"Mantan suaminya Mbak itu benar-benar gila dan arogan! Seorang penjajah sejati yang suka mengingkari janji!" tak sadar Jasman meninggikan suaranya. "Dengan uang banyak yang ia miliki seolah-olah mampu untuk melakukan apa saja menurut kehendak hatinya. Tapi jangan khawatir, Mbak. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama saya. Saya akan segera membuat perhitungan detail dengan orang tua gendeng itu!"
"Tapi caranya bagaimana, Dik? Mbak sudah sangat tak ingin Dik Jas menempuh jalan kekerasan lagi," Widya makin tak mampu menghilangkan kekhawatiran di wajahnya.
"Insha Allah saya tidak akan menempuh jalan itu lagi, Mbak. Selama ini pun posisi kita hanya membela diri dari kezaliman mereka, mengi
Widya ingin menanggapi ucapan Jasman, namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Dia..," ucapnya sebelum menerima panggilan itu. "Iya, ada apa...ya? Ya sampean ngomong saja langsung sama orangnya, kenapa harus lewat saya...? Lh, kan Mas sendiri yang selalu membuat kesalahan. Waktu di Jl Kaliurang Mas sudah meminta maaf dan berjanji pada pengawal saya itu, tetapi malah Mas menyewa orang lain untuk membunuh pengawal saya. Teman dia pun nyaris terancam nyawanya, sampe dia opname beberapa hari di rumah sakit. Visum et repertum juga ada. Itu sama halnya Mas menjerumuskan diri ke dalam jurang, tau!? Teman pengawal aku yang jadi korban itu bukan dari kalangan keluarga sembarangan juga. Jadi...ya, silakan bersiap-siap saja untuk menghadapi kejatuhan Mas yang tragis!" "Iya...tadi Mas sudah berbicara dengan dia, tapi kayaknya dia sangat keukeuh dengan pendiriannya. Tolong bujuk di
Honda Jazz merah Jasman meluncur di Jalan Parangtritis yang mulus, diiringi lagu “Pemain Cinta” dari Ada Band yang mengalun syahdu di sound system. Ada dua hal yang ingin dirayakannya berdua dengan Widya hari ini. Hal yang pertama adalah merayakan kelulusan sidang skripsinya. Perjuangannya selama empat tahun menimba ilmu di kampusnya dan berkutat dengan buku-buku, akhirnya telah sampai pada penghujungnya. Tinggal setapak lagi, ia berhak menyandang gelar kesarjanaan. Namanya akan menjadi: Jasman Fatwadin, S.E! Bagi seorang mahasiswa perantau, atau semua mahasiswa, momen kelulusan ujian skripsi dan wisuda merupakan momen dan kebahagiaan yang luar biasa, bahkan oleh orang tua si mahasiswa. Karena berarti, dengan demikian ia telah berhasil menyelesaikan studi berikut tugas dan kewajiban-kewajibannya. "Selamat da
Debur ombak di Pantai Parangkusumo laksana denyut kehidupan yang tak akan pernah usai. Saat ia bersama Widya di pantai ini saat ini, lagi-lagi menghadirkan kenangan bersama Ningrum Laksita dengan jelas di angan Jasman. Di hamparan pasir pantai yang luas ini dulu mereka berkenalan. Dan di sini pula gadis bangsawan Jawa itu meninggalkannya. "Dik Jas berapa kali ke sini," bertanya Widya kepada Jasman, saat keduanya berjalan menyusuri bibir pantai yang basah. Wisatawan yang berkunjung tampaknya sudah mulai ramai. Sebentar malam akan ada upacara prosesi larung sesaji dalam rangka memperingati tanggal 1 Suro atau tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah. Biasanya, sejak siang hari sebelum upacara, orang-orang sudah berdatangan, dan tak sedikit yang bermalam di sekitar kawasan pantai. "Pernah, beberapa kali," jawa
Namun nampaknya Ningrum justru lebih tertarik pada sosok dirinya. Ia beda sendiri dari kedua temannya, dari sisi apa saja. Dari segi wajah, ia sangat memenuhi syarat untuk disebut tampan, khas wajah blasteran Arab-Ajam. Posturnya juga tinggi kekar, kulit sawo matang tapi terang. Dan terbukti akhirnya gadis bangsawan Jawa itu lebih meramahinya. Dan hubungan mereka berlanjut karena ternyata mereka kuliah di perguruan tinggi yang sama, tapi beda fakultas. Ia di fakultas ekonomi, sementara Ningrum di fakultas kedokteran. Tetapi, hubungannya dengan Ningrum belum langsung menjadi kekasih, sampai baru sebatas teman, lebih-lebih ia dan gadis itu sama-sama aktif di organisasi kampus yang sama, yaitu mapala (mahasiswa pecinta alam). Organisasi yang mengantarkan mereka menjadi sepasang kekasih, setelah suatu peristiwa yang dialami oleh Ningrum pada suatu kali pendakian
Sebenarnya, tanpa disadari oleh Ningrum maupun Jasman, Hendri Soma mengamati pelan-pelan arah pandangan Ningrum tadi itu. Pemuda itu juga sangat kaget pas melihat Jasman di antara kerumunan orang yang menyaksikan prosesi larung sesaji itu. Melihat sikap sang tunangannya yang terus memandangi sang mantannya itu, hari Hendri Soma seperti dibakar. Ia sangat geram karena cemburu. Namun ia pura-pura tak mengetahui dan memendamnya saja selama prosesi itu. Begitu prosesi berakhir, Hendri Soma langsung menarik tangan Ningrum menjauh dari kerumunan dan membawanya ke areal parkir di mana mobilnya diparkir tanpa berkata apa-apa. “Kita mau ke mana, Mas...?” tanya Ningrum dengan penuh keheranan. Kedua alisnya saling berdekatan. “Pulang.
Seperti janjinya, Jasman mengunjungi Fadli di kostnya. Ia mendatangi sahabatnya itu setelah dua minggu lebih ia mendapat transferan dari Pak Galih Sugondo. Ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan dan tunggu, terutama untuk kepentingan Fadli juga. Yaitu menunggu konfirmasi keluarnya STNK, BPKB, serta pengantaran mobil milik Fadli ke alamat kostnya. Saat melihatnya datang dengan menaiki mobilHonda Jazzbaru, Fadli tampak melongo keheranan. "Wuih, bawaanlomakingileaja, Bro, setelah menjadibodyguard-nya si janda cantik. Mobilnya pun bebaslopake. Mana mobilnya masih baru pulak. Masih platshowroom, chuy...!" komentar Fadli sembari mengelus-elus mobil baru yang dipakai Jasman.&
Setelah keenam teman kostnya itu keluar, Jasman memuji Fadli, “Gue nggak nyangka lo orang yang sangat dermawan, Bro.” “Bukan dermawan. Bro, tapi kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kita dapatkan,” sahut Fadli. “Ya, benar, benar, benar...!” Tiba-tiba panggilan di hape Jasman berbunyi. “Selamat siang...? Oh iya. Ya masuk saja di Gang Mawar. Lurus, setelah mentok belok ke kanan. Di situ ada sebuah bangunan lantai dua yang ada papan bertuliskan “Kost Putra Arjuna”. Yap, terima kasih. Kami tunggu...” Jasman bangkit dan langsung menarik tangan Fadli. “Mobil lo datang...!”&nbs
Malioboro di sore hari. Jasman berjalan di antara pejalan kaki lain yang berdesak-desakan. Pada sebuah toko pigura, ia masuk. beberapa saat kemudian ia keluar dengan menenteng sebuah bingkisan persegi empat pipih dari kardus yang berisi sebuah pigura. Ia melanjutkan langkah kakinya ke arah selatan, lalu berhenti di depan seorang pelukis kaki lima yang mangkal di Jl. A. Yani. . "Assalamualaikum, Bang. Gimana dengan lukisan pesanan saya?" tanya Jasman kepada sang pelukis. "Waalaikumsalam, hai, kamu, Jas?" Pelukis itu menyalami Jasman dengan sikap akrab. "Sudah. Tinggal dikasih bingkai. Katanya bingkainya kamu bawa sendiri?" "Iya, ini Bang, saya bawa." Pelukis kaki lima itu b
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp
Bertempat di sebuah rumah sakit besar di Kota Semarang, Widyanti melahirkan seorang bayinya dalam keadaan sehat. Bayi laki-laki yang berwajah molek dan berhidung mancung. Galih Sugondo begitu berbahagia mendapatkan karunia besar yang selama ini didamba-dambakannya. Seluruh keluarga dan koleganya dikabarinya satu per satu. Tentu ia sama sekali tak mengira bahwa bayi itu bukanlah darah dagingnya. Rasa cintanya yang besar dan tulus terhadap sang istri membuatnya sama sekali tak terbersit sedikit pun untuk memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu. Terlebih usia pernikahan mereka dengan kelahiran sang bayi pas di bulan kesembilan pernikahan mereka. Atas kelahiran sang cucu, kedua orang tuanya Galih Sugondo pun demikian berbahagia. Keresahan panjang mereka selama ini akan calon putra mahkota bagi kerajaan bisnisnya, kini telah m
Pak Raden Prayogo menatap wajah Jasman sambil manggut-manggut. “Ya biarlah hukum yang menyelesaikannya, Nak Jasman. Tapi apa iya ada orang yang bertindak begitu kejam terhadap Bapak, sementara Bapak tidak pernah merasa memiliki musuh?” “Mas Jas malah berfikir bahwa bengkelnya Romo sengaja dibakar oleh seseorang?” Ningrum yang duduk di samping ramanya ikut bersuara. “Iya,” jawab Jasman. “Sejak awal saya sudah punya feeling begitu, dan ternyata feeling saya itu…benar, Pak.” Sontak Pak Raden Prayogo mengangkat wajahnya, menatap wajah Jasman, kulit dahinya mengerut. “Maksud Nak Jasman?”&nbs
Di sebuah apartemen di daerah Jatinegara, Hendri sedang asyik bercengkerama di dunia maya sambil tidur-tiduran di sofa. Tiba-tiba ada pesan di WA-nya masuk. Tetapi nomor baru dan tanpa mencantumkan foto profilnya. “Apa kabar, Bos?” “Baik. Tapi maaf, ini dengan siapa?” balas Hendri. “Biasa Bos, dari Jogja. Kalau ada order lagi, Bos kontak kita lagi ya? Rapi kan Bos, kerjaan kita?” “Order apa ya?” “Ya seperti yang tempo hari itulah Bos.” “Iya. Tapi lo ini siapa?” Hendri Soma masih penasaran. “Nggak usah sebut nama Bos. Ya pokoknya salah satu dari or