Kerusuhan yang terjadi di Wanua Song telah memicu berbagai spekulasi politik yang luar biasa keras. Para pejabat Medang berwangsa Sanjaya mulai panik. Karena setelah mendengar laporan bahwa wanua Song dibakar habis oleh pembesar Walaing sendiri untuk menutupi kegagalan mereka melindungi Song dari keganasan perampok, Maharaja Rakai Garung mengambil tindakan dengan mengumumkan perang pada Walaing. Rencana Pangeran Balaputeradewa menguasai Walaing-pun tinggal selangkah lagi. Para Panglima perang termasuk Jentra diperintahkan untuk menenggelamkan Walaing dan menangkap seluruh pejabatnya. Serangan akan dilakukan fajar hari sebelum mereka siap menghadapi tentara Medang. "Kenapa kau begitu gelisah?" Tanya Jentra pada Rukma. "Entahlah, kakang. Aku hanya merasa ini tidak benar." Katanya. "Sudah kukatakan. Jangan menilai apapun dalam sebuah pusaran politik. Kita perajurit. Kita hanya menjalankan tugas." Kata Jentra menghibur Rukma yang terpukul dengan penghancuran wanua Song beberapa malam
Rukma terkejut saat melihat Ganika dan Gaurika begitu mudah dijatuhkan oleh Jentra Kenanga hanya dengan sebuah perkelahian main-main menurut Rukma. Jadi Jentra memang sesakti itu, maka wajar saja jika karirnya begitu cepat menanjak dan membuat iri hati seniornya. "Rukma, biar aku menghadapinya. Kau urus saja wanita-wanita itu supaya tidak diperlakukan tidak senonoh oleh para perajurit." Kata Jentra. "Baik!" Sambut Rukma gembira. "Hei bocah tengik. Jangan coba lari dariku. Tapak geni!" Teriak Mpu Kumbhayoni dengan mengerahkan pukulannya kepada Rukma. Dengan sigap Jentra mendorong Rukma ke samping dan mengibaskan jubahnya sehingga pukulan api itu memantul ketika mengenai jubahnya dan pukulan api yang terlontar hampir mengenai wajah Mpu Kumbhayoni sendiri. "Tameng Sangara!" Teriak Jentra. Jubah itu-pun terlepas dari tubuh Jentra dan mengejar Mpu Kumbhayoni. "Ditya kala dahana." Teriaknya menghalau jubah itu dengan semburan api. Namun jubah itu terus merangsek ke arah tubuh Mpu Ku
Ganika sedikit lebih beruntung. Saat terjatuh dari tebing, ia langsung masuk ke dalam kedung Sungai yang dalam sehingga lolos dari kematian. Tubuhnya diseret arus ke tepian dan dengan susah payah ia menggapai kayu pohon besar yang hanyut. “Ke mana Sungai ini akan membawaku?” Tanya Ganika di dalam hati Sungai itu memang mengalir menjauhi pusat perkemahan prajurit Medang di Utara. Sungai itu terus mengalir ke Selatan menuju tempat bernama Randu Gumbala. Ganika sadar bahwa ia belum sepenuhnya lolos dari bahaya karena semua Sungai menuju muara, dimana semua muara Sungai besar pasti berbuaya. “Aku harus segera berenang ke tepian. Supaya darah di tubuhku tidak menarik binatang buas mengejarku.” Kata Ganika. Dugaan Ganika tidak salah. Kecipak air yang dihasilkan Ganika mengundang seekor buaya besar mendekat. Ganika berusaha sekuat tenaga berenang ke tepian. Ia berhasil mencapai daratan, namun buaya itu masih tetap mengejarnya. “Binatang kurang ajar!” teriak Ganika saat buaya itu menerka
“Aku sama sekali tidak mengerti, ke mana anak itu menghilang? Prilakunya juga aneh sebelum ini.” Kata Jentra. “Wajar saja. Ini adalah pengalaman pertamanya berperang. Namun aku juga tidak mengira ia bisa begitu ceroboh dengan pedati itu.” Kata Amasu. “Seharusnya dengan ilmu yang dimilikinya ia mampu mengatasi jurang di Ngijo. Dia memiliki aji angin-angin dan tapak banyu. Jurang sedalam itu pasti bukan masalah. Apalagi kalua kulihat lagi di bawah ada Sungai. Dia adalah pengendali air yang baik dan juga jago berenang. Saat kutemukan saja, ia mampu melawan arus banjir yang hebat.” Kata Jentra lagi “Kecuali dia memang ingin menghilang.” Kata Amasu “Apa maksudmu?” Jentra mengernyitkan dahinya. Kasihnya yang besar pada Rukma, menolak untuk berpikir yang buruk pada anak itu. Apalagi selama ini bahkan Rukma selalu melindunginya dari banyak hal terutama dari kegenitan Sriti. “Bukankah kau bilang bahwa Rukma sebenarnya gamang dengan peperangan ini. Wiku Sasodara-pun sangat marah mendengar s
" Jadi ini lontar Anarghya itu?" Tanya Maharaja Rakai Garung. "Benar yang Mulia." Jawab Nagarjuna dan Karuna Sankara, bersamaan. " Dan ini adalah kotak berisi kepala Mpu Pugat Liwung, Rakai Walaing." Nagarjuna menyerahkan sebuah kotak lagi. Rakai Garung membukanya disaksikan hampir semua Mahamentri dan pejabat yang hadir. Wiku Wirathu dan Sasodara menunduk sedih. Dan beberapa pejabat wangsa Sanjaya mulai menitikan air mata. Entah esok giliran siapa dan Rakyan yang mana akan menemui nasib yang sama dengan Mpu Pugat Liwung. "Bagus. Jadi tidak ada lagi duri di dalam daging yang bisa merongrong keamanan Medang. Dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan Sima Walaing akan dipegang oleh Mahamentri I Halu, dengan catatan dalam waktu dekat harus sudah ada minimal calon pendampingnya. Karena Seorang Rakyan harus memiliki keturunan." Kata Maharaja Rakai Garung. Bagai disambar petir di siang bolong saat mendengar keputusan Maharaja itu. Namun Pangeran Balaputeradewa langsung berlutut mengha
Megarana, Laturana dan Pawana mengendap-endap diantara tembok penjara istana Walaing. Wajah mereka ditutup dengan topeng dari tembaga. "Kau yakin, Gusti Ranuhmaya dan Gusti Mpu Kumbhayoni ditahan di sini?" Tanya Megarana. "Gusti Mpu Kumbhayoni yang ditahan di sini. Tetapi Gusti Ranuhmaya, aku tidak bisa memastikannya. Saat dibawa beliau terluka sangat parah." Jawab Pawana. "Latu, kau bisa melompati tembok yang setinggi itu tidak?"Tanya Megarana "Ah, Mega. Kau kan tahu badanku berat. Mana bisa aku melompati itu. Itu sebabnya aku tidak pernah berhasil menguasai ilmu Brama Muluk."Katanya dengan wajah memelas. "Ah dasar gembul. Tahunya makan saja. Kurangi makan celeng hutan, itu yang membuatmu tidak bisa menguasai ilmu Brama Muluk. Sekarang kau tunggu disini, karena hanya itu yang bisa kau lakukan. Sementara aku dan Megarana akan mencoba membebaskan Mpu Kumbhayoni dan kawan-kawan kita yang lain jika mungkin." Sahut Pawana kesal. "Benar. Kau beri tanda dengan suluk geni jika ada baha
Rukma membawa Gaurika ke sebuah desa kecil di tepi hutan yang jauh dari hiruk pikuk perpolitikan kerajaan. Ia membeli sebuah rumah yang nyaman dan menyamar sebagai saudagar dan istrinya yang sedang sakit. Rukma merawat Gaurika semampunya dan hanya bisa meminta pertolongan tabib desa yang juga kebingungan dengan penyakit Gaurika. "Aku tidak bisa membiarkan kau terus seperti ini Putri Gaurika. Aku akan mencari pertolongan. Lukamu cukup parah dibandingkan luka Putri Ganika karena kau menerima langsung pukulan Kakang Jentra." Kata Rukma "Uuuhhhuuukk.......uuuhhhuuk."Gaurika terbatuk dengan mengeluarkan darah segar dari sudut bibirnya. Rukma mengambil air dan lap bersih. Perlahan ia mengusap dan membersihkan darah di bibir Gaurika. Ia menahan air matanya melihat Putri yang kesakitan itu. "Jangan memanggilku Putri. Aku sudah bukan putri seorang Rakyan lagi. Panggil aku dengan namaku saja Rukma." Kata Gaurika. "Baiklah. Namun kau harus segera mendapatkan pengobatan yang benar, Gaurika.
"Ada apa?" Tanya Wiku Sasodara pada Amasu saat acara perhelatan makan dimulai. Amasu menunjukan surat Rukma. Wiku Sasodara kemudian menarik lengan Amasu dengan cepat untuk mencari tempat yang aman. "Jangan katakan apa-apa. Setelah ini kita temui Rukma."Kata Wiku Sasodara. "Tapi...?" Amasu mencoba mencegah Sang Wiku. "Aku tidak peduli. Aku harus menyelamatkan anak itu. Ia berbeda dengan Jentra. Anak itu lebih memiliki kemurnian hati daripada kau dan Jentra." Kata Wiku Sasodara. "Tapi guru.....Pangeran Balaputeradewa dan Maharaja Samarattungga sudah memutuskan...."Amasu masih mencoba memperingatkan gurunya. "Aku tidak peduli. Pangeran juga tidak peduli bukan dengan perasaanku, mengapa aku harus memikirkannya. Biarlah di rasakan nanti karma perbuatannya. Kita hanya belum tahu apa yang akan dia terima, bukan?" Wiku Sasodara berargumen. "Tadi guru bilang kepada Rakai Panaraban untuk tidak berurusan dengan orang-orang Walaing. Kenapa sekarang guru malah mau menyelamatkan putri yang mu
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk m
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b
Rukma memacu kudanya menuju rumah Sriti, namun di dalam perjalanan ia harus berhadapan dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Balaputeradewa. Mereka mencegat Rukma dan menghentikan kudanya."Berhenti ki sanak. Kau orang dari Kedu mau melintas ke mana?" tanya salah seorang prajurit."Aku hendak masuk ke dalam kota, apa pedulimu?" Rukma balik bertanya."Apakah kau tidak tahu bahwa kekacauan sedang terjadi sehingga tidak seorang-pun boleh melintas wilayah ini." Kata prajurit yang lain lagi."Istriku hendak melahirkan, jadi kau ijinkan atau tidak kau ijinkan aku akan tetap lewat wilayah ini. Lagipula wilayah ini masih merupakan wilayah Kedu jadi mengapa kau menghalangiku." Kata Rukma sambil menarik tali kekang kudanya sehingga kudanya berdiri dengan dua kaki naik ke atas dan hendak menendang prajurit di hadapannya. Prajurit itu-pun mundur, dan saat ada jalan Rukma langsung menghela kudanya."Dia lari, kejar!" teriak prajurit-prajurit itu, sambil melemparkan tombak ke arah Rukma. Namun Rukma be
Jentra Kenanga dan Kunara Sancaka mulai kewalahan menghadapi ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Mahamentri I Halu. Tembok air yang mereka gunakan untuk menahan panah-panah itu mulai tergerus dan panah-panah mulai menembusi tubuh mereka. Melihat keadaan semakin genting, Rakai pikatan tidak tinggal diam, Ia merapalkan mantra kekuatan pengendalian tanahnya."Rana bantala!" Teriaknya. Seketika tanah di bawah panggung di mana pasukan pemanah Mahamentri I Halu terangkat dan memutar. Pasukan panah itu-pun mulai panik. Namun Mahamentri I Halu memerintahkan untuk terus menghujani mereka dengan panah-panah itu.Rakai Pikatan meningkatkan kapasitas energinya hingga akhirnya tidak hanya tanah tempat pijakan mereka yang bergerak dan memutar, namun batu-batu besar yang terpendam mulai melayang ke permukaan. Batu-batu besar itu mulai menyerang pasukan-pasukan panah itu seperti peluru yang ditembakan. Wiku Sasodara yang ada disitu juga tidak tinggal diam, ia-pun mulai juga bergerak untuk men
Perkawinan Agung antara Rakai Pikatan dengan Mahamentri I Hino benar-benar diselenggarakan dengan meriah. Banyak tamu yang hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan selama hampir satu bulan. Rakyat-pun ikut menikmati kemeriahan pesta yang diselenggarakan istana dan mereka bisa menikmati aneka makanan serta jajanan gratis."Aku senang seluruh rakyat dapat menikmati pesta yang menyenangkan ini. Hanya semua pasti ada akhirnya bukan? Tidak selamanya kita akan berpesta. " Kata Andaka pada Kelwang, Munding dan Rukma."Benar. Tapi puncak acara yang sangat ditunggu adalah pemberian berkat bagi pengantin dari para Wiku. Aku jadi penasaran saja apa yang akan menjadi hadiah Wiku Wirathu dan Sasodara nanti bagi kedua mempelai." Rukma memang sedang bertanya-tanya apakah Wiku Sasodara benar-benar akan memberikan mustika Udarati pada kerajaan Medang atau justru menyimpannya untuk Pangeran Balaputeradewa."Kau benar Kakang Rukma. Aku juga sangat penasaran dan jika tidak salah. Puncaknya adalah mala
Bangunan suci di Bhumi Sambhara telah diresmikan. Semua orang berbahagia terutama para Wiku karena Bhumi Sambhara akan menarik banyak orang untuk datang dan bersembahyang di tempat suci itu. Sehingga persembahyangan itu tidak hanya mendatangkan berkat dari doa-doa mereka yang berziarah namun sekaligus akan menjadi pemicu peningkatan ekonomi Medang dari perdagangan dan wisatanya."Wiku Sasodara sekarang sampailah kita pada pemberian hadiah pada Silpin Agung yang telah menyelesaikan pembangunan Bhumi Sambhara Budura. Aku akan menganugerahkan gelar Rakai dan akan kuberikan wilayah Kailasa kepadanya." Maharaja Samarattungga bertitah. Mendengar berita itu Sang putri Dyah Meitala dan putranya Pikatan langsung berlutut. Warisan ayah mereka akhirnya kembali lagi kepadanya. "Mulai hari ini silpin Agung Medang akan bergelar Rakai, dan akan disebut sebagai Rakai Pikatan Dyah Saladu yang akan menguasai Keilasa dan sekitarnya di wilayah Kewu. Kami semua warga Medang berterima kasih kepadanya atas