Tiga minggu berlalu usai keputusan mengunci hati hingga tidak akan percaya lagi pada laki-laki. Sungguh, keputusan itu memberi arti tersendiri. Hati yang semula teramat perih, perlahan terobati. Tentu saja, senyum di wajah Nayra tidak serta merta tertoreh begitu saja. Butuh perjuangan ekstra di tengah linangan air mata yang sesekali masih saja hadir menegaskan rasa yang masih tersisa.
Perih itu tidak akan tercipta kala rasa kecewa tidak pernah diterima. Namun, jika luka itu tidak pernah dirasa, maka pelajaran berharga tidak akan pernah diterima. Nayra, usai tiga minggu penuh berusaha mengobati luka hatinya, kini dia menjelma menjadi pribadi yang berbeda.
Ketegasan yang sempat memudar akibat efek samping patah hati, kini sudah melekat lagi. Nayra sudah bisa berpikir jernih, meski sesekali masih saja merutuki diri. Wajar, proses bergerak untuk perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan instan. Perlu waktu untuk mengusahakan. Juga, butuh keikhlasan untuk merelakan segala hal yang telah terjadi di masa silam.
"Feb, jadwal piket masak sudah kubuat. Aktif mulai besok, ya."
"Siap, Nay. Eh, kamu nggak ngampus?" Febi masih sempat bertanya, padahal sudah terlambat datang ke kampusnya.
"Masih sejam lagi, Feb. Kamu buruan berangkat, gih!"
"Oke-oke. Aku duluan, Nay. Bye!"
"Eh-eh. Yang kamu bawa tasku, Feb!" seru Nayra dengan kencang.
Febi yang memang lebih ceroboh daripada Nayra, untuk kesekian kalinya salah membawa barang miliknya. Sempat tepuk jidat sebentar, Febi langsung balik kanan, menukar barang, kemudian berangkat dengan langkah cepat bak kendaraan yang mau kebut-kebutan.
Sepuluh menit usai kegaduhan pagi itu, Nayra telah rapi dan bersiap berangkat menuntut ilmu. Tidak terburu-buru seperti Febi, karena Nayra masih memiliki banyak waktu.
Jalan kaki menuju kampus, itulah yang harus Nayra tempuh. Tidak naik ojek, motor, atau kendaraan apa pun. Yang Nayra lakukan ini untuk berhemat, karena uang bulanannya pas-pasan dan hanya cukup untuk kebutuhan kuliah selama sebulan. Ya, Nayra memang berasal dari keluarga yang jauh dari kata berkelimpahan. Bisa kuliah di kampus ternama, itu pun karena kecerdasan otak Nayra hingga dirinya bisa mendapatkan beasiswa.
Tin-tin!
"Nay, mana cowokmu? Masa tega ngebiarin ceweknya jalan kaki, sih?" tanya salah satu teman sekelas Nayra. Cowok sok peduli karena sering bertanya sana-sini, tanpa peduli itu adalah urusan pribadi.
Nayra tidak menjawab, melainkan hanya tersenyum singkat. Sebuah senyum yang mengandung pesan tersirat bahwa Nayra sedang tidak ingin banyak berdebat.
"Jangan-jangan kamu habis putus sama Kak Ivan, ya Nay?" tebaknya.
Langkah Nayra terhenti. Begitu juga motor si teman yang sedari tadi mengekori. Aslinya enggan sekali Nayra menanggapi, apalagi sampai mengumbar status tentang dirinya saat ini. Akan tetapi, Nayra sadar, pastilah akan semakin banyak yang mempertanyakan jika mereka tidak mendapat penjelasan. Alhasil, Nayra pun mengungkap status hubungannya dengan Ivan yang telah berakhir tanpa membumbuinya dengan alasan.
"Ya. Aku sama Mas Ivan sudah putus. Jadi, jangan ungkit-ungkit lagi soal dia, ya!" Senyum Nayra mengembang di akhir penjelasan. Pertanda sebuah hati yang mulai tegar.
"Oh. Oke."
Si teman Nayra itu seolah sadar kondisi. Tidak bertanya lebih karena khawatir ada sesuatu yang tidak nyaman untuk diingat lagi. Usai tawaran tumpangan ditolak sopan, si teman Nayra itu pun pamit duluan.
Satu helaan nafas dalam, itulah yang langsung Nayra lakukan. Tak lupa, seutas senyum turut ditorehkan. Ada setitik rasa lega karena ada orang lain yang tahu bahwa hubungan Nayra dan Ivan telah berakhir. Nayra yakin, kabar yang baru saja dia bagi akan cepat menyebar di kalangan teman seangkatan. Dengannya, Nayra berharap tidak akan ada lagi yang mempertanyakan status hubungannya dengan Ivan.
Dugaan Nayra benar. Sesaat setelah tiba di kampus, beberapa teman mendekat dan menyemangati Nayra. Memang, teman-teman di kampus banyak yang tahu hubungan Nayra dengan Ivan. Pasalnya, paras Ivan yang menawan dan sempat banyak yang memperebutkan. Kala itu Nayralah yang merasa beruntung karena bisa ditawari sebuah hubungan oleh Ivan. Sayangnya, semua sudah berakhir sekarang.
"Nay, sudah tanda tangan pemrograman kelas belum?" tanya salah seorang teman.
"Belum. Ini mau ke ketemu dosen." Nayra menunjukkan beberapa lembaran yang siap dibubuhi tanda tangan.
"Ya sudah. Kita tunggu di gazebo, ya. Sekalian bahas kegiatan. Sudah tahu kan kalau kamu sekretarisnya?"
"Iya, aku tau kok."
Kecakapan Nayra dalam berbicara, juga semangatnya dalam kuliah menjadikan Nayra sering terpilih dalam kepanitiaan kegiatan kampusnya. Satu-satunya yang membuat Nayra tidak percaya diri adalah statusnya yang berasal dari keluarga tidak bergelimangan harta, alias jauh dari kata berkecukupan. Lebih-lebih, yang keluarga Nayra miliki adalah hutang. Namun, rasa minder itu tidak dominan. Semua tertutupi oleh prestasi-prestasi yang sering didapatkan Nayra.
"Terima kasih banyak, Bu. Saya permisi dulu."
Nayra pamit usai mendapatkan tanda tangan. Langkahnya ringan. Hatinya pun riang. Akan tetapi, sesaat kemudian rasa nyaman itu memudar karena Nayra melihat sosok Ivan.
Deg!
Ada debar. Sayang, bukan debar merdu yang dirasakan, melainkan debar menyesakkan. Ini adalah pertama kalinya Nayra melihat Ivan setelah tiga minggu berjuang mengobati luka hati yang menyakitkan.
Betapa rasa sesak itu kembali datang. Rasa kecewa, rasa ingin marah, mendadak saja meraja dalam dada. Rasanya .... Uhh, benar-benar membuat hati Nayra porak-poranda.
Emosi Nayra semakin bertambah kala melihat Ivan dengan Olivia. Ya, Olivialah yang sempat dicurigai Nayra sebagai pihak ketiga. Dan ... benar saja. Kini Nayra melihat dengan mata kepalanya sendiri kedekatan Ivan dengan Olivia.
Rasa di dalam dada sudah membuncah. Ingin segera diluapkan, tapi ada ketidakmampuan. Nayra telah menjadi pihak yang tidak diharapkan. Bertengkar di muka umum justru hanya akan menjatuhkan. Bukan hanya menjatuhkan Ivan, Nayra pun akan terkena imbas dengan menjadi trending topik pembahasan.
Ketika hati tak mampu lagi menahan rasa yang berantakan, yang berperan selanjutnya adalah tangisan. Air mata Nayra sudah siap keluar. Namun, ditahan. Nayra membuang pandang, kemudian terpejam sebentar. Tangan yang semula mengepal pun terbuka perlahan. Nayra bukan pasrah. Dia hanya sedang tidak ingin terlalu banyak menoleh ke belakang dan mengulang perasaan menyesakkan.
"Tiga minggu benar-benar tidak cukup untuk mengobati luka hati hingga ke akar-akarnya," ucap Nayra.
Nayra menyadari bahwa tiga minggu ini yang dilakukan hanya mengobati luka dengan jalan menghindar. Kini saat kembali bertemu Ivan, sangatlah mungkin jika sesak itu kembali dirasakan.
Sejenak, Nayra bertahan dalam posisinya sekarang. Sesekali melihat ke arah Ivan dan kekasih barunya, Olivia. Beberapa kali seperti itu, hingga kemudian Nayra berani mengambil jalan untuk menghadapi semua tanpa harus menghindar.
Langkah pertama diambil, kedua, ketiga, hingga akhirnya langkah Nayra mengarah ke tempat Ivan dan Olivia berada. Terus mendekat, hingga akhirnya langkah Nayra berhenti persis di depan Ivan. Satu tatapan diberikan pada Ivan. Karena sikap Nayra yang demikian, Olivia mendekat dan langsung menggandeng tangan Ivan. Jelas-jelas Olivia bermaksud menegaskan statusnya sebagai kekasih Ivan.
"Maaf," ucap Ivan.
Nayra tersenyum lebar tanpa mengalihkan tatapannya dari Ivan. Tidak begitu lama, hanya beberapa detik saja. Setelahnya, Nayra menyerongkan posisi dan kembali melangkah pergi. Benar-benar pergi tanpa ada kata-kata tanggapan lagi.
Semoga beruntung dengan pilihanmu, Mas. Batin Nayra.
Semakin jauh kaki diayun, Nayra semakin menyunggingkan senyum. Kembali ada setitik rasa lega karena akhirnya Nayra bisa bertemu tatap dengan Ivan dan Olivia tanpa harus berderai air mata.
***
Satu tahun kemudian.
Postur tinggi kurus dengan penampilan sederhana yang biasa melekat pada tubuh Nayra, ditambah polesan make up tipis yang tidak terlalu kentara, membuat beberapa teman lelaki sempat menaruh hati. Sayangnya, hati Nayra terkunci. Meski sudah setahun berlalu, Nayra masih tidak percaya dengan cinta yang ditawarkan oleh seorang lelaki.
"Feb, tas yang satunya jangan lupa dibawa. Ingat, kereta berangkat pukul tujuh. Jangan sampai keliru!"
"Iya, Nay. Eh, kamu jadi naik bus?"
"Iya. Memang mau naik apalagi, Feb."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan, Nay. Kalau ada penumpang cowok yang iseng di bus, cuekin saja. Atau laporin sama pak sopirnya biar diturunin paksa."
Nayra terkekeh pelan. Kalimat seperti itu rutin Febi lontarkan setiap kali Nayra hendak pulang ke kampung halaman.
"Iya, Feb. Kamu juga hati-hati di jalan."
Nayra sudah bersiap. Berpamitan sebentar, kemudian Nayra pun pulang ke kampung halaman.
Suasana hati riang menyelimuti perjalanan pulang. Tidak ada lagi tangisan, dan tidak ada lagi rasa sakit hati berlebihan. Nayra sudah benar-benar move on dari Ivan. Saat berpapasan langkah di kampus pun Nayra sudah tidak dihantui perasaan.
"Aku pulang. Semoga liburan semester ini akan begitu menyenangkan," ujar Nayra sembari menatap deretan pohon di luar kendaraan.
Seminggu di rumah, liburan Nayra terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial. Hingga kemudian, pagi-pagi buta ada satu pesan masuk di salah satu akun sosial media Nayra.
"Mas Ivan?"
Nayra bertanya-tanya ketika mendapati nama Ivan tertera di kotak pesannya. Wajar jika Ivan menghubunginya lewat sosial media, karena Nayra sudah memblokir nomor Ivan di daftar kontak ponselnya sejak setahun lalu.
Bola mata Nayra membulat usai membaca pesan dari Ivan. Rupanya, Ivan meminta bertemu untuk sebuah penjelasan. Ivan mengaku bahwa keputusannya setahun lalu adalah sebuah kesalahan. Ivan pun mengaku bahwa dirinya sangat menyesal telah mengakhiri hubungan dengan Nayra.
"Kenapa baru sekarang kamu sadar, Mas?" Nayra geleng-geleng kepala.
Tentu, Nayra tidak langsung tergoda. Luka yang sempat tertoreh telah banyak memberinya pelajaran berharga.
Olivia selingkuh. Sekarang aku sadar betapa bodohnya aku waktu itu. Tidak seharusnya aku putus darimu.
Begitulah salah satu pesan Ivan yang membuat Nayra tersenyum karena merasa menang. Namun, pesan Ivan selanjutnya seketika membuat Nayra menajamkan pikiran.
Aku masih mencintaimu, Nay. Maukah kamu melanjutkan hubungan kita yang sempat terjeda?
"Cih."
Refleks saja Nayra mengumpat demikian. Tidak habis pikir juga dengan jalan pikiran Ivan. Selama setahun Nayra berjuang mengobati hati akibat status cinta pengganti, kini Ivan kembali hadir dengan menawarkan cinta lagi.
Nayra tidak berlama-lama mengirim pesan balasan. Dari jalan cerita masa lalu, Nayra sudah bisa mengambil keputusan. Cinta pengganti, hati yang terkunci, ketidakpercayaan pada lelaki, itulah yang menjadi dasar. Saat itu juga Nayra pun menolak keinginan Ivan.
"Rupanya kamu tidak beruntung dengan pilihanmu, Mas."
Satu senyum disunggingkan usai berakhirnya pesan balasan untuk Ivan. Nayra meletakkan ponselnya, dan tidak peduli lagi dengan pesan balasan Ivan.
Nayra memilih keluar menuju halaman depan. Masih pagi. Tampak sinar matahari yang mulai menyinari bumi. Saat Nayra sibuk menikmati alam, saat itulah sebuah mobil melintas di halaman depan.
Mobil itu berhenti di depan rumah tetangga sebelah. Penumpang yang turun langsung bisa dikenali oleh Nayra. Salah satunya adalah .... Dhanu, cinta masa kecil Nayra.
Bersambung ....
Senyum manis tersuguh. Bukan dari Nayra, melainkan dari Dhanu. Tatapan mata bersahabat, juga senyum yang terus melekat, pastilah membuat wanita terpikat. Sayangnya, usai hati Nayra terkunci, rasa peka itu tidak begitu dirasa lagi. Senyuman Dhanu tidak begitu ditanggapi.Balik badan, Nayra langsung menuju kamar. Nayra duduk di tepian ranjang, kemudian senyum-senyum sendirian. Akan tetapi, senyum Nayra saat ini bukanlah senyum balasan atas senyum yang tadi Dhanu suguhkan. Nayra tersenyum karena masih merasa menang dari Ivan."Mas Ivan pasti menyesal," ucap Nayra diiringi senyuman yang terus merekah.Nayra berdiri, kemudian bermonolog lagi."Mas Ivan, Maaf. Ini adalah keputusan terbaik. Tidak ada lagi kesempatan kedua untukmu. Dengan sikapmu yang masih tetap sama, bisa saja luka itu akan kembali tercipta."Mantap sekali Nayra berkata. Hati Nayra kini benar-benar lega. Satu tahun usai putus cinta, kini Nayra berkesempatan melihat penyesalan
Langkah Nayra terhenti. Bukan karena tidak sanggup melangkah lagi, melainkan karena debar merdu yang memerangkap hati. Terdiam mematung sembari tetap menatap senyum, itulah yang Nayra lakukan saat ini. Seiring irama jantung yang teramat merdu, bola mata Nayra tidak henti-hentinya membalas tatapan Dhanu.Teramat memesona. Tatapan matanya, senyum yang menghiasi wajah, juga tampilan diri yang tidak biasa. Semua itu telah menawan hati Nayra. Apalagi, kumis tipis yang membuat sosok Dhanu terlihat semakin manis, Nayra sungguh menyukainya.Deg-deg Deg-deg Deg-deg-degSatu-satunya yang memenuhi hati, pikiran, dan tatapan mata hanyalah sosok rupawan. Baik Nayra ataupun Dhanu, keduanya sama-sama terjebak tatapan bola mata indah. Hingga kemudian, sebuah panggilan tidak terduga membuyarkan aksi tatapan Dhanu dan Nayra."Dhanu, ngapain bengong di situ?"Dhanu menoleh ke sumber suara, dan mendapati sepupunya tengah berjalan mendekat ke arahnya.
"Hatiku milikku. Akulah tuannya. Mau sedih, bahagia, menolak ataupun menerima, akulah yang lebih berhak memilihnya. Cukuplah aku. Hanya aku."Ucapan Nayra usai perdebatan singkat dengan dua rekan kerjanya, lebih terdengar seperti keegoisan daripada kata mutiara. Awalnya semua itu hanya obrolan biasa di sela istirahat makan siang. Tiba-tiba saja rekan kerja Nayra membahas tentang jodoh, pernikahan, dan status lajang yang ujung-ujungnya mencipta kebaperan."Serius amat sih, Nay. Kita cuma bercanda doang."Dua rekan kerja Nayra mengambil jalan tengah. Berdamai, dengan alasan semua kata yang terlontar sebelumnya adalah sebuah canda."Ngatain aku nggak laku dan nggak pintar merias diri, seperti itu yang kalian bilang bercanda?" Nayra masih menampilkan mimik serius pada kedua rekan kerjanya."Sudah-sudah. Maafin kita, ya?"Nayra menghela nafas dalam, kemudian mengangguk perlahan. Nayra tidak ingin terus larut dalam perdebatan hingg
Segala rasa menyeruak di dada Nayra. Merasa menang, geregetan, bahkan kebingungan pun sempat dirasakan. Gejolak di hati Nayra nano-nano rasanya. Semua terjadi lantaran Nayra melihat foto Ivan yang bersanding dengan pasangannya di pelaminan.Usai beberapa detik larut memperhatikan foto Ivan, tawa Nayra pecah tak tertahankan."Hahaha. Habis dikhianati Olivia langsung cari cewek baru rupanya. Untung kali ini langsung diajak nikah. Kalau nggak, tuh cewek pasti nasibnya nggak jauh beda sama ... a-ku."Deg!Usai tawa yang membahana, mendadak saja ada perasaan lain yang dirasakan Nayra. Sekilas, Nayra teringat nasib dirinya. Langkah kehidupan yang kini dilalui Nayra belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya dengan Ivan. Apalagi jika teringat status cinta pengganti yang sempat disematkan Ivan. Sungguh, keputusan yang Nayra buat setelah kejadian itu masih terbawa hingga sekarang."Mas Ivan sudah mengambil langkah bahagianya. Lalu ..
