Kulajukan kembali mobil yang suaranya kasar seperti sedang mengangkut beban berat ini. Beberapa saat kemudian aku sampai di warung bakso yang tak jauh dari lokasi Tegar dirawat."Bakso super pakai mi putih saja, Pak! Dibungkus""Ya, Mas. Berapa porsi?""Dua."Kuamati pengunjung yang datang selalu banyak. Bahkan ditanggal tua dan selain hari libur tak pernah sepi. Aku jadi penasaran. Kira-kira apa rahasianya? "Pak, ramai sekali, ya!" kubuka obrolan di sela aku menunggu dekat gerobaknya."Iya, Mas. Alhamdulillah.""Kalau boleh tahu, rahasianya apa, Pak? Bapak enggak pakai yang aneh-aneh kan!" Aku menyipitkan mata.Si penjual bakso tersenyum sembari fokus dengan bulatan bakso yang mirip dengan bunga. Dia menuangkan kuahnya kemudian mengikat plastiknya."Enggak ada yang aneh, Mas. Bapak jualan sudah dua puluh tahun. Kuncinya pertahankan rasa dan selalu jaga kebersihan.""Aku yakin itu hanya salah satunya. Kuperhatikan banyak yang baksonya enak dan juga bersih. Tapi tak seramai ini. Mun
"Kenapa, Mas?" Mata Isma berfokus padaku.Aku mengangkat alis dan berkata, "Mas Romi masuk penjara." "Mas Romi masuk penjara? Apa Mas yang sudah melaporkannya?" tanya Isma datar sembari menatap Tegar yang tertidur pulas."Enggak. Aku percaya setiap perbuatan ada balasannya. Mungkin ini balasan untuknya. Meski bukan tanganku sendiri yang menyeretnya ke sana." Aku meniup-niup bakso untuk kusuapkan pada Isma."Jangan ditiup, Mas!" Seru Isma tanpa melihat wajahku. Pasti dia tahu dari suara yang keluar dari mulutku."Panas ya ditiup. Kalau enggak, lidah bisa terbakar.""Ya tunggulah sebentar. Aku juga enggak begitu lapar.""Lagian kenapa 'sih, cuma ditiup doang.""Karena tidak baik untuk kesehatan, Mas. Ketika kita meniupkan makanan, kita mengeluarkan kandondioksida. Zat itu akan bercampur dengan panas. Apabila tercampur dan masuk ke dalam tubuh, akan membentuk senyawa asam. Selain itu, juga berkaitan dengan adab. Jadi terlihat rakus. Lagi pula, rosullullah juga mencontohkan begitu.""Dek
"Bagaimana, Bas. Boleh 'kan Emak tinggal di rumahmu? Dari pada rumahmu enggak laku-laku. Enggak di tempati. Yang ada nanti malah rusak. Sayang kan, bangunan baru rusak begitu saja?""Ini siapa? Di mana Emak? Berikan ponsel ini padanya!" "Jelita. Masih ingat? Wanita yang kamu putuskan dan lebih memilih wanita lain."Jelita?Jelita adalah wanita masa laluku. Tepatnya mantan kekasihku. Aku menjalin hubungan dengannya sejak masih sekolah menengah. Hubungan cinta monyet itu berlanjut sampai sampai kami lulus. Jelita bekerja di sebuah perusahaan tekstil milik asing. Setiap bulan dia mendapat gaji tetap dan terbilang besar. Sedangkan aku masih pekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu.Suatu hari, disaat Jelita ulang tahun, dia meminta sebuah hadiah yang harganya cukup menguras kantongku. Aku menolak dan memberi pilihan lain. Tapi dia marah dan tidak mau. Sampai ponsel pun di blokir. "Jangan heran jika aku ada di sini. Karena semua yang terjadi padamu selama ini, di bawah kendaliku. T
Seperti kesepakatanku dengan Isma. Aku menerima tawaran Jelita. Rumah yang kubangun dengan susah payah sampai mengorbankan waktu dan istri kujual padanya sesuai nominal yang kusebut.Uang hasil menjual rumah sebagian kupakai untuk membeli ruko dua lantai agar bisa kugunakan untuk tempat tinggal dan membuka usaha."Bagaimana, Dek? Apa kamu suka?" Kubuka pintu depan dan kami masuk ke dalamnya. Sebelumnya mulai dari kasur dan lainnya sudah kutata sedemikian rupa. Jadi, ketika anak dan istriku datang, semua sudah rapi. "Aku suka, Mas. Mudah-mudahan tempat ini berkah buat kita." Binar mata Isma terlihat sangat jelas.Perlahan aku membeli gerobak bakso dan berbagai perlemgkapan lainnya. Kebetulan, kalau sudah ada tempat, bos bakso langgananku mau mengajariku. Untuk bahan, aku mencatatnya di ponsel dan belanja pagi hari ditemani si bos bakso."Membuat bakso sangat mudah, Bas. Kita bermain dirasa. Dagingnya premium dan kuahnya yang kental serta aromanya bisa membuat orang lapar. Satu lagi,
"Bas, Emak sakit. Dia rindu padamu. Sejak kamu tak ada kabar, Emak sering melamun. Pulanglah, Bas!" Sebenarnya aku gengsi mengatakan ini pada Ibas. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tak tega melihat Emak terus-terusan melamun. Apa lagi dia sekarang sering sakit-sakitan. Males banget aku merawatnya. Dari pada merawat wanita yang kulitnya sedikit keriput itu, lebih baik aku main dengan teman-temanku.Ibas mengangkat kedua alis dan memejamkan mata sejenak. Kemudian menghempaskan napas. Dia menatapku dengan pandangan tidak suka. Aku sadar diri, karena aku memang sudah berbuat sesuatu yang membuat dia membenciku. Tapi aku cuek saja. "Apa urusanku? Bukankah bagi Emak anaknya cuma kamu?" Ibas terlihat sombong dan seoalah ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang. Baru jualan bakso saja sombongnya sudah selangit. Sepertinya aku memang harus bisa membujuk Ibas untuk pulang. Dia sekarang kan sudah cukup sukses. Aku tidak menyangka kalau dalam waktu singkat dia bisa punya tempat sebagu
Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s
Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p
"Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali