Rachel berjalan meninggalkan kamarnya untuk menenangkan diri atau lebih tepatnya melarikan diri. Dia tidak ingin membicarakan hal apapun terkait dengan masa lalunya. Karena baginya semua sudah berakhir dan semua hal yang berhubungan dengan masa lalunya harus dia lupakan. Rachel terus berjalan dengan lunglai tanpa arah. Dia melangkah menuju halaman belakang panti asuhan melompati pagar kecil dam masuk ke dalam hutan.
Malam itu hutan terasa sangat sunyi tanpa suara binatang malam sama sekali. Rachel melangkahkan kakinya dengan pelan menuju tengah hutan sambil berusaha memeluk tubuhnya. Dalam hatinya dia sedang merutuki dirinya sendiri karena lupa membawa jubah miliknya dan berakhir kedinginan. Rachel terus berjalan hingga dia tiba di tempat tujuannya, sebuah sungai kecil ditengah hutan yang sering dia kunjungi. Sungai ini memiliki air yang sangat jernih sehingga siapapun bisa melihat dasarnya yang dipenuhi batuan dan ikan-ikan mungil. Namun meskipun hanya sebuah sungai kecil, arus sungai ini cukup deras dan sangat berbahaya jika terjatuh ke dalamnya.
Rachel menundukkan tubuhnya lalu duduk di tepi sungai. Dia membasuh wajahnya dengan air sungai itu. Seketika rasa dingin merambat dari wajah hingga leher Rachel. Rachel harus mendinginkan otaknya dan menyadarkan pikirannya dari semua mimpi buruk yang akhir-akhir ini kembali menghantuinya.
“Tidakkah kau berpikir bahwa dunia ini mempermainkanku? Dia menghapus seluruh ingatan juga kenanganku dan hanya menyisakan mimpi buruk ini yang harus aku lihat setiap malam? Menurutmu, apakah keuntungan yang dia dapatkan dari semua itu? Mengelabui anak kecil yang tak tahu apa-apa.” Gumamnya.
Rachel kembali menghela nafasnya dan beralih menuju sebuah batu besar tak jauh dari sungai. Merebahkan tubuhnya dan memandang langit luas di atas kepalanya.
“Lihat! bahkan alam tidak mengizinkanku melihat satu bintang pun malam ini.” Keluhnya lagi saat melihat langit malam nan gelap tanpa bintang.
Satu yang Rachel sesali dari masa lalunya adalah fakta bahwa dia tidak mengingat apapun selain namanya. Siapa orang tuanya, keluarganya, atau bahkan sekedar temannya dia tidak mengingat satupun di antara mereka. Tidak ada apapun yang tersisa di kepala Rachel selain mimpi kelam yang datang hampir di setiap malamnya.
Di tengah kesendirian tiba-tiba Rachel melihat sekelebat cahaya kemerahan dari hutan di seberangnya. Awalnya Rachel mengabaikan hal itu namun tak lama kemudian terdengar suara dentuman teredam darisana. Rachel dengan rasa penasarannya memberanikan diri menyeberangi sungai dan berlari mencari sumber suara tersebut. Tubuh kecil gadis itu menggigil pelan saat dirinya keluar dari air, namun dia tetap berjalan memasuki hutan.
Dengan nalurinya, Rachel berlari dan melompati akar pepohonan tua yang timbul di tanah hutan Delvish. Rachel terus berlari saat tiba tiba dia mendengar sebuah teriakan.
Akhh...
Rachel berhenti. Dia memandang sekeliling, hutan ini jauh lebih gelap dan sunyi dari hutan sebelumnya. Bahkan cahaya bulan tak bisa menembus lebatnya pepohonan itu. Satu yang Rachel lupa, bahwa dia belum pernah menjelajahi tempat yang kini ia datangi tersebut. Meski Rachel tidak merasa takut namun Rachel tidak mengenal tempat itu dan bahaya apa saja yang mungkin ada disana.
Rachel menarik nafas pelan lalu memejamkan matanya serta menajamkan indra pendengarannya, hal yang selalu Nerissa ajarkan padanya saat berada di hutan agar tak tersesat. Saat sedang memejamkan matanya Rachel perlahan bisa mendengarkan dengan jelas desau angin, suara binatang malam dikejauhan, gesekan dedaunan, dan… langkah kaki.
Rachel membuka matanya. Ia bersembunyi dibalik pohon besar di dekatnya. Tak jauh dari tempatnya tampak seorang pria berjalan dengan tombak di tangannya. Pria itu berjalan dengan mengendap-endap tampak mencari sesuatu. Dia berjalan dengan pelan di tengah gelapnya hutan. Tombak di tangannya tampak berkilat saat terkena cahaya yang berhasil menyusup diantara pekatnya dedaunan. Sekilas Rachel bisa melihat cairan kemerahan di ujung tombak itu. Darah? batin Rachel.
Rachel masih menyembunyikan dirinya dibalik pohon itu dengan diam dan mengawasi pria itu yang tampak semakin menjauh. Setelah yakin bahwa pria itu tidak akan menyadari keberadaannya Rachel keluar dari persembunyiannya. Melangkah dengan hati-hati mengikuti pria tadi. Namun sayangnya tingginya semak membuat Rachel dengan cepat kehilangan jejak pria itu.
Rachel masih menyusuri hutan ketika sebuah kilat cahaya terang menyapu seluruh hutan. Cahaya itu terang itu datang dengan sebuah angina kuat yang menghempaskan Rcahel dan memuat tubuh gadis itu terpental. Rachel mengernyit pelan saat merasakan nyeri di punggungnya yang menabrak pohon. Kepalanya sedikit berdenyut kerena benturan tadi.
Rachel segera bangkit dan pergi ke arah pria itu menghilang. Dia memilih berjalan di antara semak dan ilalang tinggi untuk menyembunyikan tubuhnya. Di kejauhan tampak sebuah dataran tanpa pohon. Rachel mengernyit heran. Sejak kapan Crator memiliki padang rumput? Rachel menajamkan matanya dan melihat beberapa pohon tumbang disana. Rachel menyipitkan matanya lagi dan menangkap pendar keunguan disana.
Rachel melihat sekeliling dataran itu namun tidak menemukan siapapun disana. Ia berjalan menuju pendar keunguan yang hampir redup. Menyingkirkan dedaunan dan ranting kering yang menghalangi jalannya. Cahaya bulan yang terhalang awan membuat suasana hutan terasa semakin kelam. Rachel mencari asal pendar cahaya itu dan menemukan sebuah busur panjang disana. Di kedua ujung busur itu terdapat sebuah batu dari sanalah pendar keunguan itu berasal.
Rachel menyingkirkan dedaunan yang menutupi busur itu hingga membuat pendar ungu itu menyala terang diterpa sinar bulan. Sangat indah. Rachel tak pernah melihat busur seindah itu. Dengan badan busur berwarna abu gelap dihias ukiran rumit nan indah. Ada garis ungu dan emas yang memanjang dikedua sisi busur itu. Dan hal paling indah adalah batu berwarna ungu yang terus berpendar terang bahkan setelah bulan kembali tertutup awan. Rachel bertanya-tanya batu apakah itu.
Saat Rachel tengah mengagumi keindahan busur di depannya tanpa ia sadari, sebuah pasukan pengintai telah berdiri di sekelilingnya. Mengamati gerak gerik Rachel tanpa suara. Salah seorang di antara pasukan itu mencoba membidik Rachel dengan anak panahnya sambil menunggu perintah pimpinannya. Sedangkan di sudut lain, sang pimpinan pasukan bergerak perlahan mendekati Rachel tanpa suara.
"Siapa disana?" teriak Rachel dengan waspada saat menyadari ada pergerakan di sekitarnya.
Pasukan pengintai itu tetap diam di tempat tanpa melakukan apapun. Sedangkan pimpinan mereka mulai berdiri dan berjalan mendekati Rachel. Seorang pria dengan pakaian serba hitam di tubuhnya. Wajahnya ditutup dengan sebuah kain hitam. Rachel yakin dia tidak akan mampu melihatnya jika bukan karena ada pita dahi berwarna perak yang ia kenakan di kepalanya.
"Siapa kau?" tanya Rachel.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, siapa kau?” ujar pria itu.
Rachel kembali mengamati pria itu. Ia bisa melihat dari siluet pria itu bahwa dia jauh lebih tinggi Rachel. Suara yang ia miliki juga terdengar sangat dewasa dan aura yang ia miliki, sangat berwibawa. Rachel yakin dia bukan orang biasa. Terlebih setelah hal aneh yang Rachel lihat tadi. Seketika Rachel teringat bahwa ia mengejar seorang pria. Rachel melihat sekeliling mencari pria itu. Rachel melupakan apa yang ia kejar saat mengagumi keindahan busur yang ia temukan. Rachel bermaksud meninggalkan tempat itu dan kembali mencari pria tadi.
Namun belum sempat Rachel berjalan jauh, ia telah dihadang oleh beberapa pria lain di hadapannya. Mereka mengacungkan pedang mereka ke arah Rachel dan berjalan mendekati Rachel membuat Rachel mau tak mau harus berjalan mundur menghindari mereka. Tapi disisi lain ada pria dengan ikat kepala perak yang menghadangnya disisi lain.
