Diam-diam tanpa sepengetahuan Atika, Ririn sering memerhatikannya dan juga Sandra akhir-akhir ini. Meski mereka berdua tak ada yang mengakuinya namun dengan melihat keduanya makin jarang berdua saja sudah menceritakan segalanya secara tidak langsung. Meski baru dugaan tapi Riris bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang berlangsung.
Contohnya, ya saat ini. Ririn memerhatikan selama mereka ngobrol, Atika tampak banyak melamun dan terlihat bingung. Terlihat sekali bahasa tubuh Atika yang gelisah ketika ia diberitahu kalau Sandra ada di perpustakaan bersama Jerry. Meski bukan sahabat mereka berdua, namun Ririn memiliki firasat yang cukup tajam tentang hal ini. Pun, setiap hari ia berinteraksi dengan Sandra selama di dalam kelas. Ia sering memergoki teman sebangkunya itu menghela napas panjang atau menarik napas dalam-dalam. Seperti orang yang sedang ingin melepaskan sebuah beban. Tapi sampai sekarang ia belum berani bertanya langsung pada temannya itu. Jadi dia menantikan kesempatan untuk bicara dengan Sandra ataukah Atika. Ternyata kesempatan itu lebih dahulu datang lewat Atika.
“Kalau ada yang tidak beres dan kamu mengizinkan, aku bisa bicara dengan Sandra. Atau bicara lewat Jerry, sepupunya. Sandra kan dekat sekali dengan sepupunya itu. Aku bukan bermaksud ikut campur, tapi kalau butuh bantuan penengah, mungkin aku bisa melakukannya,” tawar Ririn tanpa banyak basa-basi.
“Kayaknya aku mau ke kelas dulu, deh. Aku lupa kalau ada yang perlu kuselesaikan. Sebentar lagi istirahat selesai. Terima kasih ya, Rin.” Atika pikir belum saatnya ada orang lain yang bisa ikut campur urusannya dengan Sandra, jadi ia memilih untuk mengabaikan dulu tawaran tersebut.
Atika buru-buru melesat ke kelasnya sebelum Ririn sempat menjawab ucapannya. Saking tergesa-gesanya, Atika sampai tidak melihat kalau di depannya tengah berjalan dua orang siswi berjilbab. Salah satunya langsung mengaduh pelan ketika ia menubruknya tanpa ampun. Untung teman yang bersamanya bertindak sigap. Dengan cepat langsung mencekal lengan keduanya agak tak terjatuh atau pun kembali bertubrukan.
“Duh, maaf!” Atika melangkan mundur sambil mengelus-elus jidatnya yang membentur kepala siswi di depannya barusan.
“Kamu kalau jalan hati-hati, Tik!” tegur siswi yang ditabraknya.
“Eh, Husna? Ya, ampun. Maaf ya, Ukh?” Atika terkejut sekaligus lega melihat siapa yang ditubruknya barusan.
“Iya. Untung aja Firda cepet-cepet nahan lenganku. Kalau enggak aku bisa terpelanting jatuh barusan.” Husna mengelus-elus kepalanya yang juga sakit karena terbentur jidat Atika.
Ririn yang melihat kejadian tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala dan masuk ke kelasnya tanpa berkata-kata lagi. Atika memandangi kedua temannya dari kelas lain itu dengan tatapan menyesal.
“Maaf. Tadi aku buru-buru.” Atika mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Iya, enggak apa-apa.” Firda tersenyum.
“Lagi serius ngobrol tadi, ya?” tanya Husna.
Dia memang sempat melihat Atika ngobrol serius dengan Ririn barusan. Asalnya ia mau menunggu sampai Atika beres berbicara dengan Ririn. Tapi entah kenapa tiba-tiba Atika malah berbalik secepat kilat dengan setengah berlari. Memangnya ada yang dihindari temannya itu atau apa, sih?
Atika menggeleng pelan. “Enggak. Bukan apa-apa. Aku cuma ingat kalau ada catatan yang belum beres kusalin dari papan tulis tadi.”
“Oh ya? Terus kenapa enggak kamu selesaikan?” tanya Firda sambil merapikan jilbabnya yang sedikit melorot.
“Itu ….” Atika bingung mau menjawab apa.
“Ah, sudahlah. Enggak penting juga kalee!” Husna mengibaskan telapak tangan kanannya ke depan Firda. “Ntar lupa malah kita tadi ke sini mau apa.”
