BU NAFIS MENIKAH LAGI?"Sudah kau diam! Jangan menangis, Fah!" ucap Dinda mencoba menenangkan Ifah."Mbak Dinda akan balik ke sini, kan?" tanya Ifah. Dinda hanya bisa terdiam mendnegarkan ucapan adik iparnya itu. Dia menghela nafasnya panjang. Mencoba mencari jawaban yang tepat untuk adik iparnya itu."Doakan saja ya, Fah! Semoga masalah ini cepat selesai, sehingga Mbak Dinda bisa segera pulang dan tak berlarut-larut," ujar Dinda."Amin! Ya sudah kalau begitu, Mbak!" ujar Ifah menutup telponnya. Dia sekarang tak berharap banyak lagi pada kakak Iparnya.Tepat saat Ifah menutup telponnya, Hasan datang. Dia datang tak sendiri. Entah sejak kapan ada seorang ustad muda juga yang berjalan di belakang Hasan dengan mertua Pak Hendi yang tinggal satu rumah. Bahkan Laras pun juga ikut, anak Pak Hendi."Assalamualaikum," sapa Hasan sambil masuk ke dalam rumah. Ternyata sudah ada banyak orang yang ada di sana."Waalaikum salam!" sahut semua orang yang ada di dalam.Hasan pun masuk dan menyalami
APA YANG SEBENARNYA DI CARI BU NAFIS?"Apakah ini artinya Ibu akan menikah tanpa persetujuan kami?" tanya Ifah memandang nanar ke arah Ibunya.Bu Nafis hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari putri bungsunya itu. Lidahnya kini kelu, seakan tak bisa menjawab semua pertanyaan putrinya. Padahal biasanya dia adalah orang yang paling cerewet jika ada yang menyeramahi nya tentang agama.Tiba- tiba ingatan masa lalu Bu Nafis terlintas kembali, dia ingat saat-saat di mana dirinya merasakan keluarganya masih menjadi sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Dia masih memiliki sosok suami Abah. Rasanya apapun yang di inginkan Bu Nasfis saat itu juga bisa tercapai. Karena Abah begitu menyayanginya."Bah, mengapa aku di merasa di permainkan oleh takdir?" kata Bu Nafis dalam hati.Dia dan almarhum suaminya memiliki selisih usia yang lumayan jauh. Kurang lebih jarak Bu Nafis dan Abah hampir sepuluh tahun. Hal itu membuat sosok Abah sangat dewasa, sabar, dan telaten untuk momong alias membimbi
PERKARA BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA!"Jadi, istikharah itu bisa diulang-ulang sampai tujuh kali jika belum ada tanda yang jelas baik dengan cara salat atau doa. Bahkan ulama fikih menjelaskan bahwa jika belum ada tanda-tanda yang jelas baginya setelah melaksanakan istikharah tujuh kali, maka ia boleh untuk mengulanginya lagi lebih dari itu," sambung Fahmi lagi."Tapi juga jangan terlalu lama! Kami membatasi sebulan! Bagaimana? Selama itu kalian tak boleh terlihat bersama! Jika sampai terlihat bersama kawinkan saja! Bagaimana?" teriak seorang warga usul."SETUJU!" sahut semua warga."Bagaimana?" tanya Pak RT.Bu Nafis hanya menatap Hasan putranya dengan tatapan nanar. Berharap putranya itu mau sedikit membantunya karena situasinya sangat terjepit sekali. Hasan justru melengoskan pandangannya acuh tak mau menatap Bu Nafis."Hasan," panggil Bu Nafis."Terserah Ibu saja," sahut Hasan.Bu Nafis menghela nafas panjang. Dari tadi tangannya mengepal dan memelintir uju hijabnya sambil sesekal
ORANG TUA ITU IBARAT AL- QURAN TUA!"Yang jelas berbuat baik pada kedua orangtua adalah kewajiban dan amal yang mulia. Aturannya tetaplah berbuat baik meskipun orangtuamu memerintahkan keburukan padamu. Maka jangan turuti perintah buruknya dan tetaplah berbuat baik padanya. Jika engkau dapati orang tuamu berbuat salah maka ingatkanlah dengan lemah lembut dan tetap berbuat baiklah. Itulah ketaatanmu pada mereka. Jadi tetaplah berbuat baik dengan terus memberikan masukan-masukan baik untuk mereka. Carilah cara yang baik untuk mengingatkan kedua orang tua," sambung Fahmi."Bu, kenapa Ibu bebal sekali?" tanya Ifah."Heh Fah! Diam kau! Lancang ya sekarang mulutmu! Anak kemari sore juga," bentak bu Nafis.Ifah tak menjawab ucapan dari Bu Nafis. Sakit hatinya bahkan sampai air matanya meleleh di pipi karena malu di bentak Ibunya di depan semua orang. Hasan menghela nafasnya panjang. Bu Nafis juga langsung masuk ke dalam kamar tanpa memperdulikan Hasan dan Fahmi yang masih di ruang tamu.'Bra
DUDA DAN JANDA!"Kenapa? Memang istrimu di mana? Apakah...."'Tring' 'Tring' Hp Hasan berbunyi satu telpon masuk. Hasan segera mengusap layar nya menerima panggilan itu."AKU TAK SETUJU KAU MENIKAHKAN IBU DENGA HENDI PRIA ITU!" teriak suara seseorang di seberang."Apa sih, Mbak! Kau kesurupan atau kenapa?" tanya Hasan pada Mbak Alif kakak kandungnya itu."Heh Hasan! Kau jangan gila ya, Ibu tadi sudah mengatakan padaku bahwa kau menyuruhnya menikah dengan Pak Hendi? Apa maksudnya? Kau mau menggantikan posisi Abah dengan orang lain?" cerca Mbak Alif."Kau benar- benar tak punya otak ya! Ibu sendiri kau paksa menikah dengan lelaki lain! Gila kau," bentak Mbak Alif."Mbak itu tidak tahu kronologi yang sebenarnya kok langsung menuduhku seperti itu! Asal kau tahu saja, Mbak! Ibu sudah tertangkap basah berduaan di taman komplek dengan Pak Hendi, tak sampai sana saja, Ibu di jadikan bahan olokan dan di arak oleh warga. Jika Mbak tidak percaya coba saja Mbak Alif tanya kepada tetangga kita yan
MENJANDA ATAU MENIKAH?"Lalu sekarang bapak ingin mengatakan kepada saya apa? Bapak ingin mencabut lamaran kepada ibu saya begitu?" tanya Hasan langsung berburuk sangka"Bukan begitu Nak Hasan, bukan itu maksud saya! Jujur sebenarnya saya itu justru menginginkan hubungan yang serius dengan Ibumu! Kau tahu seperti yang kau tahu sendiri status Bapak sudahlah menjadi duda sedangkan Ibumu juga janda yang sangat rawan sekali fitnah. Tak sekali dua kali, bahkan berkali-kali Bapak sudah mengajak ibumu untuk menikah tetapi nyatanya ibumu tak mau juga," keluh pak Hendi."Ibumu selalu beralasan kalian! Ibumu takut jika mengganggu pernikahannya akan mengganggu kerukunan keluarga kalian. Dia khawatir jika sesuatu bisa terjadi dengan kalian nanti ketika dia memutuskan untuk menikah lagi," sambung Pak Hendi lagi.Hasan terdiam mendengar semua ucapan pak Hendi itu. Satu sisi dia ingin percaya tetapi logikanya menolak percaya kepada sang ibu. Apakah mungkin benar Bu Nafis mengatakan seperti itu dan m
AKAL BULUS BU NAFIS!"Tapi Ibu itu adalah janda yang telah berusia tua. Ibu rasa tidak membutuhkan laki-laki, tidak ada kemauan atau niatan menikah. Kalau Ibu menikah nanti, Ibu bahkan tidak punya waktu merawatmu dan Ifah! Ibu juga memiliki kewajiban merawat anak- anak Pak Hendi. Belum lagi harus memenuhi hak suami yang baru, anak-anaknya dan harta mereka. Rawan konflik sekali, lebih baik Ibu tidak menikah lagi dan menyibukkan diri dengan mengurus anak. Insyaallah, Allah akan memberikan ganjaran dan pahala Ibu," ucap Bu Nafis."Lalu mengapa Ibu menjalin hubungan dengan Pak Hendi?" tanya Hasan."Maafkan Ibu, San," jawab Bu Nafis lirih."Ibu hanya merasa kesepian saja dan mencari hal- hal yang bisa memperhatikan Ibu. Itu Ibu temukan pada Pak Hendi. Setiap kali Ibu di rumah sendiri, Ibu banyak merasa kesepian sekali, Nak! Apalagi kau tahu sendiri jika Ifah sudah memiliki kegiatan lain di luar sana, dia sibuk mengerjakan beberapa endorse dan kegiatan lainnya tak punya banyak waktu lagi m
KETEGASAN SUAMI DAN BAKTI ANAK!"Namun, Ibu hanya ingin meminta satu hal saja darimu! Kalau bisa tetaplah di sini bersama ibu dan menemani Ibu menua dan meninggal nanti! Toh umur Ibu tidak akan panjang lagi paling Kau hanya menemani Ibu sepuluh atau dua puluh tahun lagi, Nak! Apa kau tak merasa menyesal jika tak bersama ibu dan menemani masa tua ibu serta lebih memilih istrimu?" tanya Bu Nafis sambil mengusap ujung matanya menggunakan lengan tangan."Bu bukan begitu maksud Hasan, jangan begitu," keluh Hasan."Kenapa, Nak? Apa itu permintaan yang berat?" tanya Bu Nafis."Bukan itu masalahnya, Bu! Jawaban dari pertanyaan Ibu itu sangat klasik. Jawabannya tak bisa Hasan berikn karena itu adalah pertanyaan yang sering jadi buah simalakama alias boomerang dalam rumah tangga Hasan, Bu," jawab Hasan."Itu ibaratnya Ibu menanyakan ketika seorang suami di hadapkan dengan pilihan antara istri dan ibu, mana yang harus di dahulukan? Begitu to?" tanya Hasan.Bu Nafis terdiam mendengar ucapan anakn
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."