"Apa kau mau melarikan diri setelah apa yang kau lakukan?" tanya pria itu.
"Memangnya apa yang aku lakukan?" jawab Rachel.
Pria itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab Rachel. Ia tampak mengamati penampilan Rachel dan menilainya. "Berikan busur itu dan aku akan melepaskanmu." Rachel memandang dengan tatapan tak percaya.
"Atas dasar apa aku harus menyerahkan busur ini" elak Rachel.
"Karena aku memintanya."
Rachel belum pernah bertemu dengan orang seangkuh ini. Hanya karena dia yang meminta maka Rachel harus menurutinya. Jangan harap, batin Rachel. Rachel mengabaikan pria itu dan memutuskan melangkah pergi ke arah lain. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan sekumpulan pria lain yang mengarahkan pedang mereka padanya.
"Busur ini berada di tanganku, jadi, dia adalah milikku." Ucap Rachel sama angkuhnya.
Pria itu tampak menggelengkan kepalanya dengan kesal. Namun baru beberapa langkah Rachel berjalan tiba-tiba anak panah mulai menghujani mereka. Dengan sigap para pasukan itu membuat formasi perlindungan untuk menghadang serangan. Namun karena gerakan yang kurang cepat beberapa dari mereka terluka dan tumbang.
Rachel tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Namun gadis itu dengan gesit bergerak menghindar dan menangkis setiap anak panah yang mengarah padanya dengan busur yang ada di tangannya. Sedangkan beberapa pria yang tadinya menghadangnya kini telah tumbang dan tergeletak tak sadarkan diri di hadapannya hanya menyisakan dirinya dan pria dengan ikat kepala perak yang berdiri melindunginya.
"Diam dan tetaplah merunduk, jangan bergerak ataupun bersuara." Bisik pria itu pelan. Dia tampak mengawasi sekeliling mencari sumber anak panah yang menyerang anak buahnya.
Mereka berdua diam tak bergerak ataupun bersuara. Hanya desau angin dan suara gesekan dedaunan yang terdengar tanpa ada tanda-tanda keberadaan orang lain disekelilingnya. Rachel yang masih terkejut perlahan kembali menguasai dirinya. Rachel mengamati pria di depannya, dan melihat simbol busur perak dan bunga Dandelion di lengan pakaian pria itu. Vinetree? batin Rachel.
Rachel menatap pria itu yang masih mengawasi sekeliling. Ia memberanikan diri bertanya, "Kau berasal dari Vinetree?"
Pria itu tampak terdiam sejenak sebelum memalingkan wajahnya memandang Rachel. Jarak wajah mereka yang cukup dekat membuat Rachel dapat melihat mata pria itu dengan jelas. Mata dengan warna Abu-abu terang dan bulu mata yang panjang. Mata pria itu masih menatap Rachel namun tidak menjawab pertanyaan Rachel. Tapi Rachel tahu arti tatapan mata itu dan jawaban yang ia ingin dengar.
Ditengah keheningan itu tiba-tiba dari arah lain sebuah panah melesat ke arah Rachel. Dengan sigap pria itu menangkis anak panah itu dengan pedangnya membuat kilatan putih dan denting pelan saat ujung panah bertemu dengan pedang miliknya.
"Diamlah dan jangan banyak bertanya."gumam pria itu, dan kembali waspada dengan sekitarnya.
"Tempat ini terlalu terbuka, dan hutan disana terlalu lebat, kita tidak bisa melihat lawan, tapi lawan dengan leluasa menyerang kita jika kita berdiam disini." Gumam Rachel dan sesuai perkiraan anak panah kembali menyerang mereka berdua.
"Kalau begitu lari." Ujar pria itu sambil menarik tangan Rachel dan berlari meninggalkan tempat itu. Rachel dengan cepat mengikuti langkah besar pria itu. Samar samar Rachel bisa mendengar derap langkah kaki yang mengejar mereka. Sepertinya lebih dari 5 orang. Pria itu membawa Rachel terus berlari. Hutan Crator adalah hutan kuno dengan areal yang luas dan terjal. Banyak rumput dan semak berduri bertebaran, dahan dan akar pohon yang menjulang lebih dari satu meter membuat Rachel dengan cepat kehabisan tenaga.
"Hei!! Aku tidak sekuat itu untuk terus berlari sepanjang malam," teriak Rachel geram dengan nafas yang mulai terengah-engah. Tiba tiba pria itu berhenti dan dalam sekejap muncul beberapa pria bertopeng mengepung mereka. Dilihat dari situasinya saja Rachel tahu bahwa mereka akan kalah.
"Sepertinya kau lupa bahwa aku seorang perempuan?" Tambah Rachel karena pria itu hanya diam tanpa mau menanggapinya.
"Oh, aku bahkan tidak tahu bahwa kau adalah perempuan." Jawab pria itu sarkas. Rachel memutar matanya jengah.
"Sekarang kau tahu. Jadi, aku percayakan nyawaku padamu, bagaimana Tuan?" cibir Rachel yang hanya dibalas dengusan oleh pria itu.
"Berikan Jade Amora pada kami dan kami akan mengampuni nyawa kalian." Ucap salah satu dari mereka.
Pria didepan Rachel tak membalas ucapan mereka namun dia bisa melihat bahwa pria itu mengeratkan genggaman pedangnya. Rachel menyadari bahwa situasi saat itu tidak mendukung dan memilih mundur perlahan. Benar saja, setelahnya pertarungan terjadi di depan mata Rachel. Pria tadi melawan sepuluh pria lain. Bunyi denting pedang yang beradu membuat Rachel sedikit ketakutan. Namun saat tak ada yang memperhatikannya Rachel mengendap-endap meninggalkan tempat itu.
Rachel terus berlari tanpa henti bahkan untuk sekedar menoleh kebelakang. Dia terus menyusuri hutan dan mengingat jalur yang tadi dia lalui hingga dia tiba di sungai. Tanpa menunggu lama dia menyeberang lalu berlari kembali ke panti asuhan. Dia harus melarikan diri dari tempat itu. sebelum pertarungan mereka berakhir dan mereka mengejar Rachel.
Rachel tak tahu berapa lama ia berlari karena akhirnya ia bisa melihat halaman belakang panti asuhan dan Nerissa yang berdiri mondar-mandir disana. gadis itu terlihat menghela nafas saat melihat Rachel berlari ke arahnya. Dia segera menyerahkan selimut yang sedari tadi dia gunakan saat melihat tubuh Rachel basah kuyup dan menggigil kedinginan.
“Jangan bertanya sekarang, Nerissa.” ucap Rachel cepat saat melihat temannya itu akan membuka mulutnya. Nerissa hanya mengangguk lalu membawa Rachel ke dalam. Setidaknya Rachel telah kembali, batinnya.
Tepat setelah pintu itu tertutup, sosok pria itu muncul dari kegelapan. Sekali lagi, hanya ikat kepalanya saja yang terlihat. Pria itu mengamati sekilas bangunan di depannya, sebuah rumah sederhana dan sedikit tua. Apakah gadis itu tinggal disana? batinnya. Pria itu hanya diam lalu dengan sebuah siulan pelan dia meninggalkan tempat itu. Rachel yang mendengar sebuah siulan membuka kelambu kamarnya. Dia melihat sesuatu bergerak di kegelapan hutan. Semoga saja mereka tak menemukannya, harap Rachel di dalam hatinya.
Pagi masih dingin seperti sebelumnya, tapi Rachel telah bergegas bangun dan berangkat ke tempat kerjanya. Dengan sebuah mantel tipis dan syal rajut sederhana serta memakai sarung tangan. Berlari menerjang salju tipis yang turun pagi itu. Salju pertama di musim dingin turun semalam. Tak ada satupun kereta kuda atau penduduk yang lalu lalang karena memang hari ini cuaca akan cukup buruk, namun Rachel tetap harus bekerja atau ia dan saudara-saudaranya tidak akan memiliki uang untuk membeli makan malam.Sepatu boot Rachel berdecit saat menginjak jalanan yang licin. Ia harus mengerahkan tenaga ekstra dan konsentrasi agar tidak jatuh tergelincir di jalanan yang sepi. Tinggal dua blok lagi dan Rachel akan tiba di tempat kerjanya. Rachel mengeratkan tangannya untuk menjaga suhu tubuhnya karena mantel yang ia kenakan tak cukup membantu. Matahari mulai terlihat namun tak cukup hangat untuk membantu Rachel.Sebuah toko kecil di sudut jalan, dengan warna cokelat terang yang mulai
Rachel kembali dengan tanda tanya di kepalanya tentang Jade. Otaknya terus berkata bahwa dia mengenal kata itu, namun setiap kali dia berusaha mengingat rasa sakit akan mendera kepalanya hingga membuat Rachel menyerah. Rachel memilih mengabaikan pikirannya itu dan bergegas kembali ke rumah.Jalanan masih cukup ramai meski salju tipis kembali turun. Dari ujung jalan, Rachel bisa melihat Sophie, Lily, dan Peter sedang bermain di teras mereka di temani Nerissa. Mereka berlarian mengejar satu sama lain. Rachel melihat tawa dan kebahagiaan yang terpancar di mata mereka hingga tanpa sadar membuat kedua sudut bibir Rachel ikut terangkat membentuk senyuman. Keluarga kecilnya yang telah menemaninya sejak sepuluh tahun lalu. Rachel mempercepat langkahnya agar segera tiba disana, namun belum sempat Rachel sampai ia mendengar sebuah ledakan keras di belakangnya.BOOM...Ledakan yang amat keras itu membuat semua orang terkejut dan ketakutan. Beberap
"NERISSA!" teriak gadis itu.Hanya ada tanah lapang dengan puing-puing bertebaran. Perlahan Rachel berjalan menuju reruntuhan itu. Mencoba memastikan bahwa itu bukan rumahnya. Berharap salah mengenali reruntuhan di depannya. Namun Rachel justru jatuh terduduk saat tak mendengar jawaban apapun melainkan melihat salah satu lukisan Nerissa yang diletakkan di beranda belakang jatuh di depannya. Reruntuhan itu adalah rumahnya.Air mata Rachel menetes perlahan saat tahu ia terlambat. Rachel mencari disisi puing reruntuhan yang lain berharap mereka semua selamat dan berlindung di ruang bawah tanah. Namun hal yang ditemukannya justru menghancurkan hatinya. Dia menemukan adik-adiknya tertimpa reruntuhan itu. Merida yang memeluk adik-adiknya dan Nerissa yang masih memegang tangan Lily dan Sophie."Oh lihat, ada yang terlewat." Sebuah suara terdengar tak jauh di belakang Rachel.Rachel berbalik dan memandang seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Dia b
Sekali lagi semuanya kembali terulang. Peristiwa sepuluh tahun lalu kembali terjadi. Pembantaian sebuah wilayah, jika dulu hanya sebuah desa kecil kini seluruh kota dibantai habis. Namun apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu masih menyisakan tanda tanya karena tidak ada yang tahu siapakah pelakunya sedangkan kini, pembataian itu dilakukan salah satu klan terbesar di Crator, Klan Redrock. Dulu Rachel tak tahu apa yang terjadi dan hanya bisa menangis saat menemukan tubuh kakek dan neneknya tak bernyawa tapi kini dia melihat sendiri bagaimana Nerissa dibunuh di hadapannya. Ingatan saat wanita bernama Lucinda itu menghempaskan tubuh Nerissa dan membuat gadis itu terluka parah kembali muncul di kepala Rachel. “Kau baik-baik saja?” Seorang gadis menyapa Rachel yang terus diam menundukkan kepalanya. Rachel enggan berbicara pada siapapun jadi dia hanya menggeleng pada gadis itu lalu beranjak pergi. Tak satupun dari penduduk Delvish yang selamat, kecuali dirinya. H
Rachel melihat apa yang tersisa dari rumah lamanya. Puing-puing yang berserakan dan debu tebal di sekitarnya. Dengan cekatan Rachel membersihkan tempat itu. Gadis mengeluarkan belatinya dan mulai memotong rumput dihalaman itu. Membersihkan tanaman liar dan membuang dedaunan kering yang ada di dalam rumah. Rachel juga mencari beberapa kain bekas untuk selimutnya nanti malam. Saat Rachel keluar, pemuda itu telah duduk dihalaman rumah. Dia tersenyum lebar melihat Rachel sambil menenteng beberapa ikan.“Aku menangkap beberapa ikan.”Rachel menghela nafas dan membiarkan pemuda itu membuat api unggun dihalaman rumahnya. Dapur milik neneknya sudah hancur tak bersisa. Dia tak mungkin membersihkan semua puing-puing ini dalam sehari tapi hari sudah mulai gelap.“Kau bisa memanggilku Ethan, Ethan Bedwyn.” Sekarang Rachel tahu nama pemuda yang selalu menganggunya itu, “dan aku seorang anggota Redrock.”Gerakan tangan Rache
Ethan membawa Rachel pergi ke Redrock, tanah para Wizard. Setelah mereka berhasil kabur dari para Vinetree Rachel memilih mencoba percaya pada Ethan meski sebagian dari dirinya masih merasa ragu karena identitas Ethan. Ethan membawa Rachel menuju kediamannya secara diam-diam. Ethan mengatakan bahwa mereka tidak di ijinkan membawa orang luar masuk ke dalam wilayah mereka.“Mengapa kau pergi kesana?”Pertanyaan itu sudah ditahan oleh Rachel sejak pertama kali dia tiba di Redrock tapi dia ingin tahu alasan kenapa Ethan membantunya. Ethan tak langsung menjawab pertanyaan Rachel tapi menghindar dengan memberikan beberapa pakaian bersih pada Rachel.“Sebaiknya ganti pakaianmu dulu.”Rachel menerima pakaian itu lalu pergi untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai berganti pakaian Rachel keluar dan tak menemukan Ethan disana. Rachel mengelilingi rumah Ethan yang jauh lebih sederhana dari panti asuhannya dulu. Sebuah ruang tamu, ruang mak
Rachel membawa Ethan menuju tempat dia menyimpan Jade Amora setelah dia melihat sendiri tubuh Nerissa yang masih bernafas di istana Redrock. Gadis itu ada disana meski nafasnya sangat lemah. Tapi setidaknya ada harapan bahwa dia akan selamat. Rachel membawa Ethan dan beberapa anggota Redrock kembali ke hutan Fleure karena disanalah dia menyembunyikannya. Rachel mengatakan bahwa mereka harus melewati air terjun yang ada disana. Namun dengan sekali ayunan tangan aliran air terjun itu terbelah dan memperlihatkan sebuah gua kecil disana. Rachel bermaksud masuk ke dalam tapi Ethan menghentikannya. “Aku tidak tahu jebakan apa yang kau siapkan disana. Sebaiknya kau diam disini bersamaku.” Ethan menatap pengawalnya dan dua orang di belakangnya masuk ke dalam gua itu. Sesuai perkiraan Ethan tak berapa lama terdengar teriakan dari dalam gua disertai suara geraman keras di dalam sana. Rachel bergidik ngeri mendengar suara geraman itu tapi Ethan biasa saja. Setelah menun
Camp itu berbeda dengan perkemahan yang berada di pegunungan Mitah. Tempat itu jauh lebih luas dan dihuni banyak orang. Namun dari sekian banyak penghuni campe tersebut tak ada satupun yang mengenal Rachel atau menatap Rachel dengan tatapan aneh. Mereka semua fokus pada apa yang mereka kerjakan tanpa sibuk mengurusi orang lain. Selain itu, perkemahan itu sangat berbeda dengan Camp sebelumnya karena bukan didirikan dengan banyak tenda melainkan bangunan permanen yang layaknya istana luas. Mereka menyebut kastil itu dengan sebutan Kastil Irdawn.Elise telah menceritakan sedikit sejarah tentang Crator yang tak pernah Rachel pedulikan sama sekali selama ini. Terutama tentang Redrock dan Vinetree. Dua Klan terbesar di kerajaan ini yang saling bersaing selama bertahun-tahun. Vinetree adalah golongan orang yang terlahir dengan kemampuan istimewa dalam hal kekuatan fisik. Mereka memiliki kelebihan yaitu memiliki senjata mereka sendiri sejak lahir. Senjata itu akan
Kekuatan. Kekuasaan. kebebasan.Hal yang tak pernah lelah untuk di cari dan dikejar oleh semua orang. Setiap mereka yang hiduo pasti mendambakan kekuatan. Setiap mereka yang Kuat, pasti menginginkan kekuasaan, dan siapa yang berkuasa dialah yang memegang kebebasan. Begitulah kiranya rantai kehidupan yang saat ini tercipta. Buah dari keinginan dan hasrat yang tak ada habisnya. Setiap orang berlomba mencapai kesempurnaan untuk mengejar kekebasan tertinggi. Namun, tahukah mereka arti sejati dari sebuah kebebasan?***"Bydd yr Enaid Sanctaidd bob amser yn effro yn y Corff Mawr." (Jiwa Suci akan selalu terjaga dalam Raga sang Agung)Rachel, sang Jiwa Suci yang terlahir dalam Raga Sang Agung. Inang yang paling tepat untuk kekuatan terakhir dari para Velaryon. Kekuatan kuno yang selama ini menjaga alam semesta.Namun, mereka kadang lupa, bahwa selain para kekuatan kuno nan agung, ada entitas lain yang lebih luar biasa di banding mereka. Sang Jiwa Suci. Cahaya terang itu berpendar keluar d
Di empat penjuru kerajaan Crator, ke-empat Guardians yang tersisa perlahan bangkit. Ada sebuah dorongan dalam diri mereka untuk mengeluarkan kekuatan mereka ketika cahaya ungu pekat itu memenuhi langit. Perlahan, Trisula Aquamarie, Tombak Mitah, Pedang Shadowfall dan Belati Snowbell menunjukkan kekuatannya. Keempat guardians itu memejamkan mata mereka di waktu yang hampir bersamaan dan perlahan cahaya masing-masing armor menyelimuti mereka. Dengan cahaya itu kekuatan masing-masing guardians meningkat secara bersamaan. Ketika kekuatan itu telah berkumpul cahaya itu melesat ke langit, memunculkan cahaya biru, hijau, coklat, dan putih menyatu dengan langit gelap di atasnya. Untuk sejenak gejolak petir itu berhenti. Sejenak, sebelum gelombang besar bencana datang. Angin berhembus kuat menyelimuti Crator. Menerbangkan appaun yang bisa di bawanya. Puing-puing reruntuhan, pohon dan tanaman, kereta, kuda, dan bahkan manusia. Segalanya ikut terbawa oleh amukan angin yang muncul tiba-tiba.Te
Rachel menatap tubuh Sigrid yang penuh luka. Entah berapa kali wanita itu terus mengulang kesalahan yang sama, membalas setiap kali Rachel mengobati lukanya. Niat awal Rachel untuk mengingatkan Sigrid atas rasa sakit berulang yang terus wanita itu torehkan pada penduduk Crator, tapi sayangnya wanita itu seperti tak menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan. Rachel ingin mmebuat wanita itu mengingat rasa lelah dan ketakutan karena ancaman yang berulang, tapi Sigrid terlihat sangat berambisi untuk membalas Rachel di setiap kesempatan.‘Kenapa kemarahan wanita ini tak kunjung padam? Kehidupan seperti apa yang sudah dia lalui sebelumnya?’ batin Rachel bertanya-tanya.Rachel kembali menyentuh puncak kepala Sigrid, tapi kali ini sebelum wanita itu bangkit menyerang sebuah rantai hitam muncul dari tanah dan mengikat Sigrid.Arrghhh ... Sigrid menggeram marah dan meronta. “Menyerahlah maka hukumanmu akan lebih cepat selesai,” ucap Rachel.“Kau! Atas hak apa kau memiliki hak menghukumku? Kau sam
Seringai tipis muncul di wajah Sigrid. Hanya beberapa saat sebelum tawa melengking wanita itu terdengar menggema di kastil Enver. Ha... ha... ha... “Kalian semua sama saja,” tukasnya. Sigrid menatap Rachel dengan ekspresi mengejek. Terlihat tenang namun juga menghina di saat yang sama. Sedangkan dalam dada itu sedang ada gemuruh kemarahan yang sedang dia tahan. “Jadi, selain menghukumku kau tidak memiliki tujuan lain datang kemari?” tanya Sigrid. “Sepertinya Para Velaryon itu benar-benar memberikan perhatian istimewa padaku.” Sumpah serapah dan hinaan keluar dari mulut wanita itu. Segala bentuk cercaan dan berbagai macam umpatan dia layangkan pada Rachel dan sosk Velaryon. Rachel hanya diam. Satu tangannya bergerak di atas halaman kastil dan tanaman tumbuh di sekitarnya, membentuk sebuah tempat duduk dari sulur tananam dengan bunga-bungan berwarna ungu dan hitam. Dengan kedua tangan dia letakkan di dada, Rcahel mundur
Katakanlah Rachel kejam, tapi dia memang ‘harus’. Dikepala gadis itu ada banyak hal aneh yang terus bermunculan. Ingatan tentang kehidupan lain dari berbagai sosok yang tidak Rachel kenal. Kekejaman sosok Neith ketika memimpin perang Wylan. Kesedihan Amethys yang tersisih dari para bintang. Kesepian yang terasa dari benak Sassafres. Bahkan kemarahan Sigrid juga bisa Rachel rasakan sekarang. Emosi-emosi itu sedikit banyak mulai mempengaruhi pandangan dan perasaan Racgel terhadap setiap hal yang ada di hadapannya. Dikedalaman samudera, air bergejolak kuat. Mendoron dan menekan tubuh Sigrid yang tak bisa melawan tapi wanita itu masih hidup. Wanita tiu masih bertahan meski tidak bisa melawan. Semakin dalam mereka menyelami samudera semakin terang pula cahaya Aquamarine di sekitar mereka. Hingga Rachel tiba di sebuah altar bawah laut. Jangan tanya bagaimana Rachel bisa tahu, ada sesuatu di kepala Rachel yang memberinya petunjuk. Mungkin Caelum The God of Sky atau bisa jug
Cahaya fajar terlihat di ufuk timur. Cahaya kemarahan yang telah di tunggu-tunggu setelah malam panjang yang hadir tiba-tiba. Helaan nafas lega hampir terlihat pada seluruh penduduk Crator saat mereka berhasil melewati satu malam yang mencekam. Malam dimana kerajaan mereka mungkin akan musnah karena kebangkitan sosok dalam ramalan.Suatu penuh suka cita terlihat dirumah rumah yang penduduknya mulai saling memeluk dalam isak tangis penuh kelegaan. Tanpa mereka ketahui, bahwa nasib mereka baru saja mulai di tinjau pagi ini.*** Cahaya matahari pagi menyinari pegunungan Mithre dengan sinar hangat. Cahaya terang keemasan itu jatuh tepat di atas rumput hijau segar yang dipenuhi embun di setiap pucuknya. Indah, tapi ingat bahwa sebelum itu ada rumput hitam mematikan tumbuh sebelumnya.Rachel berdiri di sana, kali ini dia telah bertekad menyelesaikan segalanya. “Kau benar-benar terlalu membanggakan dirimu sendiri, Rae,” sentak Sigrid. Wanita itu bangkit dan
Percayalah Rachel tak mengerahkan segala kemampuannya kala itu untuk mengalahkan Sigrid. Bukan karena dia tidak mampu, melainkan karena Rachel tak ingin ramalan Putri Emerald menjadi kenyataan. Rachel harus tetap bisa mengendalikan diri dan kekuatannya hingga dia selesai berurusan dengan Sigrid. Rachel tak yakin ke mana Sigrid pergi, dia hanya melesat terbang mengikuti jejak kekuatan milik wanita itu yang menuntunnya meninggalkan Atiria. Ketika Rachel melesat di atas langit, cahaya ungu terlihat memandang mengikutinya. Layaknya ekor meteor yang jatuh ke bumi. Orang-orang di bawahnya yang melihat cahaya ungu melesat di atas mereka semakin ketakutan sebab mereka yakin bahwa kali ini, Amethys benar-benar telah bangkit sempurna. Rachel berhenti di sebuah dataran tinggi di pegunungan yang terlihat tak asing dimatanya. Padang rumput hitam sejauh mata memandang dengan aroma aneh yang mengusik indera penciuman. “Mithre,” desis Rachel menyadari dimana dia berada. Rachel menelisik ke sek
Cahaya terang menyinari tempat itu. Sepanjang mata memandang hanya ada langit tak bertepi dan padang rumput luas tak berpenghuni. Hanya terdengar desau angin dan suara samar burung di kejauhan.Di antara ilalang yang bergoyang pelan, seorang gadis tengah berbaring. Rambut coklat keemasannya yang panjang menyatu dengan tanah kecoklatan di sekitarnya. Kulit putih pucatnya berpendah layaknya dilapisi oleh kerlip bintang yang berpendar memantulkan cahaya. Satu tagan gadis itu menutupi kedua matanya. Ketika tangan itu perlahan terangkat, mata gadis itu terbuka pelan memperlihatkan mata coklat keemasan terindah yang pernah ada. Terang dan dalam. Seakan mata itu mampu melihat menembus apapun yang ada di depannya.Gadis itu perlahan bangkit, menarik kedua kakinya dan membawa tubuh tinggi semampainya bangkit. Gaun putih pucat gadis itu perlahan melambai bersama dengan hembusan angin.Satu tangan gadis itu kembali terangkat. Jemari lentiknya bergerak menyentuh udara kosong di depannya. Satu ket
“Diantara ribuan bintang, ada banyak yang terang penuh sinar. Dilingkupi kehangatan dan membawa kebahagiaan. Namun, di satu sudut langit ada sosok yang kelam. Tersembunyi dalam kegelapan. Penuh rahasia dan kesepian.”“Dia hanyalah satu dari bagian langit yang memutuskan untuk menyendiri. Diam jauh dari pandangan. Sebagai pengamat tanpa turun tangan. Namun, sekiranya dia datang maka percayalah bahwa dia telah habis kesabaran.”*** “Lihat ini Rachel! LIHAT!!” teriakan Sigrid menggema memenuhi langit. “Lihatlah bagaimana aku menghanguskan mereka! Lihat bagaimana aku menghancurkan kerajaan yang kalian jaga! Ha... ha... ha... .”Kening gadis itu berkerut. Otaknya tengah berputar. Dengan rasa pening yang tiba-tiba menghantamnya dia mencoba melesat secepat mungkin mengejar sosok Sigrid.‘Kau tak akan bisa mengalahkannya’ suara Sassafras terdengar di telinga Rachel. Naga itu masih terhubung dengannya.“Aku bisa!” tegas Rachel dalam gumaman pelan.Langit gelap itu telah menghitam sempurna. Bu