Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan
Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p
"Sayang, kamu agak gemukan." Kuperhatikan bentuk tubuh istriku tambah berisi. Apalagi bagian perutnya. Wajah istriku mendadak pucat. Dia salah tingkah dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu. "Iya, Mas. Maaf ya. Selama kamu bekerja di luar pulau, aku jadi banyak ngemil. Mau bagaimana lagi? Di rumah tidak ada suami. Setiap hari nonton TV dan sedia cemilan. Jadi melar deh." "Jadi, istriku sekarang doyan ngemil? Kebetulan, Mas bawa oleh-oleh. Berbagai jenis keripik. Pasti kamu suka." Kukeluarkan dari tas. Makanan ringan ini kubeli ketika mampir di pusat oleh-oleh setelah perjalanan dari bandara ke rumah. Karena di tempatku merantau, aku tak sempat membeli apa-apa. Rasanya pengen buru-buru pulang setelah dua tahun merantau dan bekerja di perkebunan sawit.Berat rasanya jauh dari keluarga. Tapi apa boleh buat. Di tanah kelahiranku sendiri aku hanya bisa kerja sebagai kuli bangunan. Sementara disaat sepi cuma nganggur tanpa pemasukan. Berharap di kota orang ekonomi akan membaik.Istri
"Mual dan nafsu makan berkurang sudah biasa dirasakan wanita hamil. Ini kubuatkan resep vitamin. Istrinya dijaga ya, Pak. Jangan kecapean atau stres." Aku mendengar ucapan dokter. Tapi tak mengindahkannya. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Setelah wanita bersegam putih itu memberikan kertas kecil, aku segera keluar dari ruangan tanpa mengajak istriku. Dia mengikutiku setelah kudengar berpamitan pada wanita yang memeriksanya."Mas, tunggu aku, Mas!" Aisma--berteriak memanggilku.Aku berjalan cepat tanpa memperdulikannya. Apa lagi dengan isi di perutnya. Dia terus mengejarku sampai di parkiran."Mas, maafkan aku!" Istriku kembali memohon. "Naik!" Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Banyak pertanyaan di benakku. Tapi aku tidak mau ribut di tempat umum.***Ketika masuk rumah, aku membanting semua barang yang terlihat oleh mata. Aku tidak peduli lagi berapa uang yang habis untuk membeli perabotan yang ada di kediamanku. Semua serasa tak berguna lagi.Sementara istriku duduk
"Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit."Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada."Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan ma
"Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini."Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya."Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. "Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya."Silahkan. Lebih cepat lebih baik." ***Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat da
"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang.""Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir."Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali.""Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tab
Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p
Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan
"Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"
Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem
Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan
Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan
"Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali
Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p
Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s