Pembalasan dendam yang ditawarkan oleh Dreyfus sungguh menggelitik batin Joseph. Pria itu berhenti melangkah tanpa memalingkan wajah. Dia tahu, kematian Camila tak lepas dari ulah ayah mertuanya, Andrew Reyes. Bukan Camila yang seharusnya mati, melainkan dirinya. Camila hanyalah korban, dan dia yakin bahwa Andrew tidak akan pernah memberi perintah kepada orang-orangnya untuk menghabisi nyawa putri kesayangannya.
“Tidak akan mudah untuk mendekati Andrew Reyes, Hunter. Aku tahu dia sangat membencimu karena telah membawa lari putrinya. Dan aku bisa membantumu untuk melakukan hal itu,” imbuh Dreyfus.
Kedua tangan Joseph mengepal semakin kuat seiring dengan rahangnya yang mengetat. pria itu sangat menahan diri untuk tidak membalik badan, namun provokasi dari Dreyfus begitu mendistraksi pikiran.
Sungguh! Joseph tidak ingin menjadi budak pria tua itu. Dia tidak mau diperdaya oleh Dreyfus untuk menjadi kacung yang tunduk pada perintah pria tersebut. Karena dia sangat yakin, sekali dirinya terlibat urusan dengan Dreyfus maka dia akan selamanya terjerat.
Dalam pikiran Joseph, Dreyfus adalah pria yang sangat licik. Menyelamatkan nyawanya hanya untuk mengambil keuntungan. Jika saat itu Joseph dapat memilih, maka dia tidak akan pernah meminta Dreyfus untuk menyelamatkannya. Dia akan lebih memililh untuk mati bersama dengan sang istri tercinta.
“Atau mungkin … kau ingin membalas sakit hatimu kepada Blight?” Dreyfus berjalan mendekat ke arah Joseph. “Aku memiliki semua yang kau butuhkan untuk membalas dendam, Nak. Apa kau yakin ingin melewatkan semua tawaranku?”
Dreyfus berdiri sekitar dua meter di belakang Joseph. Pria itu menyeringai samar. Sengaja terus memancing sisi gelap Joseph agar pria tersebut bersedia untuk bergabung dengan Carnicero, di bawah kendalinya.
Apa yang ditawarkan Dreyfus benar-benar membuat Joseph merasa gusar. Bukan hanya untuk membalas dendam kepada Andrew yang telah menyebabkan istrinya meninggal, namun juga kepada Julian Blight yang telah membuat dia dan ibunya hidup menderita.
Joseph menggeram tertahan saat merasakan gelombang yang begitu kuat seolah ingin menerobos keluar dari dalam dada. Jiwa iblisnya seolah terus berteriak bahwa ini adalah tawaran yang sangat menggiurkan. Dengan sumber daya yang dimilik Dreyfus, Joseph akan dapat memuaskan rasa dendam yang selama bertahun-tahun menggumpal di dalam benak.
Perlahan, Joseph membalik badan. Netranya tampak menggelap dengan gemuruh di dalam dada yang semakin kuat. Pria itu melayangkan tatapan tajam ke arah Dreyfus.
“Kapan kita akan memulainya?” tanyanya dengan suara berat dan dalam.
Samar-samar, seringai di bibir pemimpin Carnicero tersebut kembali tercetak. Dreyfus, pria berjambang itu menarik napas dalam hingga dagunya tampak terangkat dengan angkuh.
“Kapan pun yang kau inginkan, Nak,” jawab Dreyfus dengan tatapan penuh maksud.
Tanpa sadar, Joseph telah masuk dalam perangkap Dreyfus. Sebenarnya, sudah sejak lama Dreyfus mengawasi Joseph. Semenjak pria itu terlibat dengan Andrew Reyes yang merupakan tokoh ternama di negara tersebut. Keberanian Joseph dalam membawa lari putri Andrew Reyes membuat Dreyfus tertarik pada pria berdarah Italia itu.
Selama ini, Dreyfus memiliki tiga orang Gladiator yang menjadi ujung tombak dalam setiap misi yang diterimanya. Tiga Gladiator yang selalu dapat menyelesaikan misi dengan sukses. Tak pernah ada klien yang kecewa dengan kinerja Carnicero, selama organisasi itu berdiri. Dan kini, Dreyfus mendapatkan satu Gladiator lagi untuk membuat organisasinya semakin tak tertandingi.
Bagai The Four Horsemen, Carnicero akan memiliki empat Gladiator yang melengkapi satu sama lain, menjadi satu kekuatan tak terkalahkan.
Sembari menunggu kondisi Joseph benar-benar pulih, Dreyfus memberi kesempatan kepada pria itu untuk mengenal markas Carnicero dengan lebih baik. Joseph pun mulai berinteraksi dengan beberapa orang di sana meski tidak terlalu dekat.
Sedikit banyak, Joseph mulai hafal dengan tata letak markas. Dia pun sudah tidak tinggal di fasilitas kesehatan lagi. Dreyfus memberinya sebuah kamar tersendiri di salah satu bagian markas yang bersebelahan dengan kamar Gladiator yang lain. Sayangnya, dia tidak pernah bertemu dengan Jacob dan Helena lagi semenjak terakhir dia melihat mereka berlatih.
Dari informasi yang didapatnya dari orang-orang di markas, ketiga Gladiator yang lain sedang dalam misi. Entah misi seperti apa, Joseph pun tidak pernah tahu karena tidak pernah ada yang bersedia memberikan informasi kepadanya. Joseph sangat penasaran dengan satu Gladiator lain yang belum pernah dia temui. Jika Jacob dan Helena sering melakukan misi bersama, lalu … apakah yang satu ini melakukan misi seorang diri? Lantas, apakah ini berarti yang satu ini lebih tangguh dari Jacob dan Helena?
Sampai pada satu ketika, seseorang menyampaikan pesan dari Dreyfus yang meminta Joseph untuk datang ke ruang konferensi. Pria berusia tiga puluh tahun itu pun lantas datang ke sana untuk memenuhi panggilan tersebut. Dia sudah menunggu saat di mana Dreyfus akan membahas tentang rencana balas dendam yang dijanjikan kepadanya.
Berjalan di belakang orang suruhan Dreyfus, Joseph memperhatikan sekeliling. Tak seperti biasa, markas itu terlihat lebih ramai dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Tampak orang-orang dengan wajah asing yang tak pernah Joseph jumpai sebelumnya, dan mata orang-orang itu pun berpaling ke arah Joseph ketika pria itu berjalan melewati mereka. orang-orang di sana tampak memindai pria berdarah Italia itu seperti sedang menilai sesuatu.
“Mr. Eastwood menunggu Anda di dalam, Sir” ujar orang yang membawa Joseph untuk menemui Dreyfus seraya membukakan pintu untuknya.
Joseph hanya berpaling sekilas lalu melangkah masuk ke ruangan tersebut. Dia pun ingin segera menagih janji Dreyfus kepadanya.
“Oh, kau sudah datang rupanya.” Terdengar suara Dreyfus menyapa kehadiran Joseph dalam ruangan konferensi.
Sejenak, langkah kaki Joseph sempat terhenti saat melihat wajah-wajah yang ada di dalam ruangan tersebut. Ada empat orang di sana yang sedang duduk mengelilingi sebuah meja besar dengan Dreyfus di posisi kepala meja. Empat pasang mata itu serempak mengarah pada Joseph ketika pria tersebut memasuki ruangan.
“Kemarilah! Sudah saatnya aku mengenalkanmu pada Gladiator yang lain,” ujar Dreyfus seraya menggerakkan kepala, memberi isyarat pada Joseph untuk ikut duduk di salah satu kursi.
Dalam pandangan Joseph, dia sudah tidak asing dengan tiga wajah di sana. Dreyfus, Jacob, dan Helena. Lalu, pandangan pria itu fokus pada satu orang lagi yang belum pernah dia temui sebelumnya. Gladiator terakhir yang membuatnya penasaran.
Joseph sempat mengira jika Gladiator terakhir itu adalah seorang pria berotot dengan kemampuan bertarung yang sangat mumpuni. Namun ternyata dia salah. Bukan pria berotot yang dia lihat duduk di sisi kanan Dreyfus, melainkan seorang wanita berparas cantik dengan gaun seksi yang lebih terlihat seperti model dibandingkan ahli beladiri dan bertarung.
“Duduklah!” titah Dreyfus ketika Joseph tiba di dekat meja.
Pria itu melirik pada wanita dengan rambut brunette yang sedang menatap pada dirinya dengan tatapan kagum yang sama sekali tidak disembunyikan. Bibir wanita itu tampak membuat celah tipis, kelopak matanya pun tampak mengerjap lambat seolah sedang bergerak dalam mode slow motion, menunjukkan iris satin grey yang mengintip malu-malu.
“Hentikan, Jill! Kau bisa membuat pria itu ketakutan jika kau terus memandanginya seperti itu,” ujar Dreyfus sambil tersenyum kecil dan menggeleng pelan kepalanya.
“Oh, maaf. Aku hanya … ah, lupakan saja!” ujar wanita bernama Jill tersebut seraya mengibas tangan dan memalingkan wajah dari Joseph.
Mengambil posisi duduk di sisi kiri Dreyfus, Joseph berhadapan langsung dengan Jill yang tampak mencuri pandang ke arahnya berulang kali. Bahkan Joseph sempat menangkap senyum yang terukir di bibir wanita itu meski Jill segera memalingkan wajah ke arah lain, namun Joseph mengabaikannya dan lebih memilih untuk berpaling ke arah Dreyfus.
“Kau memanggilku ke sini, apa aku sudah bisa menagih janjimu padaku?” tanya Joseph kemudian tanpa basa-basi. Dia sama sekali tidak peduli dengan ucapan Dreyfus yang ingin mengenalkannya kepada Gladiator lain.
Terdengar suara kekehan ketika Dreyfus mengangkat punggung dari sandaran kursi. Pria berjambang itu sedikit memiringkan kepala, menatap Joseph dengan ekspresi seolah sedang melihat sesuatu yang menggelikan.
“Bersabarlah, Nak. Janji yang pernah aku katakan padamu sudah masuk dalam daftar rencana. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” jawab Dreyfus.
Tatapan Joseph bertambah serius setelah mendengar jawaban Dreyfus. Pria itu pun menegakkan punggung lalu berkata dengan tegas, “Aku tidak menyetujui tawaran menjadi salah satu Gladiatormu hanya untuk bersabar, Mr. Eastwood! Aku menginginkan kerjasama mutualisme, bukan untuk dimanfaatkan. Jadi jika kau tidak bisa memberi apa yang telah kau janjikan, maka aku tidak akan melakukan apa pun untukmu.”
Ucapan Joseph membuat ketiga orang lain yang ada di sana saling pandang dengan satu sudut bibir terangkat, seolah mereka memiliki satu pemikiran.
Ekspresi yang sama pun ditunjukkan oleh Dreyfus, seolah dia sudah menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi. Pria berjambang itu lantas berdehem seraya menundukkan kepala beberapa saat.
“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mengkhawatirkan hal itu, Mr. Hunter.” Dreyfus mengangkat pandangan secara perlahan ke arah Joseph. Memandang pria itu beberapa saat sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Mari kita lakukan ini dengan caraku.”
Joseph sudah hampir membalas ucapan Dreyfus ketika pria berusia akhir empat puluhan itu bangkit dari kursi seraya mengancingkan jas dengan gaya elegan. Kemudian dia berjalan ke arah Joseph dan berdiri di belakang kursi pria itu dengan kedua tangan mendarat pada sandaran kursi.
“Baiklah, Anak-anak! Secara resmi, aku perkenalkan anggota baru kita. Namanya adalah Joseph Hunter, Gladiator keempat Carnicero,” ucap Dreyfus dengan netra menyapu pada tiga pasang mata yang ada di sana. Kemudian pria itu meletakkan telapak tangan di pundak Joseph dengan sedikit meremasnya.
“Dan untukmu, Joseph … perkenalkan, Jacob, Helena, dan Jill. Tak perlu bertanya siapa nama belakang mereka karena kau tidak akan pernah menemukannya di dalam data mana pun,” imbuh Dreyfus menunjuk satu persatu Gladiator.
Netra Joseph pun turut menyapu satu persatu wajah dengan nama yang disebutkan oleh Dreyfus. Tatapannya tampak datar dan sulit untuk ditebak.
Dreyfus membungkukkan badan lalu setengah berbisik di telinga Joseph. “Jill akan membantumu menyesuaikan diri. Dia adalah partner yang sangat baik.”
Manik Joseph langsung bergulir ke arah wanita cantik bernama Jill yang duduk berhadapan lurus dengannya. Tampak wanita itu menggigit bibir dengan senyum yang seolah sudah sangat menunggu saat-saat di mana Dreyfus akan mengatakan hal ini. Bahwa Joseph akan berada dalam satu tim dengannya.
Dalam hati Joseph bertanya-tanya, apa yang bisa dilakukan oleh wanita seperti itu selain merayu pria?
“Baiklah,” ujar Dreyfus seraya menegakkan badan. Pria itu berdehem sambil merapikan jas yang tidak berantakan. “Aku akan meninggalkan kalian untuk bercengkerama,” imbuhnya.
Pria itu memberi dua tepukan di pundak Joseph sebelum akhirnya membalik badan dan meninggalkan ruangan tersebut dengan santai. Meninggalkan Joseph bersama tiga orang asing di sana.
Jacob dan Helena kompak bertukar pandangan dengan maksud tertentu. Senyum yang terukir di bibir mereka menunjukkan bahwa apa yang mereka pikirkan memang sejalan. Sampai akhirnya mereka bangkit secara bersama-sama.
“Senang bertemu denganmu, Hunter. Tapi … kami harus pergi. Semoga harimu menyenangkan,” ujar Jacob yang lantas merangkul bahu Helena dan meninggalkan ruangan tersebut.
Joseph menipiskan bibir. Sepertinya dia memang sengaja ditinggalkan di ruangan itu bersama Jill. Hingga tanpa sadar, manik pria tersebut langsung terangkat pada wanita cantik dengan gaun seksi di hadapannya yang sedang memamerkan senyum lebar.
“Hai, Hunter!” Jill menggerakkan jemarinya, menyapa Joseph dengan antusias.
Tak membalas sapaan tersebut, Joseph membasahi bibir lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Apa yang sedang direncanakan pria tua itu?” tanyanya dengan suara tertahan, entah pada siapa.
Pada hari-hari tertentu, Dreyfus mengizinkan anak buahnya untuk berpesta. Hal ini dilakukan agar mereka tidak terlalu tertekan dalam melaksanakan tugas masing-masing. Carnicero memang bukan organisasi resmi yang didirikan oleh pemerintah. Namun, pekerjaan yang mereka ambil terkadang lebih berat dari pekerjaan badan intelijen pemerintah atau pasukan elit angkatan bersenjata di bawah naungan NAVY SEAL.Bagi anak buah Dreyfus, meski pesta semacam itu hanya diadakan di bar yang ada di markas, namun terasa sangat menghibur. Mereka bisa merilekskan otak dan otot setelah menjalankan misi yang bahkan beberapa dari mereka melakukan misi selama berbulan-bulan. Kembali dan disambut dengan pesta sederhana seperti itu, membuat hubungan di antara mereka semakin erat. Tak hanya sebagai rekan kerja namun juga sebagai keluarga.Candaan dan tingkah konyol beberapa orang membuat yang lain turut tertawa terbahak-bahak. Satu-satunya orang yang tampak tak menikmati pesta tersebut hanyalah Joseph. Pria itu
Jill sama sekali tidak terlihat seperti sedang bercanda ketika mengatakan bahwa Dreyfus akan menyerahkan misi tersebut kepada mereka. Wanita itu justru terlihat begitu antusias. Hanya saja … Joseph tak memiliki bayangan apa pun tentang misi yang dibicarakan oleh Jill.Apa yang harus dia lakukan dalam misi itu? Menghabisi nyawa seseorang? Meratakan markas kartel yang menguasai sebagian besar wilayah Amerika Selatan itu dengan bom berdaya ledak tinggi? Atau dia harus datang ke markas The Demon untuk berduel dengan anggota kartel tersebut?Joseph sama sekali tak mengerti. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Entahlah, Joseph merasa bahwa dia tidak seharusnya berada di tempat itu. Misi, kerjasama dengan pemerintah … itu semua omong kosong!“Dreyfus berjanji padaku bahwa dia akan memberiku jalan untuk membalas dendam kepada Andrew Reyes. Aku tidak seharusnya berada di dalam misi itu,” sangkal Joseph.Jill mengibas tangan di depan wajah dengan senyum miring saat berpaling sekejap dari
Tidak seperti yang Joseph pikirkan sebelumnya. Penampilan Jill memang sangat menipu. Paras cantik serta tubuh indah yang dikombinasikan dengan pakaian seksi, nyatanya menyembunyikan sosok predator yang sangat berbahaya di dalam diri wanita itu.Jika semula Joseph meremehkan kemampuan wanita itu hanya berdasarkan apa yang dia lihat dari luar, maka sekarang Joseph harus membuang stigma itu dari dalam pikirannya. Jika Jacob dan Helena terlihat tangguh dalam sekali lihat, maka dia harus mengenal Jill terlebih dahulu untuk bisa melihat kemampuan wanita itu yang sesungguhnya.Tak hanya ahli dalam menembak. Jill juga memiliki kemampuan bela diri yang sangat mumpuni. Malah bisa dikatakan kalau Jill memiliki hal lain yang membuat kemampuan berkelahinya menjadi semakin hebat. Wanita itu menggunakan pesonanya untuk memancing kelengahan lawan lalu menyerang tanpa ampun.“Tunjukkan kemampuanmu!” Di tengah matras, Jill memasang posisi kuda-kuda dengan senyum manis yang mengeluarkan aura mematikan.
