Share

BAB 5

Penulis: Olin huy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang."

"Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir.

"Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali."

"Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.

Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.

Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tabiat dan perilaku pasti berbeda. 

"Begini saja. Karena saat kejadian tidak ada saksi atau bukti yang menguatkan kalau Romi pelakunya, sebaiknya kita tunggu sampai bayi itu lahir. Nanti tes DNA. Kita buktikan, hasilnya cocok atau tidak." Pak Dhe mengedarkan mata pada kami secara bergantian.

"Setuju!" Dengan lantang Mas Romi menjawab. Sedangkan aku hanya diam. Karena pendapat Pak Dhe ada benarnya. Semua harus dibuktikan. 

***

Sejak kejadian itu aku masih hidup serumah dengan istriku. Tapi, kami tak saling bertegur sapa. Bicara hanya seperlunya saja. Entah kenapa perasaan ini jadi berbeda. 

Aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Berangkat pagi pulang malam. Selalu seperti itu. Karena jika melihat bentuk badan dan perut Isma membuatku naik darah seperti melihat Mas Romi sedang mentertawakanku.

Aku pergi dari rumah bukan untuk bekerja. Tapi mencari hiburan yang bisa mengalihkanku dengan bayangan wanita yang ada di rumah. Aku pergi memancing, nongkrong di pos kamling, dan kuliner dengan Miko. 

Setiap tengah malam aku baru pulang. Disaat itu istriku sudah terlelap dan aku akan tidur di kamar sebelah. Terkadang rasa rindu menyelinap. Aku ingin menyentuhnya. Membelai rambutnya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Tapi urung kulakukan, aku tak bisa. Bukan karena jijik. Tapi aku tak berdaya.

Kuhamburkan uang hasil jerih payahku di rantau. Karena nominal yang ada di rekeningku saat ini berasa tidak ada artinya lagi.

"Ini kopinya, Mas!" Isma masih melayaniku sebagai seorang istri. Sedangkan aku hanya cuek terhadapnya. Kali ini aku cuma memberinya nafkah lahir saja. Supaya dia masih bisa belanja.

"Mas, kenapa kamu seperti menjauh dariku? Aku hanya seperti boneka pajangan. Aku enggak bisa seperti ini. Mas!" ujar Isma ketika di meja makan. 

"Lalu, aku harus bagaimana? Aku hanya sedang butuh menyendiri." Setelah minum sedikit kopi hangat buatannya, gegas aku keluar.

Kadang terbesit dalam benakku jika aku tidak yakin kalau yang ada di perut istriku bukanlah hasil dari musibah yang menimpanya. Tapi, adanya hubungan yang terlarang.

"Sekarang rencana kemana, Brow?" Miko makan kacang open di pos kamling.

"Mancing saja. Sekalian melatih kesabaran."

"Jangan terlalu dipirkan, Brow?  Tinggal beberapa bulan lagi semua akan jelas. Di perut istrimu anak Romi atau bukan." Miko menatapku dan kembali fokus dengan biji kacang yang dia keluarkan dari kulitnya.

"Bagaimana aku bisa santai, Mik. Aku masih mencintai istriku. Tapi aku juga enggak bisa menyentuhnya. Kalau dia hamil karena selingkuh, enggak pikir panjang. Aku akan meninggalkannya. Tapi, dalam keadaan ini aku tidak bisa menyalahkannya. Justru aku yang merasa bersalah karena tidak bisa melindunginya."

"Kalau kamu menyentuhnya, nanti anaknya perpaduanmu dan Romi dong." Miko tertawa puas meledekku.

"Dasar kampret!" Miko semakin tertawa.

"Ya siapa tahu, nanti hidungnya punya romi. Telinganya punyamu. Wkwkwkw ...."

"Miko, kamu kan selama ini mencari uang di rumah. Selama aku merantau, apa kamu pernah melihat sesuatu yang mencurgakan ketika mellihat Mas Romi?" 

"Mencurigakan? Apa ya, Bas. Enggak ada sih. Hanya saja siang itu aku memang pernah melihat dia dari arah rumahmu. Kupikir dia datang ke rumahmu karena kamu sudah pulang. Jadi, aku juga enggak menanyainya saat itu." Merdengar cerita Miko, aku mulai semakin penasaran. Apakah Mas Romi sering ke rumahku, atau kebetulan dari rumah tetanggaku?

"Jangan bahas lagi. Mending kita pergi sekarang." Miko menepuk pundakku.

Aku dan Miko pulang ke rumah masing-masing untuk mengambil semua keperluan ke pemancingan.

***

"Bas, istrimu ...!" Mbak Diah tetangga depan rumah berpapasan di gang menuju rumahku.

"Ada apa dengan istriku, Mbak?" tanyaku datar.

"Istrimu menjerit kesakitan. Buruan!" Aku berlari mengikuti Mbak Diah. Di rumahku sudah banyak orang.

"Bas, ayo buruan bawa istrimu ke rumah sakit!" beberapa orang membantu mengangkat Isma ke mobil yang kubeli dalam kondisi sudah setengah pakai.

Istriku terus menjerit kesakitan. Dia menyender di bahu Mbak Diah di kursi belakang.

"Buruan, Bas!" seru Mbak Diah.

"Iya, Mbak. Ini sudah ngebut. Astaga, pakai macet segala!" Aku memukul benda bulat di tanganku.

Suara Isma semakin membuatku panik. Aku memang tidak suka dengan janin di kandungannya. Tapi, bagaimanapun aku masih mencintainya.

Menit kemudian mobil kembali melaju. Sebisa mungkin aku harus sampai di rumah sakit.

***

Sampai di rumah sakit, istriku langsung ditangani dokter.

"Maaf, Pak. Dari hasil pemeriksaan, istri anda telah mengonsumsi obat pelemah kandungan. Tolong jangan diulangi, karena bisa membahayakan janin di rahimnya." 

Aku dan Mbak Diah terhenyak mendengar apa yanh disampaikan wanita bersegam putih itu. Mulut kami menganga, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terdengar.

Ternyata istriku ingin menghabisi janinnya. Itu artinya, dia juga bisa membahayakan nyawanya sendiri.

***

"Bas, kasihan istrimu. Pasti dia prustasi dan stres dengan keadaan dirinya. Kamu harus memberinya semangat. Jangan sampai istrimu bunuh diri," ujar Mbak Diah ketika kami sudah pulang dari rumah sakit. Aku hanya manggut-manggut.

"Bas, bagaimana keadaan Isma!" Mas Romi datang dengan wajah panik. Aku segera berdiri dan menatapnya.

"Untuk apa kamu ke sini? Semua ini gara-gara kamu. Pergi kamu dari rumahku! Aku tidak mau melihatmu. Apa lagi Isma. Dia pasti jijik padamu. Pergi sebelum aku berbuat nekat."

"Jangan lupa, Bas. Di dalam rahim Isma ada anakku. Aku harus tahu keadaannya."

"Selama Isma belum kuceraikan, dia masih jadi tanggung jawabku. Pergi!" Aku mengangkat kursi dan hampir kuhantamkan pada kakinya. Tapi, lelaki yang sudah menghancurkan kebahagianku itu keburu berlari.

Lagi, kini Emak yang datang untuk menjenguk menantunya.

"Bas, ada apa dengan Isma? Kata orang dia baru pulang dari rumah sakit." Emak menuju kamar. Aku hanya diam ketika dia bertanya.

"Isma, kamu kenapa?"

"Aku mau mati, Mak. Aku sudah kotor. Suamiku tidak menginginkanku lagi. Aku akan mati!" Tatapannya kosong

    

Bab terkait

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 6

    Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 7

    "Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 8

    Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 9

    Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    Bab 10

    Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 11

    Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 12

    "Ternyata kalian sudah pulang. Eh, Ibas, dengar-dengar bayimu beneran darah daging Romi. Terus, apa kamu masih mau merawatnya? Kalau aku sih ogah, Bas." Budi--suami Mbak diah menanyaiku ketika aku pulang. Ucapannya memang pelan dan terbilang lembut. Hanya saja cukup menusuk ke dadaku.Aku memicingkan mata, kemudian bertanya, "Mas Budi tahu dari siapa kok dengar-dengar?"Mas Budi tertawa. "Bas, Emakmu yang menyebarkan berita itu. Dengan bangga dia berjalan dan memberi tahu pada orang-orang yang ia temui di jalan."Emak? Aku tidak menyangka kalau dia setega itu padaku. "Bas, apa berita itu benar dan sudah terbukti?" Mas Budi memelankan suaranya. Aku mengangguk. Dari sudut mata, kulihat Isma tidak nyaman dengan perbincangan ini."Oalah, Bas. Punya musuh kok ya saudara sendiri. Aku ikut prihatin." Mas Budi penepuk pundakku beberapa kali."Maaf, Mas. Aku harus masuk. Kasihan Isma dan bayinya. Pemisi." Aku sedikit menunduk dan disambut anggukan oleh lelaki yang umurnya di atasku.Aku memba

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    BAB 13

    "Kamu lagi. Ngapain kamu ke sini? Apa omonganku waktu itu kurang jelas? Kamu bukan kakakku lagi. Kita sudah tak ada hubungan keluarga," hardikku. Kuanggat alisku yang rambutnya berwarna hitam pekat.Emak pasang badan dan membela putra kesayangannya itu. "Sadar, Rom. Memutus tali silaturahmi itu tidak baik. Kamu tahu itu kan?"Emak salah. Seharusnya Emak yang sadar. Emak sudah memelihara penjahat di dalam rumah. Aku heran, jangan-jangan Mas Romi sudah mencuci otak Emak.""Jaga bicaramu, Bas!" Emak cuma ingin kalian tidak bermusuhan. Itu saja. Ini cuma masalah sepele, Bas. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Kalau memang kamu enggak mau meninggalkan istrimu, jangan salahkan Romi jika dia akan sering ke sini menemui istrimu. Eh, menemui anaknya maksud Emak. Emak tidak akan membiarkan hubungan persaudaraan kalian putus begitu saja. Kalau ada yang harus pergi, dia adalah Isma.""Kalian enggak punya hati.""Enggak punya hati katamu? Aku ke sini baik-baik, Bas. Aku mau meminta maaf pada Isma. S

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    39

    Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    38

    Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    37

    "Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    36

    Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    35

    Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    34

    Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    33

    "Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    32

    Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p

  • JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK?    31

    Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s

DMCA.com Protection Status