"Bagaimana, Angela? Kamu menerima tawaranku?"
Angela yang semula sudah mulai bisa mengendalikan diri karena Alexa—teman kerjanya, berkata bisa membantunya itu seketika kembali mengerang. "Aku tidak mau menjadi jalang!" Angela menatap tajam Alexa, saran gadis itu begitu buruk.Alexa mendesah, "Hanya itu cara terakhir yang bisa aku dapatkan, meminjam dengan rentenir lain pun prosesnya tidak akan secepat itu. Apalagi ini dengan nominal yang sangat banyak. Ayolah Angela, 10 miliar, kemana kamu akan mendapatkannya?" Angela termenung, "Apa aku relakan saja rumah itu?" Angela tidak tahu lagi sekarang harus berbuat apa, ia sudah mencoba meminjam pada bos di tempatnya bekerja. Namun, orang gila mana yang mau meminjamkan uang 10 milyar tanpa jaminan apapun. "Kamu menyerah? Untuk apa perjuanganmu selama ini jika akhirnya kamu memilih melepaskan rumah itu?" Helaan nafas berat terdengar, "Ya, aku tidak seharusnya menyerah. Tapi, Akhhh, aku pusing Alexa!" Alexa mendekat, merangkul gadis yang tengah frustasi itu, "Coba saja dulu saranku, ka.u tidak harus menjadi jalang, cukup temani saja pria-pria kesepian disana." "Tapi…." "Apalagi yang kau pikirkan? Suamimu kelak? Sudah aku bilang, kamu tidak harus menyerahkan keperawananmu, nanti aku beritahu caranya." Alexa terus mencoba menyakinkan Angela. Kasihan rasanya melihat temannya itu harus menanggung beban yang sangat berat, ia ingin membantu. Namun, hanya cara ini lah yang Alexa bisa, "Baiklah, akan aku coba," sahut Angela dengan lirihan pasrah. "Oke. Mari sekarang kita kembali bekerja. Nanti sore setelah pulang aku kenalkan dengan Tanteku." Angela dan Alexa pun kembali bekerja setelah 15 menit lamanya beristirahat. Mereka bekerja di sebuah Kafe angkringan di pinggiran kota. Alexa sebagai kasir dan Angela sebagai pelayan disana. Yah, walau gajinya kecil. Namun, mereka cukup menikmatinya, jaman sekarang sangat susah mencari pekerjaan. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Seperti Angela, ia yang hanya sampai di bangku sekolah menengah pertama bisa berharap apa. Mana mungkin mendapat pekerjaan dengan gaji besar."Angela. Tolong antarkan minuman ini pada meja no 17." Angela mengangguk dan segera menjalankan perintah kepala Cafe itu. Di meja sana, terdapat segerombolan laki-laki muda urak-urakan, mereka bersiul saat Angela datang mengantarkan pesanan mereka. "Hai, gadis cantik." Angela tidak menanggapinya, ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Menurutnya, selama mereka masih tidak kelewatan batas, Angela masih bisa menahan emosi. "Selamat menikmati." Setelah mengucapkan itu sebagai ramah-tamah pelayan. Angel langsung pergi dari sana dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang lain. Hingga waktu tak terasa. Kini tibalah waktunya mereka pulang. "Mau langsung ke tempat Tanteku?" tanya Alexa. Angela mengangguk saja. Mereka pun langsung menuju kepala Cafe disana untuk mengambil upah mereka hari ini. Ya, mereka bekerja di Cafe ini dengan bayaran harian. Angela dan Alexa pun memesan Taksi online untuk langsung meluncur ke tempat yang dimaksud Alexa. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai ditempat yang sudah sangat ramai itu. Banyak orang-orang dengan pakaian minim keluar masuk dengan seorang laki-laki digandengan mereka. Angela terus memperhatikan tempat itu. Ternyata, tempat penuh dosa seperti ini tidak semengerikan bayangannya, ia kira, tempat itu akan kotor dan usang seperti yang sering ia lihat di televisi. Namun, diluar dugaan, tempat ini justru sangat bersih dan juga megah. Dari orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya pun sangat harum sekali. Ah, Angela yakin, mereka sebelum kesini pasti mengenakan parfum satu botol penuh, dari jarak beberapa meter saja. Harum itu sudah tercium penuh. "Ayo, kita masuk," ajak Alexa. Angela berjalan dibelakang mengiringi langkah temannya itu. Saat baru menginjakan langkah kakinya di dalam. Angela langsung berdecak kagum, ini seperti Cafe-Cafe bintang lima di tengah kota, tidak seperti tempat para jalang. "Kamu yakin, kita tidak salah tempat, Alexa?" tanya Angela sembari terus memperhatikan sekitar. Mereka memasuki Lift. "Tidak. Aku sudah sering kesini," jawab Alexa. Angela terbelalak. "Apa, kamu...." "Hais, Kamu tidak usah berpikiran yang tidak-tidak, aku hanya menemani mereka minum, lumayan untuk bayar uang sewa rumahku," jelas Alexa. Angela menganggukan kepalanya beberapa kali. "Tapi, Alexa, kupikir ini bukan tempat para jal--" Uhuk... Uhuk... Uhuk... Ucapan Angela seketika terhenti karena ia terbatuk hebat. Saat pintu Lift terbuka, asap mengepul yang begitu menyesakan dada langsung menyambut paru-paru Angela. Alexa hanya tertawa saja merespon temannya itu. "Biasakan hidungmu," ucapnya. Angela hanya bisa menahan nafas untuk beberapa waktu saat mereka melewati tempat yang sangat diluar dugaan itu. Tempat ini sangat berbeda dengan tempat di lantai bawah tadi. Disini penuh dengan asap rokok minuman keras, bahkan musik yang cukup membuat jantung Angela bergetar saking kerasnya. Ini baru tempat para jalang. batin Angela. Beberapa menit terjebak di keadaan yang sangat mencekam itu, akhirnya Angela bisa bernafas lega. Kini mereka berada di lorong-lorong yang seperti kamar hotel biasanya. Langkah Alexa pun berhenti saat mereka di depan pintu paling ujung, gadis itu berbalik, menatap Angela dengan serius. "Angela, aku mohon, kamu jangan mengecewakanku," ucap Alexa. Angela mengernyit. "Mengecewakan?" "Ya, jangan mempermalukanku di hadapan Tanteku, jadilah orang yang penuh pendirian, kamu harus yakin dengan ini. Kamu perlu uang yang sangat banyak, bukan?" Walau ia sedikit tidak mengerti akan maksud Alexa. Angela mengangguk mengiyakan. "Bagus," seru Alexa. Ia pun mengetuk pintu itu beberapa kali, terdengar dari dalam suara perintah untuk masuk. Alexa pun langsung membuka pintu itu dan masuk kedalam diikuti oleh Angela. Angela mengedarkan pandangan kearah sekitar. Tempat yang sangat mewah menurutnya, ada banyak barang yang terlihat mengkilat mahal. "Selamat Sore, Tante," sapa Alexa. "Selamat Sore, Ada apa, Alexa? Kenapa sudah datang? Bukankah ini belum jam kamu beraksi?" Angela memperhatikan Alexa yang sepertinya tengah membisikan sesuatu pada wanita dengan pakaian seksi dan glamor itu. Sedetik kemudian, wanita itu menatap dirinya dengan pandangan seolah menilai. "Angela, sini," panggil Alexa. Angela pun mendekat. "Perkenalkan, dia Tanteku. Beliau yang mengurus tempat ini," "Angela," ucap Angela memperkenalkan dirinya. "Oke. Panggil saja aku Madam." ucapnya. Lalu, wanita dewasa itu kembali menoleh ke arah Alexa. "Kamu yakin?" tanyanya sekali lagi. Alexa mengangguk. "Sangat yakin, Tante." Pengurus pun mempersilahkan Alexa dan Angela duduk di sofa empuk disana. "Oke. Angela, saya tidak berbasa-basi lagi, apa kamu sungguh bisa menyenangkan para pria?" tanyanya sambil menyilangkan kakinya. Angela mengangguk dengan ragu. "Akan aku usahakan," Jujur saja, Angela sebenarnya sangat tidak yakin akan keputusan ini, apalagi melihat para wanita disini yang memakai pakaian kurang bahan semua. Melihatnya saja Angela sudah malu sendiri. Bagaimana bisa ia memakai pakaian seperti itu. "Alexa, kamu boleh pulang sekarang, Tante akan mengurus temanmu ini," ucap wanita itu. Alexa mengangguk. "Terima kasih, Tante," sahut Alexa, ia beralih pada Angela. "Good luck," ucapnya menyemangati temannya itu. Sepeninggalan Alexa, suasana berubah menjadi canggung, Angela terus menunduk. "Kenapa kamu memilih jalan ini. Angela?" dapat sang pengurus lihat kalau sebenarnya anak muda di hadapannya ini sungguh tidak yakin akan keputusannya. Namun, tidak bisa dipungkiri, ia senang bukan main, dimana lagi ia bisa mendapatkan seorang gadis polos yang bersedia bekerja bersamanya. Apalagi anak itu putih dan bersih, suatu keuntungan yang besar untuknya. "Aku memerlukan uang yang sangat besar.""Devano, Mommy sudah memutuskan. Kalau dalam tiga hari ini kamu belum juga membawa calon istrimu kehadapan Mom, pilihanmu hanya dua, melihat Mommy mati bunuh diri atau menikah dengan anak Om Erlangga!"Devano tersedak sarapannya kali ini. Perkataan sang mommy sungguh sangat tidak masuk akal menurutnya. "Mom tahu sendiri, aku tidak ingin menikah," jawab Devano dengan pelan. "Justru karena itu, Devano! Kamu tidak ingin menikah, sedangkan Mommy ingin segera menimang cucu, kalau bukan cucu darimu, harus darimana lagi? Tidak mungkin, Bukan, Mom meminta pada Teha," Balas Emey. Teha—Kucing kesayangan Emelly."Lagian, kau juga sudah tua bangka seperti itu. Bahkan teman sepantaranmu sudah memiliki anak yang mulai memasuki sekolah dasar. Sedangkan kamu? Hanya seperti ini saja." Emely menatap tajam sang anak. Ekspresi wajah wanita tua itu begitu menunjukkan keputusasaan yang mendalam. Tentu saja, anak satu-satunya itu tidak ingin menikah, ibu mana yang tidak frustasi?"Mom jadi curiga tentang
"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Devano sembari memperhatikan gedung di depannya."Menurut temanku sih ini. Katanya para wanita disini lebih berkualitas dibanding klub yang lain," tawab Hendrix."Tidak ada yang namanya jalang berkualitas," Hardik Devano yang tidak setuju akan penuturan Hendrix.Hendrix mendesah, berbicara dengan Devano memanglah selalu menguji kesabarannya. "Ayo masuk kedalam, aku sudah mengikat janji dengan pengurus di klub ini."Devano dan Hendrix berjalan beriringan masuk menuju Klub yang sangat megah itu. Devano sebenarnya sangat malas untuk ke tempat seperti ini. Namun, ini demi kelangsungan hidup damainya, ia tidak ingin Hendrix salah memilihkannya wanita, terpaksa ia harus ikut pergi ke tempat yang paling ia hindari ini."Tunggu!" Hendrix tiba-tiba berhenti membuat sebelah alis Devano terangkat di balik kacamata hitam yang ia kenakan."Kau perlu ini. Bisa heboh nanti jika sampai ada yang mengenalimu." Hendrix memberikan Devano masker hitam dan juga topi.Devano
Pagi-pagi sekali Angela sudah bangun dan bersiap pergi ke Apartemen itu.Ia berjalan pelan dan sedikit mengendap-ngendap berharap para iblis yang tinggal di rumahnya belum membuka mata, Angela sangat malas sekali harus menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.Namun, harapan hanyalah tinggal harapan, langkah Angela terhenti dengan dengusan kasar saat sebuah celetukkan terdengar, "Mau kemana? Kenapa berjalan seperti maling begitu?" Angela berbalik, menatap Desi yag wajah berantakan khas bangun tidur, "Bukankah aku harus bekerja untuk melunasi hutangmu itu?" sindirnya."Oh iya, waktunya hanya dua hari lagi. Jika besok lusa kamu belum mendapatkannya, siap-siapa saja, rumah ini akan aku jual.""Kamu tenang saja, aku pasti akan mendapatkan uang itu," sahut Angela malas."Bagus. Oh, mana gajimu kemarin? Isi kulkas sudah habis, aku mau berbelanja," ucapan Desi berhasil membuat mood pagi Angela menjadi buruk seketika. Yang benar saja, ia sudah dituntut mencari uang 10 Miliar secepatnya tetapi m
“K-kamu mencoba memerasku?” Devano tidak lagi berbicara formal sekarang. “Terserah kamu saja mau berpikir apa, yang pasti aku menginginkan uang 10 milyar darimu." Angela terus berusaha menampilkan wajah se garang mungkin, tidak ada waktu lagi untuk takut sekarang, meski tubuhnya sudah bergetar panas dingin dengan jantung berdebar kencang. Sebelum melakukan hal ini tentu saja Angela sudah memikirkan akibat yang akan terjadi, mungkin saja setelah ini Devano akan membunuhnya. Tidak ada yang tidak mungkin bisa dilakukan orang kaya, bukan?Devano terdiam beberapa saat dan membalas tatapan nyalang Angela. "B-baiklah, aku akan memberikan uang 10 milyar itu, lepaskan aku dulu." Napas Devano benar-benar tinggal di ujung sekarang.Sudut bibir Angela sedikit terangkat, tanpa berpikir panjang Angela melepas cekalan pada dasi pria itu. Namun, di luar dugaan, Devano langsung bergerak mengambil alih posisi.BRUKK!"AKH!" Angela menjerit saat punggungnya terbentur mulus pada lantai yang keras it
Hah?”“Apa kurang jelas? Aku tidak ingin kertas itu, aku ingin uang 10 Milyar itu langsung!” kata Angela dengan tekanan di setiap kalimatnya.Kedua tangan Devano terkepal erat. Andai saja yang di hadapannya sekarang bukanlah seorang gadis, akan dapat Devano pastikan ia akan menghajarnya dengan membabi buta.“Hendrix, cairkan uang 10 milyar sekarang juga!” Devano memerintah dengan berteriak kencang seolah ia adalah orang paling berkuasa di muka bumi ini.Masih dalam kebingungan. Hendrix melangkah keluar dengan tergesa-gesa, masalah sang Tuan tampaknya sangat serius.Sepeninggalan Hendrix, Angela melangkah pelan menuju sofa yang terletak di ujung kamar, menyilangkan kakinya dengan anggun lalu sedetik kemudian gadis itu cekikikan sendiri.Angela masih tidak menyangka jika rencana konyolnya bisa berjalan semulus ini. Mengelabui Devano ternyata tidaklah sulit. Hah, padahal pria itu terlihat seperti orang pintar, ternyata sama saja dengan dirinya yang terkadang bodoh.BRAKK!Angela terperan
“Ambil saja uang itu, aku membatalkan perjanjian kita!” teriak Angela, tidak memedulikan jika mungkin saja suaranya akan terdengar oleh Emely, yang paling penting sekarang, ia harus terlepas dari jeratan hutang pada pria ini.Devano berbalik, menatap Angela dengan satu alis terangkat.“Kembalikan memori card–ku, ambil saja uangmu, aku tidak membutuhkannya.” Angela berusaha meraih tangan Devano yang masih tergenggam, berpikir jika memori card itu masih di sana.Devano mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menyeringai. “Tidak semudah itu.”“Kumohon, ambil saja uangmu, tolong lepaskan aku, anggap saja kita tidak saling kenal setelah ini.” Tubuh Angela merosot ke lantai, bersimpuh memohon, tidak memedulikan lagi harga dirinya yang sebetulnya memang tidak ada harganya.Devano tersentak kaget melihat itu. Begitupun dengan Hendrix yang berdiri tidak jauh dari sana.“Apa yang kamu lakukan?”Angela menangkupkan kedua tangannya dengan bola mata berkaca-kaca, berharap Devano mau melepaskanny
"Kita harus menjual rumah ini!"Suara dentingan keras seketika memenuhi area dapur. Angela—gadis yang baru memasuki usia 20 tahun itu secara reflek melepaskan spatula begitu mendengar suara menggelegar dari sang ibu tiri. "Apa yang kamu bilang tadi?" Angela menatap tajam wanita itu.Desi maju beberapa langkah sambil melipat kedua tangan di depan dada, "Aku harus menjual rumah ini untuk membayar hutang Ayahmu!""Sejak kapan Ayahku memiliki hutang? Aku tahu itu hutang dirimu sendiri, jangan mengada-ngada, kamu tidak memiliki hak untuk menjual rumah ini." Angela membalas ucapan Desi sekeras mungkin. Tidak! setahu Angela selama ayahnya hidup pria tua itu bukan orang yang gemar berhutang. Angela yakin, ini hanya akal-akalan wanita itu saja.Tawa sinis Desi membuat Angela yang semula ingin mengambil spatula yang tidak sengaja ia jatuhkan itu terdiam. "Kamu tidak ingat sertifikat rumah ini ada padaku? tanpa persetujuan siapapun juga aku bisa menjual rumah ini."Angela menggeram kesal, g
“Ambil saja uang itu, aku membatalkan perjanjian kita!” teriak Angela, tidak memedulikan jika mungkin saja suaranya akan terdengar oleh Emely, yang paling penting sekarang, ia harus terlepas dari jeratan hutang pada pria ini.Devano berbalik, menatap Angela dengan satu alis terangkat.“Kembalikan memori card–ku, ambil saja uangmu, aku tidak membutuhkannya.” Angela berusaha meraih tangan Devano yang masih tergenggam, berpikir jika memori card itu masih di sana.Devano mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menyeringai. “Tidak semudah itu.”“Kumohon, ambil saja uangmu, tolong lepaskan aku, anggap saja kita tidak saling kenal setelah ini.” Tubuh Angela merosot ke lantai, bersimpuh memohon, tidak memedulikan lagi harga dirinya yang sebetulnya memang tidak ada harganya.Devano tersentak kaget melihat itu. Begitupun dengan Hendrix yang berdiri tidak jauh dari sana.“Apa yang kamu lakukan?”Angela menangkupkan kedua tangannya dengan bola mata berkaca-kaca, berharap Devano mau melepaskanny
