"Sah?" "Sah," ucap riuh para saksi yang datang menghadiri acara pernikahan aku dan Jali.Kali ini, pada hari Senin aku dan pria muda itu resmi menikah. Kini Jali resmi menjadi suamiku.Entah kenapa hatiku rasanya berbunga-bunga, padahal sama sekali kami tidak merasakan hal cinta apalagi saling menyayangi. Bahkan pernikahan ini aku setuju sebab aku sepakat untuk gazi yang ia janjikan yaitu 50 juta dalam sebulan. Akan tetapi kesepakatan ini hanya kita berdua yang tahu.Ku kecup tangan lembut yang mengulur itu, yaitu tangan suamiku. Dan begitup dengan Rojali Abdul Manap dia juga mengecup keningku dengan pelan."Selamat ya kalian kini telah menikah," ucapan selamat yang terdengar pertama kalinya dari Bu Janita. Wanita setengah baya itu kini resmi menjadi mertuaku."Terimakasih Ma," kini ku kecup tangan lembut sang Mama. Lantas aku segera memeluk tubuhnya yang molek itu. Rasanya baru kali aku merasakan hal yang ku inginkan yaitu memeluk seorang ibu. Walaupun bukan ibu kandungku.Lalu set
Aku menghela nafas begitu berat, mencoba menarik nafas lagi dan lagi. Rasanya tidak betah, malam ini aku harus tidur di kamarku bersama seseorang yang telah menjadi suamiku, Rojali tertunya. Setiap kali mendengar nama itu, ingin sekali aku muntah. Pria manja dan banyak gaya."Selamat malam istriku?" godanya ketika baru saja dia memasuki kamarku yang sempit ini. Ingin rasanya aku melemparkan bantal pada wajahnya yang membuat mood ku hancur dan ingin membanting kan sesuatu setiap kali melihat wajah itu."Istriku! Istriku! Gue cuma istri bayaran Lo, kalo aja gue gak dibayar mana mau gue menikah sama cowok PA kaya Lo. Udah nyali Lo loyo di tampah wajah Lo kayak tutup panci. Wanita mana sih yang mau sama pria letoy kayak gitu!" Aku sangat menggerutu tatkala mendengar pria itu mengucapkan kata istri padaku. Kadang aku mikir aneh pada diriku sendiri, kok mau ya di bayar jadi istrinya. Padahal kerjaan yang lain banyak? Andai ekonomiku berkecukupan, mungkin aku ogah menjadi istri bayaran. Aka
"Aaaaaaah, Lo jali ngapain ada disini?! Ini 'kan kamar gue!" Teriakku begitu menggelegar, pagi-pagi aku telah dikejutkan dengan adanya tubuh pria itu di samping, dan lengan memeluk tubuhku."Lo lupa ya kalau sekarang gue jadi suami Lo, dan harusnya gue yang tanya? padahal semalam Lo tidur di atas ranjang. Tapi kenapa sekarang Lo malah tidur disini. Jangan-jangan Lo semalam ngerayap ya sebab ingin tidur di kamar gue. Tapi Lo sok-sokan gengsi," tuduh Jali.Aku bergidik geli, saat terbangun memang aku tidur bersamaan di tikar, kenapa bisa? Padahal memang semalam aku tidur di atas ranjang sendiri."Lo gak apa-apain gue 'kan? Jangan sampai Lo ambil kesucianku," tuduhku pada Jali."Lo lupa kalau udah gak suci lagi?! PA Lo!" "Oh iya, gue 'kan janda. Tapi Lo yakin gak ngerebut kejandaan gue?!" tanyaku lagi.Jali hanya tersenyum sinis sembari hanya menoleh sebentar."Tanya aja pada diri Lo, gue mau mandi," ungkapnya sembari melenggang ke kamar mandi yang ada di ruangan dapur. Kebetulan kamar
"Sekarang ini adalah rumahmu, kamu jangan merasa canggung tinggal disini. Anggap saja ini adalah rumahmu Dian," ucap Mama Janita.Hari ini aku tersenyum bahagia, setidaknya aku bisa diterima dan disambut dengan kehangatan oleh Mama mertua. Walaupun Bude Meri kelihatan tak suka dengan kedatanganku, kulihat ia mendelikan mata."Terimakasih Ma, kalau begitu kita mau istirahat dulu."Ucap Jali seraya melenggang untuk ke kamar. Diikuti dengan langkah kakiku."Ini kamar gue," ungkap Jali sembari membuka daun pintu. Saat mataku melihat beratap aku begitu takjub dengan pemandangan di dalam kamar Rojali, tak menyangka walaupun dia seorang duda tapi kamarnya cukup rapi dan juga luas.Hal yang tahu setelah Emak berhenti kerja tidak ada pembantu disini, lalu siapa yang membereskan kamar jali. Masa iya Rojali sendiri?Kamar aku aja berantakan kalau bukan Emak yang membereskan akan tetapi ini tapi dan juga bersih. "Ini kamar Lo Jal?" tanyaku masih tak percaya."Ya iyalah ini kamar gue, masa iya ka
