10
“Maaf, Mas. Aku gak bisa berangkat.” Pesan yang diterima Tama dari Sekar.
Tama sudah membayangkan ngopi di Aworjiwa, merasakan arabika bromo dan juga kesejukan udara Pegunungan Tengger.
“Kenapa? Atau mau diundur siang?” Tama mencoba memberikan tawaran geser waktu keberangkatan. Tidak apa mundur yang penting tetap bisa ketemu Sekar.
Lama tidak ada balasan, Tama tetap menunggu pada kolom pesan di W******p-nya.
Bu Aisyah mengambil gelas kopi yang sudah tinggal ampasnya untuk dibawa ke dapur. “Musim hujan, jangan lupa mantelnya.” Bu Aisyah berlalu dihadapan Tama yang sudah rapid dan siap berangkat.
“Iya, Mak. Sudah Tama masukan jok.” Tama beranjak, menuju motornya meskipun belum pasti keberangkatannya menuju Sukapura dengan Sekar.
Keluar dari halam rumahnya Tama mengarahkan motor ke utara, dia juga menunggu kabar dari Sekar. Sengaja melaju tidak terlalu kencang, sehinga notif di ponselnya tetap akan terdengar.
Tama berhenti di pertigaan, kalau ke kanan menuju Dusun Gonggo sedangkan ke kiri menuju Cura Watu atau Balai Desa. Mesin motornya masih menyala, dia melihat ke belakng dan samping, memastikan posisinya sudah di pinggir. Dia leluasa membuka ponselnya.
“Amit, Cong.” Pak Tisan yang begitu penuh muatan motornya dengan kulakan pisangnya masih begitu sopan lewat dengan permisi. Amit itu bahasa Madura yang artinya sama dengan Nuwun Sewu dalam Bahasa Jawa.
“Nggi, toreh Pak.” Tama tidak kalah menujukan keramahannya.
Tama sudah menerima jawaban dari Sekar. “Maff, ya, Mas.” Balasan dari Sekar tidak memberikan alasan kenapa dia tidak bisa untuk ke Sukapura. Kata maaf juga menjawab bahwasannya tawaran menggeser ke lain waktu dari Tama juga tidak bisa.
“Baik, kita atur lain waktu ya.” Balasan dari Tama masih menyisakan harapan untuk lain kesempatan bisa ngopi bareng di salah satu kafe di Pegunungan Tengger.
Tama tetap melanjutkan, memcau motornya ke kanan dan tentunya menuju jalan raya. Dia sudah mencoba menjernhkan pikirannya dan berpasangka yang baik akan keputusan Sekar. Tidak ada tujuan pasti, tapi di kepala Tama sudah ada rencana untuk mengarahkan motornya ke daerah kota.
Mendapati sudah bebrapa jalan yang berlubang, kalau tidak salah Tama sudah menghitung ada tiga sampai di dekat Bali Desa. Dia bergumam dalam hatinya. “Dekremmah Bapak riah.” Mengeluhkan bapaknya dengan Bahasa Madura. Pak Hakim memang harus memerintah Kepala Dusun Krajan untuk mengerahkan warga sekitar begotong royong, memastikan selokan berfungsi dengan baik sehingga tidak ada air yang menggenang ke jalan yang sudah beraspal.
Toa penarikan amal di tikungan cura watu berlalu, Tama melesat ke utara. Setelah melewati tempat pengambilan dana pensiunan Pekrja Pabrik Kertas Leces laju kendaraan melandai, tidak lain karema jalan berlubang depan Pabrik Kayu PSI 2. Tama menyadari ada yang mendempetinya di dekat Warung Andira yang ternyata Lek Suhan, Kepala RT 1 Dusun Krajan, tepat baratnya Lapangan Sepak Bola PT. Kertas Leces.
“Dekemmaah, Cong?” Menanyakan Tama hendak kemana.
“Ngopieh, Lek.” Setengah berteriak, karena Truk Gandung ke arah selatan menderu saking beratnya muatannya.
“Mayuh bik engkok.” Lek Suhan mengajak Tama untuk ngopi bersamanya, mengencangkan motornya dan Tama mengikutinya dari belakang.
Baru beberapa tarikan gas, Lek Tisak melipir tepat di utara SMK Nurur Rahma, memang ada warung kopi. Setelah memastikan Tama juga sudah di dektanya, Lek Suhan melenggang masuk ke dalam untuk memesan kopi hitam.
“Dinnak beih Cong, segger.” Lek Suhan memipin menuju dipan dari bamboo di bawah pohon waru, tepat samping warung kopi. Segar yang dimaksud ada angin lalu, kalau asap kendaraan dan uap aspal tetap saja membuat orang-orang di dekatnya gerah.
Tama nurut begitu saja, karena dia juga ingin tahu bagaimana kondisi warung kopi dan obrolan terkini, tentunya dia juga ingin mendengar keluhan masyarakat yang mungkin tidak sampai ke telinga bapaknya. Selain itu ini kesempatannya dia mencari tahu informasi lebih banyak tentang Sekar yang memang rumahnya di Dusun Krajan.
“Pantas Masyarakat Krajan begitu lantang bersuara, karena memang hidup di dekar jalan raya harus mengeraskan suara dalam berkomunikasi. Hal tersebut yang membentuk warga sini memiliki karakter yang kuat.” Tama seakan berbicara dengan dirinya sendiri, karena Lek Suhan belum tentu paham akan maksudnya meskipun dari angukan kepalanya seakan setuju dengan perkataan Tama.
Tama mencoba berkabar ke Sekar lewat W******p akan keberadaanya.
11
Tama datang di waktu yang kurang tepat jika hendak menyimak obrolan di warung kopi karena jam sepuluh pagi orang-orang sudah banyak pulang dan sudah dengan aktivitasnya masing-masing.
“Reng dimmah cewek en cong?” Lek Suhan membuka obrolan akan orang mana pacarnya Tama.
“Nyareh agin rakyatah kakeh lah Lek. Dekremmah?” Tama mengedipkan matanya, menantang Lek Suhan untuk mencarikannya perempuan dari Dusun Krajan wilayah tanggung jawabnya.
“Nyareh, e Malang Beih” Langsung nagkat tangan dan Lek Suhan meminta Tama untuk mencari orang Malang saja.
“Kopinah, Le.” Dua gelas kopi datang.
Tama menebak kalau yang menyeduh kopi dan mengantarkannya ke depan Tama Bu Rus. “Bu Rus, dekremmah kabereh?” menyapa seakan Tama sudah mengenalnya.
Bu Rus menunjuk rasa kagetnya “Beh, Mak taoh tang nyamah Le?” Bu Rus duduk di samping Tama, nampang dia pangku dan menunggu jawabanku.
“Sapah sih se tak taoh ke Bu Rus.” Tama mneyeringai begitu juga Lek Suhan. Meskipun belum puas dengan jawaban Tama, Bu Rus berlalu dan juga karena ada pelanggan yang masuk ke warungnya.
“Apah keluenah masyarakat Lek? Eh, Pak RT.” Tama mulai mencerca Lek Suhan, dengan suasana santai. Walaupun Lek Suhan tentunya tidak santai.
“Dentek, Cong.” Lek Suhan merubah posisi duduknya menjadi bersila. Dia benar-benar akan mengobrol serius.
“Santai, Lek.” Tama tetap mencairkan suasana.
“Dalam Bahasan Indonesia ya?” Lek Suhan menunggu persetujuan Tama.
Tama menganguk, mempersilahkan Lek Suhan bercerita.
“Masyarakat Krajan dari segi kualitas SDM memang bagus.” Lek Suhan menghela napas. “Masyarakat terbagi menjadi Petani, wiraswasta dan juga begitu banyak menjadi pegawai.” Tentunya Pegawai yang dimaksud Lek Suhan yaitu yang berkerja sebagai guru, pekerja pabrik dan orang-orang yang berseragam.
“Mereka juga begitu kompak dalam bergotong royong, termasuk dalam membersihkan got di RT 1 sebelum musim hujan bulan kemarin.” Lek Suhan sengaja menjeda untuk dia mendapat kesempatan menyeruput kopinya.
“Bagus, dong.” Jawaban dari Tama dan dia juga mengikuti untuk menyeruput kopinya.
“Tak lanjut ya, Cong.” Tanpa menunggu persetujuan dari Tama, Lek Suhan melanjutkan.
“Kesadaran mereka akan pendidikan anaknya juga bagus, ada yang sampai kuliah di Jakarta, Uwi gitu.” Tama meluruskan, “UI, universitas Indonesia.”
“Infrastruktur ada yang kurang?” Tama memotong langsung pembicaraan akan pembangunan dari Pemerintah Desa yang bentuk fisik.
“Kurang pengaspalan sekitar 500 meter menuju Dusun Pandan Sari.” Lek Suhan menutup matanya, telunjuk tangannya menuju ke atas, dia mengingat ingat ancer-ancer lokasinya.
“Sokonan, barantanya sekolahan.” Lek Suhan tidak perlu bersusah payah seperti itu untuk mennjelaskan detail lokasinya, Tama juga begitu megenal daerahnya.
“Tapi tidak ada benarya kinerja Pemerintahan Desa di mata Pak Rohman, beberapa warga juga dia pengaruhi.” Lek Suhan menelan ludah dan juga menunggu respon dari Tama.
“Siapa dia Lek?” Tama merasa pernah mendengar nama itu tapi seakan lupa akan waktunya.
“Rumahnya tidak jauh dari Hj Hosnan, ke selatan dikit.” Menjeda sedangakan Tama berusaha mengingat bebrapa baris rumah di daerah sana.
“Anaknya cantik, Cong.” Lek Suhan setengah berbisik, dan sengaja mendekatkan ke telinga Tama.
“Iya, tah.” Tama begitu antusias, lalu menyeringai bersama Lek Suhan.
“Tepak mon pas juduh bik kakeh.” Spontan Lek Suhan menyampaikan kalau akan mantab jika anaknya Pak Rohman berjodoh dengan Tama. Namun segera Lek Suhan menarik omonganya dengan kalimat. “Amit, amit cabang bayi.” Dia seakan takut sendiri padahal Tama biasa saja.
Tama melihat layar ponselnya, belum juga muncul pemberitahuan kalau W*-nya dibalas.
12Sekar masih di Probolinggo, setidaknya sampai kuesionernya terisi dan menyelesaikan wawancaranya.Sekar menghampiri Emaknya yang sedang asik menonton TV, menjelang sore memang ada sinetron India yang menjadi favorit Bu Am.“Mak, Sekar mau ngeprint.” Sekar tidak hanya berpamitan, dia berlenggak-lenggok dan memperhatikan dirinya pada pantulan kaca lemari dekat TV, cardigan yang begitu serasi dengan warna kerudungnya. “Dimana? Leces?” Hanya sekejap menoleh, kembali fokus ke Tv tabung 32 inch di depanya.“Iya, Mak.”“Nitip mie ayam bakso.”“Berapa Mak?”“Sekar, ikut.” Sigap mematikan TV-nya dan masuk ke kamar meraih kerudungnya.Sekar senang Emaknya mau ikut sehingga dia ada temanya. Sekar menegluarkan motornya dari ruangan samping rumahnya, Bu Am menenteng sandalnya dari dalam lalu mendaratkannya
1Pupil matanya terlihat membesar dan bersinar, beda dengan beberapa menit sebelumnya, matanya susah dibuka dan bahkan akan tertutup selamanya, nyawanya hampir terengut. Beruntung saja, tanganya sigap dan masih lihai menghindar. Rasa kaget dan hampir celaka mengaburkan kantuknya, tapi yang membuat kantuknya benar-benar hilang yaitu perempuan yang juga berhenti di minimarket tidak jauh dari Kebun Raya Purwodadi. Kopi di tangan kananya tidak lagi Tama butuhkan, dia hanya perlu berlama-lama mengobrol dengan perempuan itu.“Ke arah Probolinggo juga Mbak?” Tama seakan mendapat energi baru dan membuatnya begitu percaya diri. Sedangkan perempuan itu menyambut heran, Tama yang baru keluar dari minimarket bak peramal, dapat menebak arah tujuannya.“Iya, Mas.” Ponselnya diletakan. Terlihat begitu menghormati lawan bicaranya dan menunggu lanjutan dari Tama.“Tuh, plat motormu.” Pendar mata Tama mengara