Hah?”“Apa kurang jelas? Aku tidak ingin kertas itu, aku ingin uang 10 Milyar itu langsung!” kata Angela dengan tekanan di setiap kalimatnya.Kedua tangan Devano terkepal erat. Andai saja yang di hadapannya sekarang bukanlah seorang gadis, akan dapat Devano pastikan ia akan menghajarnya dengan membabi buta.“Hendrix, cairkan uang 10 milyar sekarang juga!” Devano memerintah dengan berteriak kencang seolah ia adalah orang paling berkuasa di muka bumi ini.Masih dalam kebingungan. Hendrix melangkah keluar dengan tergesa-gesa, masalah sang Tuan tampaknya sangat serius.Sepeninggalan Hendrix, Angela melangkah pelan menuju sofa yang terletak di ujung kamar, menyilangkan kakinya dengan anggun lalu sedetik kemudian gadis itu cekikikan sendiri.Angela masih tidak menyangka jika rencana konyolnya bisa berjalan semulus ini. Mengelabui Devano ternyata tidaklah sulit. Hah, padahal pria itu terlihat seperti orang pintar, ternyata sama saja dengan dirinya yang terkadang bodoh.BRAKK!Angela terperan
“K-kamu mencoba memerasku?” Devano tidak lagi berbicara formal sekarang. “Terserah kamu saja mau berpikir apa, yang pasti aku menginginkan uang 10 milyar darimu." Angela terus berusaha menampilkan wajah se garang mungkin, tidak ada waktu lagi untuk takut sekarang, meski tubuhnya sudah bergetar panas dingin dengan jantung berdebar kencang. Sebelum melakukan hal ini tentu saja Angela sudah memikirkan akibat yang akan terjadi, mungkin saja setelah ini Devano akan membunuhnya. Tidak ada yang tidak mungkin bisa dilakukan orang kaya, bukan?Devano terdiam beberapa saat dan membalas tatapan nyalang Angela. "B-baiklah, aku akan memberikan uang 10 milyar itu, lepaskan aku dulu." Napas Devano benar-benar tinggal di ujung sekarang.Sudut bibir Angela sedikit terangkat, tanpa berpikir panjang Angela melepas cekalan pada dasi pria itu. Namun, di luar dugaan, Devano langsung bergerak mengambil alih posisi.BRUKK!"AKH!" Angela menjerit saat punggungnya terbentur mulus pada lantai yang keras it
Pagi-pagi sekali Angela sudah bangun dan bersiap pergi ke Apartemen itu.Ia berjalan pelan dan sedikit mengendap-ngendap berharap para iblis yang tinggal di rumahnya belum membuka mata, Angela sangat malas sekali harus menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.Namun, harapan hanyalah tinggal harapan, langkah Angela terhenti dengan dengusan kasar saat sebuah celetukkan terdengar, "Mau kemana? Kenapa berjalan seperti maling begitu?" Angela berbalik, menatap Desi yag wajah berantakan khas bangun tidur, "Bukankah aku harus bekerja untuk melunasi hutangmu itu?" sindirnya."Oh iya, waktunya hanya dua hari lagi. Jika besok lusa kamu belum mendapatkannya, siap-siapa saja, rumah ini akan aku jual.""Kamu tenang saja, aku pasti akan mendapatkan uang itu," sahut Angela malas."Bagus. Oh, mana gajimu kemarin? Isi kulkas sudah habis, aku mau berbelanja," ucapan Desi berhasil membuat mood pagi Angela menjadi buruk seketika. Yang benar saja, ia sudah dituntut mencari uang 10 Miliar secepatnya tetapi m
"Kau yakin ini tempatnya?" tanya Devano sembari memperhatikan gedung di depannya."Menurut temanku sih ini. Katanya para wanita disini lebih berkualitas dibanding klub yang lain," tawab Hendrix."Tidak ada yang namanya jalang berkualitas," Hardik Devano yang tidak setuju akan penuturan Hendrix.Hendrix mendesah, berbicara dengan Devano memanglah selalu menguji kesabarannya. "Ayo masuk kedalam, aku sudah mengikat janji dengan pengurus di klub ini."Devano dan Hendrix berjalan beriringan masuk menuju Klub yang sangat megah itu. Devano sebenarnya sangat malas untuk ke tempat seperti ini. Namun, ini demi kelangsungan hidup damainya, ia tidak ingin Hendrix salah memilihkannya wanita, terpaksa ia harus ikut pergi ke tempat yang paling ia hindari ini."Tunggu!" Hendrix tiba-tiba berhenti membuat sebelah alis Devano terangkat di balik kacamata hitam yang ia kenakan."Kau perlu ini. Bisa heboh nanti jika sampai ada yang mengenalimu." Hendrix memberikan Devano masker hitam dan juga topi.Devano