"Ayo Dian kita makan sama-sama," ajak Bu Mama mertua sembari menata piring di meja makan.Aku yang kala itu baru saja keluar kamar langsung menghampiri kediaman Mama mertua dan juga Bude yang baru selesai masak."Enak sekali ya jadi nyonya, bangun tidur langsung mandi, tak lupa langsung makan, sudah makan tidur lagi. Sekalian aja jadi cucunya Mbah Surip biar mantap," sindir Bude Meri sembari mendelikan mata saat melihatku.Dan anehnya selalu ia yang sewot ketika aku melakukan hal apapun, padahal jelas sekali kalau mertuaku tidak pernah permasalahkan apapun semenjak diriku kesini. "Panggil suamimu, ayo kita makan," ucap Bu Janita memerintah padaku.Bu Janita seakan tidak menggubris ucapan Kakak perempuannya itu lantaran mungkin sudah biasa kalau sifatnya begitu. Suka usil dan juga melarang-larang padahal bukan haknya untuk dilarang."Sebentar ya Ma, aku panggil Mas Jali dulu, ku pikir tadi dia kesini? Lantas kemana ya Ma?" tanya pada BU Janita.Kemana aku harus mencari pria itu, peras
"Dian, habis dari mana kamu?" Degh!Suara pria itu bertanya membuat jantungku seketika akan copot."Aku, aku mencari kamu Jali, tadi Mama mengajak kita makan. Aku cari ke sana kamu tidak ada?" jawabku agak gelagapan."Kamu itu aneh, justru aku sedang berenang kamu malah mencari ke belakang rumah, ya, gak bakalan ketemu lah," ucap Haris sembari cengengesan."Ju-justru itu aku tidak menemukanmu. Kamu itu memang pintar ngilang kayak jelangkung saja. Mari kita makan," ajakku sembari menuntun tangannya. Akan tetapi Jali malah terhenti sembari mata memandangku.Tatapan matanya begitu berseri membuatku lemah tak berdaya. "Katanya mau makan kok malah saling pandang begitu?" tanya Mama Janita membuyarkan pandangan kami berdua.Aku dan Jali merasa malu saat kepergok sedang saling memandang di tempat terbuka."Ma, Jali akan pakai baju dulu, baju Jali basah begini," sahut Jali seraya langsung melenggang.Kini yang tersisa hanya ada aku dan juga Mama mertua kesayanganku. Ia merangkul bahuku dan
"Sayang semua yang kamu butuhkan apa sudah disiapkan?" tanya Bu Janita tatkala ia sedang mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang yang akan dibawanya untuk honeymoon bersama sang suami tercinta.Wanita setengah baya itu nampak semangat ketika semua barang yang diperlukan telah siap."Sudah sayang," ungkap Haris sembari mengutak-ngatik ponsel yang berada di tangan sembari kaki selonjoran di atas ranjang."Sayang uangku telah habis, semalam aku kalah slot lagi. Dan ibuku di kampung meminta uang bulanan padaku," sahut Haris penuh permohonan.Wajah pria muda itu nampak melas dengan segudang sandiwara yang hampir saja membuat Bu Janita terperangkap. Tidak ada hentinya yang selalu ada di pikiran Haris adalah uang dan uang. Akan tetapi Janita selaku istri kayaknya tidak pernah mengeluh apalagi curiga kalau Haris hanya memanfaatkan hartanya saja. Walaupun sang anak cikal -Jali selalu bawel terhadap Bu Janita untuk tidak terlalu memanjakan suami mudanya itu. Namun Bu Janita tak menggubris
"Jali, Dian jaga diri baik-baik ya sayang. Mama tidak akan lama kok. Dan kamu Jali ingat apa yang kata Mama bilang, gantiin Mama untuk kerja sambil kamu belajar. Nanti ada Om Kaisar yang mendampingi kamu."Wanita setengah baya itu memeluk dan mencium menantu kesayangannya dan berpamitan untuk segera berangkat berbulan madu ke bali. Walaupun aku bukan bandingannya dan hanya orang biasa, akan tetapi aku diperlakukan baik olehnya, sungguh aku terkagum dengan mertuaku yang satu ini. Baginya orang miskin ataupun kaya itu sama saja, maka dari itu rasanya aku betah tinggal disini."Mbak jagain Jali dan Dian ya, aku harus pergi sebentar," pamit Janita pada kakak perempuannya. "Kamu tenang saja, semuanya pasti beres. Kamu juga hati-hati di jalan, jangan sampai kesehatanmu terganggu Janita. Mbak tunggu kepulanganmu lagi."Kakak perempuan dari Janita memeluk tubuh sang adik. Akan tetapi wajahnya tampak sumringah tatkala Janita akan pergi. "Kalau gitu aku berangkat sekarang Mbak. Jali dan Dian,