Api di pucuk obor bergoyang-goyang ditingkahi oleh angin. Sementara itu, di depan gubuk kayu, dua lelaki saling tunjuk dan berseteru. Satu sama lain di antara mereka tak ada yang mau mengalah. Urat leher terlohat jelas membiru, berteriak, sama-sama menolak dan bertahan dengan keinginannya masing-masing. Keduanya sama-sama berkepala batu.
“Aku harus mengurus keluargaku! Sebagai adik, sudah sepantasnya kaulah yang mengurus Umak. Lagi pula, kau belum berkeluarga. Ini kesempatanmu untuk balas budi.” Terlontar kalimat tegas yang diucapkan salah satunya.“Tapi Bang, kau juga tahu. Pekan depan keluarga Liyah memintaku datang melamar. Aku juga ingin memiliki masa depan. Punya anak istri seperti yang lain! Mana mungkin terus-terusan jadi budak Umak, yang sudah membusuk begitu. Aku pun jijik mengurusnya! Kenapa tak Abang pinta saja Bang Mardi atau Bang Oman, yang mengurusnya!” Midan menyahuti dengan teriakan. Jelas ia tampak geram.Terang saja gigi lelaki yang wajahnya lebih sangar di hadapan Midan itu bergemeretak. Mana bisa ia meminta dua saudaranya yang lebih tua mengurus Umak. Sementara keduanya itulah yang selama ini mengirimi beras berkarung-karung untuk Ibu mereka itu, agar bisa terus makan.Sabarnya tentu sudah habis. Ia juga lelah membujuk Adik bungsunya dengan perkataan. Tanpa pikir panjang, kini tinjunya yang mengayun tepat mengenai tulang rahang Midan. Jemarinya berdenyut, ia yakin pukulannya cukup keras. Pasti Midan setelah ini akan menuruti perintahnya. Jika tidak, lelaki tersebut tak segan memberi bogemnya sekali lagi.“Jangan jadi anak durhaka! Ingat, Umak seperti itu gara-gara kau yang tak lahir sebagai perempuan!” teriaknya penuh amarah.Lalu, Lelaki yang katanya bergelar Abang itu mencabut obor yang terikat pada tiang pondok. Pergi. Melenggang angkuh tanpa niat kembali lagi. Bagaimanapun, yang dilakukannya sekarang adalah pilihan terbaik bagi keluarganya.Benar, bukan ia masa bodoh dengan keadaan orang tuanya itu, hanya saja saat ini mendahulukan tanggung jawab pada anak istrinya jauh lebih penting.Midan melenguh dalam gelap. Rahangnya sebelah kirinya terasa nyeri. Tapi, segumpal daging dalam dadanya lebih sakit lagi. Hanya karena ia miskin dan anak paling bungsu, bisa diperlakukan seenaknya begitu. Para Abangnya bahkan tak ada yang peduli dengan perasaannya. Dengan kebutuhannya.Meski begitu, Midan masih bersyukur ia tak terlahir sebagai perempuan. Jika iya, dia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya menjadi pengganti ilmu yang dianut oleh sang Ibu.“Jika bisa memilih pun, aku tak ingin lahir dari rahim wanita iblis itu! Cuih!” lirihnya sambil meludah cairan amis dan asin yang mengucur dari geraham akibat kena tinju tadi. Midan melakukannya lebih dari dua kali sampai rasa tersebut hilang.“Midan! Uy, Midan! Umak sudah lapar! Mana nasinya?” Suara parau dari dalam sudah berteriak menagih jatah makannya.Terang saja Midan tambah geram. Pintu pondok yang dibangun seadanya itu memang sedari tadi sedikit terbuka, jadi sekalian saja Midan meluapkan pelampiasan kemarahannya. Ia menendang keras hingga terbuka lebar dan membentur dinding kayu yang papannya masih berkontur kasar, tak diketam.Suara nyaring yang ditimbulkan sama sekali tak membuat Ramiah terkejut. Mungkin, ia sudah biasa dengan hal itu atau memang ia tak ingin ambil pusing dengan polah sang anak. Ya, menurut Ramiah itu bisa saja balasan setimpal baginya selain jadi kumpulan daging busuk yang terpaksa dimasukkan dalam bak oleh anaknya, supaya tubuh yang sudah lebur tak berbentuk itu tidak berceceran.Dulu, saat suaminya masih ada, kehidupannya bahkan bisa dikatakan jauh lebih buruk. Ia bukan hanya mendapat kekerasan fisik, tapi juga luka batin yang luar biasa.Benar bukan? Di belahan dunia manapun, mana ada seorang istri yang mampu bertahan jika pasangannya sudah berpindah hati? Hingga di ujung keputusasaan Ramiah memilih satu jalan yang membuatnya menyesal hingga sekarang.Midan datang dari dapur membawa periuk yang seluruh bagian luarnya menghitam. Ia mendekat ke arah Umak-nya dengan bergidik dan sambil menutup hidung menggunakan bagian leher kaus lusuhnya. Meskipun sudah begitu, aroma busuk masih juga ter-hidu. Membuat perut bergejolak mual.Bahkan dulu, saat awal-awal mengurus Umak, berhadapan seperti ini, ia pasti sudah memuntahkan isi perutnya.“Ayo Midan. Suapi aku. Jangan melamun! Aku sudah sangat lapar!” Ramiah membuka mulutnya lebar.Ya, tubuh yang hampir lebur dengan hanya kepala yang tersisa utuh itu, masih bisa bersuara dengan jelas. Jiwa Umak Midan tak akan bisa meninggalkan jasad busuknya sebelum mendapat pewaris ilmu.Nasi yang dikepal Midan saat ini masih hangat, sebab setelah matang tadi tetap dibiarkan di atas tungku yang masih menyisakan bara. Midan berulang kali mengepalkannya tanpa lauk. Lalu, ia suapkan berulang kali ke wanita yang wajahnya masih tampak muda itu. Midan harus lebih cepat mengepal, ia sudah tak heran jika Umak-nya itu makan seperti kesetanan. Masuk terus ke mulut, begitu lahap dengan kunyahan cepat. Lagi. Dan lagi. Hingga nasi yang seperiuk penuh habis dalam sekejap.“Jangan lupa. Langsung masak lagi setelah ini!” perintah Ramiah sesaat sebelum Midan kembali ke dapur untuk membersihkan tangan.Lelaki itu mendengus kesal. Belum juga nasi seperiuk tadi berubah jadi kotoran, sudah disuruh masak lagi. Ugh! Tolong jangan membayangkan bagaimana bentuknya kotoran yang keluar dari tubuh yang sudah busuk itu! Midan memegang perut menahan mual. Ia sendiri sampai tak berselera makan saat mengurus orang tuanya tersebut.Sebelumnya, di mata Midan, Umak adalah ibu terbaik. Dengan wajah cantiknya yang awet muda, Ibu dari empat orang anak lelaki itu begitu mudah mendapatkan uang sebagai penyanyi panggung. Saweran yang ia dapat sehabis tampil, selalu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka setelah tulang punggung di keluarga tersebut memilih menikahi wanita lain dan mengabaikan tanggung jawabnya.Namun, semua berubah semenjak orang kampung tahu, Ramiah penganut ilmu yang bisa membuatnya menjadi kuyang. Ilmu yang wajib dipenuhi dahaganya dengan darah-darah dari perempuan yang melahirkan serta bayi baru lahir.Orang-orang yang sudah dikuasai emosi datang dengan geram, mengamuk membabi buta membakar rumah mereka, setelah itu mengusir satu keluarga dari kampung tersebut. Ramiah hanya bisa pasrah saat anak tertua mengusulkan untuk mengasingkannya ke hutan. Ia yakin, kabar yang dibawa angin lebih cepat menyebar dan seluruh perkampungan di sekitar kediamannya akan tahu tentang hal itu. Jika Ramiah bersikeras, akan sulit bagi wanita tersebut untuk memulai kehidupan baru di kampung lain.Dan disini lah Ramiah sekarang. Dalam tempat yang dibangun empat putraya. Temoat ysng sebenarnya tak layak disebut rumah, di tengah hutan menanti ajal. Berharap putra bungsunya mau bermurah hati mencarikan perempuan untuk ia wariskan ilmu kuyang.Tahun 1991Langit membentangkan teriknya siang itu. Dalam rumah kayu beratap seng, udara terasa sangat menyengat. Jadi, penghuninya yang merupakan Pasangan suami istri beda usia itu, memilih bercengkerama di beranda. Sambil berharap ada semilir angin yang bisa mengurangi sedikit rasa tak nyaman pada tubuh mereka yang kegerahan.Untungnya, sebatang pohon ketapang yang rimbun di halaman membuat sejuk keadaan. Sesekali, Mayang masih mengibaskan kipas yang terbuat dari anyaman batang purun ke arah leher mengeringkan keringat yang cukup mengganggu di area tersebut."Yang. Pinggir matamu, sepertinya mulai berkeriput." Edi yang berbaring di paha Mayang berkomentar. Sambil memilin anak rambut yang mencuat di tepi telinga istrinya."Benarkah begitu?" Ada nada kecewa dalam pertanyaan Mayang.Padahal, sebulan terakhir ia telah rutin menggunakan bedak dingin bercampur rempah yang dikirim Ibu mertuanya.Jelas saja, meski kalimat Edi terdengar biasa, hal ini cukup membuat nyeri di dada Mayang. Ia
"Syarat seperti apa?" Ia menatap lekat wajah suaminya. Edi menghela napas sejenak. "Sudah kukatakan jika kau setuju akan kuberi tahu. Bagaimana? Apa kau setuju?” Sangat jelas, Edi terdengar memaksa. "Apa saja yang kudapat selain jadi cantik dan awet muda?" Mayang begitu antusias hingga penasaran. Ia tak mau jika nanti keputusannya membuat penyesalan dikemudian hari."Kamu juga akan mendapat hidup abadi Mayang. Kau banyak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup. Bahkan jika nanti aku mati lebih dulu." Edi mengatakan dengan pasti dan meyakinkan. Matanya menyala dengan penuh semangat.Terang saja Mayang percaya, dengan berbinar ia sudah membayangkan kehidupannya yang akan datang. Jika benar ia akan Abadi, ia tak perlu takut lagi memikirkan kematian. Ia bukan hanya bisa menjumpai anak cucu, namun juga cicit-cicitnya kelak."Tentu aku mau. Eh, tapi ..., kenapa kau tak menggunakannya juga? Kita bisa hidup lama bersama." Suaminya mengulum senyum dan melontarkan bualan. "Aku juga sudah m
Setelah menasihati Edi dan meminta Mayang lebih bersabar Mesih pamit pulang. Tak enak juga jika ia terlalu jauh mencampuri kehidupan rumah tangga orang. Ia juga menyuruh tetangga yang bergerombol di pintu untuk bubar.Suami dan istri itu hening dalam waktu cukup lama. Hingga seorang tamu datang dengan wajah panik, ia menyuruh Edi cepat pulang ke seberang."Kenapa Wan?" tanya Edi. Seakan ia sudah tahu kabar apa yang akan di sampaikan Wawan padanya."Ibumu sudah meninggal Di, kata orang sekitar, jenazahnya harus diurus hari ini juga."Mayang tahu, Wawan merupakan salah satu anak buah Edi di tempatnya bekerja. Suaminya yang bercerita minggu lalu. Meski baru hari ini ia bertemu, kata Edi, Wawan lah yang sering membantunya dalam berbagai hal."Oh. Begitu. Ya sudah tunggu sebentar. Aku pamit pada Mayang," sahutnya santai.Tampak janggal memang, biasanya seorang anak yang mendengar berita duka dari orang tuanya akan bersedih atau terdengar meratap. Tidak halnya dengan Edi. Wajahnya biasa sa
Seminggu sudah berlalu, Edi belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah hal apa yang menjadi penyebab lelaki yang membuat Mayang jadi iblis itu, enggan pulang.Padahal, Mayang sudah tak sabar menunjukkan wajahnya yang sudah jadi lebih muda sekarang. Pastilah sang suami akan bertubi-tubi memberinya pujian dan perasaan sayang.Mayang tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin. Tangannya juga tak henti-henti mengelus pipinya yang lebih mulus dan tampak muda."Apa sebaiknya kususul saja? Benar. Edi pasti juga senang dengan kedatanganku," gumam Mayang.Lekas wanita itu berkemas dan dengan segera pergi ke lanting. Biasanya menjelang sore begini masih ada orang pemilik perahu motor yang bisa mengantar ke seberang."Mayang. Mau ke mana?" Mama Nurfah yang tempo hari diberi bedak rempah menyapanya."Mau ke seberang, Edi memintaku menyusul." Mayang berbohong."Kapan suamimu memberi kabar?" Entah kenapa pertanyaan Mama Nurfah terdengar penuh curiga. Selama ini siapa pun juga tahu, kalau M
Tiga hari sudah Mayang menginap di pondok Husin. Selama itu juga ia ikut membantu apa saja yang bisa ia kerjakan. Seperti, menemani Jubai ke sungai untuk mencuci baju, membersihkan peralatan makan, bahkan menyiapkan lauk pauk untuk keluarga Husin atau kadang Mayang juga ikut turun ke sawah. Suatu waktu, Mayang sudah merasa sangat bosan dengan rutinitasnya. Semua pekerjaan pun sudah selesai ia kerjakan. Tak ada lagi yang bisa Mayang lakukan kecuali termenung sendirian di dalam pondok. Semua anggota keluarga Husin masih di tengah ladang, memeriksa kalau-kalau ada babi hutan yang menghancurkan tanaman tadi malam. Dari pada kebanyakan melamun, Mayang memutuskan untuk mencari aliran anak sungai yang lebih rimbun. Ia ingin membersihkan diri, belakangan ia merasa mandi kurang bersih. Badannya terasa mulai tak nyaman dan gatal-gatal.Bukan, bukan ia malu saat mandi di temani Jubai di pinggir sungai. Hanya saja, semua orang yang melihatnya melepas baju, bagian leher belakangnya akan dengan j
Jangkrik semakin terdengar jelas mengerik. Beradu saling sahut dengan binatang malam lain. Lampu semprong di dalam pondok sudah dikecilkan. Semua orang sudah terlelap dalam pelukan mimpi masing-masing. Kecuali Mayang, ia perlahan keluar dari pondok Husin, berjingkat agar tak mengeluarkan suara yang membuat orang terbangun.Di luar, ia bertengadah sebentar menatap langit pekat bertabur bintang tanpa bulan. Kemudian ia menyalakan obor dengan korek kayu yang sudah ia siapkan. Lalu, tanpa memperhatikan sekitar ia melangkah cepat merobek kegelapan malam dengan cahaya di tangannya.Mayang tak tahu, seperginya ia dari pondok. Pemilik sepasang mata yang menatap dari balik celah pintu menghela napas curiga. Pondok yang Mayang tuju serasa lebih jauh dari sebelumnya. Juga lebih seram jika dilihat pada malam hari begini. Tapi, bagi Mayang tak ada hal lain yang lebih menakutkan dari pada dirinya sekarang. Wanita kuyang itu mulai menyibak alang-alang yang tumbuh tinggi menghalangi langkahnya. Lalu
Mayang harus segera mengatur rencana. Ia tak bisa lagi menunggu Husin dan keluarganya untuk pulang. Semestinya ia bergerak lebih cepat, sebelum semakin menyesal.Ya, menyesal karena bisa saja Edi akan pergi semakin jauh dari jangkauannya. Jika lelaki itu sampai keluar pulau, Mayang tak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang seharusnya. Beruntungnya, sore ini bukan cuma dia yang tinggal di pondok, tapi Ari anak sulung Husin juga. Pemuda itu tak ikut ke ladang, sebab tengah menganyam bakul kecil bertali yang akan diikatkan ke pinggang saat musim mengatam, memanen padi yang sebentar lagi tiba.Dengan wajah Mayang yang lebih Muda sekarang, tak mungkin sulit membujuk Ari untuk mengantarnya pulang lebih dulu, kan? Seandainya gagal pun, Mayang pasti akan berusaha melalukan hal lain agar anak dari Husin itu setuju membantunya. Awalnya Mayang duduk tepat di sebelah Ari. Meski begitu mepet, Pemuda itu tetap tenang. Ia seolah membiarkan Mayang mendekatinya. Meski awalnya Mayang jug
Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Langit sudah terang, Bapak memutuskan pulang lebih dulu untuk mempersiapkan pemakaman Adikku. Sedangkan aku, duduk seperti orang tak bernyawa di samping ranjang pasien dengan Umak yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat kebidanan.Sudah lebih dari tiga jam Umak keluar dari ruang operasi, namun hingga detik ini, ia belum juga membuka matanya. Aku sangat takut, kalau-kalau Umak juga akan menyusul Adikku.Aku bahkan sangat benci dengan pikiranku sendiri, tapi sungguh, aku benar-benar takut. Terlebih saat melihat wajah Umak yang pucat dan tak bergerak sama sekali itu.Sesekali aku menghela napas berat, menghalau isi kepala yang semakin liar tak terkendali sambil memerhatikan cairan infus yang jatuh setetes demi setetes.Bagaimana dengan aku jika ditinggal Umak nanti? Kalimat itu sulit ditahan, ia terus saja muncul di benakku. Hingga tanpa sadar, bulir bening dari kelopak mata jatuh begitu saja.Sesaat berikutnya, terdengar erangan lemah. Aku segera bangkit dari duduk dan mendekatkan waj
Keluar dari halaman rumah Bu bidan, aku langsung menuju ke RS. Dari ambulans yang membawa Umak tadi, aku tahu rumah sakit tersebut berada di jalan Pelita. Dari arah Panjaitan, aku terus melajukan motor ke arah selatan.Sepanjang jalan yang sepi, tengkukku merinding. Namun aku berusaha berpikir positif, barangkali hawa dingin yang membuatku merasa seperti ini. Meski begitu, ingatan tentang kuyang yang terbang di depan rumah tadi masih saja membayangi. Makhluk itu tak mungkin membuntutiku, kan? Aku kembali bergidik.Konyolnya, sesekali aku bertengadah untuk memastikan. Kata orang-orang, kuyang terbang dengan jantungnya yang menyala merah. Syukurlah aku tak melihat adanya benda seperti itu.Sampai di rumah sakit, ambulans tadi sudah terparkir di depan pintu UGD. Setelah mesin motor mati, aku lekas berlari ke arah sana.Umak tak ada! Aku sudah memastikan dengan mengintip di beberapa tirai pasien yang tertutup.“Cari siapa?” Seorang perawat menanyaiku.“Apa ada pasien hamil yang baru saja
Aku sesenggukan di samping Umak yang terlihat sedang menahan rasa sakit. Perutnya yang membuncit dan dua lututnya mengangkat sambil berbaring. Sesekali wanita dengan pelipis penuh keringat itu berkata lirih memintaku untuk tak khawatir.Mana bisa? Melihat wajahnya yang pucat pasi dengan kondisi proses melahirkan yang tampak bermasalah itu, aku tak khawatir? Lebih dari apa pun! Aku sangat takut.Sementara itu, Ninik Geren, dukun beranak yang latah itu, sedang mengorek-ngorek bagian jalan lahir. Ia sedang memasukkan kembali tali pusar bayi yang tadinya terjulur dari sana."Mahape hindai Bapakmu! Kakueh kah iye maka dia dumah-dumah, nah?" Wanita tua yang tengah menolong persalinan Umak mulai panik. Ia memintaku kembali menghubungi Bapak yang tak pulang-pulang sejak pamit memanggil bidan praktik.Kuseka air mata, kemudian mengatur napas. Sebelum menekan tombol panggil pada ikon di ponsel. Aku memeriksa jam terlebih dulu. Sudah pukul 22.40, lebih dari setengah jam Bapak meninggalkan rumah.
Beberapa tahun berlalu. Musim hujan di penghujung tahun tiba. Rumah kayu yang ditinggali Midan sudah lapuk termakan usia. Sebenarnya bukan cuma kediamannya yang tampak rapuh sekarang. Lelaki yang seluruh rambutnya sudah bertukar menjadi putih itu pun, mulai terbungkuk-bungkuk saat melangkahkan kaki. Otot-otot lemahnya membuat dia melangkah lebih pelan. Midan juga tak sesehat dulu, tubuhnya sering sakit-sakitan, badan tuanya sudah ringkih. Intensitas curah air yang terbilang lebat selama berhari-hari jadi penyebab banjir yang menggenang hingga ke dalam rumah. Midan yang tak lagi muda itu, tampak kesulitan mengamankan beberapa barang yang ia anggap masih berharga. Ya. Meski banjir baru semata kaki, ia mulai memindahkan sisa pakaian istrinya dari tumpukan lemari paling bawah ke bagian teratas. Baju Liyah salah satu peninggalan berharga baginya. Sejak istrinya itu pergi untuk selamanya beberapa tahun lalu, hanya pakaiannya itu lah yang menjadi obat penawar jika ia sedang rindu. Tubu
Sebuah tas kulit warna coklat dalam pangkuan Rindi, yang masih lengkap dengan isinya ditatap nanar sedari tadi oleh wanita tersebut.Benar, itu tas yang dipinta Masnya, Irawan untuk dibakar dulu, masih ia simpan di bawah ranjangnya selama ini. Rindi tak membuangnya atau bahkan membakarnya persis seperti yang diperintahkan Kakaknya dulu. Wanita itu kini terlihat menarik napas dalam. Memegang benda pipih yang ia pungut dari lantai kamar Irawan dulu. Belum usang, hanya pudar. Lalu, sesaat setelah itu ia mengelus perutnya dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Menyesal, takut, dan penuh harapan. Rindi tak tahu. "Inilah alasannya mengapa aku tak ingin minta pertanggung jawaban Haris. Aku takut akan bernasib sama seperti pemilik tas ini," katanya lirih.Beberapa waktu lalu sempat beredar kabar ada anak lurah yang menghilang dari desa yang cukup jauh dari kota mereka tinggal. Rindi menerka bisa saja dia Mbak yang jasadnya dibuang Irawan dulu. Namun, karena sudah perasaan tertekan bahkn
Listrik tiba-tiba padam saat Irawan tengah memperbaiki tatanan rambut yang habis diacak-acaknya di depan cermin."Lagi," gumamnya.Pelan, selangkah demi selangkah lelaki itu mundur. Tapi, tatapannya tak pernah beralih dari cermin yang memantulkan sedikit bias cahaya.Tak lama berselang, samar siluet gadis dengan rambut berkucir kuda muncul tepat di belakang Irawan."Antar aku pulang, Mas!" Matanya nyalang menatap Irawan dari pantulan cermin. Blaaar!Petir yang menyambar dengan suara gelegar membuat kepala seorang lelaki yang tertelungkup di meja tersentak keras. Seluruh ruangan putih, menyadarkan ia bahwa saat ini bukan sedang di rumah.Irawan meraup wajahnya dan menyeka keringat dingin yang membanjiri pelipis. Degup jantungnya melebihi aktivitas normal. Ia sedikit terengah namun dengan cepat menarik dan menghembuskan napasnya melalui mulut agar suasana menegangkan itu tak menguasai benaknya. "Lagi," gumamnya.Entah sudah kali ke-berapa, mimpi yang membuatnya sport jantung itu data
"Wi? Kok malah melamun?" Maknya bersuara lagi. Dewi mengangkat wajah ketika rasa sakit kepalanya perlahan menghilang. "Loh? Mak kok belanja banyak begitu?" Kini gadis itu heran melihat tentengan dua keresek besar di tangan Maknya. Belum lagi beberapa bungkusan yang dibantu tukang becak menurunkannya sampai depan pintu.Nyai bukannya menjelaskan malah mengela napas. "Minggir dulu. Mak mau masuk ini.""Eh. I-iya." Dewi gelagapan dan masuk lebih dulu kemudian bersila di lantai.Setelah semua barang belanjaan di masukkan ke dalam rumah. Nyai terduduk sambil mengipas leher dengan baju bagian dada yang di tarik berulang. Ia kelihatan sedang kegerahan. Keringat besar-besar di pelipisnya memperjelas hal itu. "Mau ada acara syukuran Mak?" Dewi masih bingung. Memang tak pernah Maknya belanja keperluan dapur sebanyak ini.Wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu mengangguk. "Cucunya Kai Mas'ah yang dari kota itu mau melamarmu besok. Sebenarnya sepulang dari pasar ini, Mak mau menelepo
Dewi masih meringkuk di balik selimut saat matahari mulai menampakkan cahaya jingganya di timur. Ada rasa perih menyayat hingga membuat tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menahan sakit luar biasa di dalam perutnya usai Salat subuh tadi. Matanya juga sembap sebab tak hentinya meratap sejak pulang dari rumah sakit semalam. Gadis itu bingung. Apa yang selanjutnya ia lakukan? Ia tak mungkin menuruti naluri iblis yang memangsa darah dari bayi dan ibu yang tak berdosa. Dewi penolong bagi mereka sebelum ini, tapi sekarang ia malah akan menjadi kebalikannya. Makhluk mengerikan yang menyantap darah mereka. Membayangkannya saja Dewi sudah tak tahan. "Argh!" Dewi duduk menyingkap selimut. Tubuhnya sedikit terbungkuk sedangkan kedua tangannya terlingkar di depan perut."Aku tak boleh gegabah lagi. Semuanya harus terencana. Ya. Seharusnya aku berusaha berjuang mencari jalan keluar agar bisa melepaskan minyak laknat ini. Bukan diam saja dan mengeluh. Apalagi pasrah!" Dewi menyemangati diri.Satu
Dokter Irawan pulang lebih pagi dari hari biasanya. Masuk kontrakan dengan perasaan dongkol, membanting pintu dengan keras hingga suara berdegum yang ditimbulkannya mendapat sahutan berupa teriakan dari pemilik kontrakan yang kebetulan lewat. Lelaki paruh baya berjanggut itu mematikan sepeda motornya tepat di depan pintu kontrakan yang katanya disewa oleh seorang dokter. "Woy! kalo pintunya rusak ganti sendiri! Jangan komplen ke tuan rumah! Awas aja kau!"Ia menggeleng sebentar setelah tak mendapat sahutan, "Anak zaman sekarang, sudah hilang sopan santunnya pada yang tua. Cih! Dokter apanya kelakuan brutal seperti itu," gerutunya sesaat setelah motornya kembali melaju meninggalkan kontrakan. Irawan memang sengaja tak menanggapi suara protes di luar sana, ia malah melempar tas kerja di ranjang. Menghempaskan pantat, duduk dengan kaki menjuntai. Kemudian penuh amarah meremas rambut klimisnya dengan kedua tangan. Dia terlihat begitu putus asa. "Ini semua gara-gara Dewi. Sial! Kenapa g