“Kita memang udah beda banget!”
“Enggak, kok. Aku masih orang yang sama dengan kamu. Aku enggak akan berubah sekalipun memakai jilbab ini.”
Atika, seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan baru duduk di kelas dua SMA, menatap wajah Sandra sahabatnya dengan tatapan kesungguhan. Entah apa yang terjadi sebenarnya hingga tiba-tiba saja hari ini sahabatnya itu mendadak mendatanginya dengan mengatakan hal yang membingungkan seperti itu. Ditambah dengan suara tinggi dan emosi yang meluap-luap. Padahal hari masih pagi. Jam belajar pun belum dimulai. Bukan sebuah hal yang asyik untuk memulai hari dengan perdebatan semacam ini.
“Enggak! Kita memang udah beda sejak kamu memutuskan untuk pakai jilbab itu. Kita beda!” tandas Sandra lagi.
Anak perempuan berambut sebahu dan berwarna agak pirang itu balas menatap Atika dengan pandangan sengit. Mereka berdua berdiri berhadap-hadapan dalam jarak yang cukup dekat namun aroma ketegangan menguar begitu kental di antara keduanya.
Kamu memang sudah banyak berubah dan berbeda sejak memutuskan untuk memakai jilbab itu, tapi enggak juga sadar! Batin Sandra dengan bibir bergetar. Semua kajian-kajian yang membuatmu makin sibuk dan menjauh dariku. Sampai-sampai melupakan janji untuk menemaniku ke rumah Tante Risna kemarin sore. Padahal kamu sudah janji!
Tapi semua ungkapan kekecewaan itu hanya tertahan di tenggorokannya. Atika takkan pernah mengerti apa tujuannya kemarin meminta untuk menemaninya ke rumah Tante Risna karena ia memang belum memberitahukannya. Sandra tanpa perlu bertanya terlebih dahulu sudah bisa mengira-ngira kalau sahabatnya itu pasti takkan setuju. Makanya ia belum memberitahunya. Supaya jadi kejutan dan Atika takkan bisa mengelak.
Atika mencoba menghela napas dan mengaturnya agar emosinya tidak ikut terpancing. Ia benar-benar tidak tahu kenapa hari ini Sandra terlihat berbeda. Padahal biasanya juga mereka tak pernah ada masalah. Kalau pun ada masalah, biasanya akan diselesaikan dengan baik-baik dan bukan dengan seperti ini. Saling berdebat dan tak ada yang mau mengalah. Tapi hari ini tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba Sandra menggila tanpa alasan yang jelas. Ini pasti ada yang salah!
“Aku tetap Atika yang dulu, kok. Aku enggak punya alasan untuk berhenti jadi sahabatmu. Kita sahabat selamanya. Itu janji kita, kan?” Atika mencoba meraih kedua tangan Sandra dan menggenggamnya.
“Enggak! Kamu dan aku udah berbeda jalan. Mulai sekarang kita bukan sahabat lagi! Kita selesai!” Sandra menyentakkan kedua tangan Atika lalu memeragakan gerakan telapak tangan yang seperti menebas leher sebelum membalikkan tubuhnya dan angkat kaki dari hadapan Atika.
“Sandra? Dengerin aku!” pinta Atika dengan suara serak dan terkejut dengan reaksi Sandra yang kasar seperti itu.
Namun, panggilan berulang-ulang dari mulut Atika tak mampu mengubah tekad Sandra yang sudah bulat mengakhiri hubungan persahabatannya dengan Atika. Persahabatan mereka sendiri sudah terjalin sejak kelas satu SMA dulu. Artinya kurang lebih setahun lamanya.
Sandra terus berjalan, berlalu menjauhi Atika dengan langkah tergesa. Atika tahu kalau sahabatnya itu takkan mau didekati jika bertingkah seperti itu. Maka dia hanya bisa pasrah menatap dari kejauhan. Berharap ada keajaiban atau mukjizat yang membuat Sandra kembali menghampirinya dan meralat omongannya barusan.