4Tidak terlihatnya Tama membuat beberapa sanak saudaranya yang sudah berdatangan bertanya keberadaanya.“Kemana Tama, Mbak?” Tanya Bu Lek Romlah yang merupakan istri dari adeknya Pak Hakim yang berada di Lumajang. Tahun 2015 waktu kasus pembunuhan Salim Kancil Tama menginap di sana dan beberapa kali aksi juga langsung mampir di rumah Pak Lek-nya itu.“Masih dalam perjalanan dari Malang.”“Beh.”“Mbak, seporannah yeh tak bisah nolongin. Taoh dibbik kan e roma emmak sakek.” Bu Lek Romlah tidak bisa turut membantu hajatan Bu Aisyah karena ibunya sudah lama sakit dan dia harus menemaninya.Bu Aisyah memaklumi dan juga menanyakan kondisi terkini ibunya Bu Lek Romlah dan tentunya rapalan doa agar bisa semakin membaik.Sipul selalu ada di setiap hajatan, dia seakan punya jadwal dari setiap hajatan di bulan ini. Dia memang mempunyai keterbelakangan mental, sepertinya s
8Tama melihat di dalam sudah ada Sekar “Wah, ada di sini juga.” Tama berhenti di meja Sekar.Sekar menghentikan aktivitas dengan laptopnya. “Iya, Mas. Sendiri ya?” Sekar melihat ke arah pintu dan malah Tama juga ikutan.“Iya, aku pesan dulu ya.” Bagian kasir berdiri menyambut Tama. Tempat tongkrongan mereka ini namanya Namoi, yang diambil dari Bahasa Madura dengan arti bertamu. Lokasinya timurnya Bunderan Gladak Serang, tempatnya memang kondusif untuk nongkrong sambal mengerjakan tugas.“Kopi filter Mas,” Tama menunjuk pada Kopi Arabika Bromo.“Javanise apa V60 Mas?”“V60 Mas.”“Ada tambahan?”“Kentang goreng” Tama menyerahkan selembaran rupiah.Tama kembali menuju Sekar dan seorang perempuan yang baru datang juga menuju Sekar.Perempuan yang baru datang itu jarinya menunjuk Sekar dan Tama sembar
12Sekar masih di Probolinggo, setidaknya sampai kuesionernya terisi dan menyelesaikan wawancaranya.Sekar menghampiri Emaknya yang sedang asik menonton TV, menjelang sore memang ada sinetron India yang menjadi favorit Bu Am.“Mak, Sekar mau ngeprint.” Sekar tidak hanya berpamitan, dia berlenggak-lenggok dan memperhatikan dirinya pada pantulan kaca lemari dekat TV, cardigan yang begitu serasi dengan warna kerudungnya. “Dimana? Leces?” Hanya sekejap menoleh, kembali fokus ke Tv tabung 32 inch di depanya.“Iya, Mak.”“Nitip mie ayam bakso.”“Berapa Mak?”“Sekar, ikut.” Sigap mematikan TV-nya dan masuk ke kamar meraih kerudungnya.Sekar senang Emaknya mau ikut sehingga dia ada temanya. Sekar menegluarkan motornya dari ruangan samping rumahnya, Bu Am menenteng sandalnya dari dalam lalu mendaratkannya
10“Maaf, Mas. Aku gak bisa berangkat.” Pesan yang diterima Tama dari Sekar.Tama sudah membayangkan ngopi di Aworjiwa, merasakan arabika bromo dan juga kesejukan udara Pegunungan Tengger.“Kenapa? Atau mau diundur siang?” Tama mencoba memberikan tawaran geser waktu keberangkatan. Tidak apa mundur yang penting tetap bisa ketemu Sekar.Lama tidak ada balasan, Tama tetap menunggu pada kolom pesan di WhatsApp-nya.Bu Aisyah mengambil gelas kopi yang sudah tinggal ampasnya untuk dibawa ke dapur. “Musim hujan, jangan lupa mantelnya.” Bu Aisyah berlalu dihadapan Tama yang sudah rapid dan siap berangkat.“Iya, Mak. Sudah Tama masukan jok.” Tama beranjak, menuju motornya meskipun belum pasti keberangkatannya menuju Sukapura dengan Sekar.Keluar dari halam rumahnya Tama mengarahkan motor ke utara, dia juga menunggu kabar dari Sekar. Sengaja melaju tidak terlalu kencang, seh
8Tama melihat di dalam sudah ada Sekar “Wah, ada di sini juga.” Tama berhenti di meja Sekar.Sekar menghentikan aktivitas dengan laptopnya. “Iya, Mas. Sendiri ya?” Sekar melihat ke arah pintu dan malah Tama juga ikutan.“Iya, aku pesan dulu ya.” Bagian kasir berdiri menyambut Tama. Tempat tongkrongan mereka ini namanya Namoi, yang diambil dari Bahasa Madura dengan arti bertamu. Lokasinya timurnya Bunderan Gladak Serang, tempatnya memang kondusif untuk nongkrong sambal mengerjakan tugas.“Kopi filter Mas,” Tama menunjuk pada Kopi Arabika Bromo.“Javanise apa V60 Mas?”“V60 Mas.”“Ada tambahan?”“Kentang goreng” Tama menyerahkan selembaran rupiah.Tama kembali menuju Sekar dan seorang perempuan yang baru datang juga menuju Sekar.Perempuan yang baru datang itu jarinya menunjuk Sekar dan Tama sembar
4Tidak terlihatnya Tama membuat beberapa sanak saudaranya yang sudah berdatangan bertanya keberadaanya.“Kemana Tama, Mbak?” Tanya Bu Lek Romlah yang merupakan istri dari adeknya Pak Hakim yang berada di Lumajang. Tahun 2015 waktu kasus pembunuhan Salim Kancil Tama menginap di sana dan beberapa kali aksi juga langsung mampir di rumah Pak Lek-nya itu.“Masih dalam perjalanan dari Malang.”“Beh.”“Mbak, seporannah yeh tak bisah nolongin. Taoh dibbik kan e roma emmak sakek.” Bu Lek Romlah tidak bisa turut membantu hajatan Bu Aisyah karena ibunya sudah lama sakit dan dia harus menemaninya.Bu Aisyah memaklumi dan juga menanyakan kondisi terkini ibunya Bu Lek Romlah dan tentunya rapalan doa agar bisa semakin membaik.Sipul selalu ada di setiap hajatan, dia seakan punya jadwal dari setiap hajatan di bulan ini. Dia memang mempunyai keterbelakangan mental, sepertinya s
1Pupil matanya terlihat membesar dan bersinar, beda dengan beberapa menit sebelumnya, matanya susah dibuka dan bahkan akan tertutup selamanya, nyawanya hampir terengut. Beruntung saja, tanganya sigap dan masih lihai menghindar. Rasa kaget dan hampir celaka mengaburkan kantuknya, tapi yang membuat kantuknya benar-benar hilang yaitu perempuan yang juga berhenti di minimarket tidak jauh dari Kebun Raya Purwodadi. Kopi di tangan kananya tidak lagi Tama butuhkan, dia hanya perlu berlama-lama mengobrol dengan perempuan itu.“Ke arah Probolinggo juga Mbak?” Tama seakan mendapat energi baru dan membuatnya begitu percaya diri. Sedangkan perempuan itu menyambut heran, Tama yang baru keluar dari minimarket bak peramal, dapat menebak arah tujuannya.“Iya, Mas.” Ponselnya diletakan. Terlihat begitu menghormati lawan bicaranya dan menunggu lanjutan dari Tama.“Tuh, plat motormu.” Pendar mata Tama mengara