Senyum manis tersuguh. Bukan dari Nayra, melainkan dari Dhanu. Tatapan mata bersahabat, juga senyum yang terus melekat, pastilah membuat wanita terpikat. Sayangnya, usai hati Nayra terkunci, rasa peka itu tidak begitu dirasa lagi. Senyuman Dhanu tidak begitu ditanggapi.
Balik badan, Nayra langsung menuju kamar. Nayra duduk di tepian ranjang, kemudian senyum-senyum sendirian. Akan tetapi, senyum Nayra saat ini bukanlah senyum balasan atas senyum yang tadi Dhanu suguhkan. Nayra tersenyum karena masih merasa menang dari Ivan.
"Mas Ivan pasti menyesal," ucap Nayra diiringi senyuman yang terus merekah.
Nayra berdiri, kemudian bermonolog lagi.
"Mas Ivan, Maaf. Ini adalah keputusan terbaik. Tidak ada lagi kesempatan kedua untukmu. Dengan sikapmu yang masih tetap sama, bisa saja luka itu akan kembali tercipta."
Mantap sekali Nayra berkata. Hati Nayra kini benar-benar lega. Satu tahun usai putus cinta, kini Nayra berkesempatan melihat penyesalan mantan kekasihnya. Nayra bukan bermaksud jahat. Hanya saja dulunya dia telah merasakan rasa sakit hati yang sangat.
Puas dengan pemikiran pribadi, Nayra menuju cermin lalu merapikan penampilan diri. Langkah kaki Nayra kemudian diayunkan menuju jendela kamar. Berniat membukanya lebar-lebar sembari menghirup aroma pagi yang masih segar. Begitu jendela dibuka, yang terlihat justru sosok tampan yang tadi pagi baru tiba.
Di sana, di seberang jendela kamar Nayra, di jendela rumah sebelah, Dhanu melihat Nayra dengan tanpa mengedipkan mata. Senyum Dhanu juga masih tersuguh sama manisnya.
Nayra sempat membalas tatapan mata. Namun, itu tidak disengaja. Setelahnya, Nayra acuh dan kembali menutup jendela kamarnya.Terduduk di tepi ranjang, Nayra memegangi dada kirinya. Ada debar di sana. Nayra tahu, debar itu tercipta karena ulah tatapan mata Dhanu. Namun, dengan cepat Nayra bisa meredam debaran itu.
"Mas Dhanu. Apakah dia masih menyukaiku seperti dulu?"
Tetiba saja pertanyaan itu terlintas di benak Nayra. Dan ... seketika itu ingatan Nayra melambung ke masa beberapa tahun silam, saat Nayra masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Saat itulah Nayra pertama kali melihat sosok Dhanu. Saat itu pula pertama kali senyum Dhanu tersuguh.
Dhanu, dia telah hadir di kehidupan Nayra jauuuuuh sebelum Ivan menawarkan cinta. Hanya saja, Dhanu tinggal di luar kota. Intensitas pertemuannya dengan Nayra hanya setahun sekali saat hari raya. Saat bertemu pun yang bisa disuguhkan Dhanu hanyalah senyum untuk Nayra, tanpa berani menyapa ataupun mengajak berbicara.
Larut dalam ingatan, membuat Nayra menyunggingkan senyuman. Nayra ingat betul kejadian beberapa tahun silam saat dia pertama kali mendapat senyuman. Ya, senyuman Dhanu tersuguh usai pandangan pertama itu. Nayra yang kala itu belum mengerti tentang definisi cinta hanya mampu membalas senyum yang sama sembari merasa bahagia.
Cinta monyet, itulah kata yang tepat menggambarkan Nayra dan Dhanu di masa kecil mereka. Nayra dan Dhanu di kala itu sama-sama merasakan bahagia tanpa mengerti bahwa itu adalah perasaan cinta. Dan ... sikap Nayra dan Dhanu terus berulang di tahun berikutnya. Tahun berikutnya lagi, dan lagi. Hanya satu tahun sekali, dan itu cukup mencipta benih-benih yang menyejukkan hati.
Pertemuan setahun sekali tanpa diimbangi pemahaman tentang hati, membuat Nayra begitu mudah teralih. Saat masa SMA, senyum Dhanu sudah tidak begitu memenuhi benak Nayra. Fokus Nayra bahkan teralihkan sepenuhnya pada pelajaran. Lagi-lagi, kondisi ekonomi keluarga menjadi alasan untuk bisa lebih semangat belajar. Nayra mengejar beasiswa untuk bisa lanjut kuliah. Sejak saat itulah nama Dhanu mulai memudar.
"Rupanya, aku pernah main hati dengan Mas Dhanu. Sempat melupakan juga waktu itu. Sampai akhirnya aku kuliah, dan hadirlah Mas Ivan dengan cinta palsunya."
Deg!
Mimik wajah Nayra langsung berubah begitu teringat Ivan. Tidak ingin mengingat hal yang menyakitkan, seketika Nayra menggeleng berulang.
"Sudah, Nay. Cukup sudah. Jangan memikirkan apa pun tentang laki-laki. Mas Ivan sudah cukup jadi pelajaran untukmu agar hati-hati."
Nayra optimis sekali. Lagi-lagi dia teringat untuk mengunci hati dan tidak percaya pada laki-laki.
***
Dhanu duduk berdua dengan sepupunya. Agak menjauh dari anggota keluarga lainnya, agar bisa sedikit berbagi apa yang dirasa.
"Mas Nofal, Nayra ambil jurusan apa?" tanya Dhanu pada sepupunya.
"Pendidikan. Kenapa? Masih naksir sama Nayra?"
Pertanyaan Nofal tidak langsung ditanggapi oleh Dhanu. Yang Dhanu suguhkan hanya senyum yang terus-terusan mengembang menyiratkan perasaan. Senyum Dhanu sudah cukup menegaskan bahwa perasaannya masih tetap sama seperti saat pertama kali bertemu Nayra beberapa tahun silam.
"Cie ... yang masih cinta." Nofal menggoda Dhanu sambil melempar bantal sofa.
"Jurusan pendidikan sama hukum cocok kan, ya Mas?"
"Ya cocok-cocok saja sih kalau dicocokin. By the way, cewekmu yang itu gimana, Dhan?"
Deg!
Senyum Dhanu memudar. Memang, sebelum ini Dhanu sempat menjalin hubungan dengan teman kuliahnya. Namun, hubungan itu telah berakhir dan hanya menyisakan bekas luka. Kurang lebih kisah Nayra dan Dhanu hampir serupa. Sama-sama pernah merasakan luka akibat pengkhianatan cinta.
"Sudah jadi mantan, Mas. Jangan dibahas!" tegas Dhanu.
Nofal paham keadaan. Dia pun tidak melanjutkan. Dengan cekatan Nofal kembali membahas Nayra.
"Kalau beneran masih naksir Nayra, usahakan bahwa perasaanmu bukan pelarian cinta." Nofal bijak memberi nasihat.
Nasihat itu diterima dengan lapang. Senyum Dhanu pun kembali mengembang. Satu anggukan mantap diberikan.
***
Hari-hari pun berlalu. Setahun lagi telah berlalu. Nayra masih tetap mengunci hati, dan masih menganggap buaya setiap lelaki. Sementara Dhanu, dia masih sama seperti tahun lalu. Masih menyuguhkan senyum untuk Nayra di pertemuan mereka yang hanya setahun sekali saja.
Terus seperti itu hingga Nayra dan Dhanu sama-sama telah lulus kuliah. Nayra telah bekerja di dunia pendidikan, sementara Dhanu telah bekerja di sebuah perusahaan.
"Hati-hati di sana, Feb. Kalau ada buaya yang menggoda, acuhkan saja." Nayra berpesan via telepon.
"Yaelah, Nay. Kamu masih saja bilang buaya ke setiap lelaki. Ingat umur Nay. Cepetan nikah. Sekali saja deh kamu coba percaya, di luaran sana banyak lelaki yang bukan buaya."
Febi, meski sudah tidak satu kota dengan Nayra, dia masih saja sering memberi nasihat khususnya tentang cinta.
"Ya-ya. Akan kupikirkan nanti. Kabar-kabar ya kalau pulang kampung. Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu nih, Feb."
"Oke. Kerja yang rajin, biar dapat suami yang tajir. Hahaha."
"Febi, udah ah."
"Eh-eh, Nay. Satu lagi. Jangan lupa kabari aku kalau kamu mau nikah dengan pangeran kuda putih pilihanmu! Wajib kasih tahu. Harus!"
"Nggak janji ah. Bye-bye Febi. Oya, Makan yang banyak di sana biar kita nggak samaan kurusnya. Hihi. Bye!"
Nayra menutup penggilan telepon dengan nada canda. Sudah biasa dilakukan jika sedang bertelepon ria dengan Febi.
"Apa sudah waktunya aku menikah? Tapi dengan siapa?"
Dari sekian banyak nasihat yang telah Nayra terima, baru kali ini dia kepikiran untuk menikah. Mengingat juga, usia Nayra sudah semakin bertambah dan memang sudah saatnya untuk berkeluarga.
Bersamaan dengan itu, Nayra menyadari bahwa hatinya sudah tidak lagi terkunci. Akan tetapi, rasa tidak percaya pada lelaki masih sering muncul dan membentengi hati. Itulah yang sampai saat ini membuat Nayra enggan untuk dekat-dekat dengan lelaki, apalagi sampai memberi harapan lebih.
Langkah kaki Nayra selanjutnya membawanya ke arah depan rumah. Tanpa diduga, ada Dhanu dan keluarganya baru saja tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Dhanu menyuguhkan senyuman dengan tatapan mata penuh pengharapan.
Sekilas, Nayra terpana. Apalagi, penampilan Dhanu kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Tubuh Dhanu tinggi, tegap, berisi. Pakaiannya tampak sederhana, tapi style masa kini. Dari semua itu, yang menjadi sorotan Nayra adalah kumis tipis di wajah Dhanu. Seketika itu jantung Nayra pun berirama merdu.
Deg-deg Deg-deg
Bersambung ....
Langkah Nayra terhenti. Bukan karena tidak sanggup melangkah lagi, melainkan karena debar merdu yang memerangkap hati. Terdiam mematung sembari tetap menatap senyum, itulah yang Nayra lakukan saat ini. Seiring irama jantung yang teramat merdu, bola mata Nayra tidak henti-hentinya membalas tatapan Dhanu.Teramat memesona. Tatapan matanya, senyum yang menghiasi wajah, juga tampilan diri yang tidak biasa. Semua itu telah menawan hati Nayra. Apalagi, kumis tipis yang membuat sosok Dhanu terlihat semakin manis, Nayra sungguh menyukainya.Deg-deg Deg-deg Deg-deg-degSatu-satunya yang memenuhi hati, pikiran, dan tatapan mata hanyalah sosok rupawan. Baik Nayra ataupun Dhanu, keduanya sama-sama terjebak tatapan bola mata indah. Hingga kemudian, sebuah panggilan tidak terduga membuyarkan aksi tatapan Dhanu dan Nayra."Dhanu, ngapain bengong di situ?"Dhanu menoleh ke sumber suara, dan mendapati sepupunya tengah berjalan mendekat ke arahnya.
"Hatiku milikku. Akulah tuannya. Mau sedih, bahagia, menolak ataupun menerima, akulah yang lebih berhak memilihnya. Cukuplah aku. Hanya aku."Ucapan Nayra usai perdebatan singkat dengan dua rekan kerjanya, lebih terdengar seperti keegoisan daripada kata mutiara. Awalnya semua itu hanya obrolan biasa di sela istirahat makan siang. Tiba-tiba saja rekan kerja Nayra membahas tentang jodoh, pernikahan, dan status lajang yang ujung-ujungnya mencipta kebaperan."Serius amat sih, Nay. Kita cuma bercanda doang."Dua rekan kerja Nayra mengambil jalan tengah. Berdamai, dengan alasan semua kata yang terlontar sebelumnya adalah sebuah canda."Ngatain aku nggak laku dan nggak pintar merias diri, seperti itu yang kalian bilang bercanda?" Nayra masih menampilkan mimik serius pada kedua rekan kerjanya."Sudah-sudah. Maafin kita, ya?"Nayra menghela nafas dalam, kemudian mengangguk perlahan. Nayra tidak ingin terus larut dalam perdebatan hingg
Segala rasa menyeruak di dada Nayra. Merasa menang, geregetan, bahkan kebingungan pun sempat dirasakan. Gejolak di hati Nayra nano-nano rasanya. Semua terjadi lantaran Nayra melihat foto Ivan yang bersanding dengan pasangannya di pelaminan.Usai beberapa detik larut memperhatikan foto Ivan, tawa Nayra pecah tak tertahankan."Hahaha. Habis dikhianati Olivia langsung cari cewek baru rupanya. Untung kali ini langsung diajak nikah. Kalau nggak, tuh cewek pasti nasibnya nggak jauh beda sama ... a-ku."Deg!Usai tawa yang membahana, mendadak saja ada perasaan lain yang dirasakan Nayra. Sekilas, Nayra teringat nasib dirinya. Langkah kehidupan yang kini dilalui Nayra belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya dengan Ivan. Apalagi jika teringat status cinta pengganti yang sempat disematkan Ivan. Sungguh, keputusan yang Nayra buat setelah kejadian itu masih terbawa hingga sekarang."Mas Ivan sudah mengambil langkah bahagianya. Lalu ..
Mood Nayra begitu baik. Saat mengajar di sekolah pun begitu energik. Alhasil, setiap ilmu yang Nayra sampaikan pada murid, semuanya bisa diterima dengan baik. Tidak sebatas itu saja, sepanjang pagi hingga siang hari pikiran Nayra selalu positif, bahkan senyumnya begitu murah hingga senantiasa merekah. Akan tetapi, semua berubah ketika Nayra pulang ke rumah.Nayra sedang mengecek akun media sosial milik Dhanu ketika sang ibu menghampiri untuk membicarakan sesuatu. Mimik wajah sang ibu tampak tenang, tapi menyiratkan keseriusan."Boleh ibu berbicara sesuatu, Nay?" Sang ibu duduk di tepi ranjang milik Nayra.Lebih dulu meletakkan smartphone, setelahnya Nayra pun merespon. Nayra mengangguk, lantas memfokuskan perhatian pada sang ibu yang masih menampilkan mimik keseriusan."Begini, Nay. Usiamu sudah matang untuk berkeluarga. Jadi, ibu sama ayahmu berniat menjodohkanmu dengan si Dika, anaknya Ning Rum."Deg!Seketika
Keterkejutan Dhanu, juga Ron yang lesu. Mimik kedua lelaki itu mengubah atmosfir ruangan tempat kerja Dhanu. Di jeda sikap terkejut dan lesu yang ditunjukkan, heningnya sekitar mendadak begitu peka dirasakan. Hawa AC yang begitu dingin, detak jarum jam yang tak biasa-biasanya terdengar nyaring, sampai langkah kaki samar di luar ruangan pun tertangkap pendengaran. Hingga kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan jeda antara Dhanu dan Ron yang masih terdiam.Tok-tok-tok!Dhanu dan Ron kompak menoleh ke arah pintu kaca. Didapatinya Pak Bos Besar sedang berdiri di sana, tersenyum sembari memasang mimik bahagia.Sebelum mempersilakan, Dhanu melihat ke arah Ron. Tampak jelas sekretaris sekaligus sahabatnya itu membalas tatapan, kemudian kembali tertunduk lesu. Dhanu bisa menebak bahwa Ron sedang terjebak dalam ingatan masa lalunya bersama Soraya. Paham dengan keadaan yang ada, Dhanu pun memutuskan untuk menemui Pak Bos Besar di luar ruangan saja."Maaf, Pak
Sebuah restoran bergaya kekinian, dengan lampu kerlap-kerlip dan booth swafoto menjadi pilihan tempat pertemuan. Seperti permintaan Pak Bos Besar sore tadi, Dhanu datang tepat waktu dengan berpenampilan casual. Jam yang melingkar di tangan menambah kesan tampan. Rambut rapi, kumis tipis di wajah, dan air muka ramah, semua itu memberi predikat wah di mata yang melihat sosoknya. Tak heran jika beberapa perempuan pengunjung restoran sempat curi-curi pandang.“Nayra!” seru seorang pengunjung.Mendengar nama yang tidak asing itu membuat Dhanu sontak menoleh ke sumber suara. Berharap sosok yang dicinta benar-benar ada di sana. Nyatanya, harapan Dhanu belum bersambut nyata. Nayra yang dilihatnya bukanlah Nayra sang pujaan hatinya. Itu adalah Nayra yang lain, yang kebetulan sama dalam hal nama.“Dhanu, sepertinya nama Nayra telah menjadi candu untukmu,” ujar Dhanu sembari tersenyum teringat sosok Nayra.Perhatian Dhanu teralihk
"Hanya aku yang benar-benar tahu, perihal rasa yang bergejolak dalam kalbu. Karena ini adalah rasaku. Anugerah terindah yang Tuhan berikan padaku. Mas Dhanu ... aku yakin bahagiaku bersamamu."Usai semalaman yang menguras emosi, pagi pun menjelang membawa keyakinan hati. Rasa tidak tenang itu telah berubah menjadi setitik keyakinan. Nayra begitu yakin, Dhanu adalah masa depan.Semesta tampak memberi dukungan dengan suguhan langit yang terang tanpa awan hujan. Dedaunan pun tampak hijau dibasahi oleh embun yang segar, sungguh menyejukkan pandangan. Turut hadir menyemangati, kicau merdu Burung Kenari, kokok ayam di pagi hari, juga sepasang burung merpati penanda cinta sejati."Semoga rasamu masih sama terhadapku, Mas. Aku yakin kamu mencintaiku. Ketahuilah bahwa aku di sini juga mencintaimu."Nayra terus bermonolog sembari bersiap menuju tempatnya mengajar. Pakaian sudah rapi, begitu pula dengan tas berisi perlengkapan pribadi, juga sebotol minum
Pandangan mata Soraya tepat tertuju pada Ron. Keterkejutan tampak nyata tergambar di wajahnya. Berbeda sekali dengan mimik wajah Ron yang tampak sedikit gugup sehabis menyapa Soraya.Sepasang kekasih yang kini telah berstatus mantan itu akhirnya bertemu. Ron dan Soraya, dalam pertemuan pertama setelah sekian tahun berlalu, yang teringat dalam benak masing-masing dari mereka justru momen saat putus cinta. Usai ingatan itu muncul, Soraya langsung memalingkan muka, sedangkan Ron menundukkan wajah."Ehem!" Dhanu berdehem, membuat Soraya dan Ron seketika melihat ke arahnya."Mas Dhanu kenal sama Ron? Kenapa dia bisa ada di sini?" Soraya tidak bisa memendam rasa ingin tahunya."Ron bekerja di sini juga," ungkap Dhanu."Apa? Kenapa aku bisa tidak tahu, sih?"Soraya melirik ke arah Ron sekilas, lantas kembali membuang pandang."Sepertinya banyak sekali yang harus kalian bicarakan berdua. Jadi ... silakan! Aku kel
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah