AKAL BULUS BU NAFIS!"Tapi Ibu itu adalah janda yang telah berusia tua. Ibu rasa tidak membutuhkan laki-laki, tidak ada kemauan atau niatan menikah. Kalau Ibu menikah nanti, Ibu bahkan tidak punya waktu merawatmu dan Ifah! Ibu juga memiliki kewajiban merawat anak- anak Pak Hendi. Belum lagi harus memenuhi hak suami yang baru, anak-anaknya dan harta mereka. Rawan konflik sekali, lebih baik Ibu tidak menikah lagi dan menyibukkan diri dengan mengurus anak. Insyaallah, Allah akan memberikan ganjaran dan pahala Ibu," ucap Bu Nafis."Lalu mengapa Ibu menjalin hubungan dengan Pak Hendi?" tanya Hasan."Maafkan Ibu, San," jawab Bu Nafis lirih."Ibu hanya merasa kesepian saja dan mencari hal- hal yang bisa memperhatikan Ibu. Itu Ibu temukan pada Pak Hendi. Setiap kali Ibu di rumah sendiri, Ibu banyak merasa kesepian sekali, Nak! Apalagi kau tahu sendiri jika Ifah sudah memiliki kegiatan lain di luar sana, dia sibuk mengerjakan beberapa endorse dan kegiatan lainnya tak punya banyak waktu lagi m
KETEGASAN SUAMI DAN BAKTI ANAK!"Namun, Ibu hanya ingin meminta satu hal saja darimu! Kalau bisa tetaplah di sini bersama ibu dan menemani Ibu menua dan meninggal nanti! Toh umur Ibu tidak akan panjang lagi paling Kau hanya menemani Ibu sepuluh atau dua puluh tahun lagi, Nak! Apa kau tak merasa menyesal jika tak bersama ibu dan menemani masa tua ibu serta lebih memilih istrimu?" tanya Bu Nafis sambil mengusap ujung matanya menggunakan lengan tangan."Bu bukan begitu maksud Hasan, jangan begitu," keluh Hasan."Kenapa, Nak? Apa itu permintaan yang berat?" tanya Bu Nafis."Bukan itu masalahnya, Bu! Jawaban dari pertanyaan Ibu itu sangat klasik. Jawabannya tak bisa Hasan berikn karena itu adalah pertanyaan yang sering jadi buah simalakama alias boomerang dalam rumah tangga Hasan, Bu," jawab Hasan."Itu ibaratnya Ibu menanyakan ketika seorang suami di hadapkan dengan pilihan antara istri dan ibu, mana yang harus di dahulukan? Begitu to?" tanya Hasan.Bu Nafis terdiam mendengar ucapan anakn
MENJEMPUT DINDA"Hati- hati di jalan, Hasan," pesan Fahmi.Hasan menutup telponnya. Dia berjalan tegap ke arah depan dan memasuki gerbong. "Ya Allah mudahkan lah langkahku," batin Hasan dalam hati.Hasan pun memutuskan untuk tidur sebentar di kereta sebelum sampai ke rumah mertuanya. Perjalanan Madiun- Kediri menggunakan kereta hanya memakan waktu satu jam rasanya itu sudah cukup untuk mengistirahatkan badan yang penat dan letih karena bekerja. Hasan terbangun saat satu tepukan menyentuh bahunya."Maaf Pak! Kita sudah sampai Kediri, panjenengan mau turun di sini kan?" tanya seseorang baik itu. Dia tahu di mana tempat Hasan turun karena kebetulan mereka membeli tiket bersama tadi."Ah! Iya, Pak! Benar- benar, Pak! Saya turun di Kediri," ucap Hasan sedikit tergagap."Kita sudah sampai, Pak! Monggo turun dulu," ujar pria baik hati itu.Hasan pun menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih banyak karena sudah di bangunkan. Dia segera mengambil tas ransel yang di sengaja di taruh
SE- KAYA APA SEBENARNYA KAU, DEK?"Rumah ini telah banyak berubah ya, Dek?" ujar Hasan saat memasuki halaman pekarangan rumah Dinda.Dulu saat mereka melakukan ijab qobul rumahnya tak sebagus ini. Namun sekarang seolah- olah berubah 180 derajat. Padahal jaraknya dalam waktu enam bulan saja dari hari h pernikahan mereka."Kalau kau tahu rumah ku yang di Malang tentu kau akan lebih terkejut, Mas!" batin Dinda dalam hati."Kenapa sih Dek kau tak membalas pesanku?" tanya Hasan lagi. "Untuk apa, Mas? Rasanya tanpa membalas pesanmu pun, kau sudah tahu aku di sini pasti akan makan kalau lapar, aku juga pasti akan mandi dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Hal remeh seperti itu yang kau tanyakan," jawab Dinda santai.Hasan menghela nafasnya panjang. Dia paham saat ini Dinda masih marah dengannya. Terlihat dari semua jawabannya yang sangat ketus dan menjawab apa adanya. Bahkan terkesan menghindar."Dek Ibu dan Pak Hendi kemarin tertangkap warga.....""Sudahlah, Mas! Itu bukan urusanku lag
TETAP SAJA SEMUA DEMI IBUMU, MAS!"Kau sedang membuat apa, Dek?" Hasan tanya pada istrinya itu."Tahu garam kesukaanmu, Mas! Menggunakan tahu taqwa kuning," jawab Dinda sambil terus memasak."Rupanya kau masih ingat makanan kesukaanku jika berada di Kediri. Apakah itu artinya kau mau kembali padaku lagi, Dek?" tanya Hasan"Hhahaha, kok cupet sekali pikiranmu, Mas! Mosok hanya dengan memasakkan makanan favorit mu sajakau menilai aku mau kembali padamu?" sahut Dinda.Hasan hanya diam saja mendengar ucapan Dinda. Dengan telaten Dinda melayani Hasan untuk makan, dia tak makan justru berada di depannya dan mengamati. Baru saja beberapa hari Dinda meninggalkan Hasan namun penampilan suaminya itu sudah acakadut.Brengos dan jambang nya sudah memenuhi wajah. Tak hanya itu, wajahnya nampak kusam dan berminyak pun dengan baju Hasan yang nampak lecek. Padahal sosok Hasan jika dandan dengan baik memiliki pesona sendiri bagi Dinda."Ah, kenapa kau berpenampilan lecek seperti ini, Mas?" tanya Dinda
SEPOTONG CERITA TAHU POO KEDIRI"Kalau memang Mas mau, aku akan mengekos saja di Madiun. Mas bisa menjenguk juga kapan pun Mas mau. Intinya aku tak ingin berada satu atap dengan mertuakau," sambung Dinda.Hasan menelan saliva nya dengan kasar. Pilihan yang di berikan Dinda sangat tak ada yang bisa di pilihnya. Namun dia juga sadar bahwa malam ini mereka harus memiliki kesepakatan. Tak bisa di tunda lagi."Dek, apa kau tak memikirkan jangka panjang jika memiliki keputusan seperti itu? Bagaimana dengan kata orang nanti jika melihatmu dan Ibu yang berada dalam satu kota tapi kalian tinggal di beda rumah? Kalian hidup sendiri- sendiri, satu mengekost dan yang satu lagi berada di rumah. Apa tidak akan malah membuat orang berpikir dan berprasangka negatif, Dek?" tanya Hasan."Untuk apa peduli dengan omongan dan pembicaraan orang, Mas? Orang itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga kita karena yang menjalani adalah aku. Tak hanya itu, yang merasakan juga aku, yang tahu mana
SEPENGGAL KISAH SEPIRING PECEL TUMPANGPagi harinya Dinda segera bersiap pulang ke rumah Madiun. Mereka akan bersiap kembali ke rumah mertuanya. Dinda sudah mengatakan hal ini kepada orang tuanya lewat pesan wa sejak semalam. Setidaknya orang tuanya harus tahu tentang rencana kembalinya dia ke Madiun dan alhamdulillahnya papanya Itu sangat mengerti. Memang bagaimanapun juga, anak perempuan setelah menikah harus berbakti kepada suami daripada orang tuanya.Pak Bukhari orang yang sangat tahu tentang agama, meskipun hatinya tak rela jika anaknya kembali ke Madiun namun sebagai orang tua dia tak bisa memiliki pilihan lain. Apalagi yang meminta itu adalah suami dari anaknya sendiri. Pagi ini sengaja tak Bukhari menyuruh pembantunya untuk memasak pecel tumpang yang istimewa sebagai tanda pelepasan putrinya kembali ke rumah mertua yang penuh dengan derita dan duka."Mari makan! Ini Simbok sudah menyiapkan makanan yang istimewa sebelum kalian berdua kembali ke Madiun," ucap simbok sambil meny
SEATAP DENGAN MERTUA LAGI? NO WAY!"Iya aku paham tetapi maksudku begini lho mengapa kau tak mampir dulu ke rumah ibu, untuk memberitahukan bahwa kita ini sudah pulang dan membagi sedikit oleh-oleh ini. Setelah itu kita bisa kembali ke Kosmu," jelas Hasan."Dari pada seperti itu akan membuang banyak waktu dan membuat kau terlambat lebih baik pulang bekerja nanti kita baru ke rumah ibu untuk membagi oleh-oleh ini. Bukankah itu tujuanmu? Hanya dengan begitu Kau lebih aman, akan terlambat pergi ke kantor dan tak akan mengecewakan ibu," usul Dinda.Hasan menganggukkan kepalanya setuju dengan usul Dinda yang menarik itu. Mereka pun berangkat ke Madiun dengan membawa oleh- oleh untuk teman- temannya. Sesampainya di stasiun Madiun, Hasan segera memesan grab. "Ini kita kemana dulu?" tanya Hasan."Ke Kosku dulu, Mas! Kau bisa ke kantor menggunakan mobilku, jadi biar irit. Bagaimana?" tanya Dinda.Dinda mengangguk setuju dengan usul istrinya. Karena usul itu di rasa terbaik dari pada dia harus