga belum memiliki anak. Tapi kenyataan status janda itu tak mudah di sorotnya."Din, percaya atau tidak? Setelah menikah itu pasti akan menemukan satu titik, kehidupan yang rasanya ingin lari dari pernikahan itu. Hati sedih, susah, ge
TENTANG STATUS JANDA"Kenapa Bibi menanyakan itu padaku?" tanya Dinda heran. Apakah sejelas itu raut wajahnya sehingga orang pun bisa menebak jika dia sedang dalam masalah."Bibi itu bekerja di sini sudah dari Non kecil! Tentu tahu bagaimana sikap dan sifat, Non Dinda! Bahkan hanya melihat wajah Non saja, Bibi sudah tahu jika Non ada dalam masalah. Memang Non sedang dalam masalah apa toh? Bisa bercerita dengan Bibi?" tanya Bik Sumi lagi."Tidak kok, Bi! Dinda tak ada masalah, Bibi jangan khawatir," ujar Dinda mencoba untuk menutup aib dalam rumah tangganya. Meskipun Bik Sumi sudah bekerja padanya lama, dia tak ingin masalah pribadi nya terekspos juga."Menjadi janda itu tak enak, Non! Percayalah pada Bibi," ujar Bik Sumi yang memang telah menjanda selama tiga puluh tahun lebih."Semua orang tentu menghadapi masalah dalam hidupnya, termasuk juga pasangan suami istri. Masalah dalam rumah tangga memang tidak semuanya sama, namun masalah tersebut terkadang membuat kedua belah pihak merasa
KEGUNDAHAN HASANPagi ini setelah sarapan, Hasan berangkat bekerja. Ada yang asing di pagi ini, biasanya Dinda yang mengantar minuman kopi pahit untuknya. Pagi ini tak ada kopi. Dia biasanya berangkat di antar Dinda sampai depan pintu, sekarang tak ada lagi yang mengntarnya. Bahkan dia harus naik motor pergi ke kantornya karena tak ada mobil."Bu, aku berangkat dulu, ya!" pamit Hasan padabu Nafis yang kualahan di dapur memasak dan menyiapkan barang dagangn sendiri."Cepatlah, San! Kau suruh Dinda pulang. Ibu lelah mengurus semua sendiri, tak ada Dinda," keluh Bu Nafis.Hasan tersenyum kecut karena tak hanya dirinya yang merasa kehilangan Dinda. Nyatanya sang Ibu juga kehilangan meskipun bukan kehilangan menantu tapi pembantu. Karena memang selama ini Dinda lah yang membantu Bu Nafis mempersiapkan jualan atau membersihkan rumah."Assalamualaikum," teriak Hasan bersiap pergi kerja.Sesampainya di kantor, Hasan masih saja mung. Hal itu di sadari oleh Pak Agus. Atasan atau kepala devisiny
TENTANG MASA IDDAH!"Kenapa Ibu, Fah? Sakit?" tanya Hasan ikut panik. Dia takut Ibunya kenapa- kenapa karena rumah ramai dan Ifah panik."Ibu, Mas! Ibu ketahuan sedang berduaan dengan lelaki bukan muhrimnya!" ujar Ifah."Siapa?" tanya Hasan."Lelaki itu adalah Pak Hendi!" ujar Ifah."Sebentar, sebentar! Apa maksudmu?" tanya Hasan.Hasan sedang mencoba mencerna semua ucapan adiknya yang begitu mendadak. Ibunya sedang berduaan dengan bukan muhrim, dan lelaki itu adalah Pak Hendi tetangga mereka. Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa?"Ibu?" gumam Hasan."Iya, Mas! Ibu tadi di sidang oleh warga karena ketahuan sedang berduaan dengan Pak Hendi di taman belakang komplek! Anak Pak Hendi yang memergoki mereka berduaan," jelas Ifah."Berduaan yang bagaimana maksudmu, Fah?" tanya Hasan."Ya, begitu Mas! Berduaan begitu, Mas! Bermesraan layaknya pacaran begitu," ujar Ifah lagi."Aku belum paham maksudmu, Fah! Tapi aku akan segera pulang. Kau tunggu di rumah jangan kemana -mana!" ujar Hasan ya di
BU NAFIS MENIKAH LAGI?"Sudah kau diam! Jangan menangis, Fah!" ucap Dinda mencoba menenangkan Ifah."Mbak Dinda akan balik ke sini, kan?" tanya Ifah. Dinda hanya bisa terdiam mendnegarkan ucapan adik iparnya itu. Dia menghela nafasnya panjang. Mencoba mencari jawaban yang tepat untuk adik iparnya itu."Doakan saja ya, Fah! Semoga masalah ini cepat selesai, sehingga Mbak Dinda bisa segera pulang dan tak berlarut-larut," ujar Dinda."Amin! Ya sudah kalau begitu, Mbak!" ujar Ifah menutup telponnya. Dia sekarang tak berharap banyak lagi pada kakak Iparnya.Tepat saat Ifah menutup telponnya, Hasan datang. Dia datang tak sendiri. Entah sejak kapan ada seorang ustad muda juga yang berjalan di belakang Hasan dengan mertua Pak Hendi yang tinggal satu rumah. Bahkan Laras pun juga ikut, anak Pak Hendi."Assalamualaikum," sapa Hasan sambil masuk ke dalam rumah. Ternyata sudah ada banyak orang yang ada di sana."Waalaikum salam!" sahut semua orang yang ada di dalam.Hasan pun masuk dan menyalami
APA YANG SEBENARNYA DI CARI BU NAFIS?"Apakah ini artinya Ibu akan menikah tanpa persetujuan kami?" tanya Ifah memandang nanar ke arah Ibunya.Bu Nafis hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari putri bungsunya itu. Lidahnya kini kelu, seakan tak bisa menjawab semua pertanyaan putrinya. Padahal biasanya dia adalah orang yang paling cerewet jika ada yang menyeramahi nya tentang agama.Tiba- tiba ingatan masa lalu Bu Nafis terlintas kembali, dia ingat saat-saat di mana dirinya merasakan keluarganya masih menjadi sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Dia masih memiliki sosok suami Abah. Rasanya apapun yang di inginkan Bu Nasfis saat itu juga bisa tercapai. Karena Abah begitu menyayanginya."Bah, mengapa aku di merasa di permainkan oleh takdir?" kata Bu Nafis dalam hati.Dia dan almarhum suaminya memiliki selisih usia yang lumayan jauh. Kurang lebih jarak Bu Nafis dan Abah hampir sepuluh tahun. Hal itu membuat sosok Abah sangat dewasa, sabar, dan telaten untuk momong alias membimbi
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."