“Kami ada info penting buatmu, Tik.” Firda menatap Atika serius. “Aku enggak lupa lah, Aunty.” Beralih sejenak pada Firda.
Husna tertawa kecil ketika Firda memelototinya sedetik lalu kembali menampilkan senyum manis pada Atika. Atika terkekeh melihat Firda yang tampak sewot. Temannya yang satu itu cocok sekali menjadi pemain teater karena pintar mengubah-ubah mimik dan ekspresi wajahnya dalam waktu singkat. Sedetik jutek, sedetik kemudian senyum. Benar-benar unik! Sedangkan yang satu lagi, Husna, itu sangat perfeksionis dan ingatannya tajam. Lebih serius menanggapi apapun.
Yah, meskipun keduanya sering saling meledek, tetapi sebenarnya mereka sangat akur. Ada hubungan darah yang mempersatukan mereka. Hubungan antara keponakan dan tante. Mereka memiliki umur yang sama, di satu sekolahan yang sama pula. Ikut eskul yang sama. Eh, sama-sama aktif di rohis juga! Mantap!
Hanya bentuk fisik mereka saja yang berbeda. Husna berperawakan mungil dengan kulit putih terang sementara Firda bertubuh tinggi besar dengan kulit sedikit lebih gelap. Katanya sih Firda lebih mirip ayahnya. Sedangkan yang bersaudara dengan Husna adalah ibu kandungnya.
“Ada info apa, Ukh?” tanya Atika yang sudah mulai terbiasa memanggil ukhti pada teman wanita sesama anggota rohis.
“Hari ini sepulang sekolah, kita kumpul di masjid. Ada rapat untuk menyambut peringatan Maulid Nabi dua pekan ke depan. Rencananya keputrian akan dilibatkan sebagai panitia oleh pihak sekolah. Kamu ikut, ya?” pinta Husna.
“Aku?” Atika menunjuk hidungnya sendiri. “Aku kan bukan pengurus keputrian. Cuma anggota.”
“Memangnya kamu mau terus jadi anggota? Ketua OSIS sudah mau ganti ya otomatis sebentar lagi pengurus keputrian pun akan ganti.” Firda memiringkan kepalanya menatap Atika.
Atika tergagap. “Oh. Gitu, ya?”
Husna mengangguk sambil mengepalkan tangan kanannya di udara. “Yup! Kita akan menjadi generasi penerus selanjutnya! Makanya kita jangan absen sekali pun dari kegiatan keputrian maupun rohis masjid. Semangat!”
“Kamu harus datang. Inget, ya?” Firda menepuk-nepuk bahu Atika.
“InsyaAllah.” Atika mengangguk cepat.
Bersamaan dengan itu, Husna dan Firda kompak terdiam dan terpaku pada satu titik. Mereka seperti melihat seseorang di belakang Atika. Saat Atika refleks menoleh ke belakang, ia melihat Sandra yang menatapnya dengan tatapan permusuhan. Atika membuka mulutnya hendak memanggilnya, namun ia kalah cepat. Sandra lebih dulu membuang muka dan masuk ke dalam kelasnya.
Atika ingin menyusul masuk ke dalam, namun ia mengurungkan niatnya saat dari arah ruang guru di kejauhan, tampak Bu Ratna, guru pelajaran Matematika sedang berjalan menuju ke kelasnya. Alhasil Atika langsung mendorong Husna dan Firda agar secepatnya angkat kaki dari situ dan kembali ke kelasnya masing-masing.
“Aku ke kelas dulu, ya? Sampai besok!” ucap Atika buru-buru sambil masuk ke dalam kelasnya.
Atika tak perlu berkata dua kali karena kedua temannya itu juga melihat hal yang sama dengannya. Tanpa perlu dikomando, keduanya segera membalikkan tubuh mereka dan menuju ke kelasnya masing-masing.
Hhh, peer bicara dengan Sandra sepertinya akan sedikit tertunda hari ini, gerutu Atika dalam hati sambil duduk di kursinya. Padahal dia ingin sekali segera selesai semuanya. Tapi apa daya, rapat rohis menantinya sepulang sekolah nanti. Tidak tahu sampai jam berapa rapat tersebut akan berlangsung. Biasanya sih rapat-rapat seperti itu membutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam.
Sejak memutuskan untuk berhijrah dengan memakai jilbab di awal tahun kedua di bangku SMA ini, sejak itu pula Atika aktif di keputrian rohis sekolah. Siswi yang berminat pada kegiatan ini mayoritas jilbaber. Yang belum memakai jilbab ada sekitar tiga empat orang. Itu pun mereka dalam rangka memantapkan diri ingin memakai jilbab suatu hari nanti. Persiapan mental, begitu alasannya. Supaya dorongan hati untuk berjilbab makin kuat jika sudah mengetahui ilmunya.
Ya, bisa saja seperti itu meski sebaiknya ketika paham tentang ayat tentang jilbab sudah sampai pada kita, segeralah berjilbab. Jangan menunda-nundanya lagi. Terutama bagi yang sudah akil balig. Berjilbab itu sudah menjadi kewajiban.
Setelah berjilbab pun, kita harus terus menanbah ilmu tentang Islam. Jangan pernah merasa sudah cukup dengan hanya berjilbab saja. Berjilbab itu bukan akhir segalanya, kan? Seorang jilbaber butuh untuk menambah ilmu dan wawasannya tentang Islam agar makin memahami ajaran agamanya sendiri. Jadi kalau ada teman atau orang yang bertanya sesuatu tentang Islam, ia bisa menjawabnya. Untuk menjawab pertanyaan tentang jilbab yang syar’i misalnya, seorang jilbaber harus memahami benar-benar ilmunya. Jangan sekadar hanya memakai tanpa mengerti aturan-aturannya alias fikihnya.
To be continued
Di dalam kelas Sandra. Sandra terlihat duduk di kursinya dengan bibir manyun. Ririn yang sedang ngobrol dengan teman di bangku depan melirik sekilas. Ia yakin kalau barusan Sandra pasti bertemu dengan Atika di depan kelas tadi. Dari dalam kelas ia sempat melihat hal itu sejenak tanpa sengaja. Meski sesaat, tapi Ririn melihat Sandra dan Atika hanya saling berpandangan sebentar lalu Sandra yang lebih dahulu memalingkan wajah dan masuk ke dalam kelas. Karena melihat wajah Sandra yang kusut dan ditekuk, Ririn memilih terus ngobrol dengan teman yang di depan bangkunya. Guru bidang studi selanjutnya juga belum kelihatan apakah akan segera datang atau tidak. Padahal bel tanda istirahat usai sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Suasana kelas berdengung layaknya suara sekelompok besar lebah sedang berkumpul. Ya, begitulah suasana kelas jika tak ada guru yang masuk tetapi
Tapi Jerry malah tertawa terbahak-bahak di luar. Membuat Sandra makin kesal dan berusaha berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk membalas keisengan kakak sepupunya itu. Lalu pandangan matanya tertumbuk pada kunci motor milik Jerry di atas meja. Aha! Rasakan! Kunci ini akan kuambil dan kusembunyikan! Bisik Sandra dalam hati sambil cepat-cepat mengambil kunci itu dan memasukkannya ke saku celananya. Suara Jerry sudah tak terdengar lagi dari luar. Sandra buru-buru membersihkan remahan keripik yang mengotori lantai lalu bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam. Yes! Sebentar lagi si jones itu pasti bakalan menyadari kalau kunci motornya ketinggalan. Dia pasti masuk ke dalam rumah dan berusaha mencarinya! Hahaha! Sandra tersenyum jahat. Ia lalu mendekati ranjangnya dan merebahkan tubuhnya di atasnya. Silakan ambil kuncinya kalau bisa! Aku mau tidur siang dulu. Yaa, mungkin sekitar satu atau dua jam. Atau sampai sore. Tunggu aja sa
Menjadi jilbaber itu gampang-gampang susah, lho. Sudah memutuskan berjilbab itu bukan berarti kita sudah tinggal menjalani hari-hari selanjutnya tanpa ada masalah. Hmm, salah banget, guys! Justru masalah satu persatu datang seputar masalah jilbab ini. Seperti yang dialami Atika. Saat memutuskan untuk memakai berjilbab dulu, dia tidak pernah berpikir lain-lain selain memakai jilbab berukuran standar, pakai baju muslimah yang lebar, pakai kaos kaki, pakai ciput supaya kalau jilbab terbang dipermainkan angin, rambut enggak kelihatan orang banyak. Yaa, hal-hal semacam itulah. Simpel. Sederhana. Tapi ternyata semua itu belum cukup. Masih ada beberapa hal yang mesti dilakukannya. Contohnya saat memakai jilbab. Sekalipun ukurannya standar dan lebar tapi percuma kalau menerawang alias tipis.  
“Itu. Aku lupa pakai sun block tadi pagi. Jadi biar kulitku enggak kena sinar matahari langsung. Biar enggak hitam,” bisik Atika pelan. “Oh.” Vania mengernyitkan dahinya. Memangnya kulit yang sudah tertutup kerudung bakalan tetap bisa terbakar jika terkena sinar matahari? Batin Vania dalam hati. Memang cuaca di luar sedang panas-panasnya. Apa Atika benar-benar menghindari sinar matahari dengan bertingkah seperti itu? Vania meraih tasnya dan bangkit dari kursinya dengan tetap memandangi teman sebangkunya itu. “Aku sehat-sehat aja, kok.” Atika tersenyum, berusaha meyakinkan karena melihat kekhawatiran di wajah Vania yang terlihat sangat jelas. “Yuk, pulang?”&
ALIEN DI RUMAH SENDIRI“Ya ampun, Bu. Anaknya habis darimana pakai baju ninja kayak begitu?”Langkah Atika sempat terhenti sejenak. Berhenti sesaat untuk menarik napas cepat lalu memilih untuk menguatkan hati dan tidak memedulikan komentar Budhe Dwi, tetangga sebelah rumah yang sedang ngobrol dengan ibunya di depan pagar halaman.Ia baru saja pulang dari sekolah setelah membantu teman-temannya mempersiapkan acara mentoring keputrian untuk siswi kelas satu, hari Jumat depan. Jadi di hari Ahad yang seharusnya libur dan diam di rumah, harus dipergunakannya untuk mempersiapkan materi dan segala sesuatunya agar nantinya acara mentoring keputrian bisa berjalan dengan lancar.Dengan tubuh lelah dan habis kepanasan, sebenarnya potensial sekali untuk membuat emosinya mendadak naik jika mendengar hal-hal sensitif seperti omongan Budhe Dwi barusan. Tetapi Atika memilih beristigfar di dalam hati lalu bergega
MY NEW HOME Firda tertawa kecil. “Banyak cerita seru begitu aku dulu memutuskan untuk pakai jilbab. Kamu dan orang lain juga pasti pernah merasakannya.” Atika mengangguk-angguk. “Memang iya, sih. Baru punya niat aja udah banyak tantangan dan tentangan. Padahal kan kita cuma ingin jadi manusia yang benar. Yang menjalankan perintah-Nya. Simpel padahal.” “Itu kata kita. Yang sudah Allah beri hidayah, insyaAllah. Buat yang belum dapat hidayah, mau dinasihati sampai jungkir balik pun, ya susah. Hatinya takkan terketuk.” Atika mengiyakan di dalam hatinya. Dulu dia juga belum tertarik untuk memakai jilbab. Karena memang baru sedikit yang pakai jilbab. Atau ada yang pakai jilbab tetapi hanya saat bersekolah saja, karena disuruh orang tuanya. Jadi ketika sedang tidak bersekolah, ya tetap tanpa jilbab. Atau ada juga yang memakai jilbab tetapi tanpa ciput sehingga rambut dan dahinya terlihat semua. Percuma saja. A
UNFORGETTABLE MOMENT “Kamu itu enggak pernah betah di rumah, ya? Pergi melulu!” omel Ibunya ketika hari Ahad pagi, Atika sibuk bersiap-siap di kamarnya. Atika mengambil ranselnya dan mendekati ibunya dengan wajah tersenyum. “Iya, Bu. Aku mau hiking ke gunung.” Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulurkan tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Matahari juga baru saja terbit di ufuk Timur. Tapi anak gadisnya yang satu ini terlihat begitu sibuk sejak selesai salat Subuh. Sementara anak-anaknya yang lain masih anteng di kamarnya masing-masing. Memilih berbaring di balik selimut setelah salat Subuh. “Pamit ya, Bu?” Atika mencium punggung tangan Ibunya takzim. “Hmm. Sudah sarapan?” tanya Ibunya. “Sudah, Bu. Piring-piring kotor juga udah Tika cu
“Kalian tahu yang Namanya Ela? Lihat deh. Kerudungnya kecil, enggak pakai ciput. Dia target kita selanjutnya. Target untuk disadarkan.”Atika tanpa sengaja mendengarkan obrolan beberapa jilbaber di depan kelasnya. Posisi jendela kelas berada agak di atas sehingga ketika berdiri barulah kepala kita akan kelihatan dari luar. Namun, ketika duduk, tidak akan kelihatan. Orang dari luar kelas bisa melihat kepala kita tetapi sebaliknya tidak. Memang letak lantai kelas lebih tinggi daripada koridor.Jadi, dari balik tembok kelas bagian dalamnya, ia diam-diam terus menyimak tanpa bersuara. Atika pura-pura duduk bersandar ke tembok, persis di bawah jendela yang terbuka lebar. Supaya tidak mencurigakan, dia pura-pura membuka buku dan membacanya, padahal hanya fokus mendengarkan percakapan yang sedang terjadi di luar sana.&ld
“Enggak, Pak.” Kali ini Habibi yang langsung menyela dan menjawab dengan tegas.Ucapan Habibi diam-diam menusuk perasaan Atika. Ya, ternyata tak urung ketika mendengar hal tersebut tetap saja terasa menyakitkan. Meski mungkin Habibi mengatakannya karena untuk membuat suasana menjadi lebih tenang dan kondusif. Pun, pemuda itu mungkin saja berusaha juga menekan perasaannya dengan susah payah.Atika memilih menunduk dan mengunci mulutnya rapat-rapat ketika kemudian Pak Ahmad memberikan wejangan panjang lebar untuk mereka berempat. Pembina rohis tersebut sudah bisa merasa lebih lega karena ternyata yang dituduhkan oleh siswa-siswi yang membuat petisi dan mosi tidak percaya ternyata tidak benar.“Bapak berterima kasih dan bersyukur jika memang kalian tetap menjadi siswa-siswi kepercayaan yang amanah. Bapak berharap kita semua tetap berpikir dingin ketika ada masalah. Jangan sampai masalah yang datang menjadikan kita menjadi tercerai berai. Justru se
Husna terdiam sesaat sebelum berkata-kata. Gadis itu tetap terlihat anggun dan sangat menjaga sikapnya bahkan di tengah situasi genting seperti saat ini.“Kalian semua tahu aku seperti apa, kan? Kira-kira menurut kalian bagaimana?” Husna balik bertanya tak hanya pada Atika tetapi juga pada semua yang ada di ruangan tersebut.“Kalau aku sebenarnya enggak percaya, Aunty. Tapi ….” Firda tak melanjutkan kata-katanya.“Tapi?” Husna mengerlingkan kedua matanya.Firda menatap lurus pada adik ibunya tersebut. “Aunty sering ngilang, sih. Kan jadi bikin bingung!”“Kalau aku sih positif lebih percaya sama kamu, Na!” ucap Putri diikuti anggukan kepala Aisyah.“Kamu, Tik?” Husna menatap Atika.“Aku ingin enggak percaya.” Atika hanya sanggup mengatakan hal tersebut.Husna tersenyum. Lalu memandang semua teman-temannya dengan pandangan hangat.
“Mending bubar aja, deh! Udah enggak layak jadi panutan! Rusak!”Atika menelan ludahnya demi mendengar umpatan-umpatan yang diungkapkan oleh Tuti cs. Dengan senyum mencemooh, kelompok tersebut berlalu dari hadapan Atika. Rasanya ingin menghilang saja seketika dari bumi saat ini juga. Kelompok Tuti masih saja terus melihat-lihat kesalahan dan kekurangan Husna dan kawan-kawan. Apalagi dengan kondisi saat ini.Atika menghela napas. Masygul. Jika benar Husna seperti itu maka kondisi sudah benar-benar gawat. Bagaimana jadinya keputrian nantinya? Kalau Tuti cs saja sudah tahu, pasti seisi sekolah juga sudah tahu.“Mi? Kenapa ngelamun di sini?”Atika menengadah. Ada Habibi berdiri di hadapannya dengan senyum khasnya.“Bi ….”“Iya, Mi?” Habibi masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.“Kamu udah denger soal Husna?” Atika kali ini tak lagi memikirkna untuk menjaga pandangan
“Itu ….”Atika takmelanjutkan perkataannya dan melirik ragu-ragu pada Sandra.Di seberangnya, terlihat Sandra menatapnya sengit. Tak ingin menimbulkan lebih banyak kesalah pahaman, Atika segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.“Ini, Bi.”“Oh, alhamdulillah. Terima kasih, Umi.” Habibi menyambut bungkusan itu dengan sukacita.Sandra nyaris memelototkan kedua matanya kalau saja ketua grupnya tidak segera memanggil anggota-anggotanya. Dengan terpaksa Sandra segera berbaris mengikuti arahan ketua grupnya dan melupakan sejenak untuk melihat keakraban Habibi dan Atika.Sepanjang perjalanan menuju ke puncak, Sandra bolak-balik berusaha memantau grup Atika hingga dia lupa untuk melihat kakak sepupunya. Ia tidak konsentrasi pada rute yang ditempuhnya, padahal di beberapa lokasi, jalan setapak yang mereka lewati cukup licin dengan adanya jurang di kanan dan kiri.Berulang kali Sandra menoleh ke
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa
Atika menimang-nimang kotak bros yang selama ini disimpannya di dalam kantong bagian depan tasnya. Sudah hamper tiga bulan berturut-turut dia mendapatkan bros setiap pekannya. Jadi bisa dihitung berapa banyak bros yang berhasil dikumpulkannya hingga saat ini?Dua belas bros! Ya! 12 bros berukuran mungil terkumpul di dalam tasnya. Dengan beragam warna dan bentuk. Ada yang berbentuk bunga mawar, hati, bunga matahari, bintang, dan masih banyak lagi. Lucu-lucu memang. Membuat Atika kadang gemas ingin mengenakannya.Tapi karena dia tak tahu siapa yang sudah memberi bros-bros tersebut, Atika tak berani untuk memakainya. Alasannya karena tak mau sang pemberi bros jadi geer dan menyangka Atika bersedia menerima perasaannya.Tidak munafik kalau Atika senang mendapatkan hadiah. Tapi harus dari teman yang bagaimana dulu, kan? Kalau teman akrab yang memang berteman dengannya tulus, ya masa sih hadiahnya ditolak? Tapi kalau si pemberi hadiah ternyata meminta ba
“Bener-bener enggak beres keputrian di sekolah kita. Memalukan!”“Dulu Putri yang kelakuannya ngawur. Kalau enggak kita peringatkan, mungkin dia masih jalan dengan Alan. Eh, sekarang malah ketuanya langsung!”“Betul! Kacau banget sih para pengurusnya?”Atika yang sedang menyelesaikan tugas di dalam kelas tiba-tiba mendengar sesuatu yang kurang enak. Ditajamkannya pendengarannya untuk terus menyimak.“Dila! Kamu yakin melihat mereka berduaan?”“Yakin banget, Ti. Soalnya cowoknya kan yang berpapasan langsung denganku. Meski dia kakak kelas kita, tapi aku hafal wajahnya. Mantan ketua klub PA. Kak Jerry!”“Kamu melihat mereka di mana?”“Di mal, May. Mereka naik taksi berdua. Puasa-puasa, eh pacarana! Keterlaluan!”Mal? Kemarin? Bukannya kemarin dia juga ke mal Bersama Sandra, ya? Tapi rasa-rasanya dia enggak melihat Jerry dan Husna. Husna? Benarkah
Jadi apakah benar Jerry sedang berusaha mendekati Husna? Sandra menaruh prasangka seperti itu tentang gerak-gerik sepupunya itu akhir-akhir ini. Jerry juga tidak berusaha menyangkal atau membantah Ketika dia berusaha mencari tahu.“Hei! Kok, bengong?” Atika menepukkan kedua telapak tangannya di depan Sandra.Sandra terperanjat kaget dan tersadar dari lamunannya. Atika terkekeh melihat bibir sahabatnya itu refleks mengerucut. Itu kebiasaan Sandra kalau dia merasa diajak bercanda.“Apa sih kamu? Bikin kaget aja!” sungut Sandra dengan wajah kekanakan khas dirinya.“Awas nanti salah masukin, lho.” Atika terkikik sambil menunjuk ke barisan mangkok kaca yang berjejer rapi di hadapan Sandra.Sandra melihat ke bawah dan terkesiap. Buru-buru dia mencari tisu kering untuk mengelap meja yang tiba-tiba dikotorinya. Bagaimana tidak? Dirinya bukan menuangkan buah-buahan ke dalam mangkok tetapi malah ke atas permukaan meja. Unt