Kenapa harus sampai mengorbankan persahabatan segala, sih? Sefatal itukah kesalahannya pada Sandra? Apakah jika ia melakukan kesalahan sedikit saja malah hubungan persahabatan yang harus dipertaruhkan? Sebesar apa sih kesalahannya sebetulnya? Ia tak habis pikir.
Yang dirasanya hanyalah membatalkan janji kemarin untuk menemani Sandra ke rumah tantenya. Itu karena roknya mendadak terkena noda. Enggak mungkin kan ia bepergian kesana kemari dengan kondisi rok kotor? Pasti akan sangat memalukan. Biasanya dia selalu persiapan membawa perlengkapan kewanitaan untuk mengantisipasi tamu bulanan yang kadang-kadang datang tanpa permisi. Entah kenapa kemarin itu dia melupakannya.
Atika merenung sendiri di koridor depan kelasnya saat istirahat pertama. Ia berkali-kali mencuri-curi ke arah pintu kelas Sandra yang berada di sebelah kelasnya. Biasanya sahabatnya itu akan segera keluar dan menghampirinya. Lalu mereka berdua akan pergi ke kantin sekolah atau hanya sekadar duduk-duduk di bawah pohon rindang yang ada di depan ruang laboratorium bahasa. Tak dipedulikanya siswa-siswi yang hilir mudik di koridor antar kelas. Beberapa di antaranya ada yang menyapanya karena dulu pernah sekelas saat kelas satu. Atika hanya membalas seperlunya saja karena ia hanya menantikan Sandra saja.
Mereka bertemu dan dipersatukan dalam hubungan persahabatan ketika duduk di kelas satu SMA tahun lalu. Sebelumnya mereka berasal dari SMP yang berbeda. Rasa nyaman dan kesukaan yang sama yang merekatkan keduanya hingga sepakat mengikrarkan diri sebagai sepasang sahabat. Mereka sama-sama suka membaca komik Jepang genre romance seperti "Your Name"-nya Makoto Shinkai. Suka mendengarkan musik klasiknya Bach atau Mozart. Sebuah hobi yang sedikit kurang lazim untuk remaja zaman now. Sama-sama suka minuman bobba dengan gula aren daripada Thai tea dan masih banyak lagi.
Sekalipun saat ini mereka berpisah kelas saat di tahun kedua ini, namun letaknya yang masih bersebelahan tidak menjadi sebuah masalah besar. Mereka tetap menjalankan kebiasaan lama seperti saat di kelas satu dahulu. Tiada hari tanpa menghabiskan waktu istirahat berdua. Begitu pula saat pulang sekolah. Mereka itu sudah seperti bunga dan daun. Saling menempel pada tangkai yang sama. Tak terpisahkan. Seisi sekolah sudah terbiasa melihat keakraban keduanya. Di mana ada Atika, pasti ada Sandra.
“Nungguin Sandra, Tik?” sapa Ririn, teman sebangku Sandra di tahun kedua di SMA ini.
Atika tersenyum dan mengarahkan pandangannya ke belakang punggung Ririn. Tubuh gadis itu tinggi besar. Termasuk ukuran raksasa untuk gadis seusianya. Jadi bisa menyembunyikan seseorang di balik punggung lebarnya. Atika berkhayal kalau Sandra saat ini sedang bersembunyi di situ. Bersiap-siap muncul untuk memberinya kejutan.
Ia berharap sahabatnya itu mengajaknya berbaikan. Ia ingin Sandra mau melupakan perdebatan mereka tadi pagi dan kembali menjalin persahabatan dengannya. Atau setidaknya membicarakan baik-baik apa duduk persoalannya. Siapa tahu bisa didiskusikan baik-baik dan dicarikan solusinya, sebab Atika bukan seorang peramal yang dengan mudah membaca isi hati serta pikiran orang lain. Ia lebih suka membicarakannya daripada menebak-nebak. Kalau benar ya bagus, tapi kalau salah? Bisa jadi fitnah atau bahkan masalah yang semula kecil bisa berkembang menjadi besar. Malah tambah repot, kan?
