Tidak peduli pada malam yang semakin larut, Karina pun semakin larut dalam tangisnya.
“Ibu … aku mau pulang saja. Kenapa nasibku jadi seperti ini?”Berulang kali Karina berbicara sendiri dan terus memanggil nama Ibu-nya. Suaranya terdengar pilu membuat siapa saja yang mendengarnya pasti merasa kasihan padanya.Dalam keheningan malam, Karina berusaha ikhlas menerima pernikahan ini. Semua ini dia lakukan demi ibunya, pikirnya kuat-kuat.Kendati tentu saja, dia masih berharap Dewangga masih bisa berubah, sehingga pernikahan mereka tidak harus berakhir karena kontrak habis nantinya. Kelelahan menangis, Karina pun akhirnya tertidur.Keesokan harinya ….Suara gedoran pintu kamar yang begitu kencang mengganggu Karina yang masih tertidur nyenyak.“Karina, buka pintunya!!” ujar suara bariton itu, bersahutan dengan ketukan di pintu.Emosi Dewa semakin meletup-letup, sebab Karina belum juga membukakan pintu. Akhirnya, pria itu berinisiatif menarik gagang pintu yang ternyata tidak dikunci oleh Karina.Baru juga masuk, Dewa langsung melihat Karina yang sedang tertidur di lantai dan hanya beralas karpet berbulu, "Ternyata begini sifat aslimu, dasar pemalas.”Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Dewa pada Karina."Hey bangun!” teriak Dewangga membangunkan Karina menggunakan kakinya. “Apa kamu pikir tugasmu hanya berleha-leha di sini?"Dewa terus membangunkan Karina dengan caranya. Setelah beberapa lama, akhirnya Karina mulai membuka matanya."M-Mas Dewa," lirih Karina terbata-bata dengan suara seraknya.Karina terkejut saat melihat Dewa sudah berpakaian rapi dan siap mau berangkat ke kantor."Apa tidurmu nyenyak, Tuan Puteri?” ketus Dewa membuat Karina bangun dari tidurnya.Baru juga mengangkat kepalanya, Karina merasa berat sekali mungkin efek menangis semalaman. Karena tidak enak dengan Dewa, akhirnya Karina berusaha untuk bangun.“Ma-maaf, Mas.”“Cepat buatkan saya kopi!” titah Dewa.Karina pun berusaha untuk bangun. Namun, kepalanya tiba-tiba terasa begitu pusing, hingga tanpa sadar dia tidak kuat lagi menopang tubuhnya hingga terjatuh.Reflek, Dewa segera menangkap tubuh wanita itu. Dalam beberapa saat, keduanya hanya saling pandang. Hingga pada akhirnya, Dewangga tersadar ketika tubuh Karina terasa dangat sangat panas di pelukannya, lalu dia mengeceknya menggunakan tangannya yang ditempelkan ke kening Karina.“Kamu demam?” tanya Dewangga sambil menatap Karina.“A-aku—“ Belum sempat menjawab pandangan mata Karina lama-lama menjadi buram.“Ck, menyusahkan saja.”Meski kesal karena Karina yang pingsan di pagi hari menyusahkannya, Dewa tetap membawa wanita itu ke rumah sakit.Dokter di IGD mendiagnosis Karina mengalami maag akut, sehingga dia disarankan untuk rawat inap.1 jam kemudian, Karina siuman, dengan bau obat-obatan dan rasa janggal di pergelangan tangannya.Dia mengernyit ketika menyadari sebuah infusan menancap sempurna. “A-aku di rumah sakit?”Sayup-sayup Dewangga mendengar suara Karina. Pria itu lantas menyimpan ponselnya ke kantong, lalu menghampiri sang istri. “Kupikir, kamu tidak akan bangun lagi.”“M-Mas Dewa?” gumam Karina baru tahu kalau Dewa berada di sini menemaninya.“Kalau sudah tahu punya penyakit maag, jangan menyiksa diri sendiri sampai melewatkan jam makan!” ketus Dewa.“Ma-maaf.” Wajah Karina kembali tertunduk.Dia menyesali kecerobohannya, tetapi tidak dipungkiri jika harinya merasa sakit saat mendengar Dewa berkata demikian. Sebagai suami, tentu Karina berharap laki-laki itu bisa berkata lebih lembut, terlebih pada istrinya yang dalam keadaan sakit.