12
Sekar masih di Probolinggo, setidaknya sampai kuesionernya terisi dan menyelesaikan wawancaranya. Sekar menghampiri Emaknya yang sedang asik menonton TV, menjelang sore memang ada sinetron India yang menjadi favorit Bu Am.
“Mak, Sekar mau ngeprint.” Sekar tidak hanya berpamitan, dia berlenggak-lenggok dan memperhatikan dirinya pada pantulan kaca lemari dekat TV, cardigan yang begitu serasi dengan warna kerudungnya.
“Dimana? Leces?” Hanya sekejap menoleh, kembali fokus ke Tv tabung 32 inch di depanya.
“Iya, Mak.”
“Nitip mie ayam bakso.”
“Berapa Mak?”
“Sekar, ikut.” Sigap mematikan TV-nya dan masuk ke kamar meraih kerudungnya.
Sekar senang Emaknya mau ikut sehingga dia ada temanya. Sekar menegluarkan motornya dari ruangan samping rumahnya, Bu Am menenteng sandalnya dari dalam lalu mendaratkannya ke lantai. Mereka siap menuju tempat percetakan.
Mengobrol di atas motor harus beradu dengan angin jalanan dan deru kendaraan yang melintas. Mereka baru saja mereka melewati jembatan kurung yang kondisi aspalnya bagian barat selalau bergelombang.
“Mak..” Sekar memanggil Emaknya.
“Ha?” Bu Am mencondongkan dan memiring kepalanya mendekat ke Sekar.
“Besok Sekar mau ke rumahnya Mbak Yanti” Suara Sekar beradu dengan hembusan laju Bus AKAP, beruntung saja Bu Am masih mendengarnya.
“Ngapain?” Bu Am setengah berteriak, karena angin membawa suaranya ke belakang.
“Mau mewawancari pekerjanya.” Sekar menurunkan kecepatannya, terlihat di kuantum motornya jarum merah menuju angka 30.
“Khusus yang perempuan, untuk tugas kuliah.” Sekar melanjutkan.
Percetakannya tepat sebrang Masjid At-Taqwa, Rawon Leces Juga, Gang Ky Sari juga. Sekar menyerahkan flasdhisknya. Baru duduk, mereka yang sedang dipercetakan dikagetkan dengan goncangan dari truk yang tidak bermuatan ketika salah satu rodanya masuk jalan yang berlubang.
“Pak Print terus di fotokopi menjadi dua puluh rangkap ya.”
“Ayo beli mie ayam dulu.”
Sekar mengarahkan motor maticnya ke utara, untuk mie ayam bakso yang biasa mereka beli yaitu utaranya jalan pahlawan satu, tepat samping toko jam dinding dan segala jenisnya serta juga deret keduanya tempat potong rambut. Ke utara dikit sebenarnya warnet yang cukup terkenal dan ramai pada masanya, sekarang seakan tidak da aktivitas apa apa di sana. Sekar sepertinya dulu juga pernah mengerjakan tugas kliping dari guru SMP di Warnet itu.
Mie Ayam Bakso Solo begitu rame, namun tetap Sekar dan Bu Am tidak terpengaruh dan mereka juga akan membungkus sehngga tidak perlu berebut tempat duduk.
Uap kaldu menyeruak ketika tutup dandang dibuka, menyambut Sekar yang tepat menghentikan motornya di depan rombong mie ayam. Bu Am turun terlebih dahulu, diikuti Sekar dan tidak lupa dia mencopot kontak motornya.
Baru menginjakan kaki di anak tangga pertama Bu Am, berbalik arah dan Sekar dbuat kaget karena akan ditabrak emaknya. “Ayo di tempat lain saja.”
Sekar masih setengah bingun dan terpaksa menggeser dirinya menuju motor, sempat pendar matanya memperhatikan sekeliling. Dia mendapati motor yang tidak asing dan dugaan dia akan alasan Emaknya meminta cari tempat lain berusaha dia pahami.
“Langsung aja dulu ke percetakan.” Sekar menuruti begitu saja pinta Bu Am.
13
Suara ketukan pintu di ruang tamu begitu kencang Tama dengar.
“Gi…gi…gi.” Ketukan berentetan.
“Krajan Kemalengan Gi” Tama yang sudah begitu dekat dengan pintu segera meraih kunci dan membukanya.
Pak Hakim mengikuti Tama dari belakang, setelah pitu dibuka ternyata mereka Pak Latip kepala Dusun Bukit Dami dan Pak Nitrum Kepala Dusun Drandang.
“Aku ikut, Pak.” Tama memohon, dia ingin membersama Pak Latip dan Nitrum. Pak Hakim mengangguk dan kembali masuk yang sepertinya mengambil ponsel jadulnya untuk menghubungin pemerintahan desa yang lain.
Tama sudah mengenakan jaket, tidak lupa senter dan juga songkok untuk melawan dinginya dini hari. Jam masih menujukan pukul dua dan tentunya sapi yang dibawa maling masih belum begitu jauh. Tama bonceng ke Pak Latip, motor menderu dan bergegas menuju Dusun Gonggo perbatasan dengan Penawungan. Mereka akan mencegat di jalur biasa para bajingan membawa kabur hasil curiannya.
Beberapa warga yang mengejar dengan berjalan kaki begitu cekatan mengikuti lacak kaki dari sapi, senter-senter mereka terus mengarah ke beberapa jejak sapi, mesipun turun jurang atau cura serta lading tebu mereka terabas. Semua berpacu pada waktu, dikhawatirkan sapinya nanti akan dinaikan truk atau sudah dimasukan ke sebuah rumah.
Tama dan Pak Latip sudah memasuki kawasan Penawungan, berdasarkan lacak dari bekas kaki sapi larinya dibawa ke arah barat daya. Biasanya memang begitu. Tama ganti yang menyetir, Pak Latip menerima telfon untuk ciri-ciri sapinya yaitu warnanya merah dan hitam, yang merah betina dan yang hitam jantan. Kisaran besarnya yaitu sama dengan sapi seharga dua puluh juta untuk yang jantan.
“Sebellumah areh metto harus ketemoh, cong” (Sebelum matahari muncul sapi sudah harus ditemukan) Pak Latip menyakinkan Tama.
Tiga motor beriringan dan mereka sudah mengantongi beberapa informasi tempat para maling menyembunyikan sapi curianya. Mereka menghentikan motornya di sebuah jembatan penghubung menuju Dusun Oter. Tidak jauh dari jembatan ada sebuah jurang yang tertutupi barongan bambu, pernah juga sapi warga desa sebelah ditemukan di tempat itu.
“Kakeh ajegeh sepeda yeh Di berengin Cong Tama.” (Kamu jaga sepeda ya, Di sama Nak Tama) Pak Nitrum memrintah ke Sudi dan Tama.
Mereka berhati-hati, jika memang masih ada malingnya bisa saja mereka diserang, di lempar batu dari atas. Tama dan Sudi juga diminta mewanti-wanti, kalau tidak dijaga motor mereka bisa dipreteli atau bahkan di jerumuskan ke jurang.
Tama menyalakan Rokok, Pak Nitrum dan yang ada di depanya terlihat bahunya sudah tenggelam dalam gelap malam dan rimbunya beberapa semak belukar.“Depak dimmah yeh Lek se laenah?” (Sudah sampai mana yang lain ya Lek?) Tama membuka obrolan dengan Lek Sudi, celurit yang dia selipkan di pinggang sebelah kiri di ambil untuk leluasa duduk di sadel motor dan juga unutk siaga dari setiap ancaman.
“Paleng lah de ejenak dinnak cong.” (Kemungkin sudah di utara sini) Pak Sudi meraih rokok yang Tama siapkan di atas jok motor milik Pak Nitrum.
Bara di ujung rokok Pak Sudi belum sempurna membakar, ada panggilan masuk. “Hallo, edimmah lah Gus?” (Hallo, ada dimana Gus?) Suara di seberang sana terdengar jelas karena memang di loud spekaker.
“Oter,” Pak Sudi mengulanginya, “Oter, oter.” Menyempatkan menghisap rokoknya yang baranya hampir mati.
“Lacak elang, e dedejenah yak apah.” (Lacak dari jejak sapi hilang di utara Oter)Informasi dari kelompok yang lain jejak sapi tidak lagi terlihat. Maling terkadang untuk mengecoh yang mengejar yaitu dengan memutarkan sapi seperti di ladang tebu atau bahkan memang ada yang menggunakan dedaunan untuk menghapus jejak sapi.
“Sareh lah lakgiyen. Lebunin tebuen jiah.” (Cari di sekitar situ, masuk ke lading tebu itu) Pak Sudi meminta kelompok yang di seberang sana untuk mencari di dekat sana, kemungkinan memang sapinya tidak jauh dari jejak itu hilang.
Pak Nitrum belum juga kembali, Tama memeriksa ponselnya. Mengulirkan jarinya, memeriksa pesan yang masuk di beberapa grup WhastApp-nya. Kontak W* Sekar membuatnya teringat kalau hari ini Sekar akan kembali ke Malang. Kemarin Tama sudah merencanakan untuk sengaja membersamai Sekar.