"Devano, Mommy sudah memutuskan. Kalau dalam tiga hari ini kamu belum juga membawa calon istrimu kehadapan Mom, pilihanmu hanya dua, melihat Mommy mati bunuh diri atau menikah dengan anak Om Erlangga!"Devano tersedak sarapannya kali ini. Perkataan sang mommy sungguh sangat tidak masuk akal menurutnya. "Mom tahu sendiri, aku tidak ingin menikah," jawab Devano dengan pelan. "Justru karena itu, Devano! Kamu tidak ingin menikah, sedangkan Mommy ingin segera menimang cucu, kalau bukan cucu darimu, harus darimana lagi? Tidak mungkin, Bukan, Mom meminta pada Teha," Balas Emey. Teha—Kucing kesayangan Emelly."Lagian, kau juga sudah tua bangka seperti itu. Bahkan teman sepantaranmu sudah memiliki anak yang mulai memasuki sekolah dasar. Sedangkan kamu? Hanya seperti ini saja." Emely menatap tajam sang anak. Ekspresi wajah wanita tua itu begitu menunjukkan keputusasaan yang mendalam. Tentu saja, anak satu-satunya itu tidak ingin menikah, ibu mana yang tidak frustasi?"Mom jadi curiga tentang
"Bagaimana, Angela? Kamu menerima tawaranku?"Angela yang semula sudah mulai bisa mengendalikan diri karena Alexa—teman kerjanya, berkata bisa membantunya itu seketika kembali mengerang. "Aku tidak mau menjadi jalang!" Angela menatap tajam Alexa, saran gadis itu begitu buruk.Alexa mendesah, "Hanya itu cara terakhir yang bisa aku dapatkan, meminjam dengan rentenir lain pun prosesnya tidak akan secepat itu. Apalagi ini dengan nominal yang sangat banyak. Ayolah Angela, 10 miliar, kemana kamu akan mendapatkannya?" Angela termenung, "Apa aku relakan saja rumah itu?" Angela tidak tahu lagi sekarang harus berbuat apa, ia sudah mencoba meminjam pada bos di tempatnya bekerja. Namun, orang gila mana yang mau meminjamkan uang 10 milyar tanpa jaminan apapun. "Kamu menyerah? Untuk apa perjuanganmu selama ini jika akhirnya kamu memilih melepaskan rumah itu?" Helaan nafas berat terdengar, "Ya, aku tidak seharusnya menyerah. Tapi, Akhhh, aku pusing Alexa!" Alexa mendekat
"Kita harus menjual rumah ini!"Suara dentingan keras seketika memenuhi area dapur. Angela—gadis yang baru memasuki usia 20 tahun itu secara reflek melepaskan spatula begitu mendengar suara menggelegar dari sang ibu tiri. "Apa yang kamu bilang tadi?" Angela menatap tajam wanita itu.Desi maju beberapa langkah sambil melipat kedua tangan di depan dada, "Aku harus menjual rumah ini untuk membayar hutang Ayahmu!""Sejak kapan Ayahku memiliki hutang? Aku tahu itu hutang dirimu sendiri, jangan mengada-ngada, kamu tidak memiliki hak untuk menjual rumah ini." Angela membalas ucapan Desi sekeras mungkin. Tidak! setahu Angela selama ayahnya hidup pria tua itu bukan orang yang gemar berhutang. Angela yakin, ini hanya akal-akalan wanita itu saja.Tawa sinis Desi membuat Angela yang semula ingin mengambil spatula yang tidak sengaja ia jatuhkan itu terdiam. "Kamu tidak ingat sertifikat rumah ini ada padaku? tanpa persetujuan siapapun juga aku bisa menjual rumah ini."Angela menggeram kesal, g