BAB 4
Pagi ini, Dea terbangun dengan keadaan hati yang tidak baik, perasaannya gelisah dan tidak menentu, bahkan ia hanya tidur dua jam saja dan itu membuatnya tidak bersemangat menjalani aktifitas hari ini.
Dengan langkah perlahan Dea keluar dari kamarnya, menuruni tangga yang terasa sangat panjang menuju meja makan untuk bergabung dengan keluarganya yang sedang sarapan pagi.“Pagi Ayah, pagi Bunda, pagi Abang!” sapa Dea ketika ia melihat semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan.“Pagi, Sayang!” sahut Bunda dan Ayah.Dea duduk di samping Angga, lalu mengambil sehelai roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat kesukaannya.“Kamu kenapa, Dek! Kelihatannya enggak semangat gitu,” Angga melirik adiknya.“Enggak apa-apa!” Dea menggeleng.Ayah dan Bunda menatap putrinya, memastikan apa yang baru saja dikatakan oleh putranya dan memang benar, putrinya terlihat lesu dan tidak bersemangat, biasanya dia sangat ceria dan banyak bercerita tentang apa saja yang dia alami ketika di kampusnya.“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Ayah khawatir.“Pasti masih mikirin laki-laki yang katanya melamar kamu itu ya, Dek?” celetuk Angga, membuat Dea langsung menatap tajam padanya.Angga memang tidak bisa diajak kompromi, Dea sudah memintanya untuk tidak memberitahu orang tuanya dulu tentang hal ini, ia yang akan memberitahu ayah dan bundanya ketika ia sudah yakin dengan pilihannya.“Kamu dilamar, Dea?” tanya Ayah.“Kenapa enggak cerita sama Bunda, Nak!” Bunda menatap putrinya.Mendapat tatapan yang tidak bersahabat dari orang tuanya, membuat Dea menciut, ia tidak bisa mengelak dan mencari alasan lagi, dengan terpaksa ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan.Setelah mendengarkan semua yang diceritakan oleh putrinya, ada rasa kecewa di hati mereka karena Dea tidak memberitahu ini sejak awal, kalau saja mereka tahu sebelumnya, mereka bisa bertindak lebih cepat dan masalah ini tidak akan berlarut-larut.“Ayah ‘kan sudah pernah bilang sama kamu, laki-laki yang baik itu akan langsung datang menemui ayah lalu meminangmu, bukan malah mengatakan janji-janji manis padamu saja,” papar Ayah.“Tapi Dea belum menjawab lamaran mereka, Ayah!” jelas Dea.“Tidak perlu kamu jawab, langsung saja katakan kalau kamu menolaknya!” sarkas Ayah, lalu ia pergi meninggalkan putrinya yang terlihat akan menangis.Dea benar-benar terkejut dengan ucapan ayah, baru kali ini ia melihat ayahnya marah dan berkata dengan nada tinggi padanya, biasanya beliau tidak pernah seperti itu.Air mata menetes membasahi wajah Dea, lengkap sudah kegalauannya hari ini, ia sedang bimbang dengan perasaannya dan kini ayah juga marah padanya.“Maafkan perkataan ayah ya, Nak! Ayah hanya merasa kecewa dan merasa gagal menjaga putrinya,” Bunda memeluk Dea.“Dea yang salah, Bunda! Seharusnya Dea mengatakan ini sejak awal,” tutur Dea sambil teriasak.Bunda mengelus-elus pundak putrinya agar dia merasa tenang, ia tau pasti Dea sangat sedih, seharusnya suaminya tidak perlu berkata keras pada putrinya, mungkin saja Dea punya alasan kenapa tidak menceritakannya sejak awal.“Sekarang hapus air matanya dan jangan nangis lagi, kamu mau ke kampus ‘kan?” Bunda melepaskan pelukannya dan menghapus air mata di pipi Dea.“Iya, Bunda!” Dea menganguk, “hari ini Dea ada bimbingan sama dosen,” jelas Dea.Melihat adiknya menangis seperti itu, membuat Angga merasa bersalah, ia tidak bermaksud mengadu pada orang tuanya, hanya saja ia tidak mau jika Dea terus saja memikirkan hal yang menurutnya tidak penting.“Abang antar kamu ke kampus ya, Dek!” tawar Angga.“Iya!” Dea mengangguk, membuat Angga tersenyum.Kini keduanya sudah berada di mobil, menelusuri jalan ibu kota yang selalu ramai setiap harinya. Sejak mereka masuk mobil, Dea dan Angga tidak ada yang membuka suara, Dea hanya diam sambil melihat jalanan yang ada di depannya dan Angga juga hanya fokus mengemudi sambil memikirkan bagaimana cara mengusir keheningan diantara dirinya dan Dea.“Dea masih marah ya sama Abang?” Angga menoleh sekilas pada adiknya.“Enggak!” jawab Dea lirih.“Abang minta maaf! Abang salah!” ucap Angga.“Abang enggak perlu minta maaf, Dea yang salah,” Dea menoleh pada Angga, lalu ia tersenyum.Angga bisa bernapas lega, setelah ia melihat adiknya tersenyum, setidaknya ia tahu kalau adiknya sudah tidak marah lagi padanya, lalu ia melanjutkan perjalanannya dengan hati yang tenang.~~~Kini Dea sudah berada di kampusnya, sedang menunggu dosen pembimbingnya yang belum juga datang, padahal ia ingin bimbingannya cepat selesai dan ia bisa cepat pulang.“Hai calon istri!” sapa Bayu tiba-tiba.“Belum jadi calon istri, Bayu! Aku ‘kan belum menerima lamaran kamu,” sanggah Dea jutek.Bayu tersenyum lalu ia duduk di samping Dea, ia sangat suka jika melihat Dea jutek seperti itu. Dea memang gadis yang langka, dizaman sekarang yang rata-rata wanita lebih suka agresif pada laki-laki, tapi dia justru tidak suka jika ada laki-laki yang mendekatinya.“Jangan jutek gitu, nanti aku tambah cinta sama kamu!” goda Bayu.“Lebih baik kamu pergi, aku sedang tidak mood mendengar gombalanmu!” pinta Dea.Dea benar-benar hanya ingin sendiri, ia butuh ketenangan, agar ia bisa berpikir jernih.“Dea! Masuk ke ruangan saya!” perintah dosen pembimbing yang baru saja datang.“Baik, Pak!” Dea bergegas mengikuti langkah dosen pembimbingnya dan masuk ke ruangannya, meninggalkan Bayu yang masih menatap kepergiannya.Setelah hampir dua jam ia mendapatkan bimbingan dari dosennya dan kini waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang, beruntung hari ini ia tidak ada kelas, jadi Dea memutuskan untuk pulang ke rumah saja.Baru saja ia melangkahkan kaki dari gerbang kampus, sebuah mobil metik berwarna hitam berhenti di depannya, terlihat Bisma turun dari mobil dan menghampirinya.‘Bisma!’ gumam Dea.“Hai, Dea! Aku antar kamu pulang ya?” ajak Bisma, “kamu tidak bisa alasan abang kamu jemput lagi, karena sekarang Bang Angga tidak ada di sini!” pekik Bisma.Dea melihat sekelilingnya, siapa tahu ada seseorang yang bisa menyelamatkannya agar ia tidak pulang bersama Bisma, tapi sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, kenyataannya tidak ada yang bisa menolongnya.“A—Aku, dijemput….” ucap Dea ragu.“Dijemput siapa? Enggak usah alasan lagi, aku tau kamu mau berbohong padaku, kemarin juga kamu bohong ‘kan padaku, kamu tidak dijemput Bang Angga!” sarkas Bisma.Dea benar-benar bingung harus memberi alasan apa pada Bisma, kenapa ia merasa sekarang bisma terlalu memaksanya, padahal dulu dia sangat baik dan sangat pengertian. Oleh sebab itu, ketika dia mengatakan mau melamarnya, ia memutuskan untuk meminta waktu berpikir dan sekarang sikapnya malah berubah jadi menyebalkan.“Aku, enggak….” belum sempat Dea menjelaskan pada Bisma, tiba-tiba seseorang turun dari mobil dan menghampiri Dea dan Bisma.“Dea!!” panggil seseorang, membuat Dea dan Bisma menoleh.***BAB 5“Dea!” panggil seseorang, membuat Dea dan Bisma menoleh.‘Bang Arfan! Ngapain dia kesini?’ gumam Dea.Arfan menghampiri Dea yang sedang berdiri di depan gerbang kampusnya, dari air mukanya Dea terlihat sangat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba.“Dea, Abang disuruh jemput kamu sama Angga! Dia sedang ada meeting, jadi enggak bisa jemput kamu,” jelas Arfan.“Iya, Bang! Ayok kita pulang!” Dea mengangguk, “Bisma, maaf ya aku pulang duluan,” Dea tersenyum, lalu pergi meninggalkan Bisma.“Enggak bisa gitu dong, Dea! Kamu harus pulang bareng aku,” Bisma tidak terima karena Dea menolak ajakannya.Arfan menepis tangan Bisma yang akan menyentuh tangan Dea, lalu ia menatap tajam laki-laki itu.“Jangan pernah kamu berani menyentuh Dea, kalau sampai kamu menyentuhnya, kamu akan tau akibatnya! Ingat itu!” ancam Arfan, lalu ia pergi menyusul Dea yang sudah b
BAB 6Mimpi yang baru saja dialami oleh Dea, benar-benar terasa sangat nyata, bahkan tangannya masih terasa sakit ketika Arfan menariknya tadi, padahal itu semua hanya mimpi.Dea memutuskan untuk beranjak dari ranjangnya, lalu ia melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu, ia akan membaca murotal qur’an untuk menenangkan hatinya, karena hanya dengan cara itu, perasaannya akan menjadi lebih baik.Ayat demi ayat lantunan surah yang ia baca terdengar syahdu menghangatkan jiwanya, menemaninya menghabiskan malam yang sebentar lagi akan berganti menjadi pagi, hingga terdengar suara azan subuh yang berkumandang, barulah Dea menyudahinya.“Sodakallah hul’azim,” Dea menutup al qur’an kecilnya dan menyimpan kembali di tempat semula.Tok…Tok…Tok…“Dea, Sudah bangun belum, Nak!” terdengar suara bunda dari luar kamarnya.“Iya, Bun! Aku sudah bangun,” teriak Dea dari dalam kamar.Dea
BAB 7Ternyata benar dugaannya, Dea hanya mendengar separuh saja pembicaraannya dengan Arfan, dia tidak tahu kalau Arfan mengatakan hal lain tentang dirinya. Akhirnya, Angga memutuskan untuk menceritakan apa saja yang Arfan katakan pada adiknya.Flashback,“Fan, kalau di dunia ini tidak ada gadis lain selain Dea, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Angga.Mereka berdua sedang melakukan permainan Truth or Dare. Kali ini, Arfan yang harus menjawab pertanyaan Angga dengan jujur dan cepat, karena pilihannya jatuh pada Truth.“Memangnya tidak ada pertanyaan yang lain selain itu?” bukannya menjawab pertanyaan, Arfan malah meminta Angga untuk mengganti pertanyaannya.“Tidak ada, hanya itu yang tiba-tiba terlintas di kepalaku,” papar Angga, ”cepat jawab! Jangan kelamaan mikirnya,” pinta Angga.Arfan menghela napasnya yang terasa sangat berat, mencoba menguatkan hatinya yang sedang rapuh karena patah hati, ia
BAB 8Mendengar Angga membahas hal itu, membuat Arfan sedikit kesal pada sahabatnya itu, ia bahkan kembali mengecek Laptopnya lagi, ia tidak suka jika harus membahas hal yang bisa merubah harinya menjadi buruk.Begitu juga dengan Angga, ingin sekali ia melempar sahabatnya itu dari atas gedung, bagaimana tidak, ia sudah bicara panjang lebar, tapi dia hanya diam saja. Dasar Arfan menyebalkan!“Kamu enggak mau tau siapa orangnya yang dipilih, Dea?” Angga menatap Arfan dengan tatapan tajam.“Untuk apa saya tau? Toh, bukan urusan saya juga 'kan?” ujar Arfan datar.Angga menatap tidak percaya dengan yang baru saja Arfan katakan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu, Dea itu adiknya, harusnya dia ikut perduli, bukan acuh seperti itu.“Ini semua bakalan jadi urusan kamu, Arfan!” sarkas Angga.“Kenapa jadi urusan saya? Yang menikah ‘kan adik kamu, bukan saya!” sanggah Arfan.“Karena yang a
BAB 9“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.Deg …!‘Bang Arfan sudah ada calon istri! Siapa? Kenapa Bang Angga tidak pernah cerita padanya,’ batin Dea.Mendengar Arfan mengatakan itu, ada rasa yang mengganjal di hatinya, tapi Dea mencoba bersikap biasa saja, menyembunyikan rasa perih yang kini ia rasakan.“Memangnya, siapa calon istri Abang?” Dea menatap wajah Arfan yang sejak tadi selalu tersenyum.Wajah Arfan terlihat sangat bahagia karena ia akan bertemu dengan calon istrinya, itu semua terlihat jelas oleh Dea.“Orangnya ada di depan saya, sedang berdiri menatap saya,” papar Arfan.Dea mencari siapa orang yang dimaksud oleh laki-laki di depannya, tapi ia tidak melihat orang lain yang ada di depan dia, selain Tia dan dirinya.“Memangnya siapa? Orang yang ada di depan Abang hanya ada Tia dan ak--” ucapan Dea terhenti, ketika ingatannya tiba-tiba terpikir sesuatu
BAB 10“Will You Merry Me?” ucap Arfan, mengeluarkan sebuah cincin berlian dari saku celananya.Antara terkejut dan juga senang, Dea benar-benar dibuat syok untuk kesekian kalinya.“A—Aku, bingung harus jawab apa,” ucap Dea gugup.“Nanti malam saya akan datang ke rumah kamu dengan orang tua saya, kamu bisa persiapkan apa yang akan kamu katakan," Arfan tersenyum, lalu ia memberikan cincin tadi kepada Dea.Dea menyernyitkan dahinya, ia bingung kenapa Arfan memberikan cincin ini padanya, sedangkan ia belum menjawab lamarannya.“Kenapa ini diberikan kepadaku, Bang?” akhirnya Dea benar-benar menanyakannya.“Kamu pakai saja di jari manismu, saya tau kamu pasti akan menerima lamaran saya,” dengan penuh percaya diri Arfan mengatakan itu semua.Dea menatapnya tidak percaya, tidak habis pikir pada laki-laki yang kini sedang duduk di sampingnya, dia bisa percaya diri tingkat tinggi seperti ini
BAB 11Hari pernikahan yang ditentukan oleh Arfan tiba. Acara dilaksanakan secara sederhana dan berlangsung di rumah Dea, itu semua atas permintaan Dea karena menyetujui keinginan Arfan untuk menyelenggarakan pernikahan secepatnya. Tidak ada resepsi mewah seperti yang Arfan inginkan, bahkan Arfan hanya boleh mengundang teman-teman dekatnya saja yang menghadiri resepsi pernikahan mereka.Dea menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya, hari ini ia terlihat sangat berbeda dari biasanya, kebaya putih yang dihiasai payet mutiara membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.“Kamu terlihat sangat cantik, Dek! Arfan pasti langsung terpesona jika melihatmu seperti ini,” Angga menatap takjub adiknya, dilihat dari sisi manapun Dea terlihat sangat cantik dan mempesona.“Terima kasih atas pujiannya, Abang!” Dea menoleh pada Angga, ”baru sadar ya, punya adik yang cantiknya maksimal sepertiku?” Dea menaik turunkan alisnya sambil tersenyum.Angga memutar
BAB 12Dea mendorong tubuh Arfan hingga membuat dia terhempas ke lantai, ia benar-benar tidak ada pilihan lain selain melakukan itu.Arfan menahan rasa sakit di bokongnya, lalu ia beranjak dan duduk kembali di sisi ranjang. Arfan baru tahu satu hal, ternyata tenaga istrinya kuat juga, bisa mendorongnya sampai terjatuh ke lantai.“Abang mau ngapain lagi?” Dea memundurkan dirinya dan menjauh dari Arfan.“Kenapa mendorong saya, Dea?” bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Arfan malah menanyakan hal lain.Dea menatap suaminya dengan tatapan waspada, sejak tadi dia selalu membuatnya spot jantung, beruntung ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.“Salah Abang, kenapa melakukan itu padaku,” papar Dea kesal.“Memangnya saya melakukan apa?” tanya Arfan tidak mengerti dengan apa yang istrinya katakan.“Tadi Abang mau--” Dea tidak melanjutkan ucapannya.Arfan menyipitkan matanya, menatap istrinya yang diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
BAB 16Sesuai keinginan Dea, kini mereka sudah berada di sebuah pasar raya yang ada di belakang komplek perumahannya.Awalnya, Arfan ingin mengajak istrinya makan malam di restauran mewah yang ada di Jakarta Utara. Tapi, semuanya gagal total karena tiba-tiba Dea meminta berhenti di tempat ini.“Kenapa baksonya enggak dimakan, Bang? Abang enggak suka ya?” Dea menatap mangkok bakso milik Arfan yang masih terisi penuh.“Suka!” jawab Arfan datar.“Kalau suka dimakan dong, apa mau aku suapi?” tutur Dea basa-basi, mana mungkin ia berani melakukan itu di tempat umum seperti ini.Berbeda dengan Arfan, ia justru tersenyum senang setelah mendengar istrinya mengatakan itu, dengan cepat ia mengangguk dan memberikan mangkok bakso miliknya pada Dea.“Kenapa ini diberikan kepadaku? Abang enggak suka baksonya ya?” Dea menatap suaminya dengan tatapan bingung.“Suapi!” pinta Arfan sambil menaik turunkan alisnya.“Hah? Maksudnya?” bukannya tidak menge
BAB 15 “Siapa yang mencariku, Bi?” tanya Arfan. “Saya tidak tau, Pak! Dia tidak menyebutkan namanya,” sahut Mbok Surti. Arfan berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu, ia ingin tahu siapa orang yang mencarinya di jam-jam kerja seperti ini. Sedangkan Dea melanjutkan masuk ke kamar ditemani Mbok Surti Sampai di bawah, Arfan menghampiri tamunya dan ternyata dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya. “Selamat siang, Pak! Maaf karena saya telah mengganggu waktu istirahat bapak,” ucap karyawan Arfan yang bernama Danu. “Ada perlu apa kamu ke sini?” Arfan menatap Danu, kini dia sedang menundukan wajahnya. “Sa—Saya mau minta tolong, Pak! Saya butuh pinjaman, sepuluh juta saja, Pak!” terang Danu. Sebenarnya, Danu merasa segan mengatakan ini pada Arfan, tapi hanya Arfan satu satunya harapannya, ia sudah mencari pinjaman ke tempat lain dan tidak ada satu pun orang yang membantunya. “Kalau boleh tau, untuk apa uang sebanyak itu?” tanya Arfan. Bagai
BAB 14 “Cie… Cie… Sekarang sudah panggil sayang-sayang ya?” goda Angga. “Apa sih, Abang! Jangan mulai deh!” kesal Dea. Kini wajah Dea sudah memerah karena menahan marah dan malu. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya ada laki-laki yang memanggil sayang di depan keluarganya. “Abang, jangan digoda terus adiknya,” tegur Bunda Ana,”nanti kamu juga akan seperti Arfan jika sudah menikah, itu adalah hal yang wajar, Nak!” tambahnya. “Iya, Bunda! Maaf,” ucap Angga sambil terkekeh, lalu ia melanjutkan sarapannya kembali, begitu juga dengan semua yang ada di sana kecuali Dea. Rasa laparnya tiba-tiba hilang, tapi jika tidak makan pasti bunda akan menegurnya, mubajir juga kalau makanannya dibuang, terpaksa Dea menghabiskan makanan yang sudah ada di piringnya. Setelah menyelesaikan sarapannya, Dea pamit pergi ke kamarnya, ia akan berkemas dan merapikan baju-baju yang dibawa ke rumah barunya. Melihat istrinya pergi, Arfan ikut menyusulnya ke kamar, tapi
BAB 13“Maksud Abang apa? Kenapa melakukan ini semua?” Dea memberikan paket yang tadi sudah ia buka pada Arfan.“Kenapa dikembalikan? Kamu tidak suka dengan hadiah yang saya berikan padamu?” tanya Arfan.Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Dea malah beranjak dan pergi, dengan cepat Arfan menarik pergelangan tangan istrinya, hingga membuat dia jatuh di atas pangkuannya.“Jangan pernah pergi dalam keadaan marah, selesaikan dulu, Dea!” Arfan melingkarkan tangannya di pinggang Dea.“Lepas, Bang! Jangan seperti ini,” Dea mencoba melepaskan tangan Arfan.“Jelaskan dulu, kenapa kamu mengembalikan barang pemberian saya? Apa kamu tidak menyukainya?” tanya Arfan lagi.Dea menghela napasnya, menyentuh tangan suaminya yang masih berada di pingganggnya.“Aku lebih suka Abang memberikannya sendiri tanpa melalui orang lain. Itu akan lebih berkesan untukku,” papar Dea.Arfan melepaskan tangannya, lalu meminta Dea berbalik menatapnya. Dengan perl
BAB 12Dea mendorong tubuh Arfan hingga membuat dia terhempas ke lantai, ia benar-benar tidak ada pilihan lain selain melakukan itu.Arfan menahan rasa sakit di bokongnya, lalu ia beranjak dan duduk kembali di sisi ranjang. Arfan baru tahu satu hal, ternyata tenaga istrinya kuat juga, bisa mendorongnya sampai terjatuh ke lantai.“Abang mau ngapain lagi?” Dea memundurkan dirinya dan menjauh dari Arfan.“Kenapa mendorong saya, Dea?” bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Arfan malah menanyakan hal lain.Dea menatap suaminya dengan tatapan waspada, sejak tadi dia selalu membuatnya spot jantung, beruntung ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung.“Salah Abang, kenapa melakukan itu padaku,” papar Dea kesal.“Memangnya saya melakukan apa?” tanya Arfan tidak mengerti dengan apa yang istrinya katakan.“Tadi Abang mau--” Dea tidak melanjutkan ucapannya.Arfan menyipitkan matanya, menatap istrinya yang diam dan tidak melanjutkan ucapannya.
BAB 11Hari pernikahan yang ditentukan oleh Arfan tiba. Acara dilaksanakan secara sederhana dan berlangsung di rumah Dea, itu semua atas permintaan Dea karena menyetujui keinginan Arfan untuk menyelenggarakan pernikahan secepatnya. Tidak ada resepsi mewah seperti yang Arfan inginkan, bahkan Arfan hanya boleh mengundang teman-teman dekatnya saja yang menghadiri resepsi pernikahan mereka.Dea menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya, hari ini ia terlihat sangat berbeda dari biasanya, kebaya putih yang dihiasai payet mutiara membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.“Kamu terlihat sangat cantik, Dek! Arfan pasti langsung terpesona jika melihatmu seperti ini,” Angga menatap takjub adiknya, dilihat dari sisi manapun Dea terlihat sangat cantik dan mempesona.“Terima kasih atas pujiannya, Abang!” Dea menoleh pada Angga, ”baru sadar ya, punya adik yang cantiknya maksimal sepertiku?” Dea menaik turunkan alisnya sambil tersenyum.Angga memutar
BAB 10“Will You Merry Me?” ucap Arfan, mengeluarkan sebuah cincin berlian dari saku celananya.Antara terkejut dan juga senang, Dea benar-benar dibuat syok untuk kesekian kalinya.“A—Aku, bingung harus jawab apa,” ucap Dea gugup.“Nanti malam saya akan datang ke rumah kamu dengan orang tua saya, kamu bisa persiapkan apa yang akan kamu katakan," Arfan tersenyum, lalu ia memberikan cincin tadi kepada Dea.Dea menyernyitkan dahinya, ia bingung kenapa Arfan memberikan cincin ini padanya, sedangkan ia belum menjawab lamarannya.“Kenapa ini diberikan kepadaku, Bang?” akhirnya Dea benar-benar menanyakannya.“Kamu pakai saja di jari manismu, saya tau kamu pasti akan menerima lamaran saya,” dengan penuh percaya diri Arfan mengatakan itu semua.Dea menatapnya tidak percaya, tidak habis pikir pada laki-laki yang kini sedang duduk di sampingnya, dia bisa percaya diri tingkat tinggi seperti ini
BAB 9“Saya mau jemput CALON ISTRI!” pungkas Arfan.Deg …!‘Bang Arfan sudah ada calon istri! Siapa? Kenapa Bang Angga tidak pernah cerita padanya,’ batin Dea.Mendengar Arfan mengatakan itu, ada rasa yang mengganjal di hatinya, tapi Dea mencoba bersikap biasa saja, menyembunyikan rasa perih yang kini ia rasakan.“Memangnya, siapa calon istri Abang?” Dea menatap wajah Arfan yang sejak tadi selalu tersenyum.Wajah Arfan terlihat sangat bahagia karena ia akan bertemu dengan calon istrinya, itu semua terlihat jelas oleh Dea.“Orangnya ada di depan saya, sedang berdiri menatap saya,” papar Arfan.Dea mencari siapa orang yang dimaksud oleh laki-laki di depannya, tapi ia tidak melihat orang lain yang ada di depan dia, selain Tia dan dirinya.“Memangnya siapa? Orang yang ada di depan Abang hanya ada Tia dan ak--” ucapan Dea terhenti, ketika ingatannya tiba-tiba terpikir sesuatu
BAB 8Mendengar Angga membahas hal itu, membuat Arfan sedikit kesal pada sahabatnya itu, ia bahkan kembali mengecek Laptopnya lagi, ia tidak suka jika harus membahas hal yang bisa merubah harinya menjadi buruk.Begitu juga dengan Angga, ingin sekali ia melempar sahabatnya itu dari atas gedung, bagaimana tidak, ia sudah bicara panjang lebar, tapi dia hanya diam saja. Dasar Arfan menyebalkan!“Kamu enggak mau tau siapa orangnya yang dipilih, Dea?” Angga menatap Arfan dengan tatapan tajam.“Untuk apa saya tau? Toh, bukan urusan saya juga 'kan?” ujar Arfan datar.Angga menatap tidak percaya dengan yang baru saja Arfan katakan, bagaimana bisa dia berkata seperti itu, Dea itu adiknya, harusnya dia ikut perduli, bukan acuh seperti itu.“Ini semua bakalan jadi urusan kamu, Arfan!” sarkas Angga.“Kenapa jadi urusan saya? Yang menikah ‘kan adik kamu, bukan saya!” sanggah Arfan.“Karena yang a