“Sandra tadi pergi ke perpustakaan dengan Jerry. Sampai sekarang mereka kayaknya masih di sana, deh.” Ririn menunjuk ke sebuah bangunan di sebelah selatan komplek kampus yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri saat ini.
Mata Atika mengikuti arah yang ditunjukkan oleh ujung telunjuk Ririn. Saat pandangan matanya tertumbuk pada sebuah bangunan yang cukup megah berlantai dua dan bercat putih, ia hanya mengangguk-angguk. Mendadak hatinya bimbang antara ingin menyusul ke sana dan khawatir kalau-kalau malah Sandra takkan menyukai kehadirannya. Lagipula sahabatnya itu sedang bersama Jerry. Pasti rasanya canggung kalau tiba-tiba dia nimbrung di tengah-tengah keduanya.
“Kalau kamu mau nyusul, nyusul aja. Memangnya tadi Sandra enggak memberitahumu, ya?” Ririn terlihat agak heran namun seperti memahami kebimbangan Atika.
“Iya. Ngg … mungkin dia lupa.” Atika meringis dan tertawa kecil, berusaha menutupi rasa gelisahnya.
“Tapi kalian baik-baik aja, kan? Enggak lagi berantem?” tanya Ririn tepat pada sasaran.
Atika gelagapan. Kedua mata Ririn tertuju tepat ke kedua matanya. Tatapan itu seolah mencurigai dan menghakiminya. Cepat-cepat dia menggeleng kuat-kuat. Ia tak mau ada orang lain yang mencium ketidak beresan hubungannya dengan Sandra saat ini. Jadi sebisa mungkin dia harus bersikap normal dan wajar.
“Eng-enggak. InsyaAllah enggak ada masalah. Kami baik-baik aja.” Atika berbohong untuk menutupi kondisi yang sebenarnya.
“Ya, syukurlah kalau kalian baik-baik aja. Soalnya ….”
“Soalnya kenapa?” kejar Atika cepat ketika Ririn menggantung ucapannya.
“Hmm. Ini baru dugaanku aja, ya? Tapi akhir-akhir ini keliatannya Sandra lebih pendiam dan murung. Padahal biasanya dia ceria.” Ririn terlihat mengerutkan keningnya seperti sedang memikirkn sesuatu.
“Ah, benarkah?” Atika sedikit merasa tidak enak saat mendengarnya.
"Iya. Aku amati udah ada mungkin sekitar dua pekanan. Apa dia sedang ada masalah? Dengan keluarganya atau denganmu?”
Atika terdiam. Jujur saja akhir-akhir ini dia malah kurang memerhatikan Sandra. Sepertinya juga sahabatnya itu terlihat baik-baik saja. Tidak pernah menceritakan hal-hal yang menggambarkan kalau sedang susah. Setiap bertemu, Sandra tetap terlihat ceria dan berceloteh tentang apa saja.
Atau jangan-jangan Sandra menyembunyikannya? Soalnya akhir-akhir ini memang mereka lebih banyak membahas seputar pelajaran atau guru-guru di kelas yang kebetulan berbeda. Ya, sekalipun kelas mereka bersebelahan tetapi untuk guru bidang studinya banyak yang berbeda. Atau kalau tidak, sahabatnya itu banyak menceritakan tentang gebetannya. Si wakil ketua OSIS. Mahendra dari kelasnya. Sudah lebih dari tiga bulan Sandra naksir cowok itu.
Apa ada kaitannya dengan Mahendra? Atika mengerutkan keningnya. Tapi dia tidak terlalu mengenal cowok itu sekalipun mereka sekelas. Lagipula, kan Mahendra bukan siapa-siapanya Sandra. Apakah nanti tidak jadi aneh ketika ia mencoba menanyakan keadaan sahabatnya itu ke Mahendra? Jadi yang terbaik ya bertanya langsung pada Sandra.
Tapi … enggak mungkin juga dengan keadaan Sandra yang sedang memusuhinya seperti tadi pagi. Yang ada hubungan mereka bisa makin runyam dan bukannya membaik. Jadi harus bagaimana sekarang sebaiknya? Atika mendadak pusing.
“Kamu enggak jadi nyamperin Sandra, Tik?” tanya Ririn.
“Mungkin nanti, deh.” Atika tersenyum tipis untuk menjaga sikap agar tetap terlihat baik-baik saja dengan Sandra.
“Mungkin sebaiknya kamu bicara dengannya, deh. Kamu sahabatnya. Pasti lebih tahu banyak. Aku terus terang sungkan karena baru sebentar mengenal Sandra. Meski kami sebangku tapi teman ngumpul kami di kelas berbeda.”
Atika menatap Ririn dengan pandangan heran. Kenapa gadis ini terlihat seperti yang tahu banyak sekalipun ia sudah berusaha menutupi kenyataan yang ada. Apakah Sandra sudah cerita? Tapi rasanya agak mustahil karena Atika tahu pasti kalau Sandra bukan tipikal sahabat yang bermulut “bocor”. Itulah alasannya ia nyaman bersahabat dengan Sandra. Ia sendiri juga tidak pernah membicarakan hal ini pada siapa pun. Persoalannya dengan Sandra biarlah jadi urusan dalam negeri mereka berdua.
Duh, kalau Ririn saja bisa tahu, jangan-jangan orang-orang juga sudah banyak yang tahu. Ya namanya juga biasa melihat mereka berdua lalu tiba-tiba saja akhir-akhir ini berubah. Memang sejak Atika memutuskan hijrah dan membatasi aktivitasnya, sejak itu pula dia mulai jarang menghabiskan waktu dengan sahabatnya itu. Maksudnya membatasi aktivitasnya itu artinya Atika sekarang lebih memilih mengisi waktunya dengan menambah ilmu agama. Di antaranya bergabung dengan rohis kampus, rutin mengikuti acara kajian di keputrian, dan sebagainya. Hal-hal yang tak pernah dilakukannya bersama Sandra.
Tapi Sandra juga tahu kok alasannya dan sepertinya tidak terlihat keberatan. Atika pernah berusaha mengajak sahabatnya itu supaya ikut bergabung di acara keislaman yang diikutinya. Hanya saja Sandra masih sering menolak dengan alasan minder, belum berjilbab, dan lain-lain. Padahal cukup banyak siswi yang rajin mengikuti acara kajian di keputrian tetapi belum berjilbab. Bukan masalah sebenarnya. Yang penting punya kemauan untuk ikut saja sudah bagus.
“Perbaiki sebelum terlambat.” Ririn mengatakannya sambil kedua matanya melirik ke arah perpustakaan.
Atika makin tidak nyaman dengan kondisi ini. Ririn sepertinya memang sudah cukup tahu banyak sekalipun dia mengaku tidak pernah bertanya pada Sandra secara langsung. Ia harus segera membereskan masalah ini supaya tidak semakin berlarut-larut.
"Sayang kalau persahabatan kalian tidak berumur panjang. Nyari sahabat yang 'klik' dengan kita itu susah, lho. Jangan disia-siakan." Ririn tersenyum penuh arti.
Atika jadi semakin penasaran. Sebenarnya ada apa sih dengan Sandra?