“Merepotkan saja.” Meski berkata sinis, Dewa membantu Karina membuka makanan dari rumah sakit. “Makan sekarang!” katanya yang lalu kembali duduk, tidak berinisiatif menyuapkan sang istri.“I-iya,” kata Karina dengan menahan rasa sesak di hatinya.Karina perlahan mulai memasukan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Di sini, dia berusaha keras menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan Dewangga.Tidak berselang lama, ponsel milik Dewa berdering. Dengan hanya melihat nama penelepon di layar, Dewa kemudian berdiri dan berujar, “Saya harus segera ke kantor. Saya harap kamu bisa urus dirimu sendiri dengan baik.”Tanpa menunggu jawaban dari Karina, Dewa pergi berlalu meninggalkan Karina seorang diri. Saat itulah, air mata wanita itu akhirnya meluruh.“Ya Tuhan, kuatkan aku.”***Sudah tiga hari Karina dirawat. Sudah tiga hari juga Dewa tidak datang menjenguknya, setelah pria itu pamit pergi ke kantor.Hari ini Karina sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Tadinya Karina ingin menghubungi Dewa, tetapi dia urungkan.Karina juga sudah menghubungi Aldo, tapi respon Aldo malah memberikan alamat rumah Dewa, membuat Karina kecewa. Akhirnya, dia memilih pulang sendiri menggunakan taksi online.Tidak ada lagi tempat yang bisa dia tuju selain rumah Dewangga. Sesampainya di rumah itu, kening Karina mengernyit karena melihat mobil pria itu ada di sana."Jadi Mas Dewa tidak bekerja, tapi kenapa Mas Dewa tidak ke rumah sakit?" gumam Karina.Sebelum masuk ke dalam rumah, terlebih dulu Karina menguatkan hatinya. Setelah itu, baru dia melangkah masuk memasuki rumah Dewangga.Deg.Hal yang pertama Karina lihat adalah Dewangga sedang bersenda gurau dengan seorang wanita."Mas Dewa!" ucap Karina membuat Dewangga dan wanita itu menoleh.Melihat suami kontraknya justru tengah sibuk dengan wanita lain alih-alih memperhatikannya yang sedang sakit, tentu membuat sebuah luka kembali tertancap di hari Karina."Oh kamu, sudah pulang," ujar Dewa dengan santainya tanpa rasa bersalah. “Syukurlah kalau begitu.”"Mas Dewa, siapa wanita ini?" tanya Karina dengan detak jantung yang menggebu."Kamu tidak perlu tahu urusanku, Karina.” Dewa berujar lantang, dengan rahang yang mengetat.“Ingatlah untuk tidak mencampuri urusan masing-masing.”Karina memejamkan matanya demi menahan rasa sesak di dadanya saat ini. Karina tidak habis pikir dengan Dewangga yang bisa-bisanya membawa wanita lain ke rumahnya disaat Karina tidak ada di rumah.“A-apa dia yang bernama Sherly? Wanita yang tidak Mama restui?”“Oh, jadi ini istri kontrak kamu, Sayang?”Karina langsung menatap wanita yang bersama Dewa itu dengan pandangan terluka. Mendengar kata ‘Sayang’ yang muncul dari wanita itu untuk Dewa, membuat Karina menyimpulkan, jika dugaannya benar.Wanita itu adalah kekasih Dewa, bernama Sherly.Tangan Karina mengepal kuat. Ia menatap Dewa dan Sherly bergantian, seraya berkata ... “Aku tetap istri sahmu, Mas. Bisakah kamu tidak membawa wanita lain ke rumah ini selama kita masih terikat pernikahan?”Wajah Dewa langsung meradang mendengar penuturan Karina. “Kamu tidak berhak mengatur saya.” Kemudian, Dewa langsung menarik tangan Sherly dan pergi meninggalkan Karina dengan hati terluka.Hingga malam menjelang, Dewa yang tidak kunjung pulang membuat Karina cemas dan jengkel. Tidak tahu nomor telepon sang suami, membuat Karina hanya bisa menunggu dengan resah dan pasrah.Beruntung, ketika jam menunjuk nyaris pukul 12 malam, suara deru mobil terdengar. Cepat-cepat, Karina menyongsong pintu.Wanita itu,