1Pupil matanya terlihat membesar dan bersinar, beda dengan beberapa menit sebelumnya, matanya susah dibuka dan bahkan akan tertutup selamanya, nyawanya hampir terengut. Beruntung saja, tanganya sigap dan masih lihai menghindar. Rasa kaget dan hampir celaka mengaburkan kantuknya, tapi yang membuat kantuknya benar-benar hilang yaitu perempuan yang juga berhenti di minimarket tidak jauh dari Kebun Raya Purwodadi. Kopi di tangan kananya tidak lagi Tama butuhkan, dia hanya perlu berlama-lama mengobrol dengan perempuan itu.“Ke arah Probolinggo juga Mbak?” Tama seakan mendapat energi baru dan membuatnya begitu percaya diri. Sedangkan perempuan itu menyambut heran, Tama yang baru keluar dari minimarket bak peramal, dapat menebak arah tujuannya.“Iya, Mas.” Ponselnya diletakan. Terlihat begitu menghormati lawan bicaranya dan menunggu lanjutan dari Tama.“Tuh, plat motormu.” Pendar mata Tama mengara
4Tidak terlihatnya Tama membuat beberapa sanak saudaranya yang sudah berdatangan bertanya keberadaanya.“Kemana Tama, Mbak?” Tanya Bu Lek Romlah yang merupakan istri dari adeknya Pak Hakim yang berada di Lumajang. Tahun 2015 waktu kasus pembunuhan Salim Kancil Tama menginap di sana dan beberapa kali aksi juga langsung mampir di rumah Pak Lek-nya itu.“Masih dalam perjalanan dari Malang.”“Beh.”“Mbak, seporannah yeh tak bisah nolongin. Taoh dibbik kan e roma emmak sakek.” Bu Lek Romlah tidak bisa turut membantu hajatan Bu Aisyah karena ibunya sudah lama sakit dan dia harus menemaninya.Bu Aisyah memaklumi dan juga menanyakan kondisi terkini ibunya Bu Lek Romlah dan tentunya rapalan doa agar bisa semakin membaik.Sipul selalu ada di setiap hajatan, dia seakan punya jadwal dari setiap hajatan di bulan ini. Dia memang mempunyai keterbelakangan mental, sepertinya s
8Tama melihat di dalam sudah ada Sekar “Wah, ada di sini juga.” Tama berhenti di meja Sekar.Sekar menghentikan aktivitas dengan laptopnya. “Iya, Mas. Sendiri ya?” Sekar melihat ke arah pintu dan malah Tama juga ikutan.“Iya, aku pesan dulu ya.” Bagian kasir berdiri menyambut Tama. Tempat tongkrongan mereka ini namanya Namoi, yang diambil dari Bahasa Madura dengan arti bertamu. Lokasinya timurnya Bunderan Gladak Serang, tempatnya memang kondusif untuk nongkrong sambal mengerjakan tugas.“Kopi filter Mas,” Tama menunjuk pada Kopi Arabika Bromo.“Javanise apa V60 Mas?”“V60 Mas.”“Ada tambahan?”“Kentang goreng” Tama menyerahkan selembaran rupiah.Tama kembali menuju Sekar dan seorang perempuan yang baru datang juga menuju Sekar.Perempuan yang baru datang itu jarinya menunjuk Sekar dan Tama sembar
10“Maaf, Mas. Aku gak bisa berangkat.” Pesan yang diterima Tama dari Sekar.Tama sudah membayangkan ngopi di Aworjiwa, merasakan arabika bromo dan juga kesejukan udara Pegunungan Tengger.“Kenapa? Atau mau diundur siang?” Tama mencoba memberikan tawaran geser waktu keberangkatan. Tidak apa mundur yang penting tetap bisa ketemu Sekar.Lama tidak ada balasan, Tama tetap menunggu pada kolom pesan di WhatsApp-nya.Bu Aisyah mengambil gelas kopi yang sudah tinggal ampasnya untuk dibawa ke dapur. “Musim hujan, jangan lupa mantelnya.” Bu Aisyah berlalu dihadapan Tama yang sudah rapid dan siap berangkat.“Iya, Mak. Sudah Tama masukan jok.” Tama beranjak, menuju motornya meskipun belum pasti keberangkatannya menuju Sukapura dengan Sekar.Keluar dari halam rumahnya Tama mengarahkan motor ke utara, dia juga menunggu kabar dari Sekar. Sengaja melaju tidak terlalu kencang, seh
12Sekar masih di Probolinggo, setidaknya sampai kuesionernya terisi dan menyelesaikan wawancaranya.Sekar menghampiri Emaknya yang sedang asik menonton TV, menjelang sore memang ada sinetron India yang menjadi favorit Bu Am.“Mak, Sekar mau ngeprint.” Sekar tidak hanya berpamitan, dia berlenggak-lenggok dan memperhatikan dirinya pada pantulan kaca lemari dekat TV, cardigan yang begitu serasi dengan warna kerudungnya. “Dimana? Leces?” Hanya sekejap menoleh, kembali fokus ke Tv tabung 32 inch di depanya.“Iya, Mak.”“Nitip mie ayam bakso.”“Berapa Mak?”“Sekar, ikut.” Sigap mematikan TV-nya dan masuk ke kamar meraih kerudungnya.Sekar senang Emaknya mau ikut sehingga dia ada temanya. Sekar menegluarkan motornya dari ruangan samping rumahnya, Bu Am menenteng sandalnya dari dalam lalu mendaratkannya
10“Maaf, Mas. Aku gak bisa berangkat.” Pesan yang diterima Tama dari Sekar.Tama sudah membayangkan ngopi di Aworjiwa, merasakan arabika bromo dan juga kesejukan udara Pegunungan Tengger.“Kenapa? Atau mau diundur siang?” Tama mencoba memberikan tawaran geser waktu keberangkatan. Tidak apa mundur yang penting tetap bisa ketemu Sekar.Lama tidak ada balasan, Tama tetap menunggu pada kolom pesan di WhatsApp-nya.Bu Aisyah mengambil gelas kopi yang sudah tinggal ampasnya untuk dibawa ke dapur. “Musim hujan, jangan lupa mantelnya.” Bu Aisyah berlalu dihadapan Tama yang sudah rapid dan siap berangkat.“Iya, Mak. Sudah Tama masukan jok.” Tama beranjak, menuju motornya meskipun belum pasti keberangkatannya menuju Sukapura dengan Sekar.Keluar dari halam rumahnya Tama mengarahkan motor ke utara, dia juga menunggu kabar dari Sekar. Sengaja melaju tidak terlalu kencang, seh
8Tama melihat di dalam sudah ada Sekar “Wah, ada di sini juga.” Tama berhenti di meja Sekar.Sekar menghentikan aktivitas dengan laptopnya. “Iya, Mas. Sendiri ya?” Sekar melihat ke arah pintu dan malah Tama juga ikutan.“Iya, aku pesan dulu ya.” Bagian kasir berdiri menyambut Tama. Tempat tongkrongan mereka ini namanya Namoi, yang diambil dari Bahasa Madura dengan arti bertamu. Lokasinya timurnya Bunderan Gladak Serang, tempatnya memang kondusif untuk nongkrong sambal mengerjakan tugas.“Kopi filter Mas,” Tama menunjuk pada Kopi Arabika Bromo.“Javanise apa V60 Mas?”“V60 Mas.”“Ada tambahan?”“Kentang goreng” Tama menyerahkan selembaran rupiah.Tama kembali menuju Sekar dan seorang perempuan yang baru datang juga menuju Sekar.Perempuan yang baru datang itu jarinya menunjuk Sekar dan Tama sembar
4Tidak terlihatnya Tama membuat beberapa sanak saudaranya yang sudah berdatangan bertanya keberadaanya.“Kemana Tama, Mbak?” Tanya Bu Lek Romlah yang merupakan istri dari adeknya Pak Hakim yang berada di Lumajang. Tahun 2015 waktu kasus pembunuhan Salim Kancil Tama menginap di sana dan beberapa kali aksi juga langsung mampir di rumah Pak Lek-nya itu.“Masih dalam perjalanan dari Malang.”“Beh.”“Mbak, seporannah yeh tak bisah nolongin. Taoh dibbik kan e roma emmak sakek.” Bu Lek Romlah tidak bisa turut membantu hajatan Bu Aisyah karena ibunya sudah lama sakit dan dia harus menemaninya.Bu Aisyah memaklumi dan juga menanyakan kondisi terkini ibunya Bu Lek Romlah dan tentunya rapalan doa agar bisa semakin membaik.Sipul selalu ada di setiap hajatan, dia seakan punya jadwal dari setiap hajatan di bulan ini. Dia memang mempunyai keterbelakangan mental, sepertinya s
1Pupil matanya terlihat membesar dan bersinar, beda dengan beberapa menit sebelumnya, matanya susah dibuka dan bahkan akan tertutup selamanya, nyawanya hampir terengut. Beruntung saja, tanganya sigap dan masih lihai menghindar. Rasa kaget dan hampir celaka mengaburkan kantuknya, tapi yang membuat kantuknya benar-benar hilang yaitu perempuan yang juga berhenti di minimarket tidak jauh dari Kebun Raya Purwodadi. Kopi di tangan kananya tidak lagi Tama butuhkan, dia hanya perlu berlama-lama mengobrol dengan perempuan itu.“Ke arah Probolinggo juga Mbak?” Tama seakan mendapat energi baru dan membuatnya begitu percaya diri. Sedangkan perempuan itu menyambut heran, Tama yang baru keluar dari minimarket bak peramal, dapat menebak arah tujuannya.“Iya, Mas.” Ponselnya diletakan. Terlihat begitu menghormati lawan bicaranya dan menunggu lanjutan dari Tama.“Tuh, plat motormu.” Pendar mata Tama mengara