Pagi harinya, seperti biasa istriku membeli sayur. Aku memperhatikannya dari teras rumah agar bisa mendengar jika ada yang menggunjing kami lagi. Sembari menggendong Tegar aku menimangnya. Dalam hati berdoa. Agar kelak dia tak mewarisi sifat Mas Romi. Ada yang bilang, kalau anak dirawat dari bayi, nanti akan mirip dengan yang mengasuhnya. Kuperhatikan semakin lama, dia memang sedikit mirip denganku. Atau karena aku sudah terlanjur sayang pada si Tegar?"Isma, apa kamu enggak kasihan dengan suamimu? Masak ditinggal merantu malah selingkuh. Sampai ada anaknya pula. Ist, amit-amit." Dari kejauhan bibir Mbak Tias terlihat mengerucut.Aku berharap Isma bisa menguasai hatinya agar tidak baperan dan diam tanpa melawan."Sebaiknya Mbak Tias belajar menjadi wartawan. Agar tidak termakan berita hoak dan lebih teliti dalam mencerna berita. Mulutmu harimaumu, Mbak." Suara istriku akhirnya keluar. Dia terlihat tenang sembari memilah sayur yang ada di gerobak."Eh, hoak apaan? Orang ini sumbernya
Ini justru bagus. Aku yakin, seorang ayah pasti mempunyai rasa kangen dengan buah hatinya. Pun dengan Mas Romi. Akan kupastikan dirinya merasakan perih ketika nanti Tegar tak mengakuinya sebagai orang tua kandung.Kulepas dekapan. Kupegang kedua pipinya dan berkata, "Dengarkan aku, Dek. Sekali lagi, kuasai emosimu. Jangan biarkan ketakutan merajai hatimu. Anggaplah Mas Romi seperti nyamuk yang sangat kecil. Dia tak segan-segan menghisap darah manusia. Tapi, kita bisa dengan mudah membun^hnya." "Maksudnya, aku harus merac^ninya?" Isma mendorong tubuhku. Lalu berdiri memunggungiku. "Enggak, Mas. Aku enggak mau menjadi pembun^h."Aku tertawa sembari menepuk-nepuk pinggiran kursi. Lalu berdiri dan membalikkan badannya. Sehingga wajah kami berhadapan. "Dengarkan aku. Aku tidak menyuruhmu menjadi pembun^h. Tapi, itu cuma perumpamaan. Kalau orang jahat pun akan kalah jika dilawan. Pokoknya, ketika kamu berhadapan dengan Mas Romi ..., ingatlah! Dia cuma se-ekor nyamuk. Macam-macam gilas saja
"Memangnya, masih laku, Mbak? Bukannya pria kalau mencari yang masih muda.""Kamu kelamaan di rumah, Bas. Bahkan ada yang pernah melihat kalau dia gandengan sama brondong."Aku geleng-geleng kepala mendengar cerita Mbak Nis. Dia asli warga sini. Tentu tahu dan paham kebiasaan tetangganya. "Apa dia enggak takut kena penyakit yang berbahaya itu, Mbak?""Enggak tahu juga, Bas. Orang anak sudah besar-besar, tinggal menikmati hidup, ngibadah, malah aneh-aneh. Alasannya karena kebutuhan banyak. Karena Pak Darmin cuma buruh tani. Ya sudah, Bas. Aku pulang dulu." Mbak Nis kembali ke kediamannya di belakang.Aku berkali-kali mengelus dada. Aku bersyukur, meski hidup pas-pasan, istriku tetap setia padaku.Ponsel berdering. Ketika kulihat layar, ternyata Miko."Ada apa lagi, Brow? Katanya cancel.""Brow, mending tutup pintu dan kuci. Sekalian jendela juga. Aku tadi berpasan dengan Romi dan Mak-mu. Ketika aku basa-basi bertanya pada Emak, katanya dia mau ke rumahmu. Romi kangen anaknya, bilangny
Aku adalah orang tua jahat yang tidak bisa adil pada kedua anakku. Aku tidak menyalahkan Ibas jika dia membenciku karena aku terkesan membela kakaknya. Aku tahu, Ibas sangat menderita akibat ulah Romi yang telah menikungnya dari belakang. Dada ini terasa sesak dan mata kian memanas ketika melihat Romi yang tak bisa menyentuh anaknya. Aku tahu, meski perawai putra sulungku tercela karena kerap kali judi dan mengonsumsi minuman haram, dia sebenarnya mempunyai hati yang tulus. Masa lalu yang membayangiku membuat hati ini tak tega melihat Romi menderita. Sejak kecil dia sudah iri pada Ibas karena kedekatannya dengan Mas Gufron--mantan suamiku. Kemana pun pergi, Ibas lah yang akan dibawa bapaknya. Sehingga menghadirkan kecemburuan. Romi kecilku tidak bisa protes. Pun dengan aku, tak dapat melarang apa pun kegiatannya. Memang, dia adil dalam hal materi, tapi untuk kasih sayang selalu berat sebelah. Meski aku sadar, Romi bukan lah anak kandung dari mendiang suamiku."Bas, lihat! Kamu suda
Untung saja, lambat laun Ibas mau mengabulkan permintaanku untuk tidak memperkarakan ke jalur hukum. Aku juga merasakan apa yang dirasakan Isma. Pasti dia merasa kotor dan prustasi. Karena dahulu aku juga merasakannya.Tapi apa boleh buat. Takdir bukan untuk ditangisi. Tapi, sebisa mungkin kita beradaptasi. "Bas, Emak mohon. Berikan kesempatan ke dua untuk kakakmu agar dia bisa memperbaiki dirinya. Kalau kamu terus-terusan menyalahkan Romi, yang ada dia akan membuat kesalahan baru." Setelah sekian lama, aku baru mengeluarkan air mata di hadapan putra-putraku."Mungkin nanti, Mak. Karena untuk saat ini hatiku masih terasa sakit. Sebelum Isma kembali seperti dulu, menjadi dirinya yang mandiri dan selalu ceria, aku tak akan pernah menganggap Mas Romi kakakku." Begitu tajam mulut Ibas dalam mengecam. Hingga ulu hati ini terasa nyeri. Sekeras itu hati Ibas. Sampai tak bisa membuka sedikit celah untuk kakaknya sendiri. Kupikir, setelah Isma berbadan dua dengan pria lain, Ibas akan meningg
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ingin meng-iyakan untuk menginap malu, karena aku sudah mengecewakan dirinya. Minta diantar pulang, apa lagi. Di kampung halaman, semua orang sudah tahu kalau kami berselisih.Dalam otakku saat ini hanya ada Romi. Aku tidak mau dia melampiaskan kekesalannya pada minuman haram yang biasa ia tenggak."Bagaimana, Mak?" Ibas mengulang pertanyaannya.Dengan terpaksa aku mengangguk dan minta diantar pulang. Karena di sana adalah tempat ternyamanku."Dek, kamu enggak apa-apa 'kan kalau kutinggal sebentar? Jika ada apa-apa teriak saja. Tetangga banyak yang di rumah dan jaraknya dekat-dekat." Ibas memegang pundak istrinya. Kemudian mengecup keningnya. Isma menatap suaminya nanar dengan mendekap Tegar."Isma, maafkan Emak jika sudah membuatmu sakit hati." Aku mendekati menantu yang selama ini telah kusia-siakan.Isma bergeming, lalu membalik badan dan kembali ke kamar. Mungkin dia belum bisa menerima maafku. Tidak masalah, karena memang memaafkan itu sulit bag
"Mas, kenapa wajahmu terlihat kesal?" tanya Isma ketika aku pulang dari rumah Emak. Memang benar ucapan istriku. Aku kesal karena Mas Romi."Emak, Dek. Masak aku di suruhnya untuk peduli dengan Mas Romi. Padahal Emak kan tahu sendiri, Mas Romi tak ada pedulinya sama sekali pada perasaan kita. Mau dia mabuk, masuk jurang, ketabrak apa pun aku enggak bakalan peduli dengannya." "Jangan ngomong seperti itu, Mas. Enggak baik."Mataku membulat sempurna mendengar ucapan Isma yang tak biasa. Dia menunduk saat menyadari diriku menatapnya."Apa maksudmu bicara seperti itu, Dek? Dia memang pantas mendapat secaran dan kata-kata kasar. Atau ..., jangan-jangan kamu mulai suka dengan Mas Romi setelah bayi itu lahir?""Enggak, Mas. Bukan begitu maksudku?" Isma menggelengkan kepalanya."Aku mulai ragu dengan kesetianmu. Bisa jadi pengakuanmu tempo hari hanya tipuan. Karena sebenarnya kamu tidak diperkosa oleh Mas Romi, melainkan dirimu yang mengundangnya." "Tolong, Mas. Jangan emosi! Aku cuma ingin
Sampai di klinik aku dan Isma buru-buru ambil nomer antrian. Sampai saatnya Tegar mendapat penanganan, aku bisa sidikit lega. "Pak, Bu. Putranya panasnya sangat tinggi. Saya sarankan agar dia dirawat inap.""Iya, Dok. Kami setuju jika itu yang terbaik." Menit kemudian, Tegar di pindah ke ruangan lain. Isma selalu menemaninya dan sedetik pun tak mau beranjak."Mau makan apa biar kubelikan?" "Aku enggak lapar." Isma terus saja memegang jemari Tegar dan tangan sebelahnya mengelus kepala buah hatinya dengan lembut."Kalau kamu enggak makan nanti sakit. Siapa yang akan menjaga Tegar nanti?" Aku terus membujuknya, "nasi padang, bakso, nasi rames, ayam bakar ..." Mulutku terus menyebutkan berbagai menu makanan. Mulai dari yang tradisional dan yang kekinian ala anak milenial. Tapi tak satu pun ia tertarik."Aku pergi sebentar." "Iya." Sepertinya aku mulai di nomor duakan. Sampai-sampai dia tak menanyakan aku akan kemana atau berapa lama. Ya sudahlah.Karena bertanya tak mendapatkan jawab
Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p
Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan
"Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"
Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem
Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan
Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan
"Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali
Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p
Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s