Karina berdecak kesal, seberapapun usahanya untuk meminta cerai pada Dewa, tetap saja Dewa tidak mengabulkannya.Tidak ada kata apapun lagi yang keluar dari mulut Karina, lelah … lelah sudah jiwa dan raganya.Sementara Dewa, entah sudah berapa kali dia mengusap wajahnya dengan kasar.“Kita harus bicara!”“Tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan!”Karina kembali menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.Di dalam kamar, Karina kembali menangis. Dalam tangisannya, Karina berpikir dengan langkah apa yang harus dirinya lakukan.Sampai kemudian Karina mempunyai ide untuk bekerja. Mungkin dengan bekerja, Karina bisa menyibukkan dirinya dan melupakan sejenak masalahnya dengan Dewa.Karina menghela napas beratnya. “Ya, aku harus cari pekerjaan, mungkin dengan cara ini aku tidak terus-terusan stress.”Karina lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi, kemudian dia membasuh wajahnya. Tekad Karina sudah bulat, hari ini juga Karina akan mencari pekerjaan lewat media sosial.“Bis
"Ck, lama sekali!" gerutu Dewa kesal.Karina berlalu begitu saja dan mengabaikan ucapan Dewa.Di depan cermin, Karina melihat wajahnya yang terlihat sangat tirus semenjak menikah dengan Dewa. Terlalu sering Karina mengeluarkan air matanya semenjak menikah dengan Dewa.CeklekPintu kamar mandi terbuka, menampilkan Dewa yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai lilitan handuk di pinggangnya."Aaaaakkkkkhhh." Karina teriak.Dewa langsung segera membekap mulut Karina agar sang mama tak curiga."Sengaja teriak-teriak biar Mama dengar?" ketus Dewa sambil menatap tajam Karina.Sial, Karina bukan hanya melihat hal yang seharusnya tidak dia lihat, tapi juga Karina merasakan ada yang mengeras di bagian bawah."Nggak .... nggak boleh berpikir yang tidak-tidak." Karina berkata dalam hati.Dewa pun melepaskan bekapan mulut Karina, lama-lama berada di dekat Karina membuat kepala Dewa pusing, apalagi saat ular piton Dewa bangun dari tidurnya."aaakkkkhh ... bisa diam nggak!"
“Menikahlah dengan Bosku!” Perkataan Aldo membuat Karina diam mematung. Dia baru saja tiba di Jakarta untuk mencari kerja. Bahkan, mereka masih berada di stasiun saat Aldo dengan tak sabarnya berkata demikian.“Maksud Mas Aldo apa?” katanya dengan nada bergetar. Saking terkejutnya, tas yang dia jinjing bahkan terjatuh. “Aku baru tiba di sini, bahkan Mas Aldo tidak bertanya bagaimana kabar Ibu di kampung, bagaimana perjalananku ke sini?” Tatapan Karina benar-benar menunjukkan kekecewaan. Air mata mulai membasahi pipinya.Aldo menggusar tangannya ke udara, “Aku tak perlu berbasa-basi padamu, Karina!” katanya dengan arogan. “Tapi aku belum terpikirkan untuk menikah, Mas!” Karina masih bersikukuh untuk menolak. Perdebatan mereka pun lantas menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang. Aldo melirik sinis pada tiap tatapan yang mencoba mencari tahu ke arah mereka.Kemudian, dia meraih tangan Karina dan membawa serta adiknya menuju mobil. “Setuju atau tidak, aku akan tetap men
“Ikut aku, kita akan menemui Mamaku lebih dulu.”Dewangga seolah tuli karena menganggap keterkejutan Karina hanyalah angin lalu. Pria itu justru langsung keluar ruangan, dan membiarkan Aldo lagi-lagi menyeretnya menuju mobil dan pergi mengikuti mobil Dewangga yang berada di depan mereka.“Mas Aldo!”Dalam perjalanan, Karina masih terus berusaha membujuk Aldo. Bila tahu akan dinikahkan saja sudah sukses membuatnya kaget, maka ketika tahu dia akan menikah hari ini sanggup membuat jantung Karina seolah berhenti berdetak.“Apa sih, bawel!”“Mas nggak bisa gini, dong! Masa aku nikah, tapi Ibu nggak dibilangin?”Karina akhirnya membawa serta nama ibunya. Dia berharap Aldo mau berpikir ulang. Bagaimanapun, dia memang sudah tidak memiliki ayah, jadi praktis wali nikahnya hanyalah Aldo. Namun, masih ada ibunya yang seharusnya memberikan restu pernikahan untuk putri semata wayangnya.Aldo berdecak, “Ibu nggak perlu tau. Yang penting, pengobatan Ibu lancar. Kamu nggak mau kan, liat ibu berhenti
"Ck, lama sekali!" gerutu Dewa kesal.Karina berlalu begitu saja dan mengabaikan ucapan Dewa.Di depan cermin, Karina melihat wajahnya yang terlihat sangat tirus semenjak menikah dengan Dewa. Terlalu sering Karina mengeluarkan air matanya semenjak menikah dengan Dewa.CeklekPintu kamar mandi terbuka, menampilkan Dewa yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai lilitan handuk di pinggangnya."Aaaaakkkkkhhh." Karina teriak.Dewa langsung segera membekap mulut Karina agar sang mama tak curiga."Sengaja teriak-teriak biar Mama dengar?" ketus Dewa sambil menatap tajam Karina.Sial, Karina bukan hanya melihat hal yang seharusnya tidak dia lihat, tapi juga Karina merasakan ada yang mengeras di bagian bawah."Nggak .... nggak boleh berpikir yang tidak-tidak." Karina berkata dalam hati.Dewa pun melepaskan bekapan mulut Karina, lama-lama berada di dekat Karina membuat kepala Dewa pusing, apalagi saat ular piton Dewa bangun dari tidurnya."aaakkkkhh ... bisa diam nggak!"
Karina berdecak kesal, seberapapun usahanya untuk meminta cerai pada Dewa, tetap saja Dewa tidak mengabulkannya.Tidak ada kata apapun lagi yang keluar dari mulut Karina, lelah … lelah sudah jiwa dan raganya.Sementara Dewa, entah sudah berapa kali dia mengusap wajahnya dengan kasar.“Kita harus bicara!”“Tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan!”Karina kembali menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.Di dalam kamar, Karina kembali menangis. Dalam tangisannya, Karina berpikir dengan langkah apa yang harus dirinya lakukan.Sampai kemudian Karina mempunyai ide untuk bekerja. Mungkin dengan bekerja, Karina bisa menyibukkan dirinya dan melupakan sejenak masalahnya dengan Dewa.Karina menghela napas beratnya. “Ya, aku harus cari pekerjaan, mungkin dengan cara ini aku tidak terus-terusan stress.”Karina lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi, kemudian dia membasuh wajahnya. Tekad Karina sudah bulat, hari ini juga Karina akan mencari pekerjaan lewat media sosial.“Bis
“Oh, jadi ini istri kontrak kamu, Sayang?”Karina langsung menatap wanita yang bersama Dewa itu dengan pandangan terluka. Mendengar kata ‘Sayang’ yang muncul dari wanita itu untuk Dewa, membuat Karina menyimpulkan, jika dugaannya benar.Wanita itu adalah kekasih Dewa, bernama Sherly.Tangan Karina mengepal kuat. Ia menatap Dewa dan Sherly bergantian, seraya berkata ... “Aku tetap istri sahmu, Mas. Bisakah kamu tidak membawa wanita lain ke rumah ini selama kita masih terikat pernikahan?”Wajah Dewa langsung meradang mendengar penuturan Karina. “Kamu tidak berhak mengatur saya.” Kemudian, Dewa langsung menarik tangan Sherly dan pergi meninggalkan Karina dengan hati terluka.Hingga malam menjelang, Dewa yang tidak kunjung pulang membuat Karina cemas dan jengkel. Tidak tahu nomor telepon sang suami, membuat Karina hanya bisa menunggu dengan resah dan pasrah.Beruntung, ketika jam menunjuk nyaris pukul 12 malam, suara deru mobil terdengar. Cepat-cepat, Karina menyongsong pintu.Wanita itu,
Tidak peduli pada malam yang semakin larut, Karina pun semakin larut dalam tangisnya. “Ibu … aku mau pulang saja. Kenapa nasibku jadi seperti ini?”Berulang kali Karina berbicara sendiri dan terus memanggil nama Ibu-nya. Suaranya terdengar pilu membuat siapa saja yang mendengarnya pasti merasa kasihan padanya.Dalam keheningan malam, Karina berusaha ikhlas menerima pernikahan ini. Semua ini dia lakukan demi ibunya, pikirnya kuat-kuat.Kendati tentu saja, dia masih berharap Dewangga masih bisa berubah, sehingga pernikahan mereka tidak harus berakhir karena kontrak habis nantinya. Kelelahan menangis, Karina pun akhirnya tertidur.Keesokan harinya ….Suara gedoran pintu kamar yang begitu kencang mengganggu Karina yang masih tertidur nyenyak. “Karina, buka pintunya!!” ujar suara bariton itu, bersahutan dengan ketukan di pintu.Emosi Dewa semakin meletup-letup, sebab Karina belum juga membukakan pintu. Akhirnya, pria itu berinisiatif menarik gagang pintu yang ternyata tidak dikunci oleh
“Ikut aku, kita akan menemui Mamaku lebih dulu.”Dewangga seolah tuli karena menganggap keterkejutan Karina hanyalah angin lalu. Pria itu justru langsung keluar ruangan, dan membiarkan Aldo lagi-lagi menyeretnya menuju mobil dan pergi mengikuti mobil Dewangga yang berada di depan mereka.“Mas Aldo!”Dalam perjalanan, Karina masih terus berusaha membujuk Aldo. Bila tahu akan dinikahkan saja sudah sukses membuatnya kaget, maka ketika tahu dia akan menikah hari ini sanggup membuat jantung Karina seolah berhenti berdetak.“Apa sih, bawel!”“Mas nggak bisa gini, dong! Masa aku nikah, tapi Ibu nggak dibilangin?”Karina akhirnya membawa serta nama ibunya. Dia berharap Aldo mau berpikir ulang. Bagaimanapun, dia memang sudah tidak memiliki ayah, jadi praktis wali nikahnya hanyalah Aldo. Namun, masih ada ibunya yang seharusnya memberikan restu pernikahan untuk putri semata wayangnya.Aldo berdecak, “Ibu nggak perlu tau. Yang penting, pengobatan Ibu lancar. Kamu nggak mau kan, liat ibu berhenti
“Menikahlah dengan Bosku!” Perkataan Aldo membuat Karina diam mematung. Dia baru saja tiba di Jakarta untuk mencari kerja. Bahkan, mereka masih berada di stasiun saat Aldo dengan tak sabarnya berkata demikian.“Maksud Mas Aldo apa?” katanya dengan nada bergetar. Saking terkejutnya, tas yang dia jinjing bahkan terjatuh. “Aku baru tiba di sini, bahkan Mas Aldo tidak bertanya bagaimana kabar Ibu di kampung, bagaimana perjalananku ke sini?” Tatapan Karina benar-benar menunjukkan kekecewaan. Air mata mulai membasahi pipinya.Aldo menggusar tangannya ke udara, “Aku tak perlu berbasa-basi padamu, Karina!” katanya dengan arogan. “Tapi aku belum terpikirkan untuk menikah, Mas!” Karina masih bersikukuh untuk menolak. Perdebatan mereka pun lantas menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang. Aldo melirik sinis pada tiap tatapan yang mencoba mencari tahu ke arah mereka.Kemudian, dia meraih tangan Karina dan membawa serta adiknya menuju mobil. “Setuju atau tidak, aku akan tetap men