"Hentikan! Hentikan, Bas!" Emak menarik tanganku yang terus memukul Mas Romi, "Kamu apa-apaan tiba-tiba berbuat seperti ini? Malu dilihat tetangga." Emak terus memarahiku. Tapi sama saja. Ucapannya tak mampu meredam amarah yang sudah memuncak di dadaku.
Napasku terengah-engah karena tenaga terkuras dengan aksiku menghajar pria yang saat ini juga terkulai menahan sakit."Aku tidak peduli dilihat tetangga. Sekalian biar mereka tahu kelakuan Mas Romi." Aku berteriak seperti orang yang kesurupan. "Biarkan aku menghajarnya, Mak." Aku mengibaskan pegangan tangan Emak. Kemudian berlari dan menghajar Mas Romi yang sudah tak berdaya.Emak kembali menahanku. Dia menangis meraung mendekap tubuhku. "Ayo duduk dulu, Nak. Jangan lakukan ini. Emak enggak tak sanggup melihat kalian berkelahi."Badanku terhuyung ke tanah. Emak masih mendekapku. Aku berteriak sekuat tenaga. Untuk menahan gejolak yang ada di dada."Iki ono opo?" Lelaki paruh baya terhenyak menyaksikan pemandangan menyedihkan di depan matanya. Dia adalah Pak Dhe Haryono--kakaknya Emak."Kang Har, mereka tiba-tiba berkelahi. Tanpa aku tau apa penyebabnya." Emak menatap sendu pada Pak Dhe, kemudian padaku, dan Mas Romi.Pak Dhe mendekatiku dan menepuk pundakku. "Bas, jika ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan seperti ini. Kalian kakak beradik. Tak pantas sedarah saling menumpahkan darah."Dengan napas yang masih terengah-engah, aku menatap Mas Romi tajam. Ingin sekali aku membun^hnya. Aku memang orang yang suka bercanda. Tapi, jika ada yang menyenggolku, aku bisa marah tak terkendali.Mas Romi adalah kakakku. Dia sangat kuhormati karena umurnya yang lebih tua. Tapi, mengetahui kebejat^nnya, rasanya tangan ini panas dan belum puas jika belum memberinya pelajaran. Sabar ..., sabar .... Itu yang keluar dari mulut Emak--wanita yang membesarkan kami dengan air mata dan keringatnya. Sangat mudah mengucapkan kata itu. Tapi, jika dalam posisiku saat ini, sangat sulit untuk mempraktekannya."Pak Dhe jangan ikut campur. Ini masalahku dengan Mas Romi," ujarku tanpa menatap wajah pria yang kulitnya sudah mulai keriput."Sebenarnya masalah apa, Bas?" Barang kali Pak Dhe bisa membantu."Semua sudah terjadi Pak Dhe. Tidak akan bisa dirubah.""Bicara yang jelas. Supaya Pak Dhe paham.""Dia, lelaki yang sok bijak dalam segala hal. Sok perhatian terhadapku. Selalu menanyakan kabarku di rantau. Ternyata sudah menghancurkan kebahagiaanku, Pak Dhe! Dia sudah menodai istriku! Hah! Dia harus kumat!kan." Aku hendak berdiri. Tapi, Pak Dhe menahanku dibantu bantu warga lainnya. Aku tak bisa lepas dari pegangan mereka. "Lepaskan aku! Aku harus menghab^sinya! Hah! Lepas!" PLAK.Pak Dhe menamp^rku dan menatap tajam mataku. "Ibas, dengarkan Pak Dhe. Ini negara hukum. Kalau Romi memang melakukan perbuatan itu, dia bisa kamu laporkan ke polisi. Bukan main hakim sendiri. Dengan kamu membun^hnya, apa yang akan kamu dapat? Penyesalan, Bas. Kamu akan merasa bersalah seumur hidup. Kamu juga akan diberi gelar pembun^h." Aku menangis menundukkan kepala yang terasa begitu berat. Mimpiku membina rumah tangga bahagia terasa hancur. Membayangkan Mas Romi mendekam di penjar@ dan melihat perut istriku semakin membesar dan bersemayam janin darah dagingnya saja aku tak sanggup. "Tuduhanmu tak beralasan, Bas. Aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan padaku. Ini fitnah." Mas Romi buka suara setelah lama diam menikmati perih di tubuhnya."Lalu, apa kamu kira istriku di nodai setan yang menyerupai wajahmu? Begitu!" Kunaikkan kepala dan melebarkan mata ke arahnya."Aku berani sumpah, Bas. Aku tidak mungkin melakukan itu pada adik iparku sendiri.""Aku lebih percaya istriku dari pada kamu, Mas. Aku tahu kamu seperti apa.""Kalau memang aku pelakunya, apa buktinya?""Perut istriku sudah menjadi bukti nyata. Apa?! Masih mau mengelak?"Tetangga saling menatap tak percaya dengan semua yang kuutarakan. Mereka saling berbisik mengomentari apa yang mereka dengar dan lihat saat ini."Aneh, kalau Romi pelakunya, kenapa dia tidak mengaku saja?""Iya, masak iya Aisma dinodai hantu. Jaman sekarang memangnya masih ada hal begituan?"Halah, paling memang Romi. Hanya saja dia enggak mau ngaku."Suara ibu-ibu nyaring sampai ke telingaku. Hanya saja, aku tak ingin mengomentari apa yang terlintas dipikiran mereka."Sebaiknya kita masuk. Selesaikan secara baik-baik." Pak Dhe menjadi penengah dalam masalah ini."Mari Bapak-bapak, bantu mereka masuk!" Beberapa orang memapahku dan Mas Romi masuk ke kediaman Emak.Aku duduk dengan mengepalkan tangan dan menunduk menoleh ke samping agar mata ini tak menatap wajah pria itu. Melihat dari sudut mata saja, rasanya aku ingin menghantamnya."Tolong, salah satu jemput Isma dan bawa ke sini. Supaya jelas duduk perkaranya. Dan tolong untuk semuanya, jangan ada yang menyebarkan berita ini kemanapun. Untuk perangkat desa, aku yang akan nembusi agar masalah tidak diperpanjang. Aku tidak mau keluargaku menjadi viral dengan berita yang memalukan." Pak Dhe menyerukan pada orang-orang yang berkerumun. "Aku yang akan menjemput Isma." Kudengar itu suara Miko. Dia meminjam kuda besi milik warga. Ternyata dirinya tadi mengikutiku dan aku tak menyadarinya."Silahkan. Lebih cepat lebih baik." ***Aisma datang bersama temanku. Dia memakai setelah baju longgar. Kulihat da
"Dari ucapan Emak, terdengar kalau Emak mendukung perbuatan putra sulungmu! Kenapa? Kenapa dari dulu Emak selalu memanjakan Mas Romi?" Aku menggenggam tangan Emak yang kali ini rasanya tak sehangat dulu lagi. Lalu aku mundur selangkah setelah tidak menerima jawaban dari wanita yang merawatku dulu. "Keenakan Mas Romi jika cuma menikahi Isma. Aku yakin, dia juga tidak akan mampu membuatnya bahagia. Karena Mas Romi tahunya cuma bersenang-senang dan menghabiskan uang.""Emak hanya ingin kedua putraku bisa rukun kembali tanpa ada dendam." Air matanya mengalir."Gelas yang sudah pecah tak akan kembali utuh, Mak. Meskipun mencoba dilem atau di rangkai kembali.""Demi Emak, Nak!" Emak memegang pipiku.Sepertinya tidak ada yang mau peduli dengan nasib, perasaan, dan takdirku. Bahkan wanita yang kuhormati tak mendukung niatku memberi pelajaran pada saudaraku. Jika seperti itu, aku akan membuat cara sendiri untuk mendapat keadilan.Setiap anak mengalir darah yang sama dari orang tuanya. Tapi tab
Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai temp
"Sedang apa, Dek?" tanya Mas Ibas di seberang sana."Nyantai, Mas.""Entah kenapa dari semalam perasaanku enggak enak. Bawaannya pengen segera pulang."Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa itu yang dinamakan ikatan batin? Disaat pasangannya ada masalah, dia akan ikut merasakannya."Enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tetap tegar meski dalamnya rapuh. Aku tidak mau membuat Mas Ibas khawatir.***Semakin hari aku merasa tak enak badan. Perut mual dan pengen yang aneh aneh. Dan setelah kusadari, ternyata aku terlambat datang bulan. Dan ... selama aku ditinggal merantau, aku tak lagi meminum pil KB. Ini memang salahku.Kuremas perut ini karena tak ingin ada janin tumbuh di sana. Aku pergi periksa ke dokter dan aku dinyatakan hamil. Langit seakan runtuh. Aku tak sanggup menahan cobaan ini. Aku berusaha makan dan minum sesuatu yang bisa menghilangkannya. Tapi selalu gagal dan janinku dinyatakan baik-baik saja. Demi menutupi perut yang kian membesar, aku memakai pakaian yang
Aku terkesiap kala mendengar Mas Ibas berkata tak akan meninggalkanku. Pun dengan Emak. Dia melebarkan matanya. Tapi, apa artinya jika perasaannya tak bisa sama seperti dulu lagi? "Jadi, apa Mas Ibas mau memperalatku saja demi ambisi?" Aku menoleh dan menatapnya dengan samar. Karena air yang masih menggenang di mata ini membuat penglihatanku sedikit kabur. Mas Ibas hanya diam. Kemudian duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di sampingnya. Dia memejamkan mata, lalu membukanya lagi dan berkata. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Melepasmu, kemudian melihat kamu menikah dengan orang yang sudah berbuat jahat padamu? Lalu aku tertawa dan memberi restu? Kamu pikir dengan aku menceraikanmu, kamu akan bahagia dengan Mas Romi? Hah, kurasa tidak mungkin." Matanya berkaca-kaca. Tapi tidak sampai menjatuhkan air mata.Mendengar ucapan Mas Ibas, rasanya tenggorokan ini mengering sampai ludah terasa berat kutelan.Mati segan, hidup pun tak mau. Mungkin itu perumpaan yang pantas untukku.
Tinggal aku dan dirinya saja dalam kamar ini."Apa kamu masih sayang padaku, Mas?" Aku memberanikan diri bersuara setelah beberapa minggu saling diam."Bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan kamu adalah separuh jiwaku. Tapi bentuk tubuhmu membuatku tak bisa berlama-lama melihatmu. Aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, tapi rasanya menyakitkan. Jika pergi, ternyata tak semudah yang kubayangkan."Ingin rasanya aku berteriak, kalau aku juga tidak mau berpisah darinya. Tapi, aku tak mampu karena aku merasa tak pantas lagi untuknya."Jika bertahan membuatmu tersiksa, aku ikhlas jika harus berpisah darimu, Mas." Air kembali melesat dari dari sudut mata."Sudah kukatakan, aku tak akan menalakmu."***Beberapa minggu kemudian, ketika aku sedang menyapu, air keluar dari miss-vi-ku. Seperti ombak yang menyambar dengan tekanan yang sangat besar. Aku terkejut saat melihat sekeliling."Apa ini?" gumamku. Perutku tidak terasa sakit sedikit pun. Air itu terus keluar seperti sedang datang bulan.
Hari ini Isma melahirkan. Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika bayi itu lahir. Apa aku sanggup melihat wajahnya? Dokter memanggilku untuk mengazani bayi yang masih merah itu. Jantungku berdegup kencang. Tangan ini gemetar membayangkan menyentuh kulitnya."Silahkan, Pak. Diazani dulu!" seru wanita berseragam putih itu. Dia meletakkan di tanganku tanpa bisa kutolak. Dengan terpaksa aku melantunkan azan di salah satu telinganya. Dia sangat imut dan lucu. Wajahnya teduh sekali. Sejenak kuperhatikan Isma yang masih terbaring lemah di ranjang. Dia tak berkata apa-apa dan memalingkan wajahnya dari pandanganku.Setelah kuazani, kuletakkan bayi itu di samping Isma. Dia terlelap dan terlihat tenang."Apa kamu tidak mau melihat bayimu?" "Sudah," jawabnya lirih."Lalu apa keputusanmu? Mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, memberikan pada Mas Romi, atau membuangnya?" tanyaku dengan berat berucap."Aku dilema." Tatapannya lurus ke depan. "Ingin sekali kubuang dia jauh dari pandangan.
Aku tidak mau melakukan kekerasan di rumah sakit ini. Tapi tangan ini sudah tak tahan ingin menutup mulutnya. Mataku melotot dan itu mewakili isi hatiku."Kenapa denganmu, Bas? Mau marah dan memukulku? Coba saja kalau berani. Aku akan memanggil petugas keamanan dan kamulah yang akan diusir. Sedang aku bisa bercanda dengan bayiku dan ibunya yang cantik."BEG.Satu pukulan melayang dipipinya. Aku puas bisa menutup mulutnya. Dia mendongak dan hendak membalasku. Tapi Emak keburu mencegahnya."Stop, Rom. Jangan membuat ribut di sini. Yang ada kita akan diusir dari sini. Tujuan kita cuma untuk melihat bayi Isma." Emak menepuk lengan Mas Romi.Tanpa aku mengizinkan, Emak menyerobot celah pintu dan disusul Mas Romi di belakangnya. Badanku terhuyung tapi tak sampai jatuh ke lantai. Tanpa menyapa Isma, Emak mengambil bayinya dari tangannya."Wah, lucu sekali. Emak jadi pengen gendong terus." Emak menimangnya dan menyanyikan lagu yang aku tak tahu artinya. Jika yang ada dalam gendongannya dara
Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p
Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan
"Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"
Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem
Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan
Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan
"Maksut Bapak apa bicara seperti itu?! Ini namanya pelecehan, Pak. Aku tidak suka Bapak mengatai Emak sebagia wanita jalang." Aku naik pitam. Yang tadinya begitu sungkan untuk bersikap, kini aku bahkan mengeraskan suara.Mana ada anak yang rela ibunya direndahkan oleh orang lain yang bahkan tidak mengenalnya."Ahahaha ..., Ibas, santai. Lalu apa yang lebih pantas?" Lelaki tua itu tertawa. Aku muak mendengar suaranya yang terus bergema."Bagaimana Bapak tahu kalau aku Ibas? Padahal kita baru pertama bertemu." "Bagaimana aku tidak tahu, Bas? Aku tahu dirimu sejak lahir. Gufron--bapakmu adalah teman baikku." Dia menatap ke arah lain meski masih bicara denganku."Aku heran, kenapa dulu Gufron mau menikahi ibumu. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau dia hamil bukan karena kesalahannya.""Apa maksud anda bicara seperti itu?""Apakah ibumu tidak pernah bercerita? Oh, iya. Mungkin dia mengirimmu ke sini salah satunya kamu harus mendengar kisah ini." Dia diam sejenak. Menghela napas dan kembali
Mas Romi menarik krah kemejaku. Isma dan Emak menjerit diikuti pekikan tangisan Tegar.Mata Mas Romi membelalak seperti hendak menelanku. Pun denganku, aku siap bertarung dengannya. Jika kebaikan yang dia tunjukkan semu, tak ada alasan bagiku untuk memukulnya."Isma, kamu keluar bawa Tegar. Jangan biarkan dia menonton orang tuanya berantem." Emak menyerukan pada istriku.Isma pun keluar meski dari sudut mata ini kulihat dia terpaksa. Emak memegang tangan Mas Romi untuk melepasnya. Hingga wanita dengan rambut dua warna hitam dan putih itu jatuh ke lantai dan kepalanya terbentur ujung meja akibat sentakan dan dorongan tangan Mas Romi."Mak!" Aku berteriak sekencang mungkin.Entah kekuatan dari mana, aku yang tadinya terkunci oleh cengkraman tangan kakakku, kini bisa melepas dan mendorongnya. Aku segera melihat keadaan Emak. Kusentuh bagian leher dan nadi di lengannya. Emak masih bernapas. Aku menoleh pada Mas Romi. Seperti tak ada penyesalan sedikit pun di wajahnya. Kemudian beralih p
Perkataan Mas Romi membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Balik kanan, balik kiti, terlentang, masih sama saja tak bisa lelap. "Kenapa enggak tidur,Mas? Ini sudah jam berapa?" Isma duduk setelah membuka mata dan menyadari mataku masih terbuka."Aku belum ngantuk." "Ada yang kamu pikirkan? Ceritalah, aku siap menjadi pendengar." Mata Isma masih sembab dan sesekali mulutnya menguap."Aku cuma kepikiran dengan omongan Mas Romi. Ucapannya begitu menusuk sampai ke dada.""Omongan yang mana?""Dia berkata seolah umur Emak tidak panjang lagi. Saat ini mungkin aku cuek dan memilih tak menemui Emak. Tapi, aku tak akan sanggup jika kehilangan selamanya." Aku diam dan memejamkan mata sejenak. Kutunggu respon istriku, tapi tak juga ada sahutan."Dek!" Aku membuka mata dan menolehnya. Ternyata wanita yang masih membersamaiku saat ini sudah tertidur pulas.Aku kembali larut dalam lamunan. Membayangkan bagaimana Emak menyuapiku makan ketika masih kecil. Merawat ketika aku terbaring lemah saat s