“Apa kau bilang?” tanya Joseph saat tak begitu jelas mendengar apa yang diucapkan oleh Jill. Pria itu lantas mengangkat badan, duduk sambil melepas napas panjang seolah merasa begitu lega bisa bernapas kembali dengan baik.Wanita itu berpaling dengan bibir yang setengah terbuka. Kemudian dia menjilat bibir bawah dan menjawab, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengatakan kau harus banyak berlatih. Kemampuan bertarungmu masih perlu diasah lagi. Fokusmu juga kurang baik. Dan satu lagi! Dalam bertarung, jangan pernah menggunakan hati. Empati bisa membuatmu mati!”Sungguh pandai Jill bermain kata-kata. Meski dari sikap dan tatapannya, wanita itu terlihat sangat jelas mengagumi Joseph. Namun, lidah wanita tersebut tetap terkontrol untuk memainkan kata.Mungkin benar, Joseph sudah tidak asing lagi dengan perkelahian jalanan. Namun secara teknik, melawan Jill saja dia masih kuwalahan. Ya, Joseph menyadari hal itu.“Aku tahu,” sahut Joseph.“Berlatihlah lebih banyak. Jadi ketika perintah untuk melakuk
Meninggalkan Joseph di ruang berlatih, Jill masih mengenakan pakaian latihan kala menemui Dreyfus. Wanita itu melangkah dengan anggun. Dadanya tampak membusung, punggung tegak, dan dagu terangkat. Jill mengayun kaki jenjangnya menuju ruang kerja Dreyfus yang terletak cukup jauh dari tempatnya berlatih bersama Joseph.Ruang kerja Dreyfus terlihat jauh dari tempat berlatih karena untuk menuju ke sana, perlu melewati beberapa pintu serta lorong yang bisa menyesatkan siapa saja yang belum hafal dengan markas Carnicero. Oh, dan jangan lupakan bahwa Jill harus menaiki lift untuk dapat menjangkau tempat tersebut. Bahkan Joseph sekalipun belum pernah datang ke ruang kerja Dreyfus. Hanya beberapa orang yang memiliki akses khusus yang bisa datang ke sana. Para Gladiator adalah salah satunya.Setelah berjalan melewati jalur yang berputar-putar, Jill tiba di depan sebuah pintu besi dengan kunci digital yang ada di samping pintu. Dia harus menekan beberapa kombinasi angka untuk membuat pintu itu t
Semua sudah diserahkan kepada Jill. Pelatihan yang akan dia berikan kepada Joseph, tentu tak hanya dalam hal beladiri. Seorang Gladiator tak hanya harus memiliki kemampuan bertarung yang mumpuni. Tak jarang mereka harus melakukan aksi spionase yang mana itu membutuhkan keahlian menyamar dan membaur yang baik.Setelah pembicaraannya dengan Dreyfus, Jill kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Letak kamar yang bersebelahan dengan milik Joseph, membuat gerak kaki wanita itu terhenti ketika tiba di depan pintu. Dia tidak tahu apakah Joseph sudah kembali ke kamar atau belum. Namun, ada hal yang menggelitik di dalam batin Jill hingga wanita itu nekat mengayun kaki ke kamar yang bukan miliknya, yaitu kamar Joseph.Perlahan, dia gerakkan tangan ke arah gagang pintu dan menyentuhnya dengan hati-hati. Saat sudah mendarat di sana, Jill tak langsung memutarnya. Wanita itu menipiskan bibir sambil mengumpat dalam hati.“Apa yang terjadi padaku?” gumam Jill seraya melepaskan tangan dari gagang pin
“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Joseph melipat tangan di depan dada sambil menatap Jill dengan mata menyipit. Menelisik alasan wanita itu masuk ke kamar bahkan berani merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Jill tampak membuka dan menutup mulut seperti seekor ikan. Ingin mengatakan sesuatu namun tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap dari lisan. Ini sangat bukan Jill yang biasanya. Tertangkap basah saat menyelinap ke tempat yang tidak seharusnya dia datangi adalah hal biasa. Namun dia selalu mendapatkan cara untuk mengelak dan mencari alasan untuk menutupi maksud yang sesungguhnya.Hanya saja … saat berhadapan dengan Joseph, apalagi tertangkap basah oleh pria tersebut, Jill mendadak kehilangan kemampuan itu. Tubuhnya seakan lumpuh, tak dapat bergerak ataupun berbicara.“Kenapa kau ada di sini?” tandas Joseph lagi dengan tatapan kian menajam. Pria itu menggulir pandangan ke sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu yang dirasa tak biasa ada di sana atau sesuatu yang sekarang leny
“Lebih cepat! Gunakan tenagamu, Hunter! Kau terlihat seperti anak kecil yang merajuk dengan pukulan semacam itu!” teriak Jill dari tepi ruangan.Sementara itu terdengar suara Joseph yang sesekali akan berteriak saat sedang mengeluarkan tenaga yang lebih banyak. Setelah satu bulan berlatih Wing Chun, kini Joseph mulai bisa menguasai ilmu beladiri yang menekankan pertarungan jarak dekat, pukulan cepat, dan pertahanan yang ketat untuk mengalahkan lawan.Di tepi ruang berlatih, Jill tersenyum puas melihat kemampuan Joseph yang sudah berkembang dengan sangat pesat. Dia tahu Joseph memiliki motivasi yang sangat kuat untuk bisa segera menguasai semua yang dia ajarkan. Jadi, tidak heran jika pria itu sekarang sudah bisa mengimbangi kemampuannya dalam bertarung.Tak hanya seni beladiri Wing Chun, Jill juga mengajarkan beberapa keahlian lain dalam menggunakan senjata. Senjata api, busur, pedang, dan juga belati adalah senjata-senjata yang harus dikuasai oleh Joseph. Untuk senjata api, menurut J
Ruangan itu terasa begitu sunyi meskipun ada orang di sana. Joseph baru saja menunjukkan pada Camila sebuah rekaman asli yang diambil dari markas The Demon pada saat penyerangan. Dalam rekaman itu terlihat dengan jelas, peluru dari senjata siapa yang melesat dan menewaskan Andrew Reyes. Tangan Camila gemetar ketika perempuan itu menyingkirkan ponsel yang disodorkan oleh Joseph. “Cukup,” lirih wanita itu dengan bibir pucat yang bergetar, seraya memejamkan mata rapat-rapat. “Dengar, Camila.” Joseph mengubah posisi duduknya menjadi serong ke arah sang istri. Dia ambil tangan Camila lalu menggenggamnya. “Selain ibuku, kau adalah orang yang paling mengenal diriku. Saat aku mengatakan bahwa aku tidak membunuh ayahmu, maka aku mengatakan yang sebenarnya. Aku berada dalam dilema besar antara tugas dan dirimu. Dan aku memang tidak akan sanggup melakukannya,” tutur pria itu. Dalam keadaan kelopak mata yang masih terpejam, Camila melepas napas dalam. Bulir air mata menetes dari celah netra, s
Tubuh Jill terempas dan menabrak Joseph. Kuatnya entakan peluru itu membuat si wanita ambruk seketika.“Jill!” seru rekannya yang lain.Dreyfus yang waktu itu masih berada di jarak lumayan jauh pun langsung berlari mendekat untuk melihat kondisi gladiatornya.“Apa yang kau lakukan?” Joseph memangku kepala wanita itu sambil menatap khawatir. Beberapa kali perhatiannya terdistraksi oleh darah segar di perut Jill.Jacob menekan kuat luka tembak itu untuk meminimalisir darah yang keluar. Kendati demikian, darah yang terlanjur mengucur sudah cukup banyak dan membuat wanita itu tampak begitu kesakitan.“Bagaimana kondisinya?” tanya Dreyfus seraya menekuk lutut di dekat Jill.“Aku butuh sesuatu untuk menyumbat luka ini,” ujar Jacob saat melihat darah yang tetap merembes dari bawah telapak tangannya, meski luka itu sudah dia tekan cukup kuat.Mendengar penuturan rekannya itu, Joseph langsung melepas kaus yang dia kenakan dan memberikannya kepada Jacob.“Gunakan ini,” kata Joseph.Dengan sigap
Senyum miring di bibir pria itu membuat Dreyfus tak bisa berkata-kata. Wajah Abram Federov tentu sudah tidak asing lagi baginya. Namun, sosok di sisi yang berlawanan dengan Abram lah yang membuat Dreyfus tercengang bukan main. Pria yang tampak seperti sedang tersenyum lebar, namun hanya satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.“Remember me?” Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinga Dreyfus. Ah, dan jangan lupakan Jacob serta Helena yang juga membuka bibir dengan kelopak mata melebar. Ekspresi yang sama dengan yang ada di wajah Dreyfus.“Ini tidak mungkin,” gumam Jacob.“Aku pikir dia sudah mati,” timpal Helena.“Aku seperti melihat hantu,” balas Jacob dengan netra tak lepas dari sosok itu.Tak jauh dari kedua gladiator itu, Jill terlihat seperti berusaha mengingat siapa pria yang sedang tersenyum puas melihat keterkejutan mereka. Jill tidak tahu siapa pria itu. Namun, dia merasa seperti pernah melihat wajah ini di suatu tempat. Untuk itu, Jill berusaha menggali ingatan tent
Melihat dua putra Blight saling mengacungkan senjata, bukanlah hal yang aneh untuk Dreyfus dan para gladiatornya. Karena mereka sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah tujuan Joseph kembali ke mansion. Yaitu untuk memancing Julian keluar dari tempat persembunyian lalu menuntaskan misi.Hanya saja, untuk pihak lain yang saat itu juga ada di sana, pemandangan ini menjadi hal yang sangat menarik untuk disaksikan. Orang-orang The Assassin serempak menurunkan senjata—meski tetap tidak mengurangi kewaspadaan, demi untuk dapat melihat duel senjata ala koboi yang dilakukan Julian dan Joseph.“Ini akan menjadi tontonan yang menarik,” gumam Federov seraya menoleh pada pria di sampingnya.Di depan sana, Julian tampak sangat marah. Sebenarnya, dia sudah tidak begitu terkejut dengan hal ini. Namun, posisinya saat ini sungguh tidak menguntungkan. Posisinya lemah, hanya ada Morgan yang bersama dirinya. Julian seperti sedang menghadapi dua kubu lawan yang menginginkan kematiannya. Dan sekarang, dia sed
Perhatian Joseph dan Julian terfokus pada Camila yang datang dengan berderai air mata.Wanita itu langsung meminta Morgan untuk mengantarnya ke mansion ketika dia tahu bahwa Julian sedang berada di tempat tersebut untuk menghentikan Joseph yang sedang berusaha merusak kenangan Georgina.“Hentikan apa pun yang kalian lakukan!” jerit Camila untuk kedua kali.“Nona,” panggil Morgan seraya menahan tangan Camila yang berjalan mendekat ke arah dua pria yang sedang berkelahi itu.“Lepaskan tanganku!” sentak Camila seraya menepis tangan Morgan. Wanita itu masih terus berjalan ke arah dua pria di hadapannya.Masih tak melepaskan cengkeraman satu sama lain, Julian memberi titah dengan suara keras, “Tetap di tempatmu, Camila!”Wanita itu tersentak. Tak pernah sekalipun dia mendengar Julian membentak dirinya seperti ini. Selama bersama pria itu, Julian selalu memperlakukannya dengan sangat lembut. Keterkejutan itu membuat gerak kaki Camila berhenti. Si wanita menatap nanar pada Julian, seolah tak
Auman Julian seolah menggetarkan seluruh bangunan, mengalahkan deru mesin ekskavator yang sedang mengeruk tanah untuk dijadikan kolam raksasa. Orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara. Tak terkecuali Joseph yang sedang mengawasi para pekerja. Saat melihat Julian berdiri di sana dalam keadaan masih benyawa, perlahan sudut bibir pria itu terangkat, membentuk senyum miring sarat kepuasan.“Hentikan apa pun yang sedang kalian lakukan!” perintah Julian dengan suara menggelegar, seraya melotot pada para pekerja.Deru mesin ekskavator pun berhenti saat si Operator mematikannya. Mereka tahu siapa pria yang baru saja berteriak memberi perintah itu. Memangnya siapa yang tidak mengenal wajah Julian Blight? Pengusaha sukses yang wajahnya wara-wiri di berbagai media cetak maupun elektronik. Terlebih lagi beberapa pekan terakhir, di mana Julian dikabarkan meninggal dunia dalam tragedi Pulau Horsche. Dan ketika mereka melihat sosok itu kini sedang berdiri menghadap mereka dengan tat
“Jangan membuat ekspresi seperti itu!” Joseph menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Harusnya kausenang, Juan. Bukankah ini yang kau harapkan? Aku kembali ke sini sebagai Joseph Blight,” ujar Joseph saat melihat raut bertanya-tanya di wajah Juan.“Oh, ya. Tentu saja.” Juan mengangkat alis sambil mengalihkan perhatian dari Joseph. “Aku sangat senang akhirnya kau bersedia kembali ke sini,” lanjut pria tua itu.“Dan karena aku sudah kembali, maka aku mau semua yang ada di sini harus sesuai dengan apa yang kuinginkan,” ucap Joseph lagi.Jika boleh jujur, pria tua itu memiliki firasat yang tidak baik tentang kembalinya Joseph ke mansion tersebut. Bagaimana seseorang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sangat membenci keluarga Blight, kini dengan enteng menyatakan bahwa dia akan menyematkan nama itu di belakang namanya. Juan memang sudah terlalu tua untuk berdebat, namun pria itu tidak sebodoh yang dikira sehingga akan percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Joseph. Kendati demikia
“Benar-benar tidak ada yang berubah dari mansion ini sejak belasan tahun yang lalu,” ujar Joseph seraya terus mengayun langkah mengikuti kaki Esme yang berjalan cepat di depannya.“Tuan Julian melarang kami melakukan apa pun yang dapat mengubah tata letak bangunan ini, Tuan. Jika ada kerusakan, Tuan Julian selalu memerintahkan para pekerja untuk memperbaikinya seperti sedia kala. Harus sama persis, dan Tuan Julian tidak akan menolerir kesalahan sedikit pun. Begitulah yang sering dibicarakan oleh para pelayan di mansion ini,” sahut Esme panjang lebar, tanpa diminta oleh Joseph.Joseph melirik pada gadis belia itu. Diam-diam, pria tersebut menyunggingkan senyum samar. Gadis ini sepertinya mewarisi sifat ceria dan cerewet dari ibunya. Wajah Esme dan Gracia memang tidak begitu mirip, namun pembawaan gadis itu Gracia sekali.Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, Joseph tertarik untuk mendengar lebih banyak cerita tentang apa saja yang sudah terjadi di mansion ini. Salah satunya adal
“Kau yakin orang yang kau lihat adalah Julian Blight?” tanya Dreyfus, meski dia yakin Monica tidak akan jauh-jauh datang ke markas hanya untuk berbohong mengenai masalah ini.“Kau pikir aku buta, hah?!” Wanita itu justru terlihat semakin murka. “Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku sangat yakin bahwa kedua mataku masih dapat berfungsi dengan normal, Dreyfus Eastwood!” desisnya.Mendengar suara Monica melengking dengan emosi yang meledak-ledak, sama sekali tak membuat Dreyfus goyah. Pria itu masih tetap terlihat sangat tenang, bahkan sempat menyunggingkan senyum samar di sudut bibirnya.“Aku tidak meragukan itu, Monica.” Dreyfus terkekeh renyah. Kemudian, pria itu menarik napas dalam dan berkata, “Kami akan segera menyelesaikannya.”“Bagus! Dan aku tidak ingin mendengar alasan lagi bahwa keberadaan Julian Blight sulit untuk kalian lacak!” desak Monica.“Aku mengerti,” balas Dreyfus.Terkadang, mengalah bukan berarti kalah. Begitu pun dengan yang dilakukan Dreyfus. Untuk