Fadli selama ini hanya tau saja bahwa Jasman adalah seorang pendekar, tetapi belum sekali pun ia menyaksikan sahabatnya itu bertarung. Tetapi setelah mendengar sahabatnya itu berkata demikian, hatinya pun menjadi tenang. Bukankah ia sudah menyaksikan betapa sahabatnya itu mampu membuat tubuh kedua lawannya itu dengan hanya satu gerakan, dan dua kali pula.
Tiba-tiba kedua petarung kembar melemparkan bayonet yang digenggamnya ke arah Jasman.
Wusshh...!!
Wussshh...!!
Kedua senjata tajam itu dilemparkan dari jarak yang cukup dekat dengannya sasaran hidupnya, yaitu tubuh Jasman. Dapat dibayangkan, jika kedua sajam itu menancap di tubuh pemuda itu, tentu merupakan ancaman serius bagi hidupnya. Apalagi, naga-naganya, sepasang pem
Tentang keberadaan mereka di rumah sakit, Jasman tak lupa mengabarkannya kepada Mbak Widya. Wanita itu sangat kaget mendengar kabar itu. "Memang siapa yang sakit, Dik Jas?' tanya Widya dengan suara panik. "Saya dan teman saya, Mbak," sahut Jasman. "Saya cuma menjahit telapak tangan saya yang terluka. Tapi teman saya yang bernama Fadli terpaksa harus dirawat inap." "Hai, apa yang terjadi pada Dik Jas dan temannya, kok sampai masuk rumah sakit seperti itu?" "Teman saya diculik, disandera, dan disiksa oleh orang-orang suruhannya Pak Galih, Mbak, " jawab Jasman. "Fadli disandera untuk memaksa saya agar mau bertemu dengan mereka. Ya saya terpaksa menerima tantangan mereka. Akhirnya terjadi pertarungan antara saya dengan mereka, dan saya te
Setiba di rumahnya Mbak Widya, suasana sudah sangat mencurigakan Jasman. Saat ia membunyikan klakson agar Bik Yam membukakan pintu gerbang, wanita itu lari tergopoh-gopoh dengan raut wajah menyisakan ketegangan. "Aden kenapa baru pulang?" tanya wanita itu saat Jasman turun dari mobilnya. Nafasnya masih terlihat tidak normal. "Tadi Nyonya telepon berkali-kali tapi Aden nggak angkat." "Iya, Buk, maaf, tadi saya pas ketiduran di kost teman saya ini," jawab Jasman. "Apa yang terjadi, Bik?" "Tadi ada beberapa pria yang datang ke rumah ini, Den. Kata Nyonya, mereka adalah orang-orang suruhan mantan suaminya." "Lantas...mereka melakukan apa terhadap Nyonya Widya?" tanya
Makam atau Pasarean Imogiri adalah sebuah kompleks pemakaman yang berlokasi di daerah Imogiri, Bantul. Tempat ini merupakan tempat khusus untuk memakamkan raja-raja Mataram dan raja-raja keturunannya, yaitu raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Dibangun oleh Sultan Mataram III, yaitu Prabu Hanyokrokusumo pada tahun 1632 M. Kompleks pemakaman ini dibangun di atas bukit, yang masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu. Karena merupakan destinasi wisata religi, tidak pernah sepi dari para peziarah. Dari kaki bukit hingga mencapai kompleks pemakaman, setiap peziarah harus menaiki anak tangga yang sangat banyak. Menurut mitos, jika seorang pengunjung dapat menghitung jumlah anak tangga itu dengan tepat, maka permohonannya akan terkabul. "Eits, sebentar dulu...!" cegat Widya seraya menggenggam tangan Jasman dan agak m
"Saya minta maaf, Mbak...," ucap Jasman. Rona merah di wajahnya akibat perasaan malu, masih tersisa. "Nggak apa-apa, kok. Dik Jas refleksnya bagus. Gerakan refleks seorang pendekar sejati," ucap Widya sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang membuat wajah Jasman jadi kembali memerah. Ketika keduanya kembali duduk di tempat semula, Widya pun melanjutkan, "Entah mengapa Mbak selalu merasa nyaman tiap kali berada di dekat Dik Jas." "Terima kasih, Mbak, saya juga merasakan hal yang sama," sahut Jasman seraya memberikan sebuah senyuman ringan kepada Widya. "Tapi tentu saja rasa nyamannya beda dengan saat Dik Jasman berada di dekat Ningrum, kan?" ucap Widya. Sesaat ia menatap ke wajahnya Jasman, lalu menyandarkan tubuhnya d
Jasman pun, lagi-lagi hanyut oleh sikap dewasa Widya. Wanita itu begitu lembut, mampu mengajaknya ke alam fantasi yang nyata. Pelan-pelan tangannya menggenggam lembut jari jemari lentik Widya, lalu mengusapnya dengan penuh kelembutan. Sikap dewasa dan kelembutan sang janda kembang itu pelan namun pasti telah mampu meluluhlantakkan ketegaran hati untuk tidak pernah lagi mengenal wanita lain setelah diputuskan oleh Ningrum. Sehingga ketika si janda cantik itu tiba-tiba mendaratkan satu ciuman pada pipi kirinya, Jasman sama sekali tak menolak, seperti biasa. Bahkan saat bibir hangat dan lembut wanita itu menyentuh bibirnya, Jasman pun menyambutnya dengan baik, lalu sesaat keduanya menikmati suguhan surgawi itu. Tak ada lagi keterpaksaan dan keraguan di antara keduanya. Bahkan sekat pun tak ada. Semuanya sudah mengalir begitu dengan ritme yang alami, sealami hembusan angin bebukitan saa
"Mantan suaminya Mbak itu benar-benar gila dan arogan! Seorang penjajah sejati yang suka mengingkari janji!" tak sadar Jasman meninggikan suaranya. "Dengan uang banyak yang ia miliki seolah-olah mampu untuk melakukan apa saja menurut kehendak hatinya. Tapi jangan khawatir, Mbak. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama saya. Saya akan segera membuat perhitungan detail dengan orang tua gendeng itu!" "Tapi caranya bagaimana, Dik? Mbak sudah sangat tak ingin Dik Jas menempuh jalan kekerasan lagi," Widya makin tak mampu menghilangkan kekhawatiran di wajahnya. "Insha Allah saya tidak akan menempuh jalan itu lagi, Mbak. Selama ini pun posisi kita hanya membela diri dari kezaliman mereka, mengi
Widya ingin menanggapi ucapan Jasman, namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Dia..," ucapnya sebelum menerima panggilan itu. "Iya, ada apa...ya? Ya sampean ngomong saja langsung sama orangnya, kenapa harus lewat saya...? Lh, kan Mas sendiri yang selalu membuat kesalahan. Waktu di Jl Kaliurang Mas sudah meminta maaf dan berjanji pada pengawal saya itu, tetapi malah Mas menyewa orang lain untuk membunuh pengawal saya. Teman dia pun nyaris terancam nyawanya, sampe dia opname beberapa hari di rumah sakit. Visum et repertum juga ada. Itu sama halnya Mas menjerumuskan diri ke dalam jurang, tau!? Teman pengawal aku yang jadi korban itu bukan dari kalangan keluarga sembarangan juga. Jadi...ya, silakan bersiap-siap saja untuk menghadapi kejatuhan Mas yang tragis!" "Iya...tadi Mas sudah berbicara dengan dia, tapi kayaknya dia sangat keukeuh dengan pendiriannya. Tolong bujuk di
Honda Jazz merah Jasman meluncur di Jalan Parangtritis yang mulus, diiringi lagu “Pemain Cinta” dari Ada Band yang mengalun syahdu di sound system. Ada dua hal yang ingin dirayakannya berdua dengan Widya hari ini. Hal yang pertama adalah merayakan kelulusan sidang skripsinya. Perjuangannya selama empat tahun menimba ilmu di kampusnya dan berkutat dengan buku-buku, akhirnya telah sampai pada penghujungnya. Tinggal setapak lagi, ia berhak menyandang gelar kesarjanaan. Namanya akan menjadi: Jasman Fatwadin, S.E! Bagi seorang mahasiswa perantau, atau semua mahasiswa, momen kelulusan ujian skripsi dan wisuda merupakan momen dan kebahagiaan yang luar biasa, bahkan oleh orang tua si mahasiswa. Karena berarti, dengan demikian ia telah berhasil menyelesaikan studi berikut tugas dan kewajiban-kewajibannya. "Selamat da
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or