Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.
“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.
“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”
Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.
“Anak ganteng, siapa namamu?”
“Bagas.”
“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”
Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Dunia mendadak dipenuhi abu-abu. Di mana-mana hanya kelabu, selayaknya hati yang tengah merasakan pilu. Begitu sakit. Sungguh terasa sakit meski tiada darah yang keluar dari luka yang jelas-jelas menganga di dalam sana. Luka lantaran putus cinta, benar-benar menyesakkan. Bahkan, air mata ikut berperan. Berkali-kali membuat jejak tangisan.Nayra, dia baru saja putus cinta dari kekasih pertamanya. Kekasih yang begitu dicintainya. Sosok tampan yang begitu diharapkan untuk bisa berakhir di pelaminan. Nyatanya, usai tiga bulan yang manis dalam masa berpacaran, yang tersuguh selanjutnya adalah rasa hambar. Lebih dari itu, pahit pun turut Nayra rasakan."Break?"Berulang kali Nayra mengulang kata 'break' yang menjadi penutup pesan usai kata maaf dan salam perpisahan."Putus? Aku dan kamu akhirnya putus? Benarkah ini?"Nayra terus menatap layar ponselnya. Berusaha menolak fakta dengan mencari definisi lain dari kata 'break' y
Nayra sesenggukan sembari meringkuk di lantai kamar. Itulah pemandangan mengejutkan yang membuat Febi berlarian. Diraihnya tubuh Nayra, lantas didudukkan.Mata sembab, dengan air mata yang tidak henti-hentinya mengalir menyisakan jejak. Betapa raut wajah Nayra sungguh membuat prihatin siapa saja yang melihatnya. Seolah perih yang Nayra rasakan, tersalurkan pada orang di sekitarnya."Kamu kenapa, Nay?" tanya Febi.Bibir Nayra hendak berucap. Berniat menjelaskan dengan singkat. Namun, lidahnya justru tercekat. Tiada kata yang terlontar demi memberi sebuah penjelasan. Yang tersuguh justru tangis sesenggukan."Huuuuhuhuhu."Isak tangis Nayra terus menjadi, kala Febi sekali lagi bertanya tentang apa yang terjadi. Sungguh, Nayra ingin sekali berucap, mengumpat, meneriaki Ivan dan meluapkan luka hati yang begitu menyakitkan. Akan tetapi, lagi-lagi yang terus tersuguh hanyalah sebuah tangisan."Cup-cup-cup. Tenangkan dirimu dulu, N
Tiga minggu berlalu usai keputusan mengunci hati hingga tidak akan percaya lagi pada laki-laki. Sungguh, keputusan itu memberi arti tersendiri. Hati yang semula teramat perih, perlahan terobati. Tentu saja, senyum di wajah Nayra tidak serta merta tertoreh begitu saja. Butuh perjuangan ekstra di tengah linangan air mata yang sesekali masih saja hadir menegaskan rasa yang masih tersisa.Perih itu tidak akan tercipta kala rasa kecewa tidak pernah diterima. Namun, jika luka itu tidak pernah dirasa, maka pelajaran berharga tidak akan pernah diterima. Nayra, usai tiga minggu penuh berusaha mengobati luka hatinya, kini dia menjelma menjadi pribadi yang berbeda.Ketegasan yang sempat memudar akibat efek samping patah hati, kini sudah melekat lagi. Nayra sudah bisa berpikir jernih, meski sesekali masih saja merutuki diri. Wajar, proses bergerak untuk perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan instan. Perlu waktu untuk mengusahakan. Juga, butuh keikhlasan untuk merela
Senyum manis tersuguh. Bukan dari Nayra, melainkan dari Dhanu. Tatapan mata bersahabat, juga senyum yang terus melekat, pastilah membuat wanita terpikat. Sayangnya, usai hati Nayra terkunci, rasa peka itu tidak begitu dirasa lagi. Senyuman Dhanu tidak begitu ditanggapi.Balik badan, Nayra langsung menuju kamar. Nayra duduk di tepian ranjang, kemudian senyum-senyum sendirian. Akan tetapi, senyum Nayra saat ini bukanlah senyum balasan atas senyum yang tadi Dhanu suguhkan. Nayra tersenyum karena masih merasa menang dari Ivan."Mas Ivan pasti menyesal," ucap Nayra diiringi senyuman yang terus merekah.Nayra berdiri, kemudian bermonolog lagi."Mas Ivan, Maaf. Ini adalah keputusan terbaik. Tidak ada lagi kesempatan kedua untukmu. Dengan sikapmu yang masih tetap sama, bisa saja luka itu akan kembali tercipta."Mantap sekali Nayra berkata. Hati Nayra kini benar-benar lega. Satu tahun usai putus cinta, kini Nayra berkesempatan melihat penyesalan
Langkah Nayra terhenti. Bukan karena tidak sanggup melangkah lagi, melainkan karena debar merdu yang memerangkap hati. Terdiam mematung sembari tetap menatap senyum, itulah yang Nayra lakukan saat ini. Seiring irama jantung yang teramat merdu, bola mata Nayra tidak henti-hentinya membalas tatapan Dhanu.Teramat memesona. Tatapan matanya, senyum yang menghiasi wajah, juga tampilan diri yang tidak biasa. Semua itu telah menawan hati Nayra. Apalagi, kumis tipis yang membuat sosok Dhanu terlihat semakin manis, Nayra sungguh menyukainya.Deg-deg Deg-deg Deg-deg-degSatu-satunya yang memenuhi hati, pikiran, dan tatapan mata hanyalah sosok rupawan. Baik Nayra ataupun Dhanu, keduanya sama-sama terjebak tatapan bola mata indah. Hingga kemudian, sebuah panggilan tidak terduga membuyarkan aksi tatapan Dhanu dan Nayra."Dhanu, ngapain bengong di situ?"Dhanu menoleh ke sumber suara, dan mendapati sepupunya tengah berjalan mendekat ke arahnya.
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka
Cafe yang terletak di depan pusat perbelanjaan besar menjadi tempat pertemuan Erika dan Soraya. Baru saja keduanya tiba dan belum memesan makanan ataupun minuman. Baru duduk, mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian. Seperti biasa, dua wanita modis ini tampak segar dengan style berpakaian mereka. Tidak heran jika beberapa pengunjung curi-curi pandang.Tidak hanya penampilan modis Erika dan Soraya yang menjadi perhatian. Kotak kado berukuran sedang beserta buket bunga mawar segar tak luput dari perhatian. Erika yang membawanya. Sebelum memberikan pada si penerima, Erika berniat meminta pendapat Soraya.“Yakin mau ketemu Mas Dhanu sama Nayra?” tanya Soraya dengan ekspresi tegasnya.“Iya, yakin. Lagipula, kesalahpahaman waktu itu harus diluruskan. Aku tidak ingin dicap buruk oleh Dhanu gara-g
Pernikahan Nayra dan Dhanu berlangsung hari ini. Tamu undangan berdatangan menyaksikan momen istimewa yang begitu sakral. Janji suci Nayra-Dhanu telah dilaksanakan. Kini, Nayra dan Dhanu resmi menjadi pasangan halal.Dua keluarga besar turut menyaksikan. Ada pula Ron yang ikut serta hadir menyaksikan momen bahagia sahabatnya. Pak Bos Besar juga sempat hadir menyaksikan, tapi langsung bergegas pulang karena ada kepentingan. Soraya, jangan tanyakan dia. Tentu saja Soraya tidak hadir dalam momen sah Dhanu dan Nayra. Apalagi Erika, dia pun tidak hadir di sana.Ada lagi yang tidak hadir dalam momen bahagia itu, yakni Bintang. Ya, Bintang benar-benar menepati ucapannya. Dia tidak hadir di acara pernikahan Nayra. Akan tetapi, ada yang aneh. Usai momen sah Dhanu dan Nayra, sang ibu justru berulang kali menengok ke depan rumah. Katanya ada yang sedang ditunggunya.
Tawa renyah memenuhi ruang keluarga. Dua adik perempuan Dhanulah yang tertawa renyah. Mereka berdua asyik menyantap nasi goreng buatan Nayra, sambil mengusap-usap lembaran mata uang berwarna merah. Baru saja Dhanu berhasil menyogok dua adik perempuannya agar tidak mengadu pada ayah dan ibunya. Dan, usaha itu berhasil. Dhanu dapat bernafas lega tanpa ancaman aduan perihal tindakan spontan yang gagal dilakukan saat di dapur barusan. Meski aduan itu berhasil digagalkan, tapi Dhanu tidak lepas dari nasihat yang Nayra lontarkan. “Lain kali jangan gitu lagi, Mas. Nyogok itu nggak baik,” nasihat Nayra dengan suara lirih yang tentunya bisa didengar oleh Dhanu seorang. “Iya-iya. Siap. Cuma sekali ini saja kok, Nay. Hehe.” Nayra geleng-geleng kepala. Namun, Nayra berusah