To be continued
Hmm, sepertinya mereka sedang tidak baik-baik saja. Meski mencoba ditutupi tapi sorot mata tidak dapat berbohong. Ririn berucap di dalam hatinya. Diam-diam tanpa sepengetahuan Atika, Ririn sering memerhatikannya dan juga Sandra akhir-akhir ini. Meski mereka berdua tak ada yang mengakuinya namun dengan melihat keduanya makin jarang berdua saja sudah menceritakan segalanya secara tidak langsung. Meski baru dugaan tapi Riris bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres yang sedang berlangsung. Contohnya, ya saat ini. Ririn memerhatikan selama mereka ngobrol, Atika tampak banyak melamun dan terlihat bingung. Terlihat sekali bahasa tubuh Atika yang gelisah ketika ia diberitahu kalau Sandra ada di perpustakaan bersama Jerry. Meski bukan sahabat mereka berdua, namun Ririn memiliki firasat yang cukup tajam tentang hal ini. Pun, setiap hari ia berinteraksi dengan Sandra selama d
Di dalam kelas Sandra. Sandra terlihat duduk di kursinya dengan bibir manyun. Ririn yang sedang ngobrol dengan teman di bangku depan melirik sekilas. Ia yakin kalau barusan Sandra pasti bertemu dengan Atika di depan kelas tadi. Dari dalam kelas ia sempat melihat hal itu sejenak tanpa sengaja. Meski sesaat, tapi Ririn melihat Sandra dan Atika hanya saling berpandangan sebentar lalu Sandra yang lebih dahulu memalingkan wajah dan masuk ke dalam kelas. Karena melihat wajah Sandra yang kusut dan ditekuk, Ririn memilih terus ngobrol dengan teman yang di depan bangkunya. Guru bidang studi selanjutnya juga belum kelihatan apakah akan segera datang atau tidak. Padahal bel tanda istirahat usai sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Suasana kelas berdengung layaknya suara sekelompok besar lebah sedang berkumpul. Ya, begitulah suasana kelas jika tak ada guru yang masuk tetapi
Tapi Jerry malah tertawa terbahak-bahak di luar. Membuat Sandra makin kesal dan berusaha berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk membalas keisengan kakak sepupunya itu. Lalu pandangan matanya tertumbuk pada kunci motor milik Jerry di atas meja. Aha! Rasakan! Kunci ini akan kuambil dan kusembunyikan! Bisik Sandra dalam hati sambil cepat-cepat mengambil kunci itu dan memasukkannya ke saku celananya. Suara Jerry sudah tak terdengar lagi dari luar. Sandra buru-buru membersihkan remahan keripik yang mengotori lantai lalu bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam. Yes! Sebentar lagi si jones itu pasti bakalan menyadari kalau kunci motornya ketinggalan. Dia pasti masuk ke dalam rumah dan berusaha mencarinya! Hahaha! Sandra tersenyum jahat. Ia lalu mendekati ranjangnya dan merebahkan tubuhnya di atasnya. Silakan ambil kuncinya kalau bisa! Aku mau tidur siang dulu. Yaa, mungkin sekitar satu atau dua jam. Atau sampai sore. Tunggu aja sa
Menjadi jilbaber itu gampang-gampang susah, lho. Sudah memutuskan berjilbab itu bukan berarti kita sudah tinggal menjalani hari-hari selanjutnya tanpa ada masalah. Hmm, salah banget, guys! Justru masalah satu persatu datang seputar masalah jilbab ini. Seperti yang dialami Atika. Saat memutuskan untuk memakai berjilbab dulu, dia tidak pernah berpikir lain-lain selain memakai jilbab berukuran standar, pakai baju muslimah yang lebar, pakai kaos kaki, pakai ciput supaya kalau jilbab terbang dipermainkan angin, rambut enggak kelihatan orang banyak. Yaa, hal-hal semacam itulah. Simpel. Sederhana. Tapi ternyata semua itu belum cukup. Masih ada beberapa hal yang mesti dilakukannya. Contohnya saat memakai jilbab. Sekalipun ukurannya standar dan lebar tapi percuma kalau menerawang alias tipis.  
“Itu. Aku lupa pakai sun block tadi pagi. Jadi biar kulitku enggak kena sinar matahari langsung. Biar enggak hitam,” bisik Atika pelan. “Oh.” Vania mengernyitkan dahinya. Memangnya kulit yang sudah tertutup kerudung bakalan tetap bisa terbakar jika terkena sinar matahari? Batin Vania dalam hati. Memang cuaca di luar sedang panas-panasnya. Apa Atika benar-benar menghindari sinar matahari dengan bertingkah seperti itu? Vania meraih tasnya dan bangkit dari kursinya dengan tetap memandangi teman sebangkunya itu. “Aku sehat-sehat aja, kok.” Atika tersenyum, berusaha meyakinkan karena melihat kekhawatiran di wajah Vania yang terlihat sangat jelas. “Yuk, pulang?”&
ALIEN DI RUMAH SENDIRI“Ya ampun, Bu. Anaknya habis darimana pakai baju ninja kayak begitu?”Langkah Atika sempat terhenti sejenak. Berhenti sesaat untuk menarik napas cepat lalu memilih untuk menguatkan hati dan tidak memedulikan komentar Budhe Dwi, tetangga sebelah rumah yang sedang ngobrol dengan ibunya di depan pagar halaman.Ia baru saja pulang dari sekolah setelah membantu teman-temannya mempersiapkan acara mentoring keputrian untuk siswi kelas satu, hari Jumat depan. Jadi di hari Ahad yang seharusnya libur dan diam di rumah, harus dipergunakannya untuk mempersiapkan materi dan segala sesuatunya agar nantinya acara mentoring keputrian bisa berjalan dengan lancar.Dengan tubuh lelah dan habis kepanasan, sebenarnya potensial sekali untuk membuat emosinya mendadak naik jika mendengar hal-hal sensitif seperti omongan Budhe Dwi barusan. Tetapi Atika memilih beristigfar di dalam hati lalu bergega
MY NEW HOME Firda tertawa kecil. “Banyak cerita seru begitu aku dulu memutuskan untuk pakai jilbab. Kamu dan orang lain juga pasti pernah merasakannya.” Atika mengangguk-angguk. “Memang iya, sih. Baru punya niat aja udah banyak tantangan dan tentangan. Padahal kan kita cuma ingin jadi manusia yang benar. Yang menjalankan perintah-Nya. Simpel padahal.” “Itu kata kita. Yang sudah Allah beri hidayah, insyaAllah. Buat yang belum dapat hidayah, mau dinasihati sampai jungkir balik pun, ya susah. Hatinya takkan terketuk.” Atika mengiyakan di dalam hatinya. Dulu dia juga belum tertarik untuk memakai jilbab. Karena memang baru sedikit yang pakai jilbab. Atau ada yang pakai jilbab tetapi hanya saat bersekolah saja, karena disuruh orang tuanya. Jadi ketika sedang tidak bersekolah, ya tetap tanpa jilbab. Atau ada juga yang memakai jilbab tetapi tanpa ciput sehingga rambut dan dahinya terlihat semua. Percuma saja. A
UNFORGETTABLE MOMENT “Kamu itu enggak pernah betah di rumah, ya? Pergi melulu!” omel Ibunya ketika hari Ahad pagi, Atika sibuk bersiap-siap di kamarnya. Atika mengambil ranselnya dan mendekati ibunya dengan wajah tersenyum. “Iya, Bu. Aku mau hiking ke gunung.” Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengulurkan tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Matahari juga baru saja terbit di ufuk Timur. Tapi anak gadisnya yang satu ini terlihat begitu sibuk sejak selesai salat Subuh. Sementara anak-anaknya yang lain masih anteng di kamarnya masing-masing. Memilih berbaring di balik selimut setelah salat Subuh. “Pamit ya, Bu?” Atika mencium punggung tangan Ibunya takzim. “Hmm. Sudah sarapan?” tanya Ibunya. “Sudah, Bu. Piring-piring kotor juga udah Tika cu
“Enggak, Pak.” Kali ini Habibi yang langsung menyela dan menjawab dengan tegas.Ucapan Habibi diam-diam menusuk perasaan Atika. Ya, ternyata tak urung ketika mendengar hal tersebut tetap saja terasa menyakitkan. Meski mungkin Habibi mengatakannya karena untuk membuat suasana menjadi lebih tenang dan kondusif. Pun, pemuda itu mungkin saja berusaha juga menekan perasaannya dengan susah payah.Atika memilih menunduk dan mengunci mulutnya rapat-rapat ketika kemudian Pak Ahmad memberikan wejangan panjang lebar untuk mereka berempat. Pembina rohis tersebut sudah bisa merasa lebih lega karena ternyata yang dituduhkan oleh siswa-siswi yang membuat petisi dan mosi tidak percaya ternyata tidak benar.“Bapak berterima kasih dan bersyukur jika memang kalian tetap menjadi siswa-siswi kepercayaan yang amanah. Bapak berharap kita semua tetap berpikir dingin ketika ada masalah. Jangan sampai masalah yang datang menjadikan kita menjadi tercerai berai. Justru se
Husna terdiam sesaat sebelum berkata-kata. Gadis itu tetap terlihat anggun dan sangat menjaga sikapnya bahkan di tengah situasi genting seperti saat ini.“Kalian semua tahu aku seperti apa, kan? Kira-kira menurut kalian bagaimana?” Husna balik bertanya tak hanya pada Atika tetapi juga pada semua yang ada di ruangan tersebut.“Kalau aku sebenarnya enggak percaya, Aunty. Tapi ….” Firda tak melanjutkan kata-katanya.“Tapi?” Husna mengerlingkan kedua matanya.Firda menatap lurus pada adik ibunya tersebut. “Aunty sering ngilang, sih. Kan jadi bikin bingung!”“Kalau aku sih positif lebih percaya sama kamu, Na!” ucap Putri diikuti anggukan kepala Aisyah.“Kamu, Tik?” Husna menatap Atika.“Aku ingin enggak percaya.” Atika hanya sanggup mengatakan hal tersebut.Husna tersenyum. Lalu memandang semua teman-temannya dengan pandangan hangat.
“Mending bubar aja, deh! Udah enggak layak jadi panutan! Rusak!”Atika menelan ludahnya demi mendengar umpatan-umpatan yang diungkapkan oleh Tuti cs. Dengan senyum mencemooh, kelompok tersebut berlalu dari hadapan Atika. Rasanya ingin menghilang saja seketika dari bumi saat ini juga. Kelompok Tuti masih saja terus melihat-lihat kesalahan dan kekurangan Husna dan kawan-kawan. Apalagi dengan kondisi saat ini.Atika menghela napas. Masygul. Jika benar Husna seperti itu maka kondisi sudah benar-benar gawat. Bagaimana jadinya keputrian nantinya? Kalau Tuti cs saja sudah tahu, pasti seisi sekolah juga sudah tahu.“Mi? Kenapa ngelamun di sini?”Atika menengadah. Ada Habibi berdiri di hadapannya dengan senyum khasnya.“Bi ….”“Iya, Mi?” Habibi masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.“Kamu udah denger soal Husna?” Atika kali ini tak lagi memikirkna untuk menjaga pandangan
“Itu ….”Atika takmelanjutkan perkataannya dan melirik ragu-ragu pada Sandra.Di seberangnya, terlihat Sandra menatapnya sengit. Tak ingin menimbulkan lebih banyak kesalah pahaman, Atika segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.“Ini, Bi.”“Oh, alhamdulillah. Terima kasih, Umi.” Habibi menyambut bungkusan itu dengan sukacita.Sandra nyaris memelototkan kedua matanya kalau saja ketua grupnya tidak segera memanggil anggota-anggotanya. Dengan terpaksa Sandra segera berbaris mengikuti arahan ketua grupnya dan melupakan sejenak untuk melihat keakraban Habibi dan Atika.Sepanjang perjalanan menuju ke puncak, Sandra bolak-balik berusaha memantau grup Atika hingga dia lupa untuk melihat kakak sepupunya. Ia tidak konsentrasi pada rute yang ditempuhnya, padahal di beberapa lokasi, jalan setapak yang mereka lewati cukup licin dengan adanya jurang di kanan dan kiri.Berulang kali Sandra menoleh ke
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa
Atika memegang kedua lengan Firda erat. “Kamu percaya sama aku. Itu aja dulu.”Firda menghela napas berat. Atika tahu kalau temannya itu pasti juga sedang risau memikirkan Husna yang akhir-akhir ini memang jarang terlihat bersamanya. Entah ada kesibukan apa. Saat bertemu di acara kajian rutin keputrian pun, Husna jarang bicara dan selalu tampak sibuk mengurusi sesuatu.Firda meninggalkan kelas Atika masih dengan mendung bergelayut di wajahnya. Suasana mendadak terasa muram. Atika sempat mengantar Firda hingga di depan pintu kelas. Sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya, dia melirik ke arah kelas Sandra yang pintunya tertutup setengah bagian. Ia menghela napas sesaat sebelum masuk ke dalam kelasnya sendiri.***Siang ini rencananya Atika ingin menyerahkan laporan hasil kegiatan keputrian selama ini. Biasanya saat istirahat Habibi sering terlihat di dalam masjid. Melaksanakan salat Duha atau sekadar ngumpul dengan pengurus rohis lainnya. Tapi sa
Atika menimang-nimang kotak bros yang selama ini disimpannya di dalam kantong bagian depan tasnya. Sudah hamper tiga bulan berturut-turut dia mendapatkan bros setiap pekannya. Jadi bisa dihitung berapa banyak bros yang berhasil dikumpulkannya hingga saat ini?Dua belas bros! Ya! 12 bros berukuran mungil terkumpul di dalam tasnya. Dengan beragam warna dan bentuk. Ada yang berbentuk bunga mawar, hati, bunga matahari, bintang, dan masih banyak lagi. Lucu-lucu memang. Membuat Atika kadang gemas ingin mengenakannya.Tapi karena dia tak tahu siapa yang sudah memberi bros-bros tersebut, Atika tak berani untuk memakainya. Alasannya karena tak mau sang pemberi bros jadi geer dan menyangka Atika bersedia menerima perasaannya.Tidak munafik kalau Atika senang mendapatkan hadiah. Tapi harus dari teman yang bagaimana dulu, kan? Kalau teman akrab yang memang berteman dengannya tulus, ya masa sih hadiahnya ditolak? Tapi kalau si pemberi hadiah ternyata meminta ba
“Bener-bener enggak beres keputrian di sekolah kita. Memalukan!”“Dulu Putri yang kelakuannya ngawur. Kalau enggak kita peringatkan, mungkin dia masih jalan dengan Alan. Eh, sekarang malah ketuanya langsung!”“Betul! Kacau banget sih para pengurusnya?”Atika yang sedang menyelesaikan tugas di dalam kelas tiba-tiba mendengar sesuatu yang kurang enak. Ditajamkannya pendengarannya untuk terus menyimak.“Dila! Kamu yakin melihat mereka berduaan?”“Yakin banget, Ti. Soalnya cowoknya kan yang berpapasan langsung denganku. Meski dia kakak kelas kita, tapi aku hafal wajahnya. Mantan ketua klub PA. Kak Jerry!”“Kamu melihat mereka di mana?”“Di mal, May. Mereka naik taksi berdua. Puasa-puasa, eh pacarana! Keterlaluan!”Mal? Kemarin? Bukannya kemarin dia juga ke mal Bersama Sandra, ya? Tapi rasa-rasanya dia enggak melihat Jerry dan Husna. Husna? Benarkah
Jadi apakah benar Jerry sedang berusaha mendekati Husna? Sandra menaruh prasangka seperti itu tentang gerak-gerik sepupunya itu akhir-akhir ini. Jerry juga tidak berusaha menyangkal atau membantah Ketika dia berusaha mencari tahu.“Hei! Kok, bengong?” Atika menepukkan kedua telapak tangannya di depan Sandra.Sandra terperanjat kaget dan tersadar dari lamunannya. Atika terkekeh melihat bibir sahabatnya itu refleks mengerucut. Itu kebiasaan Sandra kalau dia merasa diajak bercanda.“Apa sih kamu? Bikin kaget aja!” sungut Sandra dengan wajah kekanakan khas dirinya.“Awas nanti salah masukin, lho.” Atika terkikik sambil menunjuk ke barisan mangkok kaca yang berjejer rapi di hadapan Sandra.Sandra melihat ke bawah dan terkesiap. Buru-buru dia mencari tisu kering untuk mengelap meja yang tiba-tiba dikotorinya. Bagaimana tidak? Dirinya bukan menuangkan buah-buahan ke dalam mangkok tetapi malah ke atas permukaan meja. Unt