Mood Nayra begitu baik. Saat mengajar di sekolah pun begitu energik. Alhasil, setiap ilmu yang Nayra sampaikan pada murid, semuanya bisa diterima dengan baik. Tidak sebatas itu saja, sepanjang pagi hingga siang hari pikiran Nayra selalu positif, bahkan senyumnya begitu murah hingga senantiasa merekah. Akan tetapi, semua berubah ketika Nayra pulang ke rumah.Nayra sedang mengecek akun media sosial milik Dhanu ketika sang ibu menghampiri untuk membicarakan sesuatu. Mimik wajah sang ibu tampak tenang, tapi menyiratkan keseriusan."Boleh ibu berbicara sesuatu, Nay?" Sang ibu duduk di tepi ranjang milik Nayra.Lebih dulu meletakkan smartphone, setelahnya Nayra pun merespon. Nayra mengangguk, lantas memfokuskan perhatian pada sang ibu yang masih menampilkan mimik keseriusan."Begini, Nay. Usiamu sudah matang untuk berkeluarga. Jadi, ibu sama ayahmu berniat menjodohkanmu dengan si Dika, anaknya Ning Rum."Deg!Seketika
Keterkejutan Dhanu, juga Ron yang lesu. Mimik kedua lelaki itu mengubah atmosfir ruangan tempat kerja Dhanu. Di jeda sikap terkejut dan lesu yang ditunjukkan, heningnya sekitar mendadak begitu peka dirasakan. Hawa AC yang begitu dingin, detak jarum jam yang tak biasa-biasanya terdengar nyaring, sampai langkah kaki samar di luar ruangan pun tertangkap pendengaran. Hingga kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan jeda antara Dhanu dan Ron yang masih terdiam.Tok-tok-tok!Dhanu dan Ron kompak menoleh ke arah pintu kaca. Didapatinya Pak Bos Besar sedang berdiri di sana, tersenyum sembari memasang mimik bahagia.Sebelum mempersilakan, Dhanu melihat ke arah Ron. Tampak jelas sekretaris sekaligus sahabatnya itu membalas tatapan, kemudian kembali tertunduk lesu. Dhanu bisa menebak bahwa Ron sedang terjebak dalam ingatan masa lalunya bersama Soraya. Paham dengan keadaan yang ada, Dhanu pun memutuskan untuk menemui Pak Bos Besar di luar ruangan saja."Maaf, Pak
Sebuah restoran bergaya kekinian, dengan lampu kerlap-kerlip dan booth swafoto menjadi pilihan tempat pertemuan. Seperti permintaan Pak Bos Besar sore tadi, Dhanu datang tepat waktu dengan berpenampilan casual. Jam yang melingkar di tangan menambah kesan tampan. Rambut rapi, kumis tipis di wajah, dan air muka ramah, semua itu memberi predikat wah di mata yang melihat sosoknya. Tak heran jika beberapa perempuan pengunjung restoran sempat curi-curi pandang.“Nayra!” seru seorang pengunjung.Mendengar nama yang tidak asing itu membuat Dhanu sontak menoleh ke sumber suara. Berharap sosok yang dicinta benar-benar ada di sana. Nyatanya, harapan Dhanu belum bersambut nyata. Nayra yang dilihatnya bukanlah Nayra sang pujaan hatinya. Itu adalah Nayra yang lain, yang kebetulan sama dalam hal nama.“Dhanu, sepertinya nama Nayra telah menjadi candu untukmu,” ujar Dhanu sembari tersenyum teringat sosok Nayra.Perhatian Dhanu teralihk
"Hanya aku yang benar-benar tahu, perihal rasa yang bergejolak dalam kalbu. Karena ini adalah rasaku. Anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku. Mas Dhanu ... aku yakin bahagiaku bersamamu."Usai semalaman yang menguras emosi, pagi pun menjelang membawa keyakinan hati. Rasa tidak tenang itu telah berubah menjadi setitik keyakinan. Nayra begitu yakin, Dhanu adalah masa depan.Semesta tampak memberi dukungan dengan suguhan langit yang terang tanpa awan hujan. Dedaunan pun tampak hijau dibasahi oleh embun yang segar, sungguh menyejukkan pandangan. Turut hadir menyemangati, kicau merdu Burung Kenari, kokok ayam di pagi hari, juga sepasang burung merpati penanda cinta sejati."Semoga rasamu masih sama terhadapku, Mas. Aku yakin kamu mencintaiku. Ketahuilah bahwa aku di sini juga mencintaimu."Nayra terus bermonolog sembari bersiap menuju tempatnya mengajar. Pakaian sudah rapi, begitu pula dengan tas berisi perlengkapan pribadi, juga sebotol minum
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah