Mereka berdua hanya terdiam. Bahkan nyaris seperti orang yang tak tak pernah saling kenal.
“Aku duluan,” kata Aditya datar sembari keluar dari lift.
Berulang kali Aditya menghembuskan napasnya setelah lelaki itu duduk di meja kerjanya. Masih tak habis mengerti dengan penampilan Sarah yang dia lihat barusan.
Baju yang dikenakan terlihat baru. Begitu juga penampilan lainnya. Wajahnya terlihat lebih bercahaya dan tidak kusam. Pikirannya bertanya-tanya. Apakah perusahaan Dimas sudah membaik, sehingga sudah punya cukup uang untuk meningkatkan penampilan Sarah. Padahal, bulan lalu dia masih terlihat sederhana dan kusam.
Karena penasaran, Aditya segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
[Kapan Sarah dinas lagi?] Aditya mengirimkan pesan ke kakaknya. Dia benar-benar harus menyelidiki.
Kalau perubahan penampilan karena uang lebih dari Dimas, rasanya tak mungkin. Pasti Dimas pun akan ada perubahan. Buktinya ti
Sudah seminggu berlalu, Aditya masih memikirkan bagaimana cara mencari tahu apa yang terjadi dengan Sarah. Namun, Aditya belum punya nyali untuk menemui Sarah. Bertanya pada kolega yang lain jelas tak mungkin. Informasi dari Farhan memang cukup jelas, tapi dia tak mau berspekulasi dengan hal yang belum jelas.Hari itu, Aditya dan Intan berjalan memasuki lobi sebuah mall. Aditya sudah tidak tahan dengan rengekan Intan yang mengajaknya jalan-jalan sebagai hadiah lulus mata kuliahnya Huda, dosen yang sedang gencar mendekati Intan.“Mau kemana kita jadinya?” tanya Aditya dingin.“Nonton! Kan waktu itu belum jadi,” tagih Intan sambil tersenyum manja ke Aditya.Aditya membalasnya dengan tampak jijik. Ditariknya kedua sudut bibirnya ke samping.“Ih, kamu tuh ya, Mas! Nggak asyik!” Intan hendak memukul lengan Aditya.Serta merta Aditya menghindar, sehingga Intan hanya mampu memukul benda ko
Siang itu Dimas kembali datang ke kantor Aditya saat jam makan siang. Dua lelaki kakak beradik ini memang dekat sejak kecil meskipun perangai keduanya bertolak belakang. Dimas yang lebih santai, suka bercanda dan lebih banyak empati. Sementara, Aditya cenderung serius, datar dan apa adanya. “Mas, aku rasa di kantorku nggak ada dinas sesering itu. Apalagi di akhir pekan.” Aditya memberanikan diri untuk bicara. Kedua kakak beradik ini sedang duduk di salah satu tempat makan di luar kantor. Karena tak ada pekerjaan mendesak, Aditya berani untuk keluar dari kantor saat jam istirahat. “Maksud kamu, dia membohongiku?” tanya Dimas. Di depan pria itu tersaji sepiring gado-gado dan segelas es teh manis. Sementara, di hadapan Aditya tersaji nasi rawon yang kuahnya masih mengepul. Aditya menghela nafas. “Aku nggak bilang gitu, Mas. Cuma aku lihat penampilan Sarah sekarang sudah sangat berubah. Apa kamu memberin
Sudah seminggu Intan memiliki laptop baru. Tetapi dia masih malas memakainya. “Kenapa laptop barunya nggak dipakai?” tegur Aditya. “Dataku ada di laptop lama semua, Mas,” ujar Intan beralasan. Laptop barunya masih manis dalam tas laptop. Seketika wajah Aditya memerah. Dia mengacak rambutnya dengan kasar. “Percuma beli laptop mahal-mahal,” ujarnya. Lelaki itu lalu meminta Intan minggir dari kursi belajarnya. Dengan kesal dia buka laptop yang baru dibelinya beberapa waktu lalu. Sebuah hardisk portable segera dicolok pada laptop lama milik Intan. Semua data dipindah ke hardisk itu. Sementara Intan hanya duduk di sisi ranjang sambil bersedekap. Matanya sesekali melirik ke layar monitor yang terlihat lambat memindai datanya. Lelaki itu sesekali mengurut kepalanya. Tak habis pikir dia dengan cara pikir istrinya. Sudah dibelikan barang baru, memakainya saja seolah tak bersemangat
“Adit, Sarah, ada apa?” tanya Dimas sambil menatap tajam keduanya yang sedang berdiri di samping meja makan. Dimas masih berdiri di tangga. Matanya masih memerah karena baru bangun dari tidur dan tak mendapati istrinya di sampingnya. Kini dia malah melihat Sarah dan Aditya berdua di ruang makan. Beruntung Intan buru-buru mendekat. Sehingga dapat menyelamatkan Aditya dari prasangka. Aditya cemas kalau kakaknya berfikir dia hanya berduaan dengan Sarah di ruang makan. Aditya membuang muka. Lalu ia pergi meninggalkan Sarah menuju ke kamarnya. Intan pun menatap suaminya kebingungan. Tadi dia kebetulan keluar kamar karena mau melihat Aditya yang sedang memindahkan datanya ke laptop baru miliknya. Nggak enak kalau suaminya mengerjakan punya dia, sementara enak-enakan di kamar. Sementara Dimas terbangun karena hendak ke toilet. Menyadari Sarah tidak di kamar, dia ingin mengecek ke lantai bawah. “Ayo kita pulang, Mas. Aku
Aditya yang duduk di kursi belajarnya, sontak kaget. Tak menyangka dengan apa yang dilakukan kakaknya. Apalagi Dimas yang biasanya kalem, mendadak murka. Dimas melepaskan begitu saja cengkeram tangannya setelah dia puas mengatakan apa yang diinginkannya, lalu ia buru-buru melangkah keluar meninggalkan Aditya. “Mas, --” Aditya bangkit dari kursinya. Ia mengejar Dimas yang melangkah tergesa ke lantai bawah. Saat Aditya baru sampai ke lantai bawah, Dimas sudah meninggalkan halaman rumah dengan motornya. “Ada apa tho, Dit?” tanya mamanya. Intan yang sedari tadi di kamar, tergopoh-gopoh ke ruang tamu karena mendengar suara gaduh. “Mas Dimas salah paham, Ma,” jawab Aditya lemah. Pemuda itu terduduk di kursi ruang tamu. Aditya bingung akankah dia jujur mengatakan pada keluarganya tentang perilaku Sarah. Atau menyimpannya sendiri. Dia tidak ingin papanya akan merasa bersalah dengan Dimas karena men
Aditya meraih ponselnya. Dengan geram ia menekan nomor kakaknya. Dia harus mengklarifikasi apa yang telah terjadi. Tak dapat dibiarkan. Apalagi, kini bukan hanya menyangkut Dimas dan Sarah. Tapi sudah membawa-bawa namanya.Mata Aditya melebar, tatkala melihat penolakan dari layarnya.Apa? Kakaknya menolak panggilannya?Aditya dan Dimas memang jarang bertelepon di jam kerja. Tetapi, justru jika dilakukan, menjadi pertanda ada hal penting yang harus diselesaikan.Aditya mengulangi lagi panggilannya. Dadanya berdebar menanti panggilan itu terjawab. Kepalanya memikirkan rangkaian kata yang hendak diucapkan untuk kakaknya. Dia ingin secepatnya bertemu kakaknya. Menjelaskan semuanya. Sepertinya, tak ada lagi yang perlu ditutupi.Brakk!Semua mata menoleh ke arah Aditya. Tatkala pemuda itu memukul meja di hadapannya. Raut mukanya memerah menahan amarah. Aditya kesal, karena kakaknya kembali menolak panggilanny
“Apa kamu juga mau mempengaruhi papaku, seperti perempuan licik simpananmu itu?” lanjut Sarah dengan suara tersengal. Wanita itu ingin menumpahkan kekesalan yang selama ini dipendamnya.Pak Anwar menatap Sarah dan Aditya bergantian. Apa maksud Sarah? Mempengaruhinya?“Kamu menyesalkan meninggalkanku? Ha? Kamu menyesalkan hanya dapat pembantu murahan itu?” Sarah kembali meluapkan emosinya. Kesempatan dapat merendahkan Aditya di depan papanya tak disia-siakan.Sarah sengaja memprovokasi untuk mengundang kemarahan Aditya. Dia ingin menguji sejauh mana kesabaran Aditya. Pria yang sejak dulu dikaguminya.“Sarah!...” seru Aditya tertahan. Dia tak ingin mendengarkan lebih jauh perkataan Sarah. Percuma kemarahan dibalas dengan kemarahan. Kedatangannya bukan untuk bertemu Sarah. Namun bertemu dengan Dimas dan membicarakan semuanya dengan kepala dingin.“Maaf Om, saya hanya mau ketemu Mas Dima
Bisnis Dimas yang merupakan warisan dari papa mertuanya yang menyisakan banyak hutang, pelan-pelan sudah menggeliat. Namun, Dimas tidak serta merta mengubah gaya hidupnya. Dia mengutamakan menutup hutang-hutang mertuanya terlebih dahulu sambil mengembalikan asset-aset yang dulu terjual. Sementara Aditya lebih memilih menjauh dan tak mau mencampuri urusan Sarah. Biarlah waktu akan membuktikan jika dia tak hendak sama sekali ingin kembali ke Sarah. Bahkan, Aditya cenderung menghindar saat berpapasan di kantor. Melihat sosoknya saja sudah malas. Sesekali Aditya melihat Sarah bersama Ferdi, dan kini sudah menjadi buah bibir. Namun, semuanya hanya disimpan dalam hati saja. Dia malas jika mendekat dan memperingatkan, justru dia yang akan dicap tidak move on. Namun, jauh di lubuk hati Aditya, dia berharap, dengan membaiknya kondisi ekonomi Dimas, Sarah pun akan berubah. Dia tak lagi terlalu dekat dengan Ferdi, meski selama ini masih praduga. “Mas