Sudah seminggu Intan memiliki laptop baru. Tetapi dia masih malas memakainya.
“Kenapa laptop barunya nggak dipakai?” tegur Aditya.
“Dataku ada di laptop lama semua, Mas,” ujar Intan beralasan.
Laptop barunya masih manis dalam tas laptop.
Seketika wajah Aditya memerah. Dia mengacak rambutnya dengan kasar.
“Percuma beli laptop mahal-mahal,” ujarnya. Lelaki itu lalu meminta Intan minggir dari kursi belajarnya. Dengan kesal dia buka laptop yang baru dibelinya beberapa waktu lalu.
Sebuah hardisk portable segera dicolok pada laptop lama milik Intan. Semua data dipindah ke hardisk itu.
Sementara Intan hanya duduk di sisi ranjang sambil bersedekap. Matanya sesekali melirik ke layar monitor yang terlihat lambat memindai datanya.
Lelaki itu sesekali mengurut kepalanya. Tak habis pikir dia dengan cara pikir istrinya. Sudah dibelikan barang baru, memakainya saja seolah tak bersemangat
“Adit, Sarah, ada apa?” tanya Dimas sambil menatap tajam keduanya yang sedang berdiri di samping meja makan. Dimas masih berdiri di tangga. Matanya masih memerah karena baru bangun dari tidur dan tak mendapati istrinya di sampingnya. Kini dia malah melihat Sarah dan Aditya berdua di ruang makan. Beruntung Intan buru-buru mendekat. Sehingga dapat menyelamatkan Aditya dari prasangka. Aditya cemas kalau kakaknya berfikir dia hanya berduaan dengan Sarah di ruang makan. Aditya membuang muka. Lalu ia pergi meninggalkan Sarah menuju ke kamarnya. Intan pun menatap suaminya kebingungan. Tadi dia kebetulan keluar kamar karena mau melihat Aditya yang sedang memindahkan datanya ke laptop baru miliknya. Nggak enak kalau suaminya mengerjakan punya dia, sementara enak-enakan di kamar. Sementara Dimas terbangun karena hendak ke toilet. Menyadari Sarah tidak di kamar, dia ingin mengecek ke lantai bawah. “Ayo kita pulang, Mas. Aku
Aditya yang duduk di kursi belajarnya, sontak kaget. Tak menyangka dengan apa yang dilakukan kakaknya. Apalagi Dimas yang biasanya kalem, mendadak murka. Dimas melepaskan begitu saja cengkeram tangannya setelah dia puas mengatakan apa yang diinginkannya, lalu ia buru-buru melangkah keluar meninggalkan Aditya. “Mas, --” Aditya bangkit dari kursinya. Ia mengejar Dimas yang melangkah tergesa ke lantai bawah. Saat Aditya baru sampai ke lantai bawah, Dimas sudah meninggalkan halaman rumah dengan motornya. “Ada apa tho, Dit?” tanya mamanya. Intan yang sedari tadi di kamar, tergopoh-gopoh ke ruang tamu karena mendengar suara gaduh. “Mas Dimas salah paham, Ma,” jawab Aditya lemah. Pemuda itu terduduk di kursi ruang tamu. Aditya bingung akankah dia jujur mengatakan pada keluarganya tentang perilaku Sarah. Atau menyimpannya sendiri. Dia tidak ingin papanya akan merasa bersalah dengan Dimas karena men
Aditya meraih ponselnya. Dengan geram ia menekan nomor kakaknya. Dia harus mengklarifikasi apa yang telah terjadi. Tak dapat dibiarkan. Apalagi, kini bukan hanya menyangkut Dimas dan Sarah. Tapi sudah membawa-bawa namanya.Mata Aditya melebar, tatkala melihat penolakan dari layarnya.Apa? Kakaknya menolak panggilannya?Aditya dan Dimas memang jarang bertelepon di jam kerja. Tetapi, justru jika dilakukan, menjadi pertanda ada hal penting yang harus diselesaikan.Aditya mengulangi lagi panggilannya. Dadanya berdebar menanti panggilan itu terjawab. Kepalanya memikirkan rangkaian kata yang hendak diucapkan untuk kakaknya. Dia ingin secepatnya bertemu kakaknya. Menjelaskan semuanya. Sepertinya, tak ada lagi yang perlu ditutupi.Brakk!Semua mata menoleh ke arah Aditya. Tatkala pemuda itu memukul meja di hadapannya. Raut mukanya memerah menahan amarah. Aditya kesal, karena kakaknya kembali menolak panggilanny
“Apa kamu juga mau mempengaruhi papaku, seperti perempuan licik simpananmu itu?” lanjut Sarah dengan suara tersengal. Wanita itu ingin menumpahkan kekesalan yang selama ini dipendamnya.Pak Anwar menatap Sarah dan Aditya bergantian. Apa maksud Sarah? Mempengaruhinya?“Kamu menyesalkan meninggalkanku? Ha? Kamu menyesalkan hanya dapat pembantu murahan itu?” Sarah kembali meluapkan emosinya. Kesempatan dapat merendahkan Aditya di depan papanya tak disia-siakan.Sarah sengaja memprovokasi untuk mengundang kemarahan Aditya. Dia ingin menguji sejauh mana kesabaran Aditya. Pria yang sejak dulu dikaguminya.“Sarah!...” seru Aditya tertahan. Dia tak ingin mendengarkan lebih jauh perkataan Sarah. Percuma kemarahan dibalas dengan kemarahan. Kedatangannya bukan untuk bertemu Sarah. Namun bertemu dengan Dimas dan membicarakan semuanya dengan kepala dingin.“Maaf Om, saya hanya mau ketemu Mas Dima
Bisnis Dimas yang merupakan warisan dari papa mertuanya yang menyisakan banyak hutang, pelan-pelan sudah menggeliat. Namun, Dimas tidak serta merta mengubah gaya hidupnya. Dia mengutamakan menutup hutang-hutang mertuanya terlebih dahulu sambil mengembalikan asset-aset yang dulu terjual. Sementara Aditya lebih memilih menjauh dan tak mau mencampuri urusan Sarah. Biarlah waktu akan membuktikan jika dia tak hendak sama sekali ingin kembali ke Sarah. Bahkan, Aditya cenderung menghindar saat berpapasan di kantor. Melihat sosoknya saja sudah malas. Sesekali Aditya melihat Sarah bersama Ferdi, dan kini sudah menjadi buah bibir. Namun, semuanya hanya disimpan dalam hati saja. Dia malas jika mendekat dan memperingatkan, justru dia yang akan dicap tidak move on. Namun, jauh di lubuk hati Aditya, dia berharap, dengan membaiknya kondisi ekonomi Dimas, Sarah pun akan berubah. Dia tak lagi terlalu dekat dengan Ferdi, meski selama ini masih praduga. “Mas
“Alhamdulillah, Ma, positif!” seru Dimas sambil menuruni tangga.Wajah Bu Handoyo dan Pak Handoyo yang sedang santai di ruang tamu serta merta berbinar.“Alhamdulillah, Nak. Selamat ya.” Bu Handoyo berdiri, lalu memeluk putra tengahnya. Sepertinya, wanita paruh baya itu benar-benar telah melupakan masalahnya dengan Sarah.Dimas tersenyum lega. Tak perlu ada lagi yang dirisaukan. Sejak Aditya menjauh darinya, dia sudah berusaha mempercayai Sarah. Apalagi, fakta yang diucapkan Sarah, di matanya, terlihat benar. Aditya bisa jadi iri pada Sarah. Bisa jadi Aditya menyesal meninggalkan Sarah.“Ya sudah. Jangan naik turun tangga dulu. Istirahat saja di kamar atas. Nanti biar Intan yang mengantarkan makanan ke sana,” ujar Bu Handoyo sambil menepuk lengan putra tengahnya.Mendengar titah Bu Handoyo, Intan buru-buru ke dapur. Menyiapkan makan dan minum untuk Sarah.Aditya segera mengiku
Baru dua hari Sarah tinggal di rumanya, Aditya sudah merasa tidak nyaman. Setiap pagi, dia melihat Sarah yang baru bangun tidur, keluar kamar dengan baju yang terbuka, entah sengaja atau tidak. Padahal, mamanya saja tidak pernah melakukannya. Di rumah itu, ada aturan, tidak boleh ada yang keluar kamar dengan baju sembarangan. Harus menutup aurat. Termasuk tidak boleh keluar kamar mandi hanya dengan handuk. Lelaki itu masuk ke kamar Intan. Gadis itu tengah duduk di kursi belajarnya, sibuk belajar. Tak ada kursi lain di kamar itu. Terpaksa Aditya duduk di sisi ranjang “Dik, aku mau ngekos di deket kantor. Malas aku di sini ada Mas Dimas sama Sarah,” kata Aditya setelah mendudukkan badannya. Lelaki itu menatap Intan yang menengok ke arahnya. Intan lalu membalikkan kursinya. Mengamati lekat wajah suaminya. “Kamu tahu ‘kan, Sarah kalau di rumah pakai baju kayak apa? Aku risih lihatnya,” lanjut Aditya lagi.
Intan lalu duduk di tepi ranjang yang berdekatan posisinya dengan meja. Matanya tetap tertuju ke layar laptop. “Aku habis ngikuti Sarah, kesini!” kata Aditya setengah berbisik. Telunjuknya menunjuk pada gambar yang tertera di layar. Ada banyak percakapan di situ, karena yang dibuka Aditya adalah situs forum percakapan yang membahas suatu topik tertentu. Mata Intan menjelajah. Membaca satu persatu deretan kalimat yang ada di bawah gambar. Aditya mendekatkan laptop itu, dan menghadapkan layarnya pada Intan. Agar gadis itu dengan mudah membacanya. Mata Intan membulat. Mulutnya menganga saat menyadari apa yang dibacanya, sekaligus mengaitkan dengan perkataan Aditya. Intan membekap mulutnya sendiri yang masih menganga. Sementara Aditya yang duduk dihadapannya mengangguk. “Kamu nggak salah lihat?” tanya Intan. Matanya menatap lekat pada Aditya. Lelaki itu lalu menyodorkan ponsel miliknya yang tergeletak di