“Kamu memang hebat, Rey. Tidak salah aku memilihmu untuk menangani proyek besar ini,” ucap Tama tersenyum dengan penuh rasa bangga.Pagi itu di perusahaan Kalingga, mereka kedatangan salah satu calon investor penting dari luar negeri. Sudah lama Tama menginginkan proyek kerjasama dengan perusahaan tersebut akan tetapi Tuan Brian selaku pemilik perusahaan sangat sulit untuk dihubungi, apalagi diajak bertemu. Dan kemarin tanpa diduga, Tuan Brian menghubunginya. Mereka pun mengadakan rapat perusahaan yang dipimpin oleh Rey. Ternyata keputusan sang CEO tepat. Mereka akhirnya mendapatkan proyek besar tersebut.“Dengan adanya proyek kerja sama ini, perusahaan Kalingga akan menjadi semakin kuat di mata bisnis dunia,” ucap laki-laki itu lagi.“Benar Tuan. Selamat,” ucap Rey yang juga sambil tersenyum. Tama memeluk erat sang asisten yang sudah seperti adik baginya itu.“Tidak. Untuk kali ini orang yang harus dipuji dan diberikan semangat adalah kamu. Karena kamu yang sudah berusaha menyiapkan
Hari sudah semakin sore sedangkan Zahra masih tetap membatu di dalam kamarnya. Berdiri terdiam di balkon kecil yang dibatasi oleh sebuah pintu kaca geser. Kedua tangannya memegang pagar besi berwarna hitam dengan pandangan yang masih tetap lurus ke depan.Di dalam pikirannya, Zahra terus mengingat tentang seorang gadis cantik yang terdapat di foto tadi. Sejauh yang dia hafal, tidak ada satupun pelayan di mansion itu yang wajahnya mirip dengan gadis tersebut.“Apa mungkin wanita itu pelayan sebelum aku masuk ke dalam keluarga Kalingga? Atau mungkin juga dia saudara Ayah atau Ibu Naya,” ucap Zahra. Dia membuang nafas panjang.Sebenarnya yang membuat Zahra merasa heran dengan foto wanita itu adalah karena di setiap foto lainnya, wanita itu terlihat sangat dekat dengan Tuan Yudha. Selain selalu berada di samping Tuan Yudha, wanita itu juga selalu terciduk sedang menatap ayah dari Tama tersebut.Di lantai bawah mobil yang dikendarai oleh Rey telah sampai. Tama keluar dari kendaraan tersebu
Sebuah perjalanan bisnis di pagi hari pun berjalan dengan lancar. Tidak ada drama macet ataupun yang lainnya. Rey, yang memang sebagai asisten pribadi Tama, selalu menemani kemanapun sang atasan pergi. Kecuali jika Tama sendiri yang melarangnya.Sepanjang jalan Tama hanya diam. Salah satu tangannya memegang ponsel dan jari jemarinya terus bermain di atas layarnya. Sepertinya dia sedang berbalas pesan dengan seseorang. Wajahnya terlihat tampak serius dan itu membuktikan bahwa seseorang yang sedang dihubunginya itu atau masalah yang sedang mereka bicarakan adalah sesuatu yang penting.“Tuan,” panggil Rey membuyarkan konsentrasi Tama pada layar ponselnya.“Hmm,” gumam sang atasan. Dia menutup ponsel tersebut, menyimpannya ke dalam saku jasnya lalu menatap sang asisten.“Tuan, semalam Nufa memberitahu saya jika Nyonya Zahra bertanya banyak kepadanya,” jelas Rey. Tama mengangkat satu alisnya ke atas.“Bertanya? Bertanya apa?” tanya Tama.“Nyonya Zahra bertanya tentang semua masa lalu anda.
Zahra termangu menatap sebuah foto yang secara kebetulan tertangkap oleh kedua matanya. Nufa yang melihat sang majikan fokus pada sesuatu di belakangnya serentak membalikkan badan. Dia penasaran apa yang membuat Zahra menjadi diam seperti itu. Kening wanita tua itu sedikit mengkerut saat dia tidak melihat apa yang aneh disana.“Nyonya,” panggil Nufa membuyarkan lamunan Zahra.“Ah iya, mbak,” jawab gadis itu tergagap.“Ada apa Nyonya? Apa yang anda lihat?” tanya Nufa lagi. Jari telunjuk wanita muda itu naik ke atas mengarah ke foto di belakang Nufa. “Itu foto mbak Nufa, kan?” tanya Zahra ragu. Nufa kembali menoleh dan melihat foto dirinya yang sedang berdua dengan seorang wanita muda.“Iya Nyonya itu foto saya,” jawab sang kepala pelayan itu.“Mbak Nufa foto sama siapa?”“Itu adik saya, Nyonya. Namanya Kiran,” jawab Nufa tanpa rasa curiga sedikitpun.Di dalam hati, Zahra merasa kaget. Jadi wanita muda yang ada di foto keluarga Ibu Naya adalah adik dari Nufa.“Adik? Waw, cantik seka
Malam itu juga Tama dan Rey langsung pulang menuju ke mansion. Sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan lenggang dan juga sepi. Melewati sebuah jalur pegunungan dimana sebelah kiri ada tebing tinggi dan sebelah kanan berbatasan dengan jurang yang curam.Tama yang duduk di bangku belakang masih memikirkan ucapan Rey beberapa saat yang lalu. Mr. Brian klien utama mereka menginginkan sebuah pesta kecil sebelum dirinya kembali lagi ke negara asalnya. Memang pengumuman bersatunya kedua perusahaan raksasa tersebut akan sangat menguntungkan bagi mereka. Selain menaikkan pamor juga bisa menaikkan saham yang masuk kepada masing-masing perusahaan tersebut.Tapi masih ada yang mengganjal di hatinya. Tama ragu apakah baik jika mengadakan sebuah pesta padahal sang ibu baru saja meninggal beberapa hari yang lalu. Apakah sikap profesional memang harus diutamakan saat ini?“Tuan,” panggil Rey membuyarkan lamunan Tama.“Iya?” ucap sang atasan. Rey tampak melihat ke
Kabar mengenai penyerangan yang terjadi pada Tama dan juga Rey sampai di telinga Zahra lewat salah satu supir di mansion yang dihubungi oleh Rey untuk menjemput mereka di rumah sakit tempat dimana sekarang mereka sedang dirawat. Zahra memaksa untuk ikut dan sang supir tidak bisa menolak. Apalagi sang majikan barunya itu sampai memohon dan menangis.Setelah melakukan perjalanan yang lumayan cepat, mobil yang ditumpangi oleh Zahra dan juga sang sopir telah tiba di rumah sakit. Gadis itu berlari menuju ruang perawatan sang suami. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Zahra langsung membuka pintu ruangan tersebut. Kedua matanya dengan sigap menatap sang suami yang sedang duduk dan baru saja selesai diobati oleh dokter. Tangan kanan Tama harus diperban dan menggunakan penyangga yang dilingkarkan ke lehernya. Ada satu perban kecil di dahinya dan juga beberapa di kakinya.Zahra seketika berlari dan tanpa sadar langsung memeluk sang suami. Buliran air terus mengalir dari kedua sudut matanya. “Tua
Pagi hari Tama dan juga Zahra sudah berdiri bersama di dalam kamar mandi. Zahra selesai membantu sang suami melepaskan penyangga tangannya dan disimpan di tempat yang bersih dan kering. Kini gadis itu malah mematung ketika sang suami meminta untuk membantunya mandi.“Ta-tapi…” ucap Zahra tergagap.“Kenapa? Kamu tidak mau membantuku mandi?” tanya Tama dingin. Zahra semakin dibuat serba salah.“Bu-bukan begitu Tuan. Ta-tapi jika saya melakukan hal itu, berarti sa-saya harus…” Zahra tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Hanya wajahnya saja yang berubah merona.“Melihat seluruh tubuhku? Itu maksudmu?” ucap Tama lagi. Zahra mengangguk pelan.“Tentu saja. Memangnya kamu pikir aku mandi dengan menggunakan baju?” ucap laki-laki itu sedikit geram. Tama tidak tahu jika apa yang dia perintahkan, yang menurutnya sebagai hal yang biasa, padahal itu membuat sang istri salah tingkah.Laki-laki itu beberapa kali menghentakkan ujung kaki menunggu sang istri mengambil keputusan. Kesal karena wanita di d
Di dalam kamar, Zahra berdiri di dekat meja rias melihat sang suami yang sedang diganti perban oleh dokter. Karena ternyata perban yang melingkar di tangan Tama sampai rusak, akhirnya mau tidak mau mereka harus memanggil dokter keluarga ke rumah. Dokter Airlangga yang sudah sangat dekat dengan Tama itu hanya bisa tersenyum saat melihat kondisi kedua pengantin ini dengan rambut yang sama-sama basah. Pikiran kotor pun langsung berselancar di otak sang dokter.Senyum dokter Airlangga terus mengembang bahkan ketika kedua tangannya masih membalutkan perban baru di tangan Tama.“Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan? Bagaimana bisa perbannya sampai basah dan hancur seperti ini? bukankah sudah saya katakan sebelumnya agar menjaga luka ini dengan hati-hati,” ucap dokter Airlangga. Matanya sedikit melirik ke arah samping dimana Zahra masih berdiri dengan menundukkan kepalanya.“Ya mau bagaimana lagi, istriku itu selalu saja menggoda,” ucap Tama sambil tertawa diikuti oleh dokter Airlangga.Berbeda